Entah bagaimana kedepannya Ditrisya dan Ahyar akan menjalani dua tahun mereka dibawah hubungan rahasia. Paling tidak, kini motif serta tujuan Ahyar sudah jelas. Dan yang paling penting, ada jaminan atas penantian Ditrisya yaitu Ahyar akan menikahinya. Meski baru sebatas janji.
Ditrisya terpaksa menginap di apartemen Ahyar karena saat Ditrisya menolak Ahyar antar pulang agar Ahyar bisa istirahat, Ahyar melarang Ditrisya pulang sekalian. Rencanaya Ditrisya akan pulang jam enam pagi, sehingga Alvin tidak akan melihatnya masih berada di sini.
Ditrisya terkesiap saat Ahyar menarik lengannya dalam sekali sentak sehingga Ditrisya terjerembab rebahan di pelukan Ahyar. Ditrisya berusaha melepaskan diri, tapi itu justru membuat kaki Ahyar ditopangkan di atas kakinya seiring dengan pelukan Ahyar makin mengetat. Ditrisya terkurung tidak bisa bergerak.
"Takut banget, sih, aku apa-apain. Tenang aja, nggak dengar tadi Mas Alvin larang aku begadang biar mukaku nggak lesu?" gumam Ahyar dengan mata terpejam.
"Hmm ... iya, sih. Tapi kayaknya bakal lebih nyaman kalau tidur terlentang."
"Ini posisi tidur paling nyaman."
"Tapi akunya yang nggak nyaman. Sesak."
Mata Ahyar membuka lagi hanya untuk melihat keadaan Ditrisya. "Oh, iya juga." Lelaki itu terkekeh kecil sembari mengendurkan pelukannya sehingga Ditrisya punya sedikit ruang gerak. Ditrisya merubah posisi miring berhadapan dari jarak sejengkal dengan wajah Ahyar dan balas memeluk pinggang kekasihnya itu.
"Jadi, apa mulai sekarang aku bebas datang ke sini?"
"Boleh. Tapi tetap harus bilang aku dulu, karena Mas Alvin juga bebas keluar masuk sini."
"Siap. Paling enggak, sekarang aku tahu mesti cari kamu di mana. Kalau mesti beri tahu aku kapan pun kamu ada waktu."
Ahyar mengulas senyum kecil sebelum mengecup kening Ditrisya dan kembali memejamkan mata. "Hmm... kalau kebetulan week end, aku pasti beri tahu kamu."
Ditrisya menghela napas. "Week days pun nggak apa-apa, karena sekarang nganggur." Ditrisya tidak tahan menunggu Ahyar bertanya. Ia benar-benar ingin berkeluh masalah itu padanya.
"Karena nggak bantu-bantu aku lagi?"
Ditrisnya menggeleng karena Ahyar masih memejamkan mata. "Aku kena PHK."
Sontak kedua mata Ahyar terbuka, menuntut Ditrisya mengulanginya. Ditrisya mengangguk sembari meringis miris. "Lucu, ya, habis kamu, sekaranh aku yang jadi pengangguran."
Ahyar menahan napas beberapa panjang, tak menyangka pegawai teladan seperti Ditrisya bisa dipecat. "Sejak kapan? Kenapa baru bilang?"
Karena kamu nggak pernah ngasih aku kesempatan cerita, jawab Ditrisya dalam hati. Sebagai gantinya, ia hanya tersenyum. Seakan-akan ia memang sengaja tidak cerita agar Ahyar tidak perlu mencemaskannya.
"Bagaimana bisa?" tanya Ahyar lagi.
"Banyak banget yang terjadi, kamu yakin mau tahu semuanya? Seingat aku, Mas Alvin larang kamu begadang."
Perkataan Ditisya berhasil menampar Ahyar dengan cara manis. "Aku pasti nggak guna banget buat kamu. Kamu selalu ada buat aku, tapi aku nggak pernah tahu apa masalah yang sedang kamu hadapi," ungkap Ahyar penuh penyesalan. "Bisa dibilang hidup aku sekarang, bukan aku yang kendalikan. Mas Alvin yang ngatur semuanya, ada break sebentar aku pakai istirahat, kalau nggak gitu muka aku kelihatan jelek di kamera. Waktu dan tenaga aku terkuras habis buat pekerjaan ini."
Setelah mendengar ini, apa Ditrisya masih tega menuntut waktu Ahyar juga?
Ahyar kembali menarik napas panjang, lalu mengeratkan pelukannya. "Aku capek banget, Di...," lirihnya. "Aku tahu aku nggak boleh ngeluh karena ini jalan yang aku pilih dengan sadar. Aku minta maaf karena minta kamu menjalani jalan ini bersama aku, dan aku nggak bisa balas semua yang kamu lakukan saat aku jatuh waktu itu."
Ditrisya membelai rahang Ahyar sayang. "Kamu nggak usah pikirin aku, fokus aja ke karir kamu. Dua tahun, kan, Yar? Aku yakin selama itu aku bisa jaga diri sendiri," bisik Ditrisya menenangkan.
Ahyar masih terus menatap mata Ditrisya. Ada peperangan di dalam batinnya, yang satu menuntut agar Ahyar melepaskan Ditrisya dan yang lain bersikukuh untuk mempertahankannya. Keduanya mengharapkan sama, yaitu kebahagiaan Ditrisya.
Tak ada jaminan Ditrisya bahagia jika mereka berpisah, dan dipastikan keputusan itu akan disesali Ahyar seumur hidupnya. Memohongi Ditrisya tak sepenuhnya keinginannya. Selama Ahyar bisa menjaga rahasia ini dengan baik, maka Ditrisya juga akan baik-baik saja. Sehingga Ahyar tak perlu kehilangan sesuatu, untuk mendapatkan sesuatu yang baru.
Dan, Ahyar memutuskan untuk menuntaskan ini sampai akhir tanpa sepengetahuan Ditrisya. Lalu setelah itu Ahyar akan memenuhi semua janji-janjinya.
Hanya sementara, sampai Ahyar bisa mencapai tujuannya. Ahyar tak punya pilihan lain, selain membawa duri dan kapas dalam satu genggaman.
***
Ditrisya meniup api lilin berbentuk angka dua dan tujuh yang tertancap di atas kue bolu pisang gluten free buatan Ibu.
"Nasib, nasib, makin tua bukannya settle malah--" Dhika terpaksa menelan kembali apa yang ingin disuarakan saat sang istri menyikut perutnya.
Wilda tertawa canggung, semata-mata agar semua orang yang duduk melingkari meja makan itu tidak menganggap serius ucapan Dhika. "Selamat ulang tahun, Mbak Tri. Sehat selalu, semoga semua tujuannya tercapai tahun ini."
"Nggak perlu tercapai semua tahun ini. Minimal cepet dapat kerja lagi aja," Ditrisya menawar doa Wilda.
"Hehe iya, Mbak, amin."
Ditrisya menarik napas panjang dan mendesahkannya lewat mulut. Seminggu sudah Ditrisya resmi jadi pengangguran, sudah tak terhitung berapa aplikasi lamaran kerja yang ia sebar ke perusahaan-perusahaan yang sedang membuka lowongan. Sangat sulit mencari kerja untuk perempuan seusianya, kecuali untuk jabatan-jabatan strategis. Sedangkan kualifikasi Ditrisya hanya memenuhi sebagai admin atau staff biasa, dan setiap lowongan untuk posisi-posisi tersebut dibatasi untuk kandidat umur maksimal dua puluh lima tahun.
Beginilah orang kalau maunya main aman aja, tidak pernah membekali diri dengan ilmu atau keahlian lain selain ijazah. Ditrisya kalah saing dengan karyawan-karyawan aktif yang senang tantangan. Dan sekarang Ditrisya bingung bagaimana harus menyambung hidup.
"Udah, lah, nikah aja," Dhika buka suara lagI membuat Ditrisya mendelik tidak tahan ingin menusuknya dengan garpu. "Kenapa ngelihat aku kayak gitu?" tanya Dhika tak tahu diri.
Dhika menatap Ayah, Ibu, dan Wilda bergantian. Mencari dukungan bahwa yang tidak ada yang salah dari ucapannya. "Aku benar, kan? Momen udah pas, umur udah lebih dari cukup, calon udah ada. Terus mau tunggu apa lagi? Eh, tapi ngomong-ngomong, masih sama calon yang itu, Mbak?"
"Diam kamu!"
"Dih, marah. Aku cuma nanya juga," dengus Dhika. "Soalnya belakangan Mbak kelihatan makin kayak jomlo. Aku nikah, pacar Mbak nggak datang. Mbak ulang tahun pun nggak datang juga. Wajar dong, aku tanya, kalian masih pacaran apa udah putus?"
"Sebenarnya ...," suara ragu-ragu Ibu mengalihkan perhatian Ditrisya. "Ibu juga penasaran sama hubungan kalian, Mbak, cuma Ibu nggak enak mau nanya."
"Tuh, kan." Dhika membusungkan d**a bangga.
Ditrisya memejam sesaat. Ia kesal harus menjawab, apalagi menjelaskan segala sesuatu tentang Ahyar. Karena bagaimana pun Ditrisya menjelaskan, mereka akan skeptis dan lagi-lagi menyuruh Ditrisya mempertimbangkan hubunganya dengan Ahyar. Seolah mereka bisa melihat di depan sana, tidak ada takdir Ditrisya dan Ahyar bersama. Di sisi lain, Ditrisya lah satu-satunya orang yang buta tidak bisa melihat itu semua.
"Kami baik-baik aja, Bu. Emang situasinya belum memungkinkan Ahyar ke sini. Kalau pun aku sama Ahyar udah nggak pacaran lagi, aku pasti akan cerita ke Ibu. Selama aku nggak cerita apa-apa, artinya emang nggak ada apa-apa."
"Iya, Ibu ngerti. Ibu cuma khawatir karena dia nggak pernah ke sini lagi."
"Kan--"
"Apa yang dia janjikan ke kamu?" Ayah menyela Dhika dengan suara tenang tapi mengintimidasi. Ayah tidak seperti Ibu yang sering mencemaskan hal dari yang serius sampai yang sepele didasari oleh sesuatu yang beliau sebut naluri. Ayah tidak pernah menunjukkan ketetertarikan terhadap masalah asmara anak-anaknya, dan percaya terhadap pilihan mereka. Sehingga ketika Ayah mulai angkat suara, artinya sesuatu dirasa Ayah sedang tidak baik-baik saja.
Bibir Ditrisya bergetar ditatap sedemikian intens oleh ayahnya. Belum apa-apa ia sudah tahu ini akan membawa ke pembicaraan yang lebih serius.
"Dek, makan kuenya di depan sama istrimu." Ibu mendorong piring pipih lebar itu ke jangkuan Dhika.
"Tapi--"
Wilda lebih cepat tanggap dengan langsung mengangkat piring itu dan mengajak suaminya menyingkir menjauhi meja makan.
"Ayah tanya sama kamu, apa Ahyar menjanjikan sesuatu ke kamu?"
Ditrisya menelan ludah serat. "Ngejanjiin apa?"
"Jadi kamu bertahan sama dia tanpa tahu kedepannya mau gimana?"
"Gini, Mbak," Ibu menengahi. "Ibu nggak akan bicara tentang pernikahan. Tapi kan, yang namanya dua orang menjalin hubungan, pastinya punya tujuan. Ayah sama Ibu, sebagai orang tua cuma khawatir seandainya ternyata kamu membuang-buang waktu, melihat gimana kehidupan Ahyar sekarang."
"Hubungan kami baik-baik aja, kok, Ayah, Ibu." Ditrisya berusaha menjawab setenang mungkin agar mereka percaya. "Ya, walaupun di depan wartawan Ahyar ngakunya belum punya pacar, itu dia lakikan buat ngelindungi privasi aku. Ibu nggak usah ngawatir, aku nggak buang-buang waktu. Ahyar udah janji dua tahun lagi akan nikahin aku."
"Dia janji begitu ke kamu?" tanya Ayah.
Ditrisya mengangguk semangat. "Iya. Enggak terlalu lama, kan? Kalau kataku sih, pas. Lagian aku masih belum berani buat menikah dalam waktu dekat."
"Jangan percaya."
"Eh?" Ditrisya terperanjat kaget mendengar ucapan Ayah. "Mak-sud Ayah apa?" tanyanya takut mendengar kemungkinan terburuk.
"Jangan percaya janji itu, sebelum dia mengatakannya di depan Ayah," tendas Ayah tegas. "Nggak sopan dia! Enak aja main suruh anak gadis orang nunggu dua tahun."
"Ayah ...."
"Kalau dia emang jantan dan serius sama kamu, suruh dia menemui Ayah. Kapanpu Ayah tunggu, Hari apa aja, jam berapa aja, mau jam dua subuh sekalipun. Jadi, jangan pakai alasan sibuk di depan Ayah," lanjut Ayah, sama sekali tidak bisa dibantah.