Setelah Ditrisya minta putus tanpa alasan jelas, Ahyar kira tidak ada hal lain yang lebih menggelikan daripada itu. Ahyar hanya bisa tertawa sendiri ketika Sisil memberitahu bahwa dia tidak bisa melanjutkan kerjasama mereka dengan alasan, atau lebih tepatnya anggapan bahwa Ahyar tidak menghargai dirinya lagi. Ahyar bingung, Sisil minta dihargai bagaimana? Ahyar selalu berusaha bersikap baik padanya. Kalau itu lantaran Ahyar mengatakan cinta pada orang yang Sisil tidak suka, maka Sisil membuat Ahyar kecewa. Harusnya Sisil bisa lebih profesional dari ini.
Dan bodohnya, Ahyar sangat mempercayai Sisil atas nama 'sahabat'. Terang saja Sisil bisa mengakhiri kerja sama secara sepihak lantaran sebelumnya memang tidak ada perjanjian hitam di atas putih. Kebodohab Ahyar lainnya, ia terlalu mengandalkan Sisil sepenuhnya. Ia hanya fokus promosi dan berjualan, tanpa mencoba mulai memikirkan bagaimana menyediakan bahan utama sendiri. Tak heran, sekarang Ahyar kalang kabut seperti anak itik kehilangan induknya.
Ahyar mengambil sendok kecil, menyendok sedikit bumbu kecokelatan rendang di wajannya. Meniupnya beberapa kali, lalu mencicipinya. Lidahnya langsung menolak, Ahyar mengumpat sambil membanting sendoknya ke dalam kitchen sink. Itu percobaan ketiganya dalam hari ini. Dengan kesal Ahyar mematikan kompor dan mengangkat gagang wajan, saat ia hendak melemparkan wajan itu ke dalam kitchen sink menyusul sendok dan dua teflon lain, seseorang menahan tangannya. Ahyar menelusuri tangan kecil itu itu menggunakan matanya, naik ke atas dan ia menemukan wajah Ditrisya.
"Aku juga mau tahu rasanya." Saat Ditrisya mengambil alih gagang wajan anti gores itu dari tangannya, Ahyar tak melawan. Pria itu bertanya-tanya bagaimana Ditrisya ada di sini, dan benarkah yang Ahyar lihat di wajah Ditrisya saat ini adalah senyuman? Karena yang terakhir Ahyar ingat, gadis ini menatapnya tajam penuh kecurigaan. Seolah-olah Ahyar adalah pembohong ulung.
"Sedikit garam pasti lebih enak," gumam Ditrisya setelah mencicipi sedikit, ia menggeser tubuh Ahyar dan meletakkan wajannya kembali ke atas kompor. "Ini masih terlalu berkuah. Oh, ya, ngomong-ngomong gimana cara menghidupkan kompornya?" tanya Ditrisya tanpa malu, ia menoleh dengan cengiran polos.
Tanpa kata Ahyar menyalakan kompor itu, "Panasnya jangan terlalu tinggi, api kecil aja." Ahyar pun menurutinya. Kemudian Ahyar mundur beberapa langkah menjauhinya. Lebih kepada, ingin tahu apa yang Ditrisya lakukan sebenarnya. Bagaimana bisa di datang-datang dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Dia sedang mempermainkan Ahyar atau apa?
"Garamnya di mana?" Ahyar tak menjawab, wajahnya tak menunjukkan keinginan untuk menjawab. Ditrisya celingingukan mencari garam, membuka satu per satu kabinet, hingga menemukannya di antara bahan-bahan masakan yang berserakan di meja berlapis marmer itu. Ahyar melihat Ditrisya bolak-balik mencicipi lalu mondar mandir mencari bahan pelengkap lain, sembari bergumam seolah-olah Ahyar akan menyahuti gumamannya.
Saat Ditrisya tengah meniup-niup ujung spatula untuk mencicipi bumbu rendang untuk kesekian kalinya, Ahyar merampas spatula itu tiba-tiba, membuat Ditrisya berlonjak terkejut.
"Ini nggak ada gunanya," geram Ahyar. "Kamu pikir, apa yang sedang kamu lakukan di sini?"
"Masak. Kamu nggak lihat?" Ditrisya tersenyum canggung, bola matanya tak fokus menatap Ahyar. Ahyar tahu, Ditrisya berusaha mengendalikan diri dan pura-pura tidak tahu diri.
Pelan, Ditrisya mengambil spatulanya kembali. "Aku udah tahu Sisil mutusin kerjasama. Menurutku itu bukan hal buruk, mungkin memang udah waktunya kamu benar-benar mandiri. Jadi bergantung ke orang lain."
Seolah tak mempedulikan kebisuan Ahyar, Ditrisya lanjut mengaduk rendangnya. Mencuil sedikit daging rendang yang sudah lembut itu menggunakan sendok, lalu meniup-nuipnya dan kemudian menyuapkannya ke dalam mulut.
Ditrisya mendecapkan lidah merasakan rasa makanan itu dan berkomentar, "Hm, rasanya mendingan. Kamu mau coba?" Tanpa menunggu jawaban, Ditrisya mengambil seujung sendok daging rendang, meniupnya sebentar, lalu mengarahkannya ke mulut Ahyar yang terkatup rapat.
"Nggak mau? Padahal enak banget, tahu." ujarnya, menyuapkan sendol itu ke mulutnya sendiri. Ia lalu menutar badan meghadap wajan dan kembali mengaduk-aduk isinya.
"Apa pedulimu Sisil mutusin kerja sama atau enggak?" desis Ahyar menahan amarah. "Kamu nggak bisa memperlakukan aku kayak gini, Di. Minta putus , terus sekarang datang seolah kita baik-baik aja!" Ditrisya harus sadar betapa konyol tingkahnya.
Air muka Ditrisya berangsur-angsur muram, seiring matanya kini sama sekali tak berani menatap Ahyar. "Aku udah dengar dari Vivi. Maaf."
"Jadi, kamu ke sini karena kasihan?"
Ditrisya menggelengkan kepala cepat. "Enggak, Yar. Aku ke sini karena aku akhirnya, kemarin aku terlalu terpengaruh omongan Sisil. Dia bilang--"
"Sisil mau bilang apa pun, seharusnya kamu lebih percaya ke aku. Ini bukan yang pertama kali, Di, kamu terpengaruh omongan orang. Kalau masih saja begini, harusnya yang minta penegasan perasaan itu aku. Bukan kamu."
"Aku begini karena aku sayang sama kamu," ungkap Ditrisya dengan suara bergetar menahan sesak di d**a. "Kamu tahu apa yang dia bilang ke aku? Dia bilang, kamu pernah bilang cinta ke dia."
"Hah? Di, itu cuma--"
"Iya, aku tahu. Cuma satu kata nggak penting. Tapi aku takut, Yar. Aku takut gimana kalau ternyata itu benar. Kamu tahu dia punya rasa ke kamu, tapi kamu kayak sengaja manfaatin itu buat bisnis kamu. Nggak tahu kemarin kamu sadar atau enggak, kamu kayak menikmati dikendalikan dia. Aku bersabar seperti yang kamu suruh, nggak peduli gimana separah apa dia ngerendahin aku.
"Dia lebih banyak membantu kamu, sedangkan aku nggak bisa kasih kontribusi apa-apa. Kamu lebih terbuka sama dia, sedangkan aku bahkan nggak tahu sebagian modal kamu adalah hutang," cecar Ditrisya emosional. "Aku butuh jawaban tegas, kamu cinta aku atau enggak. Karena kalau ternyata di mata kamu, aku nggak lebih berarti dari Sisil, buat apa aku ada di antara kalian?"
Ahyar menatap Ditrisya tak percaya, seakan yang dikatakan Ditrisya barusan belum pernah sekalipun melintas di benaknya. "Jadi aku mesti gimana?" desah Ahyar lemah. "Aku terlalu banyak main kata-kata, kamu terpengaruh omongan Lisa dan anggap aku genit. Aku berusaha natural, kamu ragu apa aku beneran sayang. Aku--" cacaran Ahyar tersela oleh bau hangus dan kepulan asap dari atas wajan.
Ahyar berdecak kencang, mematikan kompor, dan memindahkan wajan itu ke kitchen sink hingga menimbulkan bunyi entakan antar logam cukup keras yang membuat Ditrisya berjingkat kaget.
Ditrisya menatap punggung Ahyar yang menegang, Ahyar tidak pernah semarah ini di depannya. Masalah kelanjutan bisnisnya saja pasti sudah berat, Ditrisya malah menambah dengan drama insekuritasnya. Ia sangat bodoh karena lagi-lagi menelan mentah-mentah provokasi orang lain.
Ditrisya akhirnya tidak bisa menahan air mata. Ia menderap tiga langkah untuk menjangkau Ahyar, ia melingkarkan kedua lengannya di sekitar pinggang Ahyar sangat erat. "Maaf ...," gumamnya teredam punggung Ahyar. "Maafin aku, Yar ...."
Perlahan ketegangan tubuh Ahyar melemas dan tarikan serta hembusan napasnya teratur, tanda bahwa emosi Ahyar perlahan-lahan luntur. Meski begitu, pelukan Ditrisya sama sekali tidak mengendur.
Kaitan tangan Ditrisya di depan perut Ahyar makin diketatkan saat Ahyar berusaha melepaskan pelukannya, Ditrisya tidak bisa mencegah. Meski pada akhirnya Ditrisya tetap kalah.
Ahyar menyentakkan kedua lengan Ditrisya jatuh menggantung di kedua sisi tubuhnya. Ditrisya menatap Ahyar dengan air mata berderaian, berharap Ahyar akan memberinya kesempatan ketiga untuk kembali belajar mengikuti kata hati.
"Kita benar-benar butuh waktu, Di," ujar Ahyar lemah. "Bukan untuk cari-cari alasan kenapa hubungan ini nggak bisa dipertahankan, tapi buat tanya ke diri, apa perasaan kita cukup besar buat bertahan."