"Ayo, ayo, dimakan semua. Don, makan lagi. Masa makan satu dari tadi nggak habis-habis."
"Ini yang ke dua, Kak."
"Oh, ya, udah. Itu habis, langsung makan ini, ya," ujar Ditrisya tanpa mempertimbangkan kapasitas lambung Doni. Kedua orang itu yang sedari tadi memaikan susana dengan obrolan-obrolan dan candaan mereka, sementara dua orang lain yaitu Ahyar dan Bambang tidak banyak bersuara.
Sesuai kata Bambang, Ahyar baru boleh datang lagi saat usahanya sudah mulai dan sudah ada yang dibuktikan. Ahyar memang baru mulai, dan belum banyak yang bisa ia buktikan. Dengan muncul sekarang, paling tidak, Bambang percaya bahwa Ahyar sungguh-sungguh ingin berubah.
"Bos, nih, yang belum," celetuk Ditrisya, meski segan tetap mengulurkan buntalan burger pada Bambang.
Bambang melirik Ditrisya garang yang membuat gadis itu meringis kecil, namun tetap memohon Bambang menerima burgernya. Dia tahu cara membuat Bambang tidak enak hati menolak, yaitu dengan membukakan kertas pembungkus sebagian.
Bambang berdecak dan mengambil buntalan burger itu dari tangan Ditrisya pada akhirnya. "Kamu nggak usah ikut-ikutan manggil Bos. Saya nggak pernah bayar kamu."
Ditrisya menyengir senang. "Terus manggil apa, dong? Om? Mas? Kang Mas? Abang?"
"Nggak boleh," sahut Ahyar dengan alis menyatu berlagak galak. "Kamu aja manggil aku pakai nama biasa. Panggil Bos aja. Bos emang nggak pernah bayar kamu, tapi dia pernah ngasih makan pacar kamu."
"Bang, lo cemburuan ternyata." Doni menertawai Ahyar.
"Emang. Kalau udah bete dikit, mainnya kayak cewek, suka ngediemin. Aku kadang bingung yang cewek sebenarnya aku, apa dia."
"Kamu lebih cemburuan, ya, Di. Cemburuannya kamu lebih parah, bikin kamu minder-minder nggak jelas." Ahyar tak mau kalah.
"Ngapain juga kamu mau pacaran sama dia?" Bambang turut menyela. "Saya masih heran, kok kamu mau sama orang kagak gitu."
"Akhirnya ...," desah Ditrisya dramatis. Air mukanya dibuat-buat seakan dia sedang terharu. "Setelah sekian lama, akhirnya ada yang bilang begitu. Selama ini orang-orang bilangnya, kok Ahyar mau sama aku."
"Siapa yang bilang begitu?!" sergah Bambang. "Mereka belum kenal aja siapa sebenarnya si Ahyar. Paling menang tampang doang. Kalau ada yang mau sama dia, dia udah buta matanya."
Ditrisya mengerejap cepat, lalu mengarahkan telunjuknya menunjuk ujung hidungnya sendiri. "Aku, dong?"
"Makanya, putusin aja."
"Bos!" protes Ahyar. "Jangan mematikan jodoh orang."
"Kalau dia tetap sama lo, jodoh dia yang mati."
Doni dan Ditrisya tertawa-tawa, akhirnya aura beku di sekitar mereka berangsur-angsur mencair. Bos Bambang akhirnya mau memakan burger Ahyar, meski hanya satu gigitan kecil, dan setelahnya mengernyit seperti ingin melepehkan.
"Apaan, nih? Nggak cocok sama lidah gue!" Bambang meletakkan burgernya lagi. "Daging bakarnya enak, tapi aneh dimakan pakai roti."
Ditrisya mengembuska napas lega. "Huh, berarti bukan rasanya nggak enak, ya, Bos, tapi lidah Bos aja yang ndeso?"
"Lo bilang gue apa barusan?!"
Ditrisya cekikikan. "Makan pakai nasi bisa, kok, Bos. Tuh, Ahyar bawain sambel-sambelan juga, karena dia bilang Bos suka pedas-pedas." Ditrisya berkata cepat, kemudian beralih pada Doni. "Don, di dalam ada nasi, nggak?"
"Hari ini nggak masak, Kak. Tadinya mau beli."
"Ya, udah, ayo beli. Biar Bos bisa ikutan makan bareng kita." Dengan cepat pula Ditrisya berdiri, sambil menarik lengan kurus Doni berdiri bersamanya.
Baik Ahyar atau Bos Bambang tidak ada yang mencegah Doni membonceng Ditrisya, mereka bisa membaca Ditrisya sengaja ingin memberi mereka waktu berdua.
"Lo beruntung dapet dia," gumam Bos Bambang pelan.
"Iya, Bos."
"Jaga apa yang udah lo mulai."
"Iya, Bos."
***
"Udah lega?" bisik Ditrisya.
Kepala Ahyar lantas bergerak naik turun. "Plong banget." Ditrisya percaya, itu nampak jelas dari air muka Ahyar sekarang. Saat Ahyar kemarin meminta pendapatnya kapan sebaiknya ia menemui Bambang, sedangkan Ahyar merasa belum punya sesuatu untuk dibuktikan, Ditrisya langsung menyuruhnya ke sana keesokan harinya. Ahyar sempat menolak lantaran tidak tahu harus bicara apa, dan entah bagaimana tiba-tiba Ahyar tercetus ide mengajak Ditrisya.
Tentu saja Ditrisya langsung mengiyakan, bersilaturahmi tidak boleh ditunda-tunda.
"Aku tinggal, kalian ngomong apa aja?"
"Nggak banyak. Kayaknya si Bos nggak mau bahas masalah dulu. Dia cuma suruh aku jaga baik-baik apa yang udah aku mulai."
Ditrisya mengangguk mengerti. "Pesan yang bagus."
"Dia juga bilang, aku beruntung punya kamu."
Ditrisya mengangguk lagi, kali ini disertai senyum tertahan. "Betul. Aku setuju. Memang kamu harusnya bersyukur."
"Alhamdulillah," ujar Ahyar seraya menengadahkan tangan menatap langit.
Ditrisya tertawa, ia memukul bahu Ahyar agar berhenti bertingkah konyok. "Yuk," ajaknya, lalu bersiap menaiki motor. Mereka menoleh ke belakang, menyempatkan melempar lambaian tangan pada Doni sebelum Ahyar melajukan motornya.
Tiba di lokasi food truck, rupanya di sana ada Galang dan Vivi. Ditrisya sedikit tidak nyaman, pasalnya ini pertemuan pertama mereka sejak terakhir kali di kos Ahyar malam itu. Mengetahui permintaan maaf Vivi atas tekanan dari Ahyar dan bukan atas ketukan hati, malah Ditrisya yang merasa bersalah.
Bagaimana pun juga, Sisil benar. Vivi hanya keget, dia tidak mengatai Ditrisya jelek atau semacamnya. Di sisi lain, ia pun tak ingin menayayangkan jika Ahyar menegur Vivi tanpa sepengetahuannya. Barangkali Ahyar pun ingin menjaga perasaan Ditrisya. Ahyar tetap menegurnya, meski dia tahu dia memiliki sangkutan hutang pada Galang.
Ahyar langsung terlibat obrolan dengan mereka, sementara Ditrisya hanya menyapa seperlunya.
Perkataan Sisil bahwa minta maaf Vivi lantaran terpaksa sepertinya hanya asumsi Sisil saja, pasalnya setelah mengobrol langsung dengan Vivi, gadis berambut cokelat itu sangat bersahabat. Siapa pun pasti akan bisa membedakan mana orang yang betulan menerima kita, dengan mereka yang terpaksa. Vivi bahkan langsung mengajaknya bertukar nomor kontak. Ajakan yang sempat membuat Ditrisya melirik Ahyar bingung yang justru dibalas Ahyar dengan kedua alis terangkat, seolah mempertanyakan apa salahnya.
"Nggak apa-apa, kan?" tanya Vivi karena Ditrisya tak kunjung merespon. "Ya, kalau kamu keberatan, nggaka ap-apa. Aku cuma pengen akrab juga sama pacar teman aku."
Buru-buru Ditrisya menggeleng, dan segera memberikan nomor kontaknya. Ditrista hanya tersentuh, selain Sandra, cuma Vivi dan Galang yang menunjukkan penerimaan tanpa terkesan skeptis.
***
Berawal dari saling bercanda mengumbar keburukan pacar masing-masing, Ditrisya dan Vivi langsung akrab. Ditambah lagi, ternyata mereka memiliki satu kesamaan, yaitu sama-sama punya pacar mantan playboy.
Dari usut-usut penasarannya, Ditrisya baru tahu ternyata Ahyar, Vivi, Sisil dan Galang dan beberapa orang lain, dulunya berteman di kampus. Dan seperti kata orang bahwa di setiap kelompok pertemanan yang melibatkan laki-laki dan perempuan, pasti ada diantaranya yang terlibat asmara. Vivi dan Galang sendiri belum lama mulai pacarannya. Masih menurut Vivi, Ahyar dan Galang bisa sangat dekat karena sama-sama hobi tebar pesona.
Pertemanan Ditrisya dan Vivi berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Vivi sendiri tipe orang yang tidak akan pernah bisa dipahami orang introvert seperti Ditrisya, yaitu orang yang tidak pernah kehabisan bahan obrolan dan gampang curhat tanpa ada rasa was-was.
Ditrisya benar-benar bersyukur karena sifat Vivi yang satu itu. Setelah pertemanannya dengan Lisa retak, Ditrisya kira ia tidak akan punya teman perempuan yang mengajaknya makan atau menyeretnya ke salon. Vivi seolah datang untuk jadi pengganti Lisa, meski Vivi dan Lisa banyak bedanya. Paling tidak, Vivi tidak menentang hubungannya dengan Ahyar dan selalu mengatakan hal-hal negatif tentang Ahyar.
"Wow, cantik banget," seruan Vivi masuk ke telinga Ditrisya.
"Bener kan, Beb, lebih fresh," timpal suara berat laki-laki yang dilembut-lembutkan. "Mukanya bulat lucu, ditambah Bebnya badannya imut-imut. Ditambah poni begini kelihatan kayak anak baru lulus SMA, ya, kan?"
"Iya, gila. Padahal cuma potong poni doang, bisa begini perubahannya," seru Vivi lagi. Ditrisya belum berani membuka mata.
Vivi tadi menjemputnya pulang kerja, minta ditemani ganti warna cat rambut di salon langganannya. Ditrisya yang tengah buka-buka majalah didekati oleh Alan, salah seorang hair stylist salon ini, dia mengaku gemas melihat potongan rambut Ditrisya dan memaksanya untuk mau merapikan rambut. Ditrisya kehabisan bahan penolakan setelah Vivi ikut-ikutan meyakinkan.
"Di, buka mata coba. Gila, gue yakin Ahyar bakal pangling banget lihat lo."
"Aneh, nggak?" Justru itulah yang ditakutkan Ditrisya. Jika perubahan penampilannya terlalu drastis, Ahyar pasti akan meledeknya habis-habisan.
"Enggak ...," jawab Vivi dan Alan bersamaan.
Ditrisya mengembuskan napas, perlahan-lahan ia memberanikan diri membuka mata. Ia hampir tidak mengenali siapa refleksi yang terpantul dari cermin di depannya. Rambutnya dipotong sekitar dua centi lebih pendek dan bagian poni dibuat sangat tipis dan hanya dipotong tengahnya sebatas kelopak mata.
"Cantik, kan?"
Ditrisya menggigit bibir. Ia tidak mau terlihat besar kepala, apalagi sampai tidak tahu diri. Namun, refleksi yanh dilihatnya ini memang cantik. "Nggak aneh, ya?" ujarnya t***l.
Alan dan Vivi memutar bola mata malas berlebihan.
Sebelum meninggalkan salon, Ditrisya dan Vivi sempat mengambil foto bersama. Vivi menyuruhnya mengirim foto penampilan barunya ke Ahyar, tetapi Ditrisya menolak karena merasa itu tak perlu. Toh selama ini Ahyar tidak pernah menunjukkan kepedulian terhadap penampilannya, walaupun bisa saja sebenarnya dia ingin Ditrisya merubah gaya, tapi tidak ditunjukkan demi menghormati pilihan Ditrisya. Lebih dari itu, sebenarnya Ditrisya malu.
Vivi menggandeng Ditrisya meninggalkan salon, mereka baru selesai melakukan p********n, ketika Lisa san Sisil baru masuk ke dalam salon. Mereka tampak kaget dengan pertemuan tak terduga ini. Ditrisya pura-pura tidak sadar saat Lisa dan Sisil terang-terangan memindai perubahan kecil penampilannya.
Agaknya bukan cuma ia yang menemukan teman baru, Lisa sepertinya makin akrab dengan Sisil. Entah mengapa Ditrisya merasa kehilangan, padahal ia tahu bukan teman seperti Lisa yang ia butuhkan.
Mereka berpisah, usai Vivi mengobrol singkat dengan Sisil. Tarikan Vivi menyentak Ditrisya dari pikirannya, membawa kembali Ditrisya ke realita.
Bahwa dirinya berada di lingkaran baru.
Ditrisya baru sampai rumah, ketika ia membuka ponsel, ia langsung menemukan pesan dari Ahyar.
Ahyar mengirim fotonya dengan Vivi, hasil tangkapan layar story i********: akun Vivi. Vivi menempelkan tulisan 'saudara ipar'. Sementara di bawah foto, Ahyar menulis satu kata, 'cantik'.
Ditrisya memandangi foto dan satu kata itu dengan perasaan membuncah. Ya, ia ada di lingkaran baru. Lingkaran yang lebih baik.