"Sisil- nya mana?" tanya Ahyar pada salah satu dari dua orang karyawan Sisil yang menyerahkan box rendang dan bahan lainnya. Sedikit tidak seperti biasanya karena sebelum-sebelumnya, Sisil selalu menyempatkan diri menyapa Ahyar. Entah berhubungan atau tidak, Ahyar menduga ini ada hubungannya dengan obrolan mereka semalam yang tensinya sedikit tinggi. Maka dari itu Ahyar sangat berharap bertemu Ayu pagi ini untuk menetralisir ketegangan yang sudah terjadi.
Semalam mereka berpisah dalam keadaan sama-sama kesal. Penegasan perasaannya terhadap Ditrisya jelas membuat Sisil semakin kesal, namun Ahyar harus mengatakan itu agar Sisil berhenti mengatakan hal-hal buruk tentang Ditrisya dan sebagai tema menghormati pilihan Ahyar.
"Belum datang, Chef bilang akan datang siangan." Ahyar bergumam mengerti, "Chef juga bilang, besok nggak bisa masok bahan buat Mas Ahyar lagi."
"Maksudnya?" Tidak ada yang salah dengan pendengaran Ahyar atau otaknya terlalu lambat untuk menjabarkan. Ahyar hanya ingin memastikan.
"Saya kurang tahu."
"Ini buat besok aja, kan?"
"Ehm ... belum ada omong-omongan ya, Mas?" tanya karyawan itu seperti menahan diri mengatakan sesuatu.
"Omong- omongan apa?"
"Coba Mas tanya sendiri, deh, sama Chef Sisil. Soalnya semalam di grup dia bilang, kita nggak perlu nyiapin produknya Mas Ahyar lagi mulai besok."
"Hah?" Ahyar berdengung bingung.
Karyawan itu enggan menjawab tanda tanya Ahyar lebih banyak lagi, dia segera pergi setelah berkata banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan.
Apa-apaan ini? Ahyar menarik napas panjang, berusaha menjernihkan pikiran. Karyawan tadi mungkin hanya salah tangkap. Tidak mungkin Sisil membatalkan kerja sama tanpa mengonfirmasi pada Ahyar lebih dulu.
Ahyar sebenarnya ingin langsung menghubungi Sisil, tetapi ia tidak punya banyak waktu. Ia harus segera menyiapkan dagangan. Meski tempatnya berpindah-pindah, Ahyar ingin disiplin buka di jam yang sama setiap harinya.
Fandy sudah menunggu di tempat mereka akan buka. Mereka mulai terbiasa dengan segalanya, mereka tahu mana yang harus disentuh dulu, dan mana yang bisa disisihkan dulu. Ahyar sedang memasang standing banner, ketika ponselnya di saku bergetar. Sebuah telepon masuk dari nomor Sisil, seketika Ahyar langsung menjawabnya.
***
Oh, jadi begini rasanya patah hati?
Kosong, seperti ada yang hilang. Dan yang paling menyesakkan, Ditrisya kesulitan mengendalikan keinginan untuk melihat Ahyar. Sekadar untuk mencaritahu apakah dia sama kacaunya seperti dirinya.
Pasca resmi putus dan Ahyar yang tampak seolah lebih terluka daripada dirinya, Ditrisya merasa kosong. Namun, ia tahu ini fase yang harus ia lewati paling tidak beberapa hari. Setelah itu, Ditrisya akan bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa.
Ditrisya tahu ini konyol, dan ia pun malu mengakui jika selama tiga hari ini Ditrisya selalu lewat di jalan Ahyar buka stan, bahkan meski itu bukan jalur searah rumahnya. Kenapa sampai tiga hari berturut-turut? Karena di hari pertama Ditrisya tidak melihat mobil kuliner Ahyar, pun dengan hari kedua dan ketiga.
Apa mungkin Ahyar pindah ke lokasi baru?
Ditrisya melewati kawasan itu dengan perasaan penasaran. Setahunya di lokasi ini lah dagangan Ahyar paling ramai pembeli. Maka begitu tiba di rumah, Ditrisya langsung mengecek akun sosial media Burger Biru. Postingan terakhir di akun itu menginfokan bahwa Burger Biru tidak beroperasi selama waktu yang belum ditentukan.
Deg! Ditrisya tiba-tiba terpikir satu hal. Ini kedengarannya mungkin sedikit terlalu percaya diri, tolong, jangan bilang Burger Biru tidak berjualan lagi berhubungan dengan putusnya ia dengan Ahyar. Pasalnya Ahyar kerap mengatakan bahwa Ditrisya lah yang membuatnya ingin berbisnis, sementara kondisi sekarang, mereka sudah tidak ada hubungan.
Dasar bodoh. Apa pun alasannya, Ahyar benar-benar bodoh. Bagaimana bisa dia libur jualan di saat sudah mulai banyak pelanggan.
Ditrisya mencoba menghubungi Ahyar beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Kuping Ditrisya sampai pengang dengan bunyi 'tut' konstan, seolah Ahyar memang sengaja tidak mau mengangkat telepn darinya.
Ketika Ditrisya hendak menyambungkan teleponnya lagi, sebuah panggilan telepon lain menginterupsi. Nama dan foto Vivi terpampang memenuhi layar. Astaga, kenapa harus sekarang? Ditrisya harap Vivi meneleponnya untuk hal penting.
"Halo? Kenapa, Vi?" tanyanya tanpa ingin berbasa-basi.
"Lo putus sama Ahyar?" Di seberang sana, sepwrtinya Vivi pun tidak berniat berbasa-basi.
Ditrisya mengembuskan napas. "Ahyar udah cerita?"
"Dia cuma bilang lo minta putus. Sekarang gue mau tanya sama lo, kalian putusnya kenapa?"
"Ya ..., ya karena udah nggak cocok aja." Alasan putusnya terlalu personal untuk Ditrisya bagi-bagi, terlebih belum tentu Vivi atau siapa pun yang mendengar akan bisa mengerti. Bisa-bisa malah berakhir dengan judgmental berupa tanggapan, 'halah masalah gitu doang'.
"Karena nggak cocok atau karena Sisil?"
Ditrisya terkesiap. Sudah sejauh apa maa Ahyar cerita pada Vivi? Dan tidak, terlalu 'gitu doang' jika Ditrisya mengakui bahwa sumber dari keraguannya terhadap Ahyar memang lah bermula dari Sisil.
"Gu--"
"Kok lo tega, sih, putusin Ahyar di saat keadaan dia lagi begini? Gue kira, lo beneran sayang sama Ahyar."
Ditrisya mengerutkan kening bingung. Menurutnya keadaan Ahyar saat ini sangat jauh lebih baik dari sebelumnya. Bisnisnya sudah mulai dikenal dan penjualan meningkat sedikit demi sedikit setiap harinya, Ahyar sudah tahu cara mengelola uang dan memilih memilah mana yang mesti diprioritaskan.
"Emangnya Ahyar kenapa?" tanya Ditrisya takut-takut. Mungkin saja ada kaitannya dengan kenapa Ahyar libur sampai batas tak ditentukan.
"Lo nggak tahu apa yang Sisil lakukan ke Ahyar?"
"Nggak mungkin sesuatu yang jahat, kan? Sisil lah yang banyak membantu Ahyar. Justru gue yang nggak pernah bantu apa-apa."
"Lo sama aja naifnya kayak Ahyar. Justru karena dia terlalu banyak bantu dan Ahyar terlalu percaya, makanya dia merasa hidup Ahyar ada di tangan dia," sergah Vivi terdengar kesal.
Alam bawah sadar Ditrisya makin kencang memberi sinyal bahwa ada yang tidak beres. "Apa yang terjadi, Vi?"
Vivi menghela napas panjang sebelum berkata, "lo kesini aja, deh. Gue kirim alamatnya. Lihat sendiri keadaan Ahyar gimana."
***
Ditrisya menghentikan langkah kakinya di atas lantai batas antara dapur dengan ruang tengah apartemen Galang. Ditrisya terpaku menatap sosok yang tengah memunggunginya itu, dia nampak serius mengaduk sesuatu di dalam wajan di atas kompor listrik.
Ditrisya menahan diri untuk tak menangis, teringat akan obrolan singkatnya dengan Vivi, saat Vivi menjemputnya di lobby apartemen.
"Ahyar masak rendang?"
Vivi mengangguk. Sebelumnya Vivi minta maaf, dia tidak memberitahu Ahyar tentang kedatangannya karena dia tahu Ahyar sengaja tidak menjawab telepon Ditrisya. Vivi merasa Ditrisya harus melihat apa yang Ahyar lakukan saat ini. "Iya. Kan, Sisil mutusin kerjasama mereka sepihak. Dia nggak mau menyuplai rendang, sama semuanya lagi. Jadi Ahyar nyoba-nyoba buat sendiri pakai bumbu giling yang dia beli di pasar sama ada bumbu instan juga."
"Sisil memutuskan kerjasama? Tapi kenapa?"
"Lo nggak tahu?" tanya Vivi balik.
Ditrisya hanya bisa menggeleng pelan, sembari menatap Vivi penuh permohonan agar diberitahu.
Vivi menghela napas dan mengembuskannya panjang, perempuan cantik itu tersenyum miris. "Ahyar milih lo, Di."
"Maksudnya apa?"
"Ahyar lebih milih mengambil resiko terburuk, buat mempertahankan hal terbaik yang dalam hidup dia." Kerutan di kening Ditrisya makin rumit. Vivi memberi senyuman lagi. "Dia milih lo, Ditrisya"
to be continued