Mata Ditrisya betah memandangi satu foto di layar ponselnya, dari laman akun i********: milik Ahyar. Sungguh baru kali ini ia singgah ke sana, jika saja ia tak mendengar saat Ahyar menyebutkan nama akunnya pada pelanggan kecentilan siang tadi, Ditrisya tidak akan pernah tahu.
Ahyar sudah memposting ratusan foto, dengan sekitar lima ribu followers, serta mengikuti seratusan akun lain. Ditrisya pikir di sana akan ada banyak foto-foto selfie seperti kebanyakan orang yang meyadari dianugerahi wajah rupawan. Tapi ternyata Ahyar lebih sering mengunggah foto dirinya dengan latar belakang tempat-tempat estetik, entah pemandangan alam ataupun desain interior sebuah bangunan. Serta foto-foto saat dirinya sedang berjalan di Namun beberapa unggahan terakhir lebih banyak mempromosikan burger Biru.
Dan, foto terakhir yang Ahyar unggah, tepatnya tujuh jam lalu, adalah foto Ditrisya saat tengah tersenyum ramah sembari memberikan gelas minuman kepada pembeli. Diambil dari sudut samping secara diam-diam, bagaimana bisa Ditrisya tak menyadarinya?
Foto tersebut disertai keterangan di bawahnya, yakni; my personal helper. I pay her with love.
"Romantis banget, kan? Coba baca komennya, cewek-cewek pada heboh." Ditrisya berlonjak terkejut, buru-buru ia keluar dari laman tersebut dan mendongak pada Ahyar yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.
"Fotonya bagus, captionnya norak," cibir Ditrisya.
"Kirain nggak main sosial media. Itu, kan, boros kuota," imbuh Ahyar sembari menyeret kursi dan menempatkannya tepat di hadapan Ditrisya, menyeretnya ke depan sedikit lagi hingga kedua tempurung lutut mereka bersentuhan.
"Emang nggak main, tapi bukan berarti nggak punya. Dan ya, sosial media itu boros kuota." Kali ini Ditrisya tak menghindar, ia selalu nyaman bisa mengobrol sambil bertatap muka seperti sekarang. Dari bibir, Ditrisya mungkin hanya dapat kata. Namun dari mata, Ditrisya bisa menyelami kedalaman perasaan lawan bicaranya. Meski dampak buruknya, jika Ahyar sedang kambuh gilanya dan mulai menggombal, Ditrisya akan sulit untuk tidak bersemu salah tingkah.
"Udah beres semua?" lanjut gadis itu bertanya.
Sekilas Ahyar melirik pada mobil kuliner di belakang Ditrisya yang sudah dikemasi perlengkapannya. Jam sepuluh malam dan dagangan Ahyar sudah ludes terjual. "Udah. Kalau setiap hari jualan ramai kayak tadi, aku bisa cepat kaya raya."
Ditrisya mengangguk sepaham, ia pun sama berharap setiap hari penjualan akan seramai hari ini, atau bahkan lebih dan lebih setiap harinya.
"Pasti bakal lebih dari ini, kok. Aku masih nggak nyangka kamu bisa benar-benar buktikan omongan kamu untuk mulai berbisnis. Nggak terasa, Pahala si pengangguran, sekarang udah jadi pengusaha." Ditrisya menyemangati.
"Jangan ngeledek," Ahyar mencibikkan bibir. "Aku juga masih ingat gimana penampilan kamu waktu pertama kali ketemu sama aku, dan lihat sekarang," Ahyar merilis telunjuknya menunjuk wajah Ditrisya. "Cie ... yang udah mulai dandan sampai-sampai jerawatan"
Sontak Dirisya menangkup kedua pipinya yang berbatu, jerawatnya kini tak hanya satu biji, mungkin ada belasan. Entahlah, Ditrisya pusing memikirkan cara mengenyahkannya. Semua ini gara-gara rekomendasi krim wajah yang dibelinya secara online. Katanya terbuat dari bahan herbal alami, krim sama yang juga dipakai artis sekaliber Chelsea Islan dan Sandra Dewi, bisa mencerahkan wajah hanya dalam tujuh hari.
Namun faktanya, setelah sebulan pemakaian wajah Ditrisya malah makin berminyak dan berjerawat parah. Vivi yang akhirnya tahu ia memakai krim abal-abal, mengajaknya konsultasi ke klinik kecantikan langganannya. Ditrisya benar-benar malu, ia meminta Vivi bersumpah tidak akan memberitahukan itu pada Ahyar. Dan hasilnya mulai terlihat, kini jerawat-jerawat Ditrisya tak begitu meradang seperti sebelumnya. Tetapi, dimana-mana dan dalam hal apa saja, kualiatas selalu diikuti oleh harga. Biaya perawatan di klinik kecantikan tersebut adalah pengeluaran-tak berwujud benda terbesar Ditrisya seumur hidupnya. Sungguh itu sangat menyesakkan d**a. Ditrisya memberenggut muram, niatnya mau mengimbangi Ahyar, kini malah terpukul makin anjlok.
Ditrisya tidak nafsu berkata-kata sekarang. Sejak berkencan dengan Ahyar, masalah penampilan dan wajah menjadi sangat sensitif baginya. Pelan-pelan ia sudah berusaha memperbaiki diri, namun orang-orang disekitar justru meledek perubahannya itu.
"Udah, jangan bete gitu. Masih untung yang tumbuh di wajah kamu Cuma jerawat dan bukannya bisul." Ditrisya melotot mendengarnya.
Ahyar mengibaskan tangan sambil tertawa santai renyah. Lelaki itu meneruskan, "bayangin kalau ada satu di tengah jidat, di ujung hidung, terus di kedua pipi. Pasti akan terlihat seperti- Akh!" Ditrisya tak mau mendengar kalimat Ahyar selanjutnya, maka ia menghentikannya dengan menghujani Ahyar dengan cubitan-cubitan cabe rawit di perut Ahyar, hingga membuatnya mengaduh kesakitan dan tertawa bersamaan.
***
Semua pekerjaan baru benar-benar selesai pukul dua belas malam, sungguh Ahyar tidak pernah merasa badannya capek tapi puas di saat yang sama. Barangkali ini contoh kecil hasil sebanding dengan kerja keras.
Saat Ahyar keluar kamar mandi, ia menemukan Ditrisya meringkuk di atas tempat tidurnya, masih dengan baju kotor. Dia pasti kelelahan campur kekenyangan sampai-sampai ketiduran. Mereka tadi makan sambil berdebat, Ditrisya bersikeras ingin pulang sendiri, sementara Ahyar egonya tidak membiarkan sang kekasih pulang tengah malam sendirian setelah membantunya berjualan. Ahyar berencana baru akan mengantarnya pulang setelah mandi.
Melihat jam dan nyenyaknya tidur Ditrisya, Ahyar jadi tidak tega membangunkannya. Sepertinya, tidak masalah jika Ditrisya menginap di sini malam ini. Ahyar meredupkan ruangan dengan mematikan salah satu lampu, lalu perlahan merebahkan tubuh di samping Ditrisya. Ia menyusupkan satu tangannya dibawah kepala Ditrisya yang kebetulan tidak beralas bantal dan satu tangan lagi memeluknya.
Badan lelah, suasana temaram, dan sudu udara yang pas, membuat Ahyar hilang kesadaran dalam sekejap.
Tidur lelap Ahyar terusik oleh gerakan tiba-tiba orang di pelukannya ini, Ditrisya panik melirik sekeliling. "Jam berapa ini?" tanyanya sambil mencari-cari ponsel. Setelah menemukannya, sontak dia memekik. "Jam lima pagi!!!"
"Sttt ... ganggu tetangga." Ahyar menariknya kembali berbaring, dan menekan pundaknya agar tetap diam di tempat.
"Kenapa aku bisa ketiduran?" tanyanya bodoh, untung saja sudah tidak heboh.
"Ya, karena kamu tidur."
"Enggak. Aku cuma rebahan."
Ahyar hanya bergumam dan kembali memejamkan mata. "Ya udah, sekarang rebahan lagi. Nanggung, sebentar lagi udah terang."
"Kamu mestinya bangunin aku dong, Yar.Gila apa, aku nginep di tempat cowok."
"Cowok ini pacar kamu," sahut Ahyar masih memejamkan mata.
"Justru karena itu," geram Ditrisya geregetan.
"Ck, yang penting kan aku nggak ngapa-ngapain kamu," Ahyar berdecak kesal. kantulnya perlahan-lahan berkurang karena Ditrisya terus bicara.
"Tapi kan, tetap aja ...."
"Tetap aja apa?"
"Tetap aja kita tidur seranjang bareng."
Ahyar menghela napas panjang dan merengkuh Ditrisya makin erat. "Tinggal tunggu waktu kita ngapa-ngapain di ranjang bareng."
"Heh! Apa maksudnya."
"Sttt ... berisik."
Ditrisya mengulet berusaha meloloskan diri sembari terus mendumel bisik-bisik, tapi usahanya sia-sia. Ahyar membelitnya sangat erat. Hingga lama-lama, Ahyar tidak merasakan pergerakan gadis itu lagi. Tampaknya dia sudah menyerah.
Perlahan Ahyar membuka mata, dan mendapati Ditrisya sudah tidur lagi. Ada perasaan hangat menyudupi d**a Ahyar, semacam campuran perasaan lega dan senng. Ahyar mendekatkan bibirnya ke kening Ditrisya dan mengecupnya lama.
Ahyar hanya akan mengucapkannya dalam hati, tanpa berharap Ditrisya mendengarnya. Ia sungguh berterima kasih Ditrisya sudah datang ke hidupnya.Untuk saat ini, cuma ciuman kening dengan segenap perasaan yang bisa ia berikan.