58 | Enjoy Your New Life

1573 Kata
"Hei! Jangan bengong di tempat orang kerja, dong!" Ditrisya berlonjak kaget saat wajahnya hampir tertampar perangkat lampu sorot yang dibawa dengan susah payah oleh seorang kru. Ditrisya segera minta maaf karena posisinya berdiri memang di tempat orang lalu lalang. Ia segera melipir ke pinggir dan kembali mengedarkan pandang ke sekitar. Ditrisya tidak kaget saat melihat dapur produksi sebuah sinetron pasti akan sebesar dan melibatkan kru dalam jumlah sebanyak ini. Ditrisya tak yakin apa saja tugas dan bagian mereka, tapi semua orang tampak sangat sibuk dan seperti diburu waktu. Wajar saja mengingat apa pengambilan gambar hari ini, harus siap ditayangkan esok atau lusa, setidaknya itulah yang Ditrisya dapat dari hasil basa basinya dengan Alvin. Justru, yang membuat Ditrisya sedikit kaget adalah Ahyar tidak sesibuk itu. Di sela entah dirias, menghafal skript, atau lainnya, baik Ahyar maupun artis lain yang merupakan pemeran utama sinetron ini sekalipun selalu punya waktu untuk sekadar main ponsel. Mereka juga masih punya waktu untuk berkumpul dan bercanda. Lalu bagaimana bisa, sebuah telepon satu kali sehari disinggung Ahyar sebagai sesuatu yang didapat penuh pengorbanan. Seakan-akan telepon itu hanya penting buat Ditrisya seorang saja. Ditrisya tidak tahu Ahyar memang berbakat akting atau dia tipe orang yang cepat belajar. Kemampuan aktingnya. Ditrisya tidak tahu Ahyar memang berbakat akting atau dia tipe orang yang cepat belajar. Kemampuan aktingnya Ditrisya akui cukup bagus untuk ukuran artis dadakan seperti dirinya. Ditrisya melipat tangan di d**a, menonton Ahyar sedang bersiap melakukan pengambilan gambar dengan lawan mainnya. Sesama artis muda juga, tapi secara karir, dia jauh lebih senior daripada Ahyar. Mereka diceritakan sebagai pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang, Ditrisya pun menoleh. Ia mendapati Alvin berdiri di belakangnya dan memberi isyarat agar Ditrisya mundur mengikutinya beberapa langkah ke belakang. "Boleh minta tolong, nggak?" tanya Alvin memulai. "Aku ada keperluan mendadak, nih. Kalau sekitar dua jam kedepan kamu nggak ada keperluan, bisa nggak kamu di sini sampai aku datang? Buat jaga-jaga aja kalau Ahyar butuh sesuatu, karena asisten yang biasa ngurus dia kebetulan lagi sakit hari ini." "Ngurus gimana maksudnya?" Ditrisya menatap Alvin tak mengerti. Ia takut malah mengacaukan pekerjaan Alvin dan menganggu Ahyar. "Ya, stand by di sekitar Ahyar aja, sih. Nggak mesti gimana-gimana." Ditrisya lantas mengangguk tanpa pikir panjang. Lagipula, ia memang belum berniat pulang dan ia melakukan ini untuk Ahyar. Alvin menghela napas lega dan berterima kasih dibarengi dengan janji bahwa dia akan kembali secepatnya. Selepas Alvin pergi, Ditrisya kembali mencari posisi paling dekat untuk menonton syuting Ahyar. "Cut!" teriak sang sutradara. Plak! Si gadis menampar pipi Ahyar, Ahyar memalingkan wajah dramatis seolah-olah tamparan itu sungguhan. Si aktris melakukan perannya dengan sangat baik. Air matanya tampak berderaian natural saat mencecar Ahyar dengan kalimat-kalimat puitis menyayat hati. Mereka melakukan dua kali kesalahan, sebelum pada akhirnya sutradara memberi aba-aba berhenti setelah merasa mendapat gambar yang diinginkannya. Melihat artis lawan main Ahyar langsung dihampiri asistennya dan diberi minuman, Ditrisya merasa harus melakukan sama. Ia melihat cooler berisi botol-botol air mineral, ia mengambilnya satu dan membawanya pada Ahyar. "Minum dulu," ujarnya sembari memutar penutup botol dan menyodorkannya lada Ahyar. Rahang Ahyar tampak mengetat. Ditrisya tersenyum miring, puas sekali melihat Ahyar tampak ketakutan orang-orang melihat mereka berinteraksi. "Aku akui kamu lumayan keren." Ahyar tidak menanggapi, ia minum seteguk air itu lalu mengembalikannya pada Ditrisya, tepat saat sutradara menyuruh pemain bersiap-siap lagi untuk adegan selanjutnya. Ditrisya lantas mundur kembali ke posisi sebelumnya. Beberapa saat kemudian, adegan terakhir berhasil dibungkus. Ahyar langsung pergi setelah saling memuji dengan lawan mainnnya. Lelaki itu berjalan lurus ke arah Ditrisya, tapi pangan ke arah lainn "Ikut aku," bisik Ahyar di depan Ditrisya lalu berjalan mendahuluinya. Tanpa beban, Ditrisya pun mengikutinya. Ahyar menggiringnya masuk ke dalam mobil. "Udah, kan?" ujarnya tepat saat Ditrisya baru memasukkan sebagian tubuhnya. Dengan tenang, Ditrisya duduk dan menutup pintu mobil. Ahyar kembali mencecar, "kamu udah tahu tempat aku kerja. Kenapa kamu masih di sini?" "Rencananya aku mau tetap di sini sampai kamu selesai." "Apa?" "Emangnya nggak boleh?" "Kamu di sini juga mau ngapain? Aku selesainya juga masih malam. Kamu besok bukannya mesti kerja." "Enggak," timpal Ditrisya cepat. Ia berharap Ahyar akan tanya kenapa. "Ini hari apa, sih?" gumamnya, kemudian memastikannya sendiri dengan melihat kalender di ponsel. "Oh, sabtu." Ditrisya mengeluarkan mengembuskan napas pendek dari celah bibirnya yang kehabisan kata-kata. Sepertinya, segala sesuatu tentang Ditrisya tak lagi menarik di matanya. "Oke, meskipun besok hari minggu, tetap aja kamu nggak bisa di sini, Di. Pulang, ya? Aku janji secepatnya akan luangin waktu seharian buat kamu. Aku juga capek sebenarnya kerja tanpa henti begini, tapi aku mesti memanfaatkan semua kesempatan yang ada, kan?" "Perasaan aku nggak melakukan sesuatu yang bikin pekerjaan kalian terganggu, deh. Kalau kamu ingin aku pergi, apa artinya kehadian aku bikin kamu nggak nyaman?" Ahyar memejam menahankan mata sesaat, saat dia menatap Ditrisya lagi, entah mengapa Ditrisya sakit hati. Tok! Tok! Ketukan kaca jendela dari luar mengintetupsi, Ahyar menurunkan kaca di sebelahnya dan seorang staff memberitahu bahwa Ahyar dicari oleh sutradara. Ahyar mengangguk mengerti, kemudian meminta waktu lima menit lagi. Ditrisya cukup tahu diri untuk tidak memaksa tetap di sini jika keberadannya tidak diinginkan. "Kamu bisa pergi sekarang. Jangan buang-buang lima menitmu yang berharga cuma buat suruh aku pulang," ujar Ditrisya dengan suara rendah tanpa melepaskan tatapannya dari mata Ahyar. "Aku akan pulang, jadi kamu bisa tenang sekarang." Tepat saat Ditrisya membuka pintu, tangannya ditahan oleh Ahyar. Ahyar membuang napas gusar dan menatapnya sarat akan permohonan. Permohonan apa, Ditrisya sama sekali tidak tahu. Sebagaimana Ditrisya tidak tahu, mengapa Ahyar sangat tidak ingin ia lama-lama di sini. "Aku tahu kamu marah, Di. Tapi ini bukan tempat yang tepat buat kita ngobrol banyak. Aku udah jelasin situasinya, kan? Kita nggak boleh kelihatan bareng dulu." "Benar, kamu udah jelasin. Tapi aku nggak ngerti. Bukannya kamu udah memperkenalkan aku sebagai teman, terus masalahnya di mana?" "Di--" "Oke, aku pulang. Nikmati hidup barumu." "Aku nggak mengubah hidupku demi diri aku sendiri," timpal Ahyar tak kalah dingin. Dia masih menahan tangan Ditrisya menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanannya mencari-cari sesuatu di dalam tasnya yang tergetelak di kursi mobil. Ahyar mengeluarkan sebuah kartu dari tas itu, lalu menaruhnya di telapak tangan Ditrisya. "Ini kartu akses apartemen aku. Sebaiknya kamu tunggu aku dengan nyaman di sana di sana, daripada di sini." Ditrisya mendengus. "Maksudnya, biar kamu yang nyaman karena nggak ada aku?" "Ditrisya...," geram Ahyar menahan emosi. Ditrisya menembalikan kartu akses itu pada si empunya. "Daripada meladeni aku, lebih baik kamu istirahat. Kapan pun kamu punya waktu luang, kamu tahu kemana mesti cari aku." Tanpa menoleh pada Ahyar lagi, Ditrisya keluar dari mobil. Namun, baru saja Ditrisya keluar. Seseorang menyapanya ceria, "Ditrisya?" Ditrisya pun mencari sumber suara. Dari jarak sekitar lima meter, Sandra berjalan cepat menghampirinya. Wajahnya terlihat tak menyangka sekaligus senang melihat Ditrisya di sini. Sehingga Ditrisya pun memaksakan diri tersenyum, meski perasaannya sedang berantakan. "Hai, kita udah lama banget nggak ketemu. Kamu apa kabar?" Sandra melanjutkan sapaan dengan pelukan cium pipi kiri dan kanan. "Aku baik," dusta Ditrisya menghargai perhatian Sandra. Setidaknya Sandra menanyakan apa yang tidak pernah Ahyar tanyakan. "Kamu sendiri apa kabar? Pasti lagi sama sibuknya kayak Ahyar, kan? Secara kalian debut di iklan yang sama." Sandra tersenyum masam. "Debut sih, boleh barengan. Tapi Ahyar yang melaju paling kencang." Sandra melempar pandang pada Ahyar yang sudah menyusul keluar dan kini berdiri di belakang Ditrisya. "Nggak tahu, tuh, si Ahyar nggak mau bagi-bagi rahasianya bisa langsung dapat proyek-proyek besar. Sementara aku masih gini-gini aja," keluh Sandra. "Kok bisa ke sini, San?" tanya Ahyar menyela. "Gue habis ketemu sama Mas Andy. Disuruh samperin dia ke sini." Ahyar mengangguk paham, sementara Ditrisya tidak minat ingin tahu lebih. "Mbak, Mbak ke mana aja. Dicariin dari tadi." "Hah? Saya?" Ditrisya menunjuk hidungnya sendiri saat seorang kru tahu-tahu menujunya. "Iya. Asistennya, Kak Ahyar, kan? Tadi Mas Alvin bilang kalau ada apa-apa disuruh cari Mbak." Ah, jadi ini maksud dari bantuan yang diminta Alvin tadi. Sandra bertanya tak mengerti, "lho, kamu jadi asistennya Ahyar sekarang?" Si kru yang tampak buru-buru itu berdecak kesal melihat raut bingung ketiga orang itu. "Jadi Mbaknya ini asistennya Kak Ahyar apa bukan, sih?" "Cari asisten saya ada apa emangnya?" Ahyar menengahi tepat saat Ditrisya akan menganggukkan kepala. Bagaimana pun juga, ia terlanjur janji pada Alvin. "Itu lho, Kak, tadi Mas Alvin titip pesan kalau barang dari sponsor buat Kak Ahyar sudah datang, aku disuruh bilang ke asisten Kakak yang rambutnya pendek." "Saya mesti ambil diman--" "Kamu bukan asisten aku. Pulang aja." "Tapi aku udah janji sama Mas Alvin." "Enggak, Ditrisya!" larang Ahyar tegas. Usai membuat Ditrisya tak berkutik, lelaki itu memalingkan wajah ke kru tersebut. "Saya minta tolong simpankan sebentar, ya, abis ini saya sendiri yang ambil." "Ehm, tapi nggak bisa lama-lama ya, Kak. Soalnya saya juga masih banyak kerjaan." Ahyar mengangguk menyanggupi, dan kru itu pun berlari-lari kecil pergi. Ahyar melirik sekitar, memastikan orang-orang di sekitar tidak ada yang memperhatikan mereka bertiga. Ahyar sedikit membalik tubuh Ditrisya hingga kini mereka berdiri saling berhadapan. "Masih mikir ini buat kenyamanan aku sendiri?" gumam Ahyar namun lebih terdengsr seperti desisan tertahan. "Iya, emang benar aku minta kamu pergi biar aku nyaman, karena aku nggak akan suka lihat kamu melakukan sesuatu yang nggak bukan tugasnya." Kembali Ahyar memaksa Ditrisya mengenggam kartu akses apartemennya. "Nurut ya, Di? Kali ini aja." Ditrisya memalingkan muka dengan mata berkaca-kaca, sambil mengenggam kuat benda persegi pipih di tangannya. Ia seperti dipermainkan oleh prasangkanya sendiri dengan sempat berpikir yang tidak-tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN