"Mbak Tri, sehat?"
Ditrisya menepis tangan Dhika yang menyentuh keningnya, mengusirnya pergi dari pada menganggunya. Sulit dipercaya abam kecil itu sedang menunggu hari pernikahan.
Dhika mencibir lalu meninggalkan Ditrisya yang enggan diganggu dari kegiatannya memandangi Ahyar dari tempat duduknya di meja makan. Tampak Dhika ikut bergangung dengan Ahyar dan Ibu di dapur, dia mendekati Ahyar dan membisikkan sesuatu di telinga Ahyar. Lalu kedua lelaki itu menoleh sekilas ke arahnya sambil tertawa. Ditrisya menegakkan badan dengan kening mengkerut curiga. Jangan-jangan Dhika memberitahu hal buruk tentangnya.
Keduanya kemudian bercanda, karakter mereka yang memang mudah akrab dengan orang membuat mereka terlihat seperti teman main, sampai-sampai Ibu menegur mereka agar tidak main-main di tempat berkumpulnya pisau, api, dan minyak panas.
Semalam, setelah melewati malam penuh debar, Ahyar pulang menggunakan motor Ditrisya. Pagi hari Ditrisya naik ojek online ke tempat kerja, dan sore ini Ahyar yang menjemputnya. Mereka langsung ke rumah orangtua Ditrisya, setelah mampir ke pasar untuk membeli bumbu-bumbu dapur seperti yang Ibu pesankan melalui telepon. Meski seorang keturunan Jawa asli, Ibu bisa memasak rendang khas Padang diajari tetangga mereka dulu. Jika hanya mengandalkan resep dan video turorial, entah kapan Ahyar berhasil membuat sendiri rendangnya. Meski menolak lantaran malu pada awalnya, Ditrisya berhasil meyakinkan Ahyar pada akhirnya.
Ditrisya merasa seseksi chef juri yang ada di tivi saat Ahyar menatapnya penuh harap, menunggunya memberi komentar untuk rendang yang barusan ia makan.
"Hmm... lumayan," gumam Ditrisya, kepalanya manggut-manggut berlagak sedang meresapi rasa di lidahkan. Ia membuka mulut lagi dan Ahyar menyuapkan seujung sendok potongan daging bercampur bumbu itu lagi ke dalam mulutnya. "Untuk pemula nggak terlalu buruk. Tapi kalau Ibu sendiri yang masak, pasti jauh lebih enak."
Tak puas dengan jawaban Ditrisya, Ahyar meminta Dhika dan Ayah untuk mencicipinya. Kedua orang itu menjawab panjang lebar, namun intinya sama saja seperti Ditrisya. Enak, tapi seperti ada yang kurang.
Ibu mengusap lengan Ahyar memberinya kekuatan. "Memang gitu. Apa-apa itu, nggak bisa langsung sempurna dalam sekali coba."
Ahyar meringis malu, raut kecewanya pasti tergambar jelas di wajahnya. Pasalnya Ahyar sudah berusaha sangat keras, semua tips yang disarankan kebanyakan di tutorial sudah ia praktekkan, tapi kenapa tetap saja gagal.
"Mungkin karena yang masak beda orang," timpal Ditrisya. "Kayak tukang nasi goreng. Eh, jangan jauh-jauh. Bakso, deh, yang cuma tinggal tuang bakso dari panci ke mangkok aja rasanya bisa beda kalau yang layanin yang punya sama karyawan baru. Mungkin karena Ahyar jarang masak, makanya tangannya belum sahabatan sama bumbu-bumbu. Gitu, kan, Bu?"
Ibu hanya mengangguki celotehan Ditrisya.
"Tuh, kan."
Ahyar melirik Ditrisya sarat akan terima kasih. Ahyar harus menghargai usaha keras Ditrisya dalam menyemangatinya, dengan cara tetap semangat tentunya.
Rendang hasil kolaborasi Ahyar dengan Ibu kini sudah kandas bersama beberapa lauk lain di meja makan. Sesungguhnya Ahyar malu, keluarga Ditrisya terlalu baik padanya sementara ia selalu merepotkan mereka.
Dulu Ahyar kira semakin banyak orang yang menyayanginya, artinya semakin baik, mengingat itu adalah hal yang dia dambakan. Namun, hari ini Ahyar melihat bisa jadi itu malah jadi petaka. Karena itu berarti semakin banyak pula kemungkinan orang yang akan ia kecewakan jika ia gagal nantinya
***
Ditrisya sedang menunggu siomaynya dibungkus, ketika setangkai bunga mawar imitasi di sodorkan ke arahnya. "Dalam rangka apa?"
Ahyar mengangkat bahu. "Pengan aja."
"Random amat," decihnya sambil menarik tangkai bunga itu dari tangan Ahyar. "Tapi terima kasih, deh."
"Anggap hadiah balikan kita. Bunga aslinya, nyusul kapan-kapan aja."
Ditrisya memukulkan bunga itu ke d**a Ahyar. "Nggak ngarep dikasih bunga asli, buat apa? Seminggu juga layu. Mending bunga palsu kayak gini, bisa dipajang tahunan. Yang penting tuh, tuh tujuan ngasihnya, bukan media ngasihnya."
Ahyar tertawa dan mengacak ringan puncak kepala Ditrisya. Tentu saja, ini lah money slave-nya. Tidak sulit menyenangkan hati Ditrisya, cukup belikan makanan dengan rasa gurih atau asin, karena gadis ini tidak terlalu menyukai makanan manis.
"Sekarang kamu yang lebih jago gombal daripada aku."
Ditrisya tertawa tanpa suara. "Kan, ketularan kamu."
Mungkin karena ia semakin nyaman berada di dekat Ahyar, sehingga ia merasa tidak ada jarak. Orang-orang yang baru mengenalnya kebanyakan menganggap Ditrisya pendiam, padahal sebenarnya Ditrisya cukup cerewet di depan orang-orang terdekatnya.
Mereka berbagi tawa, sampai Ahyar teringat satu hal. Ia mengeluarkan ponsel dan menempelkan krpalanya ke kepala Ditrisya.
"Aku nggak mau foto-foto." Ditrisya melotot, sontak menjauhkan wajahnya. Bisa dibilang Ditrisya parno berfoto satu frame dengan Ahyar karena posenya pasti membuatnya terlihat aneh dan Ahyar akan mengejeknya sambil tertawa sampai perutnya sakit.
"Tanda hari pertama kita balikan."
"Nggak usah, deh." Ditrisya merapikan rambutnya yang sebelumnya diacak-acak Ahyar.
Ahyar menahan tawa geli meningkahi gelagat tak mau tapi mau pacarnya itu. "Satu aja."
"Bener, ya, cuma satu aja?"
Ahyar hanya mengangguk, karena kalau sampai bibirnya membuka, tawanya akan meledak.
"Oke, satu aja," gumam Ditrisya, siap-siap mengatur senyum di depan kamera.
Seperti dugaan Ahyar. Pada akhirnya mereka tak cukup ambil satu foto saja, meski sedari awal Dirtrisya menegaskan batas, Ditrisya pula lah yang bilang 'satu lagi' terus hingga Ahyar kehilangan hitungan sudah keberapa kali Ditrisya bilang begitu. Ketika akhirnya Ditrisya merasa sudah mendapat satu foto terbaik, foto-foto sebelumnya dia hapus, menyisakan satu foto itu saja.
Dan, itulah maksud foto satu kali saja versi Ditrisya.
Selagi menunggu siomay mereka yang entah kenapa sangat lama, Ahyar mendapati Ditrisya senyum-senyum sambil sesekali mencium bunganya yang jelas-jelas tak berbau, yang ada malah berdebu. "Sesenang itu aku kasih buanga palsu harga lima ribuan?"
Ditrisya melirik Ahyar sekilas. "Kamu beli di kakek-kakek itu, ya?" Pandangan Ditrisya terarah kepada kakek-kakek yang sedang menawarkan bunga-bunga dagangannya ke para pengendara di lampu merah. "Terima kasih, ya, kamu bukan cuma udah nyenengin aku. Tapi kakek itu juga."
"Nyenengin apaan. Aku cuma beli satu doang, itu pun karena si Kakek rada maksa," tampik Ahyar merasa Ditrisya tidak perlu berterima kasih untuk hal sesepele itu. Ia membeli bunga itu tanpa ada niat menyenangkan hati siapa pun, melainkan murni keinginannya menandai hubungan baru mereka.
"Pokoknya, aku tetap terima kasih." Ditrisya akan menaruh bunga plastik pemberian Ahyar di dalam vas kaca yang selama ini tak berguna. Ia memandanginya dengan hati bahagia. Mulai sekarang, bunga ini akan jadi penghias kamarnya. Sehingga Ditrisya akan selalu teringat Ahyar tiap melihatnya.
Cinta tak pernah gagal meyakinkan Ditrisya bahwa ia tak akan menghadapi masa depan sendirian.
Ahyar mengusap kepala Ditrisya, bersamaan dengan sebungkus siomay pesanan Ditrisya siap. Ahyar membayarnya, lalu hendak langsung pulang.
Ponsel Ahyar tiba-tiba bergetar di balik saku saat mereka akan pergi. "Sebentar, Fandy telepon," ujarnya, sambil menggeser tanda hijau.
"Hmm... beberapa hari ini kita mungkin masih libur. Gunain waktu lo buat jalan-jalan nyari cewek," jawab Ahyar dibarengi kelakar garing, lantaran ekspresi tawa Ahyar kentara sekali memaksakan diri.
Namun kemudian tawa itu sepenuhnya hilang dari wajahnya, berganti menjadi murung. "Oh, semoga nyokap lo cepat sembuh, ya." Ahyar membalikkan badan memunggungi Ditrisya,membuat Ditrisya hanya bisa menatap punggungnya cemas. "Sementara gue belum bisa ngasih kepastian apa-apa. Kalau lo mau kerja di tempat lain, gue nggak larang. Iya, beneran nggak apa-apa. Gue paham keadaan lo. Maaf, nggak bisa banyak bantu."
Telepon ditutup tak lama kemudian setelah Ahyar menitipkan salam untuk Ibunya Fandy.
"Fandy mau kerja di tempat lain?" tanya Ditrisya saat Ahyar kembali menghadapkan wajah ke arahnya.
Ahyar menggaruk pelipis dengan telunjuk. "Ibunya lagi dirawat di rumah sakit. Dia tanya kapan bisa mulai kerja, kayaknya dia lagi butuh uang. Makanya aku bebasin kalau dia mau cari kerjaan baru," jelas Ahyar.
"Terus nanti kalau dia dapat kerja baru beneran?"
"Ya, nggak apa-apa. Aku bisa cari orang baru."
"Tapi mesti ngajarin lagi."
"Ya, gimana lagi? Aku nggak bisa ngasih jaminan," desah Ahyar. Ditrisya bisa lihat ada raut penyesalan di wajah Ahyar. "Dengan kerja sama aku, harusnya dia punya sedikit tambahan, setidaknya buat makan. Iya, kan? Kalau dia nggak kerja gini...." Ahyar tidak meneruskan kalimatnya dan hanya menggeleng pelan.
"Itu bukan salah kamu." Ditrisya menyentuh lengan Ahyar menenangkan, "Kamu nggak pernah berharap ini bakalan terjadi. Semua ini salah seseorang yang nggak bisa professional, masalah pribadi, dicampur aduk sama kerjaan."
Seolah tak mau membahas Sisil lagi, Ahyar langsung mengajak Ditrisya pulang. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya menjadi Ahyar. Masalah satu belum selesai, dia harus menghadapi masalah baru lagi.
Ditrisya hanya berharap, dari masalah-masalah itu Ahyar akan menjadi lebih kuat dan makin kuat.