34 | a Little Joy

2002 Kata
Dengan strategi perpindahan lokasi sesuai jadwal, dibaringi dengan gencarnya promosi di sosial media, Burger Biru kini mulai banyak dicari. Ada beberapa pembeli yang bilang sengaja mendatangi lokasi tersebut hanya karena ingin mencicipi rasa Burger rendang yang menjadi andalan Burger Biru. Sore itu adalah puncak bagi burger Biru, Ahyar dan Fandy sampai kewalahan melayani pembelo. Antrean mengular meski tak sampai lima meter panjangnya. Ahyar menelepon Sisil untuk menyiapkan rendang lagi lantaran stok yang dimilikinya hampir habis. Sampai saat ini Ahyar masih belum berani membuat rendang sendiri, karena memasak rendang berbeda dengan makanan lainnya. Tantangan Ahyar adalah menjaga rasa autentik rendang meski disajikan dalam bentuk berbeda. Ahyar menyuruh Fandy beristirahat tanpa pertimbangan karena ia punya asisten pengganti. Sejak jam dua siang Ditrisya sudah di sana dan membantu melayani pembeli. "Dua burger rendang, dua milkshake cincau." Ucap Ahyar pelan namun tegas. "Yes, Chef!" Ahyar tertawa di tengah kesibukannya memanaskan roti, diliriknya Ditrisya yang juga tertawa pelan sembari sibuk meracik minuman di sebelahnya. Ditrisya sudah mulai akrab dengan blender dan gelas-gelas plastic minuman, itu spesialisasinya setiap kali membantu Ahyar jika Fandy istirahat, izin, dan libur. Beberapa minggu lalu Ahyar mungkin bisa menghandlenya sendiri, tapi sekarang ia tak sanggup. Satu per satu pesanan mereka selesaikan, Ahyar tak menyangka mereka bisa sekompak ini. Ditrisya sedang sibuk memotong bongkahan cincau hitam menjadi potongan dadu kecil-kecil, ketika Ahyar mendekatinya dan tahu-tahu mengusap keningnya menggunakan tissue. Gadis itu mendongak dengan senyum malu, "Thank you." Lalu Ditrisya dilumpuhkan oleh senyuman balasan lelaki itu. Ini merupakan hari penebusan semua kerja keras Ahyar, keringatnya bahkan air matanya. Tidak sekali dua kali ia berpikir untuk menyerah, namun Ditrisya selalu memeganginya agar tak sampai jatuh dan terpuruk. Saat itu Ditrisya berkata, coba pikirin ngenesnya bangun pagi-pagi biar nggak telat kerja, seumur hidup begitu. Cuma dengan cara ini kamu bisa membuat aturan untuk diri kamu sendiri. Namun bukan berarti mereka tidak menjumpai hambatan lain selain sepinya pembeli. Ahyar sudah pernah merasakan di usir petugas keamanan setempat karena dianggap menganggu ketertiban, ataupun pedagang kaki lima yang merasa tersaingi, hingga dipalak oleh oknum berseragam. Dan Ahyar selalu membagi semua itu dengan Ditrisya. Ditrisya adalah pendengar yang baik, dia bisa diam mendengarkan cerita Ahyar selama puluhan menit, lalu memberikan tanggapan, baik diminta ataupun tidak. Meski pemikiran mereka seringkali berbeda, dan jika sudah begitu, maka perdebatan pun tak terelakkan. Mereka akan bertengkar, namun saat sudah pulang ke tempat masing-masing, otomatis semua terhapuskan. Akhirnya semua pembeli sudah terlayani. Ada yang langsung membawanya pulang, tapi ada juga yang memakannya di tempat. Memanfaatkan bangku-bangku plastik yang Ahyar sediakan di depan. Ditrisya bersandar di belakang meja, kedua tangannya bertumpu di belakang. "Capek?" tanya Ahyar yang tahu-tahu berdiri di depannya. "Maaf, ya. Karena pacaran sama tukang burger, kamu jadi ikutan susah gini." "Apaan sih, Yar? Lebay. Kamu sendiri yang bilang cowok kaya punya standarnya sendiri, dan itu bukan aku. Minggir, ah, panas." Ditrisya menggeser tubuhnya, bermaksud menyelamatkan jantung agar tak meledak jika terlalu lana berdekatan dengan Ahyar. Namun Ahyar menahan lengannya dan memeluknya. "Yar... banyak orang." Ditrisya menggeliat ingin dilepaskan. "Sombong banget, sih." Gerutu Ahyar sembari membiarkan Ditrisya membuat jarak darinya. "Waktu itu aja nggak mau diepasin, pinginnya nyosor terus." Dua bola mata Ditrisya nyaris lompat karena terlalu lebar melotot, memastikan sekitar apakah ada yang mendengar celetukan Ahyar atau tidak. "Kapan kita...?" Ditrisya tak mau menyebutkan kata kerja yang dimaksud. "Yakin nggak ingat? Mau aku ingatin?" "Enggak nggak!" Cegah Ditirisya cepat, ia sudah ingat sendiri. Lagipula mengingatkan versi Ahyar adalah mempraktekkan. "Ngapain, kek, kamu sana. Udah jangan gangguin aku." lalu membelakangi Ahyar, melindungi wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus. "Ciee yang lagi malu." Sebuah lap diluncurkan Ditrisya dan mendarat sempurna di wajah Ahyar, dan membuat pria itu tertawa puas. Ahyar akan mengingatkannya lagi agar semesta tak lupa bahwa yang sudah terjadi sebenarnya ... Ahyar menopang kedua tangan di pinggang, pandangannya memutar memindai seluruh isi kamar berbentuk persegi itu. Di sana hanya ada sebuah ranjang, lalu lemari pakaian dua pintu, meja belajar, dan satu nakas di samping kanan kepala ranjang. Itu saja, perabotan standar di dalam sebuah kamar. Tidak ada tempelan poster-poster idola dan pernak-pernik lainnya. "Jadi ini kamar kamu?" Ditrisya berlalu menuju lemari, membukanya dan mengeluarkan sehelai handuk bersih. "Iya, sana mandi." Di tengah kesibukannya, Ahyar menyempatkan hadir saat Ibu menelponnya untuk ikut hadir di acara lamaran adiknya Ditrisya. Ia menggunakan waktu istirahatnya dan meninggalkan Fandy jualan sendirian. Tubuh Ahyar berkeringat parah sewaktu tiba di rumah, dia bilang dia baru memperbaiki genset yang rusak. Maklum saja Ahyar membelinya di pasar loak. Peran genset itu sangat penting, karena dari sanalah mobil kulinernya mendapat suplai listrik. Ahyar mengalungkan handuk berwarna biru muda itu di lehernya, dan bukannya beranjak menuju kamar mandi, Ahyar malah rebahan di atas kasur. Meski tak pernah ditempati, Ibu selalu memastikan kebersihan kamar Ditrisya, agar sewaktu-waktu Ditrisya menginap bisa langsung ditempati. "Putih... kosong... Nggak ada yang menarik." "Nggak ada yang minta penilaian kamu. Ayo bangun, Yar. Udah nggak ada waktu Ditrisya menarik-narik tangan Ahyar, "Ayo, Ahyar... Semua orang nungguin kamu di bawa-ah!" Ditrisya merasakan tangannya ditarik, detik selanjutnya ia menyadari ia terjatuh tepat di atas d**a Ahyar. Ya, itu benar. Senyum usil Ahyar menandakan bahwa pria itu sengaja melakukannya. Ahyar melipat tangannya yang tak memegangi tangan Ditrisya, menjadikannya bantal di bawah kepala. "Tapi kenapa yang punya bisa sangat menarik, ya?" Dasar murahan, Ditrisya memaki dirinya sendiri lantaran belum juga imun terhadap gombal recehan itu. Matanya jatuh tepat beberapa centi di atas mata Ahyar, gadis itu berharap jantungnya bisa sedikit lebih sopan dengan berdetak pelan-pelan. "J-jangan bercanda." Sayangnya jantungnya itu sudah keterlaluan nakalnya, untuk itu Ditrisya harus menjauh jika tak ingin lebih malu dari ini. Namun tangan kiri Ahyar dialihkan menekan punggung Ditrisya, mempertahankan posisi mereka. "Di, kita udah berapa lama ngejalanin ini?" "Ehm... tujuh minggu, empat puluh dua hari, dan seribu delapan jam." Ahyar tersenyum, lembut sekali. lebih lembut dari daging wagyu yang mereka makan di pertemuan pertama dulu. "Benar." Kemudian Ahyar berguling, tanpa melepaskan Ditrisya. Otomatis membalik posisi, kini Ditrisya berada penuh di bawah kuasa Ahyar. Oh, tidak. jerawat di pipi Ditrisya pasti mirip seperti buah tomat busuk sekarang."Yar..." Akal sehat Ditrisya sudah rusak, hanyut oleh tatapan Ahyar yang meneduhkan. "Kayaknya kita udah lama nggak melakukan ini," Ahyar menyentuhkan bibirnya di atas bibir Ditrisya, hanya menyentuh ringan tanpa penekanan. "Mau, nggak?" "T-ttapi baru hari rabu kemarin kan ..." "Mau, nggak?" Ahyar tersenyum lagi, dan herannya kepala Ditrisya mengangguk begitu saja kemudian ... Tanpa buang waktu, Ahyar merendahkan wajahnya untuk mengecup bibir Ditrisya. Diawali sentuhan ringan yang menggelitik, lalu lumatann-lumatan yang berhasil menerbangkan Ditrisya ke awang-awang. Dengan cepat Ditrisya mulai nyaman dan terbiasa. Tangan yang semula kaku kini sudah berani merambat mengalungi leher Ahyar. Ia terbuai, hingga tanpa sadar Ahyar sudah melepaskan tautan bibir mereka dan menatapnya. Ditrisya mengumpulkan napas sebanyak-banyaknya, tiba-tiba Ahyar sudah menyatukan bibir mereka lagi. Hanya beberapa detik, sebelum tubuh keduanya tersentak oleh sebuah suara. "Tante Tri sama Om Ahyar lagi ngapain?" "Abil." Ditrisya melirik Ahyar yang menunjukkan raut panik, sama sepertinya. "Enggak, kami nggak ngapa-ngapain. Kamu kenapa ke sini?" Jangan sampai Abil melihat semuanya, Ya Allah... Ditrisya memohon. "Eyang nyuruh Tante turun." "Iya, Tante turun sekarang. Ayo." Ditrisya menggandeng bocah lelaki berusia tujuh tahun itu, namun Abil justru menahan langkahnya. "Tante, aku tahu apa yang Tante sama Om Ahyar lakukan tadi, kata Papa itu cuma boleh dilakuakan orang dewasa yang sudah menikah. Kayak Mama sama Papa. Tapi Tante Tri sama Om Ahyar, kan, belum nikah. Harusnya nggak boleh, kan, ya?" Ditrisya memejamkan mata rapat-rapat, kepalanya mendadak dikelilingi bintang-bintang. "Hmm... Abil nggak akan bilang sama siapa-siapa, kan?" "Kata Ayah kesalahan itu nggak boleh ditutup-tutupi." "Oke, kamu mau apa?" Ditrisya mengenal sangat baik semua keponakannya, dan Abil ini sangat mirip dengannya. "Sebuah kesalahan bisa ditutup, kok, asal ada penutupnya." Abil mengetuk-ngetuk dagu, berpikir, dan itu cukup membuat Ditrisya frustrasi. Sementara Ahyar sudah terlihat lebih santai sekarang. Ia yakin Ditrisya bisa mengatasinya. "Uang dua ratus ribu aja, biar aku beli sendiri kalau udah tahu apa yang mau aku beli." "dua puluh ribu?" "Itu uang jajanku, Papa sering ngasih lebih malah." "Lima puluh ribu, deh." "Nggak cukup, Tante." "51?" "Pap--" Agil siap berteriak, Ditrisya membekap bibir mungilnya. "Oke, dua ratus ribu." Memalukan. Bisa-bisanya Ditrisya diperas oleh bocah ingusan ini. Dengan gusar Ditrisya mencari tasnya, ia tiba-tiba lupa menaruhnya terakhir di mana. Ia berkeliling kamar dengan heboh, sampai Ahyar mengambilkannya dari atas nakas. Ditrisya memberi apa yang Abil mau, bocah itu membuat gerak seolah menutup resleting di bibirnya. Ditrisya menghela napas lega, ia mendelik mendengar kekehan Ahyar. Ditrisya salah sempat berpikir Abil bisa diandalkan. Atau mungkin memang benar, bahwa kesalahan tidak bisa ditutupi dengan apapun penutupnya. Dasar penipu cilik! Dia keceplosan menceritakan apa yang dilihatnya sewaktu memanggil Ditrisya di kamarnya, dikatakan di dalam mobil, di depan kakak dan kakak iparnya. Sontak saja Ahyar tersedak lantaran kaget, Ditrisya menyemburkan air yang baru diteguk dari botol ke dalam mulutnya. Ditrisya menatap kakanya penuh permohonan, Semoga saja mereka cukup paham untuk tidak memberitahu Ayah dan Ibu. Eka mengelus kepala Abil yang sudah menjadi saksi untuk kasus tak pantas di usianya. "Itulah kenapa Ayah bilang lebih cepat lebih baik, karena lawan kalian itu nafsu. Sekarang udah tahu sendiri, kan, kalau kecepatan nafsu itu setara angin." "Abil..." Ditrisya menengadahkan tangan. Abil menggeleng sambil mengenggam uang dua ratus ribunya di depan d**a. "Sekarang udah ingat?" Ditrisya sontak membuang muka, dengan kedua tangan terlipat di d**a. "I-itu itu, kan-" "Kak Ahyar..." Ditrisya baru bisa menghela napas lega, setidaknya adanya kewajiban melayani pelanggan dapat mengeluarkan mereka dari pembahasan memalukan itu. Pembeli itu nampaknya adalah pelanggan setia, buktinya dia bisa sampai tahu nama Ahyar dan Ahyar pun menanggapinya akrab. "Aku udah upload burger rendang sama cincau bubble tea nya Kakak di i********:, dong." "Oh, ya? Terus mereka pada tertarik, nggak?" Gadis berseragam SMA itu mengangguk kuat, "Mereka pada heboh, apalagi yang jual ganteng katanya." Ditrisya ngeri melihatnya. Dulu, dulu sekali, jaman is SMA, tidak ada siswi yang diperbolehkan berdandan. Bahkan memakai perhiasan selain anting saja dilarang. Lah, bocah ini malah memakai lipstik pink dan alis golok berwarna cokelat yang kontras dengan warna rambutnya yang hitam legam. Entah di sekolah dia selalu seperti ini, atau secara khusus berdandan sebelum menemui Ahyar. "Jangan cuma dikasih tahu, ajak temannya juga, dong." "Kalau aku bawa temanku ke sini, Kakak mau ngasih aku apa?" Tanyanya. "Cincau bubble tea?" "Ah, itu kan kalau aku posting di IG." Gadis itu mengerucutkan bibir sok imut, "Gimana kalau Kak Ahyar follow back semua akun sosial media aku. Kakak punya Tiktokk, IG, Facebookk, Twittter. Oh ya, sama kasih nomor WA nya Kakak juga boleh." Ahyar tertawa, diliriknya Ditrisya yang sedang menautkan alisnya melihat gadis SMA itu. "Aku follow IG kamu aja, ya? Soalnya kalau WA segala terlalu riskan, apalagi profile picture kamu pasti cantik banget. Iya, kan?" "Kak Ahyar udah punya pacar?" Dan anggukan kepala Ahyar membuat gadis itu mendesah kecewa, "Yah ..., padahal baru mau aku ajak malam mingguan. Aku nggak masalah, kok, sama perbedaan umur. Makin tua makin mateng. Kalau Kakak punya rencana selingkuh, sama aku aja. Jadi pelakor sekarang lagi ngetren." Ahyar tertawa lagi. "Jadi, mau pesan apa?" Ditrisya bisa mual lama-lama jika terus mendengar ocehan gadis itu. "Ih, nggak sabaran banget, sih. Lagi customer service juga. Pecat aja, deh, Kak, cari yang penyabar dan lembut kayak aku." Gerutu gadis itu. Ditrisya mengepalkan tangan, ingin memberi pelajaran. Namun akal sehatnya mengingatkan bahwa bocah piyik ini bukan tandingannya. "Kak Ahyar tahu, kok, aku sukanya apa. Iya kan, Kak?" "Burger rendang sama cincau bubble tea?" "Ih... ingat. Kak Ahyar perhatian banget, sih, sama aku. Bikin baper, deh." Ditrisya tak menghiraukan lagi dan sibuk menyiapkan pesanan gadis tengik itu. Gadis itu terus saja mengoceh dan gilanya Ahyar terus meladeninya. Terakhir yang Ditrisya dengar, gadis itu bertanya nama akun i********: Ahyar. Gadis itu mengutak-atik hendponnya, lalu menjerit. Saat Ditrisya mengangkat wajahnya untuk melihat, tahu-tahu gadis itu sudah menatapnya tajam. Gadis itu melihat layar ponselnya dan wajah Ditrisya bergantian. Berulang-ulang. "Mirip. Jadi, pacar Kakak itu dia?" "Iya." "Mbak ajarin nyari cowok ganteng tapi pakai modal pas-pasan, dong."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN