Sesaat Ahyar tercengung menatap Ditrista tak percaya. "Kita akan balik lagi ke pembahasan itu, Di?"
"Kita belum pernah membahasnya. Kamu hanya bilang, aku berarti buat kamu. Setelah aku pikir-pikir, 'berarti' itu punya makna luas. Kamu mungkin cuma senang keluarga aku menerima kamu, kamu tersentuh sama makanan yang selalu Ibu titipkan. Contoh lain seperti Sisil misalnya? Kamu menganggap dia berarti karena dia pemasok bahan utama produk jualan kamu."
"Apa aku memperlakukan kamu kayak aku memperlakukan Sisil?"
"Di depan aku, enggak."
Hanya dengusan udara yang keluar dari celah bibir Ahyar, lelaki itu dibuat tidak bisa berkata-kata dengan apa yang didengarnya barusan. "Jadi intinya kamu mau bilang kalau kamu nggak percaya sama aku setelah semua yang kita lewati bersama?"
"Aku cuma perlu penegasan?"
Sekarang Ahyar mengangguk paham. "Aku nggak tahu bagian mana yang kurang jelas, dan kenapa tiba-tiba kamu merasa nggak jelas. Terserah kamu. Kalau sampai sekarang kamu masih ragu sama aku, mungkin sejak awal kamu lah yang nggak pernah berusaha ingin ngerti aku?"
Mata Ditrisya melebar tak terima.
"Kayaknya kita lagi sama-sama capek dan bingung. Kamu nggak puas sama aku, dan ada nggak lihat ada yang harus dipermasalahkan. Sementara ini aku nggak akan ganggu kamu."
"Apa maksudnya? Kamu mau kita putus?"
"Kita butuh jeda. Karena jujur aja, Di. Aku sedikit ... kecewa."
***
Ditrisya tidak menghitung pasti berapa detik yang ia butuhkan untuk mencerna semuanya. Ada beberapa bagian yang tidak bisa ia terima. Pertama, Ahyar menganggap Ditrisya tidak pernah berusaha mengerti dia. Kedua, Ahyar merasa Ditrisya lah sumber masalah mereka. Yang ketiga, Ahyar lebih memilih break daripada mengatakan perasaannya dengan satu kata, ya atau tidak, untuk menjawab pertanyaan awal Ditrisya. Dan yang terakhir, Ahyar kecewa padanya?
Jika sudah begini, tidak ada artinya lagi Ditrisya duduk berhadapan dengannya di sini. Ditrisya menyambar kunci motornya yang diletakkan Ahyar di atas meja dan meninggalkannya tanpa satu patah kata.
Ditrisya tahu, Ahyar mengikutinya dari belakang setelah membayar tagihan makanannya.
"Biar aku antar kamu pulang, Di."
Ditrisya berdecih. Perhatian-perhatian kecil semacam ini lah yang membuat perempuan mudah salah paham.
"Mana kuncinya, biar aku yang setir," ujar Ahyar, memotong langkah Ditrisya.
"Nggak usah. Kamu bilang nggak akan ganggu aku. Kamu nggak seharusnya masih bersikap sok baik di depan orang yang udah bikin kamu kecewa." Ditrisya menyamping melewati tubuh Ahyar. Setelah itu, Ditrisya tidak mendengar langkahnya lagi.
Ditrisya mencapai motornya. Seorang tukang parkir sudah menunggunya, dengan kesal Ditrisya merogoh semua kantong, mencari tiket parkir. Saat Ditrisya sedang mengubek isi tasnya, Ahyar menyodorkan potongan kertas kecil yang ia cari-cari itu ke tukang parkir. Dia juga sekalian membayarnya.
Ditisya sangat kesal dan marah, sampai-sampai niatnya untuk meritsleting tote bag-nya, malah membuat tas itu lolos dari pegangan dan berjatuhan.
"Lho, Mbak, pelan-pelan."
Ditrisya berdecak sebal pada pada dirinya sendiri, tanpa menghiraukan tukang parkir yang langsung pergi setelah diberi uang.
Ia urung berjongkok memungut barang-barangnya, lantaran Ahyar sudah lebih dulu melakukannya. Kemarahan Ditrisya naik ke ubun-ubun melihat lelaki ini kembali bertingkah sok baik. "Kenapa nggak diakhiri sekarang aja?" kata Ditrisya. Jika jeli, siapa pun akan mendengar ada getaran di suaranya.
"Aku nggak lihat ada beda antara putus sama break. Di masa break itu, aku yakin kita cuma akan cari-cari alasan kenapa hubungan ini nggak perlu dilanjut."
Ahyar tetap tenang mengumpulkan barang-barang Ditrisya ke dalam tas, seolah ucapan Ditrisya tidak mempengaruhinya.
"Seandainya kamu diminta milih antara aku atau Sisil, kamu lebih akan milih dia dengan alasan bisnis, kan?"
Perlahan Ahyar berdiri dan menyodorkan tas Ditrisya. "Kamu nggak akan ngomong begitu, seandainya kamu tenang dan mau dengar apa yang ingin aku ceritakan."
***
Malam Sebelumnya
Ahyar menatap layar ponselnya bingung, ponsel Ditrisya sudah tidak aktif bahkan sebelum semenit sambungan terputus. Ada apa lagi dengan Ditrisya? Ahyar merasa mereka tidak punya masalah, kecuali ia tak sengaja membentak Ditrisya di depan pelanggan lantaran menjatuhkan gelas minuman. Tapi sungguh itu bukan karena Ahyar benar-benar marah, ia hanya terbawa emosi sesaat saja.
"Kenapa, Yar?" tanya Sisil saat Ahyar menyusulnya ke dapur sambil mengutak-atik ponsel dengan tampang bingung.
Ahyar menggeleng sembari meletakkan ponselnya di meja. "Nggak papa, biasa, cewek," jawab Ahyar, merasa tak perlu menjelaskan lebih. "Mungkin lagi PMS."
Sisil ber-oh panjang, "Dia sering ya marah-marah nggak jelas gitu?"
"Ya enggak, lah. Kalau dia marah, pasti ada alasan jelas."
"Masa, sih? Buktinya barusan kamu kelihatan bingung nggak tahu dia marah kenapa."
Ahyar tertawa kecil, menyanggah pandangan Sisil, "Enggak, Sil. Ditrisya orangnya paling santai, nggak pernah ribet nuntut ini itu. Kecuali, dia bakal marah besar kalau gue ngeluh capek padahal badan gue masih kelihatan segar karena sebelumnya nggak ngelakuin apa-apa."
"Kamu serius sama dia?" Sisil mengeluarkan pertanyaan yang sudah terpendam lama.
"Maksudnya serius gimana dulu, nih? Nikah?" Sisil mengangguk ragu, diam-diam mempersiapkan diri mendengarkan apapun jawaban Ahyar. Ahyar tertawa lagi, "Dalam waktu dekat mungkin belum. Sebenarnya, kami bahkan belum pernah bahas serius. Cuma ya, gue harap itu bakal terjadi suatu hari nanti."
"Jadi lo punya tujuan nikahin dia?"
"Yang namanya hubungan serius, arahnya pasti ke sana, kan? Tapi itu setelah gue udah bisa beli rumah walaupun kredit, mobil, sama tabungan yang cukup. Ditrisya nggak mau nikah sebelum gue punya semua itu katanya," jawab Ahyar setengah bercanda. Ia tidak yakin Ditrisya benar-benar masih mengharapkan semua itu dari laki-laki, ketika kenyataannya Ditrisya mau berpacaran dengan Ahyar yang saat itu masih serba belum jelas masa depannya. Hanya saja, sebagai seorang laki-laki, Ahyar tidak mungkin meminta anak gadis orang dengan tangan kosong. Dan Ahyar tidak akan pernah menempatkan istrinya kelak dalam kesengsaraan. Setidaknya, itu lah yang ia inginkan dan sedang upayakan.
"Itu, kan, bisa dikejar sambil jalan."
"Enggak buat dia. Eh, mana menu satunya?" Ahyar mengintip sup kental di dalam panci kecil yang tengah dimasak di atas api kecil.
"Matre juga cewek lo ternyata."
Ahyar tertawa, menganggap ucapan Sisil hanyalah candaan sarkastik. "Dia sendiri sadar, kok," jawab Ahyar sekenanya. "Ini apa, sih, Sil? Gue baru tahu ada makanan Indonesia kayak gini." Ahyar berusaha menggiring Sisil ke masakannya agar mereka bisa cepat-cepat pulang. Ia tidak terlalu suka membicarakan Ditrisya dengan Sisil karena tahu Sisil cenderung dingin terhadap Ditrisya, Ahyar pikir itu hanya karena mereka dari lingkungan pergaulan berbeda.
"Terus kenapa lo masih mau sama dia? Banyak banget kali, Yar, cewek yang mau nerima lo apa adanya. Cewek lo aja yang nggak tahu diri."
"Ya nggak papa juga, Sil. Kalau gue sukses, yang paling besar kena dampaknya ya diri gue sendiri. Jujur aja nih, gue kepikiran berbisnis juga karena dia."
"Ya, iya lah, karena kalau lo sukses, dia yang bakal nguasai semua harta lo."
Ahyar tertawa garing. "Wow, lo udah mikir sejauh itu? Gue aja baru berani mikir kapan bisa balikin uang Galang yang gue pinjam."
"Tanpa dipikir, udah terlihat jelas tujuan dia. Menurut gue, lo terlanjur kagum sama personality dia yang beda dari cewek-cewek lo sebelumnya."
Ahyar menghela napas dan menatap Sisil lagi, akhirnya memberi perhatian penuh pada Sisil. Dua orang perempuan sewot ketika membicarakan satu sama lain, Ahyar mencium ada sesuatu yang terjadi di belakangnya. "Ada apa, Sil? Lo punya masalah sama Ditrisya?"
"Mungkin karena gue nggak suka lo dekat sama dia," ucap Sisil terus terang yang sama sekali tidak Ahyar sangka-sangka.
Ahyar menegakkan badan yang sebelumnya setengah bersandar di meja, menjadi lurus berhadapan dengan Sisil. "Gue dekat dengan siapa, itu sepenuhnya urusan gue. Jadi, gue nggak harus mikirin omongan lo barusan, kan?" Sama halnya Sisil berhak tidak suka siapa saja, Ahyar pun berhak menentukan siapa yang ia suka dan tidak. Pendapat Sisil sama sekali tidak penting baginya.
Sorot Sisil berkilat tersinggung. "Dulu lo nggak kayak gini sama gue, Yar. Setelah semua bantuan yang udah gue kasih, dan lo udah dapat apa yang lo mau, lo nggak anggap gue ada?"
"Kenapa lo jadi bawa-bawa soal bantuan?" Inilah kenapa Ahyar sangat menjaga hubungannya dengan Sisil, karena ia sadar ia banyak mendapat kemudahan darinya. Itu semata-mata demi rasa terima kasih. Namun, jika Sisil mulai menyeretnya menjadi semacam hutang budi, Ahyar rasa itu berlebihan. Terlebih untuk masalah sesepele ketidaksukaan dia pada Ditrisya yang mana itu sifatnya subjektif. Ditrisya tidak melakukan kejahatan yang menyakiti atau merugikannya.
Ahyar melanjutkan, "oke, gue nggak akan memungkiri lo banyak bantu dan mengajari gue. Bisnis gue nggak akan berjalan selancar ini tanpa bantuan lo, mana mungkin gue nggak menganggap lo ada, Sil? Terus, buat kesempatan magang dan supply bahan baku, gue kira, gue melakukan itu nggak cuma-cuma, kan?"
Sisil mendengus seolah tak puas dengan tanggapan Ahyar. "Jadi begitu lo menganggap gue?"
"Ini sebenarnya yang jadi masalah tuh apa?" Ahyar sudah cukup lelah, ia tak punya tenaga lagi untuk secara khusus memikirkan ketidakjelasan cara berpikir makhluk berjenis perempuan. "Lo nggak suka sama Ditrisya? Oke, itu hak lo. Lo nggak bisa maksa gue buat ikutan benci sama dia, karena gue juga punya pilihan sama, menyukai dia atau membenci dia."
"Lo nggak mungkin menyukai dia!"
"Emang!" Ahyar menyambar. "Karena gue mencintai dia."