"Minum dulu." Sandra meletakkan satu cup kopi dingin di depan Ditrisya yang termenung dengan segala keresahan yang berkecamuk di pikirannya. Sandra mengajaknya mampir ke kedai kopi tak jauh dari lokasi syuting tadi.
Ditrisya mendongak sekilas sembari mengulas senyum tipis. "Terima kasih."
"Pasti banyak yang berubah, ya?" Sandra mengambil duduk di depan Ditrisya.
"Mungkin karena terbiasa Ahyar nganggur dan gangguin aku terus, makanya sekarang kaget tiba-tiba Ahyar jadi susah banget ditemui," ujar Ditrisya terkekeh sendiri, bermaksud ingin menganggap perkataannya sebagai lelucon. Namun tampaknya ia gagal karena Sandra justru menatapnya kasihan. Ditrisya menghela napas menarik napas panjang, lalu mendesahkannya bersama peryanyaan. "Semua artis memang sesibuk Ahyar, ya?"
"Artis yang gimana dulu. Kalau kayak aku begini, ya masih punya waktu cukup luang buat les akting, pilates, work out, shopping. Tapi kalau kayak Ahyar, nggak heran kalau dia sibuk banget. Lihat aja apa yang lagi dia kerjakan sekarang. Sinetron stripping sama yang terbaru, aku dengar dia juga lagi persiapan mau main film."
Ditrisya mendesah lagi, "ah..., jadi emang sesibuk itu."
Desahan bodohnya ditertawai kecil oleh Sandra. "Kamu kiranya dia pura-pura sibuk?"
"Aku sempat khawatir dia kena star syndrome," ungkap Ditrisya jujur. "Yang ada di kepala aku, kan, dia bukan satu-satunya artis di dunia. Dari yang aku lihat di infotainment banyam artis yang lebih terkenal masih punya waktu luang buat keluarga mereka. Dan di sinetron stripping yang dia bintangi pun, dia bukan pemeran utama yang mesti muncul di setiap scene. Dia baru artis kemarin sore, masa sih, sesibuk itu."
"Gini, Di. Sebelumnya, aku bilang ini bukan karena memihak ke Ahyar. Setahu aku, dia ngotot mau ambil semua tawaran yang ada. Manajemennya udah ngasih saran pilih-pilih kerjaan yang sesuai sama branding, biar jelas dia mau terkenal sebagai artis apa. Tapi Ahyar nggak peduli soal branding, dia cuma mau ambil kerjaan sebanyak mungkin. Kamu pastinya lebih tahu alasannya apa."
"Menurut kamu apa alasannya?"
Alis Sandra saling bertaut penuh tanya. "Ahyar nggak cerita apa-apa memangnya?"
Ditrisya tersenyum tertawa paksa. "Cerita lah. Aku ingin tahu aja apa yang dia cerita ke temannya." Ditrisya tidak mau menunjukkan betapa gersang hubungannya dengan Ahyar sekarang ke orang lain. Ia malu mengakui bahwa kenyataannya, Ditrisya tidak pernah tahu apa dan mengapa Ahyar menjadi dirinya yang sekarang.
"Oh..." Sandra manggut-manggut mengerti. "Sewaktu aku tanya, sih, dia bilangnya cuma ingin berhenti bikin kamu khawatir."
Deg! Sontak Ditrisya menatap Sandra terkejut, tiba-tiba meragukan fungsi pendengarannya. "Ingin berhenti bikin aku khawatir?" ulangnya memastikan. Lebih masuk akal jika Ahyar menjawab uang, pembuktian diri, atau semacamnya.
Sandra mengangguk lagi.
Masih belum yakin, Ditrisya kembali memastikan. "Itu aja? Dia nggak bilang apa-apa lagi? Ingin bayar hutangnya ke Galang misalnya?"
Sandra kembali tertawa kecil, caranya menutupi mulut dengan telapak tangan membuatnya terlihat sangat elegan. "Dia cuma bilang itu aja, kok. Aku nggak tahu apa yang bikin kamu kelihatan nggak percaya begitu. Aku nggak tahu apa yang kamu khawatirkan, tapi beneran, salah satu alasan kenapa Ahyar kerja sekeras ini aku yakin demi kamu juga."
Ditisya tahu, semestinya ia terharu mendengar penuturan Sandra itu. Jika memang benar Ditrisya sampai dijadikan Ahyar sebuah 'alasan', maka artinya Ahyar menempatkan Ditrisya di posisi istimewa. Namun entah mengapa Ditrisya tidak percaya. Pasalnya, sikap Ahyar malah menunjukkan sebaliknya.
Ahyar seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
***
Ahyar memang pernah bercerita dirinya kini sudah menyewa sebuah apartmen. Dia sudah tinggal di sana sejak dua bulan debutnya. Namun baru sekali ini Ditrisya menginjakkan kakinya di sini.
Selagi menunggu Ahyar pulang, Ditrisya tiap sudut apartemen ini. Memindai tiap detil terkecil yang masih berada dalam jangkauan matanya. Apartemen ini terkesan kosong dan dingin, mungkin lantaran hanya dipakai numpang tidur beberapa jam. Bahkan di lemari pendinginnya hanya ada air mineral dan bir-bir kalengan.
Dulu ia sering berkhayal bisa tinggal di salah satu unit di gedung apartemen yang pencakar langit, naik mobil mewah yang dikemudikan supir pribadi, serta memiliki barang-barang mahal seperti yang sering dipakai orang kaya pada kebanyakan. Di saat semua itu kini tak tampak terlalu mustahil, dalam catatan hubungannya dengan Ahyar baik-baik saja, Ditrisya sama sekali tak ingin berjingkrak-jingkrak kegiarangan seperti yang dulu sering ia bayangkan. Agaknya terlalu munafik jika Ditrisya berkata segala kemewahan ini tidak diinginkannya.
Ditrisya memutuskan tetap di sini menunggu Ahyar, meski tidak tahu jam berapa pastinya lelaki itu akan pulang. Ditrisya yang tadinya hanya berniat nonton TV, lama-lama ketiduran saking nyamannya sofa tempatnya rebahan. Ditambah suhu pendingin ruangan yang sejuk dan efek kelelahan.
Mengetahui Ditrisya sedang menunggunya, Ahyar menyelesaikan syutingnya secepat mungkin. Saat Ahyar tiba, ia mendapati gadis itu ketiduran di sofa. Baguslah, jadi Ahyar punya waktu untum mandi air dingin dan menyegarkan kepala sebelum mulai perdebatan baru dengan Ditrisya.
Ahyar mendekat ke arah Ditrisya, ia menekuk lutut bersimpuh di lantai agar bisa memandangi wajah polos itu sejenak. Gadis ini membuatnya darah tinggi sepanjang hari dengan protes-protesnya yang sinis, sedangkan untuk sekarang tidak banyak hal yang bisa Ahyar lakukan atau katakan.
Ahyar menggerakkan tangannya sangat pelan untuk menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Ditrisya, tanpa ingin membangunkannya. Kalau sedang tidur begini, Ditrisya benar-benar seperti bayi. Semakin lama memandangi wajah Ditrisya, semakin Ahyar sadar bahwa ia sangat merindukannya. Ia rindu berkendara naik motor malam-malam dengan Ditrisya memeluknya dari belakang. Ia rindu makan beralas kertas nasi langsung di atas lantai hanya karena Ditrisya tidak mau boros setitik sabun untuk mencuci piring. Ia rindu canda dan segala pertengkaran mereka, lalu Ditrisya akan mengeluarkan kata-kata manisnya. Jika dipikir-pikir, Ahyar merindukan semuanya.
Tak cukup hanya memandangi, Ahyar menempelkan ringan bibirnya ke kening Ditrisya. Sebisa mungkin tidak memberi tekanan. Diluar dugaan Ahyar, justru embusan napasnya lah yang mengusik tidur Ditrisya.
Mata Ditrisya menyipit, berusaha menyesuaikan dengan suasana terang di sekitar. "Yar? Udah pulang?" gumamnya serak.
"Aku bangungi kamu, ya?"
Ditrisya beringsut bangun dari rebahannya. "Jam berapa sekarang? Aku ketiduran. Aduh aku--" rancauan setelangah sadar Ditrisya terputus oleh ciuman Ahyar di bibirnya yang sangat tiba-tiba. Tubuh Ditrisya yang semula menegang kaget, perlahan-lahan rileks, seiring dengan sapuan lembut bibir Ahyar.
Ditrisya melemaskan seluruh tubuhnya mengikuti naluri. Dapat menyentuh kulit Ahyar dan menghidu aroma tubuhnya lagi, membuatnya lupa bahwa beberapa saat lalu ia masih merasa dirinya dan Ahyar telah menjadi asing.
Ahyar harus melepaskan Ditrisya jika tidak mau ledakan kerindungannya menggiring mereka semakin jauh. Perlahan Ditrisya membuka mata, kedua tangannya masih mencengkeram pundak Ahyar. Keduanya saling menunggu siapa yang mau memecahkan keheningan ini lebih dulu, sayangnya dari detik hingga berubah jadi menit, mereka berdua sama-sama bisu.
"Ahyar."
Ahyar dan Ditrisya tersentak mendengar suara Alvin. Ahyar langsung berdiri, menjauhkan dirinya dari Ditrisya. Sejurus kemudian Alvin muncul di depannya sambil mengacungkan ponsel yang Ahyar kenali sebagai miliknya. "Nih-- oh, kamu di sini?" seruan Alvin, diganti jadi pertanyaan saat menemukan ada orang lain di apartemen Ahyar.
"Ketinggalan di mobil, ya?" Ahyar menyahut ponselnya dari tangan Alvin, sebelum Ditrisya sempat menjawab. "Thanks."
"Lain kali jangan buru-buru. Untung ketinggalannya di mobil, coba kalau di tempat lain," ujar Alvin mengingatkan. Ahyar hanya iya-iya saja, dan Alvin kembali berkata, "ingat, besok jam tujuh udah mesti siap. Malam ini sebaiknya jangan begadang." Lirikan Alvin di penghubung kalimatnya, menyiratkan jelas apa yang dia maksud.
Ahyar sedikit mendorong Alvin menuju pintu, sambil mengiyakan semua perkataannya. Dari tempat Ditrisya duduk, Ditrisya masih bisa mendengar percakapan kedua lelaki itu di dekat pintu.
"Hati-hati. Jangan sampai ada skandal nggak penting. Kalau lo lagi dekat sama cewek, mending jujur dari awal biar gue tahu."
"Iya."
"Lo yakin kalian cuma teman? Mana ada teman cewek masih ada di apartemen cowok jam segini, kalau cuma teman biasa."
"Kita ada urusan sedikit, sebentar lagi dia juga dia pulang."
Sialan. Seharusnya Ditrisya tidak memaksakan menemui Ahyar hari ini juga. Kalau sudah begini, keterlaluan jika Ditrisya masih tidak tahu diri. Ia meraih tasnya dan bergegas pulang.
"Mau ke mana?" Ahyar menghadang langkah Ditrisya.
"Aku mau pulang," ucap Ditrisya pelan. "Tadinya aku cuma mau mampir sebentar, tapi malah ketiduran."
"Kamu tersinggung sama omongan Mas Alvin?" lirih Ahyar pelan. Entah sengaja membuat suaranya lemah atau dia memang sedang lelah. "Kalau kamu pulang sekarang, aku malah nggak akan bisa istirahat. Sini, aku jelasin." Ahyar manarik tangan Ditrisya lembut untuk duduk kembali di sofa.
"Kenapa aku mesti tersinggung? Memang dia tahunya kita cuma teman."
Ahyar menunduk sebentar, kepalanya berat akibat rasa bersalah. Ditatapnya mata Ditrisya dalam. "Aku nggak punya pilihan lain, Di," desah lelaki itu.
"Nggak ada pilihan gimana, Yar? Kamu bilang manajemen kamu nggak melarang pacaran. Kalau pun kamu nggak mau go public dan bukannya aku juga ingin dikenal sebagai pacarnya Ahyar Pahala, tapi apa harus kamu bohong juga ke manajermu?"
"Boleh pacaran itu cuma di atas kertas, Di. Seandainya mereka tahu aku punya pacar, mereka pasti akan suruh aku putus biar bisa fokus. Bukan nggak mungkin kedepannya aku akan ada gimmick lagi dekat sama satu artis, itu juga bagian strategi marketing. Fans lebih senanh melihat aku pacaran sama sesama artis, daripada sama orang biasa. Makanya aku minta banget pengertian kamu, tolong sabar tunggu aku seenggaknya dua tahun."
"Kenapa dua tahun?"
"Aku nggak berencana jadi artis selamanya. Setelah dua tahun, aku akan nikahin kamu."
Ada yang berdesir di d**a Ditrisya saat Ahyar menyinggung kata 'nikah' untuk yang pertama kalinya sepanjang hubungan mereka, diluar pertanyaan pancingan dari Ibu Ditrisya.
"Kamu mau jadi artis cuma dua tahun?" Ditrisya enggan fokus ke kata nikah. Pernikahan tidak akan terjadi, sebelum segala sesuatunya jelas.
"Aku nggak tahu jalan kedepannya gimana. Yang jelas, selama dua tahun ini, aku mau nge-push diri aku cuma buat kerja dan kerja. Setelah itu aku nggak peduli sama image, asal aku udah mengumpulkan uang banyak."
Ahyar mengacak rambut dengan wajah frustrasi. "Aku sebenarnya nggak mau bilang ini, tapi kayaknya kamu nggak percaya sama aku. Jujur, nggak gampang buat aku nggak masukin hati ucapan keluarga kamu. Mereka khawatir aku akan menyusahkan kamu karena aku nggak punya apa-apa untuk dibuktikan. Biar mereka tidak menganggap aku rendah, meski kamu nggak berusaha keras meninggi-ninggikan aku di depan mereka."
Sudah Ditrisya duga ambisi Ahyar tak lepas dari kejadian di rumahnya. Keluarga yang pada awalnya sayang dan menerima kehadirannya dengan tangan terbuka meski kondisi Ahyar saat itu belum punya pekerjaan, ujung-ujungnya meragukan kemampuannya.
"Dua tahun?" Tidak ada yang Ditrisya bisa sanggah, karena setiap orang butuh merasa dihargai.
Ahyar mengedip berat. "Kamu mau nunggu aku, kan? Yang terpenting aku masih milik kamu, nggak peduli anggapan orang lain."
Ditrisya menahan tangis yang sudah dipelupuk mata, Ahyar membelai pipinya lembut. "Ini juga buat masa depan kita, Di. Aku akan dapat banyak uang, nanti kita investasi biar uang itu yang kerja buat kita, bukan lagi kita yang bekerja buat mereka. Jadi kita bisa santai menikmati masa tua, melihat anak-anak kita terjamin hidupnya."
"Aku ngerti. Tapi, Yar. Jangan kerja terlalu keras," cicit Ditrisya susah payah menahan tangis.
Ahyar tersenyum lembut, senyum yang lebih tampak sendu di mata Ditrisya. Tidak mengiyakan atau memberi penjelasan lebih. Ahyar menutup masalah itu dengan pelukan, merendekap tubuh mungil Ditrisya sangat erat, sembari bergumam. "Hmm... aku kangen banget sama Money Slave-ku ini. Maaf kalau aku nggak bisa sering-sering telepon kamu."
Tangan Ditrisya tergerak membalas pelukan Ahyar, diam-diam meresapi wangi dan suhu tubuh Ahyar yang selalu berhasil membuatnya nyaman.
Dua tahun, Ditrisya harus bersabar selama itu.