32 | Till Joy and Sorrow

1910 Kata
Ditrisya mengaku kalah. Ia gagal mengontrol diri sehingga terpengaruh ucapan Sisil. Mendadak Ditrisya merasa rendah diri dan Ahyar tidak cukup mempercayai serta mengandalkan ia untuk berbagi beban. Setelah sepanjang hari kemarin ia pikir-pikir lagi dari sudut pandang lain, bisa jadi Ahyar menyembunyikan itu karena tidak ingin membuatnya khawatir. Disamping ego Ahyar ingin tampak baik-baik saja di depannya. Harusnya, ucapan orang lain tak boleh menjadi halangan bagi Ditrisya untuk melakukan sesuatu yang sangat ingin dilakukannya. Akibat kecemasan sesaat itu, sekarang Ahyar marah padanya. Sejak jauh-jauh hari Ahyar di setiap kesempatan, Ahyar selalu berkata Ditrisya harus datang di hari pertama dia jualan. Dan kemarin Ditrisya mengingkari janji. Sebelum pulang kantor, Ditrisya menyempatkan diri ke toilet untuk bercermin. Membubuhkan bedak tipis-tipis ke wajahnya agar tak terlihat mengkilat, serta mengoleskan lipstik ke bibirnya. Terakhir, Ditrisya menyisir rambut pendeknya menggunakan jari. Tadi pagi ia menyempatkan diri keramas padahal kemarin ia baru keramas. Ditrisya belum berani menelepon atau mengirim pesan pada Ahyar lagi sejak pesannya semalam dibiarkan hanya terbaca tanpa ada balasan. Akibatnya sekarang Ditrisya tidak tahu Ahyar berjualan di mana. Mengikuti insting, Ditrisya mendatangi sekitaran taman kota. Dan ternyata Ahyar memang masih mangkal di sana. Saat Ditrisya tiba, tidak tampak ada antrean pembeli, terlihat Ahyar sedang berbincang akrab dengan seorang gadis berambut panjang. Ditrisya tak bisa melihat wajahnya karena posisinya yang membelakangi. Semakin dekat Ditrisya menghampiri, baru terlihat bahwa gadis itu tak lain adalah Sandra. Nyalinya menciut, menimbang jadi ke sana atau tidak. Lalu Ditrisya putuskan untuk tetap menemui Ahyar. Menekan kuat-kuat rasa minder berhadapan dengan mantan pacar kekasihnya yang berparas cantik luar dalam. Kedua orang itu menoleh saat mendengar suara motor Ditrisya, Ditrisya sengaja hanya melihat sekilas, tak ingin tahu ekspresi di wajah masing-masing. Ahyar berdiri untuk menyambutnya, di wajahnya tak ada ekspresi berarti. Semecam senang, terkejut, dan sebagainya. Malahan senyum hangat Sandra yang menonjol. "Langsung dari kantor?" tanya Sandra. Ditrisya mengangguk, "sendirian aja?" sapanya basa basi. "Iya, tadi mampir karena kebetulan lagi lewat sini." Sandra tersenyum lalu menenteng tasnya, "Aku balik dulu, ya, Yar, Ditrisya. Semangat jualannya." Ahyar mengulum senyum, "terima kasih, San, udah mampir lagi. Maaf juga kalau burger yang kemarin berantakan. Tapi yang ini lebih mendingan, kan?" "Lumayan lah." Ahyar mengantarkan Sandra sampai ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan, setelah memastikan Sandra terjun ke jalan raya, barulah Ahyar menghampiri Ditrisya. "Dia kemarin datang juga?" tanya Ditrisya saat Ahyar tengah membereskan sampah pembungkus burger yang ditinggalkan Sandra. "Kamu aja yang enggak," jawab Ahyar datar. "Maaf, aku kemarin lembur." Ditrisya mengekori setiap gerak Ahyar. "Kamu nggak pernah lembur, Ditrisya. Nggak tahu apa, tapi aku yakin bukan itu alasannya." Ditrisya memainkan kuku-kuku jari, seharusnya ia lebih pintar meyakinkan kebohongan. "Maaf," cicitnya, tidak terpikir kata-kata lain." Ahyar menghela napas, menatap Ditrisya tegas. "Nggak mau cerita alasan yang sebenarnya." Kepala gadis itu menggeleng pelan. "Kenapa?" "Kamu nggak akan suka dengernya." "Aku lebih nggak suka kalau aku nggak mendengarnya." "Yar ...," rengek Ditrisya memohon. Namun, tatapan Ahyar tidak melunak sama sekali. Dibawah tekanan Ahyar, Ditrisya memutar otak cari alasan. Ia tidak mungkin mengatakan sebenarnya, salah-salah nanti ia dikira mengadu domba. Terlebih Ahyar masih butuh menjaga hubungan baik dengan Sisil. "Aku malu," gumamnya nyaris terdengar seperti bisikan. Berbohong lebih baik untuk situasi ini. "Malu pacar kamu jualan burger?" Ditrisya mendongak dan menggeleng cepat. "Bukan. Aku malu ketemu teman-teman kamu karena aku jelek." "Di, jangan konyol. Gimana bisa kamu jadikan itu alasan buat nggak datang di hari pertama pacar kamu jualan di saat teman-teman biasa pada datang?" Ahyar menumpahkan kekesalannya. "Kamu tahu, nggak, gimana gugupnya aku kemarin? Tahu, nggak, aku bikin kekacauan apa aja kemarin?" Kepala Ditrisya menunduk makin dalam. "Asal kamu tahu, seleraku nggak berubah. Aku tetap suka cewek cantik, makanya aku pacaran sama kamu. Kamu baru boleh merasa jelek, kalau aku yang bilang begitu. Ngerti?" "Iya." Ahyar menghela napas lagi. "Udah makan?" tanyanya masih dengan sisa-sisa nada ketus. "Aku mau burger rendang." Ahyar mengangguk, lantas masuk ke dalam mobil kulinernya, selagi Ditrisya menunggu di kursi bekas Sandra. Beberapa menit kemudian Ahyar membawakannya burger rendang yang diletakkan di atas piring kertas. Ditrisya menerimanya sambil menggumamkan terima kasih. Ia memulai dengan satu gigitan kecil, entah mengapa dipandangi Ahyar menimbulkan ketakutan akan terlihat jelek. Meski baru beberapa menit lalu Ahyar tidak melarangnya berasa begitu, selama Ahyar tidak mengatakan ia jelek. Ditrisya meremas kertas pembungkus burgernya, ketika Ahyar mulai bersuara. "Harusnya kamu jangan bohong," Ahyar menarik nafas. "Sekecil apapun itu." *** Ditrisya mengandangkan motornya di rumah hari ini lantaran kotor sekali, ia malu menjajarkannya dengan motor lain di parkiran. Gadis itu sengaja mampir ke tempat mobil kuliner Ahyar mangkal setiap hari rabu. Atas saran beberapa teman, Ahyar kini menentukan tempat-tempat mana yang akan dia singgahi pada hari dan jam tertentu. Dalam sehari, terhitung dari jam sebelas siang hingga sebelas malam. Dengan strategi itu diharapkan jangkauan pelanggan akan lebih luas. Orang-orang yang pernah membeli burger Ahyar bisa membelinya lagi dengan mudah di tempat terdekat. Sebulan berjualan, Ahyar mengeluh usahanya masih jalan di tempat. Omzet yang didapat hanya bisa menutupi biaya operasional dan gaji Fandy. Ahyar hanya dapat capeknya. "Sepi, ya, Fan?" ranya Ditrisya pada Fandy yang tengah berdiri di samping mobil, wajahnya nampak bosan. "Eh, Kak Di." Fandy menegakkan badan begitu menyadari keberadaan Ditrisya. "Iya. Orang lewat, sih, banyak. Tapi yang mampir Cuma beberapa biji aja." "Ahyar ke mana?" "Ke pasar, beli kangkung Lombok. Susah banget akhir-akhir ini dapatnya." Ditrisya mengangguk mengerti, "Oh, ya udah. Aku pergi dulu, ini aku beli cemilan buat kalian. Dimakan, ya." "Wah, makasih banyak, Kak Di. Tahu aja mulut aku udah masem pengen yang pedas-pedas." "Iya, sama-sama." Saat Ditrisya berbalik, tak sengaja ia melihat tumpukan brosur di atas bangku. Rupanya brosur itu sudah selesai dicetak, ia sendiri dan Ahyar datang langsung ke percetakan untuk memesannya. Brosur tersebut mencantum menu dan alasan mengapa semua orang harus mencoba burger negeri, serta jadwal lokasi mangkal. Dengan mengetahui jadwal lokasi, orang-orang yang ingin membeli tidak perlu repot berkeliling kota untuk mencari. "Fan, aku bawa ini sedikit, ya." *** Ditrisya sengaja tidak melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan umum, karena ingin bertemu dengan lebih banyak orang untuk membagikan brosur tersebut. "Kalau ingin makan makan makanan campuran barat dan Indonesia, ini aja. Burger Biru, ada rendang, ayam taliwang, macam-macam. Minumanya juga segar-segar." Kira-kira seperti itulah Ditrisya meyakinkan siapapun yang menyambut baik brosurnya, meski setelah ia pergi brosur itu kemungkinan besar akan teronggok di tempat sampah. Namun tak jarang ada yang secara terang-terangan menolak dengan wajah mencemooh. Melengos tak peduli atau pura-pura tidak melihatnya. Seolah-olah apa yang dilakukan Ditrisya itu adalah hal paling nista yang dilakukan manusia. Dan itu sungguh menyakitkan. Ditrisya mendekati seorang wanita bersama anaknya berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum lewat. Menyadari ada yang mendekat, wanita itu menoleh waspada. "Perm--" "Enggak, Mbak. Makasih." Tolaknya, bahkan sebelum Ditrisya mengatakan apa-apa. Brosur yang ia sodorkan bahkan tidak diliriknya. Kalau sudah begitu, Ditrisya hanya bisa tersenyum kecut dan mundur menjauh, beralih ke orang lain di sekitar. Senyum barunya mengembang melihat sepasang muda-mudi berjalan di trotoar, "Halo," Ditrisya menghadang di depan. "Silakan lihat dulu brosurnya, kita punya burger rasa masakan nusantara. Kalau mau coba, silahkan datang ke--" "Mbak kita lagi buru-buru, tolong jangan halangi jalan kita." Ucap si gadis kesal. Perlahan Ditrisya menurunkan tangannya yang mengulurkan brosur dan mundur dua langkah ke samping, memberi mereka jalan. Tanpa terduga dari arah belakang ada seorang bocah SMP berlari dan menabrak Ditrisya. Ditrisya memekik kaget, bersamaan dengan tubuhnya terjungkal dan tumpukan brosur di tangannya berhamburan. Sementara bocah berseragam SMP itu masih bisa menjaga keseimbangan dan tak sampai jatuh. "Kalau mau bengong jangan di sini, di tengah jalan sana sekalian. Ketabrak ketabrak lu." Maki bocah itu. Ditrisya manggap-mangap tak bisa berkata-kata. Seperti itukah wajah generasi masa depan? Tepat saat bocah itu hendak pergi, sebuah tangan menahan tas sekolahnya dari belakang. Bocah itu mengumpat kencang dan menatap garang sang pemilik tangan yang tak lain adalah Ahyar. Ditrisya menganga sekali lagi, bagaimana pria itu bisa ada di sini? "Kalau lo nggak mau gue bikin bengong di rel kereta api, minta maaf dan bantu dia ngumpulin brosurnya lagi." "Apaan sih? Nggak usah sok pahlawan. Gue buru-buru, lepasin!" Dalam sekali hentak bocah itu berhasil menghempaskan tangan Ahyar dan berlari pergi. Jika Ditrisya tak menahannya, Ahyar pasti sudah mengejar lalu menghabisinya, menjadikan bubur agar bumi lebih mudah menelannya. Ahyar menatur nafas, mengontrol emosi. Kemudian berjongkok, membantu Ditrisya memungut lembar demi lembar brosur yang berceceran. "Kamu nggak apa-apa?" "Nggak apa-apa, kok." Jawabnya tersenyum kecil, "Kamu kok bisa ada di sini?" "Kamu sendiri? Bukannya langsung pulang, malah bagi-bagi brosur." "Ngobrol di sana, yuk. Nanti ditabrak orang lagi." Canda Ditrisya terkekeh kecil. Lalu mereka berpindah ke tempat yang di tunjuk Ditrisya, tepatnya di halte bus yang sedang kosong. Mereka duduk bersisihan di atas kursi pipa tanpa sandaran itu. "Aku lihat dari jauh tadi," Mulai Ahyar, "Kamu dicuekin sama banyak orang." "Oh, udah kebal kok. Sejak jaman kuliah, aku udah jadi freelance kartu seluler. Bagi-bagi brosur, nawar-nawarin kartu perdana." "Oh ya?" "Iya, namanya promosi yang gitu." "Tapi kamu tahu, kan, kamu nggak harus repot-repot melakukan itu buat aku? Ditrisya mengangguk. "Tahu. Aku yang mau. Selain ini, kayaknya aku nggak bisa bantu kamu apa-apa." "Nggak bisa bantu apa-apa gimana? Kamu nggak ninggalin aku aja, udah segalanya." Ditrisya tertawa, mengusir rasa mellow yang sempat menyapa. "Gombalannya basi." Ahyar masih menatap Ditrisya terpana, seolah hal kecil yang dilakulannya barusan setara dengan aksi ultraman menyelamatkan bumi. Ditrisya tak pernah terbiasa ditatap demikian, ia selalu malu dan salah tingkah. "Udah, ah, sana balik jualan." "Ayo, aku antar dulu kamu pulang." Ahyar tidak mau dibantah, saat ia menarik tangan Ditrisya, gadis itu pun tak punya pilihan lain untuk menolak pakai alasan apa pun. "Sebelumnya, apa kita bisa habisin ini dulu?" Ditrisya tiba-tiba menahan langkahnya, tatapannya berubah memohon saat mendapati Ahyar mendecakkan lidah. "Ayolah, cuma tinggal beberapa aja ini." Dan Ahyar malu jika sampai menolaknya. Kenapa Ditrisya yang berjuang lebih keras untuk bisnisnya? Ahyar pun mengangguk, mengambil sebagian brosur di tangan Ditrisya dan berpencar untuk membagikannya ke orang sekitar. Setelah itu baru lah Ahyar mengantarkan Ditrisya pulang. Ahyar memastikan Ditrisya tiba di rumah dengan aman, adalah satu dari kepingan perhatian Ahyar terhadapnya. Dan Ditrisya tak pernah merasa seberuntung ini sebelumnya. Ia merasa selalu ada yang menjaga dan memastikan dirinya baik-baik saja. Sekalinya memutuskan jatuh cinta, Ditrisya langsung mendapat pria yang tepat. Mungkin itulah mengapa kita harus belajar tentang kesabaran. Menunggu di saat yang tepat untuk orang yang tepat. Tidak perlu berhubungan dengan lawan jenis sebanyak-banyaknya hanya agar tahu bagaimana tabiat mereka serta mana diantara mereka yang paling cocok dengan kita. Begitu menghentikan motor milik Fandy di depan rumah Ditrisya, Ahyar langsung menyuruhnya untuk beristirahat. Ditrisya lagi-lagi hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Ia merasa seperti dalam drama, memerankan anak SMA yang malu-malu diantar pulang pacarnya. "Hati-hati..." Tawa renyah Ahyar terdengar, menanggapi isyarat bibir Ditrisya. Ditrisya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu berlari kecil menuju pintu. Namun, Ahyar tiba-tiba memanggil namanya. "Ya?" Saat Ditrisya menoleh, saat itu Ahyar sudah turun dari motornya dan sedang berjalan ke arahnya. Belum sempat menebak tujuan pria itu, Ahyar sudah menubrukkan tubuhnya di tubuh mungil Ditrisya. Menguncinya dalam sebuah pelukan sangat erat. "Yar..." Tangan Ditrisya kaku di sisi tubuhnya. "Terima kasih," gumam Ahyar, sejurus kemudian Ditrisya merasakan kecupan di puncak kepalanya. "Terima kasih udah jadi alasan aku buat bertahan sampai sejauh ini." Ahyar mengecup kepalanya sekali lagi dan kali ini lebih lama, sebelum kemudian mundur selangkah ke belakang memisahkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN