"Kita udah kayak suami istri, ya."
Plak! Ditrisya menyabet d**a Ahyar dengan telapak tangannya. Bukan apa-apa, ia hanya malu. Pasalnya yang Ahyar katakan barusan, persis seperti apa yang Ditrisya pikirkan sedari tadi. Bagaimana tidak, hari ini mereka bangun dari atas tempat tidur yang sama, membantu Ahyar menyiapkan jualan, sarapan bersama, hanya mandi saja yang mereka lakukan sendiri-sendiri.
Kepalang tanggung, Ditrisya ikut jualan lagi hari ini. Sebelum berangkat mengambil bahan utama di restoran Sisil, mereka sempat mampir ke kontrakan Ditrisya untuk ganti baju.
Ditrisya melompat turun dari bangku penumpang mobil, menyusul Ahyar yang sudah turun lebih dulu. Jam sebelas siang, restoran Sisil sudah di buka namun masih kali ini tampak sepi. Mereka langsung menuju dapur, karena rendangnya belum siap, maka mereka diminta menunggu di meja restoran saja.
"Tunggu sebentar, ya, masih disiapin staf gue di dalam." Sisil duduk di kursi seberang mereka.
Ahyar mengiyakan, sementara Ditrisya sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Gemas, Ahyar menyahut android lama tersebut dari tangan si empunya. "Aku ada di sebelah kamu, emang lagi chat sama siapa?"
"Sama Dhika, ya ampun ...."
Ditrisya tak perlu memberitahu sebenarnya, karena Ahyar tanpa sungkan membaca ruang obrolan pribadinya dengan Dhika dan dia tidak tampak merasa bersalah sama sekali. "Dia nggak percaya kalau kamu lagi sama aku?"
"Dia pikir aku masih di kas-" Belum lagi Ditrisya menyelesaikan kalimatnya, Ahyar merangkul pundaknya mendekat ke arahnya sembari mengarahkan kamera ponsel membingkai wajah mereka dalam satu frame. Foto yang sangat buruk, seperti selfie-selfie sebelumnya. Ahyar tersenyum tampan, sedangkan mata Ditrisya terbuka setengah lantaran belum siap dijepret. Foto itu langsung dikirim, tanpa sempat Ditrisya melayangkan protes menuntut dihapus.
Tak lama muncul balasan dari Dhika yang akhirnya mempercayai bahwa sang kakak memang sedang bersama Ahyar. "Tuh, langsung aja kasih bukti. Langsung percaya, kan, dia."
Ditrisya mencibikkan bibir, masih kesal atas kebiasaan Ahyar yang suka mengambil foto tanpa menunggu kesiapannya. "Siniin hapenya."
"Nanti dulu, mau lihat kamu chat sama siapa aja di belakang aku."
"Ih, apaan? Nggak sopan!" Ditrisya memanjangkan tangan berusaha menggapai, namun Ahyar selalu bisa berkelit. "Handphone itu ruang pribadi, ya, nggak usah rese."
"Biarin, pacar kamu ini. Aku mesti memastikan dong kamu nggak main gila di belakang aku."
Entah tak sadar atau memang tak peduli, pasangan itu membiarkan orang lain menonton interaksi mereka dengan wajah datar cenderung bosan. Sisil berdehem, memberitahu bahwa dirinya bukan huasan bunga di tengah meja yang kehadirannya penting tidak pentung.
"Oh, maaf Sil. Gimana gimana?"
"Yar --"
"Eh, Ibu mertua telepon." Ponsel Ditrisya bergetar, menampilkan foto Ibu dalam balutan hijab panjang sampai pinggang.
Ditrisya langsung menyambar itu dari tangan Ahyar, lalu sedikit memalingkan kepala untuk mengangkatnya. Baru beberapa cakap, Ditrisya mengulurkan kembali ponselnya pada Ahyar. "Ibu mau ngomong."
"Assalamualaikum, Bu," ucap Ahyar begitu ponsel Ditrisya menempel di telinganya. "Iya, dia dari kemarin bantuin aku jualan."
Penasaran, Ditrisya mendekatkan telinganya ke ponselnya, ingin tahu apa yang Ahyar dan Ibunya bicarakan. Ahyar berdecak, menyikut-nyikut Ditrisya pelan agar dia menjauh.
Sisil mengatupkan bibirnya, ia memalingkan pandangan lantaran pemandangan di hadapannya sungguh memuakkan.
"Bentar-bentar, Bu. Suaranya putus-putus, aku jalan ke tempat yang lebih terbuka dulu." Ahyar bangkit dari duduknya, memberi isyarat permisi pada Sisil dengan tunjuk tangan ke arah tempat yang hendak dituju. Sedangkan pada Ditrisya, Ahyar hanya mengusap kepalanya.
"Ahyar kayaknya dekat banget ya sama keluarga lo," ujar Sisil tiba-tiba.
Ditrisya mengerejapkan mata, tersadar bahwa di sini hanya ada mereka berdua. "Eh? Iya, dia beberapa kali main ke rumah." Jujur saja, sejak kejadian di kos Ahyar malam itu, Ditrisya merasa lebih nyaman jika tidak terlibat interaksi langsung dengan Sisil. Ia tak ingin memancing Sisil banyak bicara, lantaran sejauh ini belum pernah ada kata-kata menyejukkan keluar dari bibirnya.
"Ya, dia emang gampang dekat sama semua orang. Hampir semua keluarga gue juga kenal sama dia." Ditrisya mengangkat wajah perlahan, menatap Ayu menuntut penjelasan. "Sebelum sama lo, kami hampir pernah pacaran."
"Oh, ya?" Fakta baru yang sedikit mengejutkan, pasalnya Ahyar tidak pernah menyinggung prihal itu sama sekali. Adanya kata hampir tanpa sadar membuat Ditrisya menghela napas lega, "Terus kenapa nggak jadi?"
Sisil menarik ikat rambunya, rambut yang semula disatukan pun menyebar terurai sebatas punggung. Sisil punya rambut yang indah, lurus dan tampak sangat halus. "Bukannya cowok memang seperti itu? Suka mampir ke sana ke mari dulu, sebelum pada akhirnya pulang ke rumah?"
Ditrisya terdiam sejenak, penafsirannya bermakna negatif, Ditrisya mencoba untuk menggali makna lain. "Maaf, gue gagal paham. Yang kamu maksud rumah itu apa, atau mungkin siapa?"
Sisil tersenyum mencemooh, "Ahyar dekat sama banyak cewek. Orangnya emang iseng suka main-main dan bikin mereka mikir sedang diperlakukan spesial, padahal enggak. Ahyar nggak manis ke satu orang aja."
"Maksud lo, gue adalah salah satu cewek yang merasa diperlakukan spesial padahal enggak itu?"
Siail menghendikkan bahu enteng. "Dia pernah bilang sama gue, terserah dia mau berkelana kemana, toh dia akan pulang ke belahan jiwanya. Orang yang dia cintai. Sekarang gue tanya sama lo, apa Ahyar pernah bilang cinta ke lo?"
"Eh?"
"Kalau nggak pernah, artinya lo nggak ada bedanya sama cewek-ceweknya yang lain. Dan siap-siap aja, lo bakalan jadi satu diantara mereka yang kecewa karena udah ngasih segalanya."
Ditrisya menyipitkan mata, tidak mengerti untuk apa Sisil mengumbar keburukan Ahyar. Ingin melindungi Ditrisya agar tidak jatuh di lubang salah pun sepertinya tidak, karena mereka tidak sedekat itu untuk saling peduli dan menjaga.
"Maksud kamu ngomong gini ke aku tuh apa?" Ditrisya mempertanyakan.
"Biar lo jaga-jaga aja, dan supaya lo nggak berharap terlalu banyak." Sisil memberi jeda, menampilkan perubahan tatapan matanya yang menajam. "dan ngasih tahu lo kalau gue sedang menunggu dia 'pulang,' pesan gue, tolong jangan pernah halangi kalau dia ingin pergi, karena gue udah menunggu dia sangat lama."
Dirisya mengerejap perlahan. Tak perlu dipertanyakan lagi kalau Sisil memendam perasaan pada Ahyar dan merasa terancam dengan keberadaan Ditrisya.
Pertanyaanya sekarang, apa Ahyar benar menganggap Sisil sebagai rumahnya? Ditrisya menarik nafas panjang. "Kalaupun Ahyar mau pergi sekarang, gue sama sekali nggak keberatan. Tapi apa benar dia pernah mengatakan cin-"
"Dia mengatakannya." Potong Sisil menyeringai merasa menang, Ditrisaya seketika mengatupkan bibir. "Dia bilang cinta pada ke gue, sesuatu yang nggak pernah dilakukan ke cewek manapun, termasuk lo atau Sandra."
*****
hai, terima kasih yang udah mampir. silakan tinggalkan komen jika ada kritik, saran, atau masukan demi perkembangan cerita ini dan bahan koreksi aku buat terus belajar.
terima kasih.