Perkataan Sisil mengusik Ditrisya seharian ini. Ia yang rencananya akan membantu Ahyar hingga sore hari, disuruh Ahyar pulang setelah menjatuhkan minuman pelanggan yang hendak diberikan. Ditrisya kesal, terlebih Ahyar melakukannya di depan banyak orang. Sepertinya Ditrisya telah melampiaskan emosinya ke banyak hal, dari mencuci baju, membersihkan sarang laba-laba di plafon, mengepel lantai, hingga menyetrika. Tapi kenapa perasaannya masih saja tak tenang?
Jika dipikir-pikir, Ahyar banyak memberinya kaya-kata dan perlakuan manis. Tetapi memang tidak pernah secara gamblang mengatakan satu kata itu. Cinta.
"Dia bilang cinta ke gue, sesuatu yang nggak pernah dilakukan ke cewek manapun, termasuk lo atau Sandra."
Sialan! Ditrisya memaki entah siapa. Dilihatnya ponsel yang tak memunculkan satu pun notifikasi pesan masuk. Ini sudah jam sebelas malam, akhir-akhir ini dagangan Ahyar sudah habis jam segitu. Jelas itu menimbulkan pertanyaan di benak Ditrisya, apakah Ahyar tidak peduli padanya?
Akhirnya Ditrisya memutuskan menelponnya lebih dulu, daripada lebih lama tersiksa praduga.
Panggilan pertama dijawab oleh suara halus petugas operator seluler. Ahyar baru menjawabnya di panggilan kedua, tepat sebelum Ditrisya melemparkan ponselnya ke dinding lantaran bosan mendengar bunyi tut panjang. "Masih jualan?"
"Enggak ini udah habis. Lagi makan. kamu udah makan?"
"Makan di mana? Sama siapa?"
"Di tempatnya Ayu. Makan nasi goreng rempahnya, enak banget."
"Aku nggak tahu restorannya masih buka jam segini."
"Emang udah tutup, dia lagi nyoba resep baru. Aku dia minta pendapat gue. Lumayan makan malam gratis," Ahyar menyambuhnya dengan kekehan. "Kayaknya aku mulau ketularan kamu, suka cari-cari gratisan."
Sayangnya, Ditrisya sedang tidak ingin tertawa. "Mesti banget makan di situ, ya?"
"Ya, nggak juga, sih. Cuma kenapa enggak? Sekalian jalan pulang. Kamu kenapa, sih?"
Ditanya kenapa, Ditrisya juga tidak tahu apa ia harus menganggap serius perkataan Sisil. Ayolah, dirinya dan Ahyar bukan remaja kemarin sore. Kadang, orang dewasa justru menganggap pernyataan cinta itu kekanakan.
Ditrisya hanya, merasa tidak tenang membiarkan Ahyar terus terlibat dengan Sisil karena tampaknya Sisil mulai terang-terangan menunjukkan ketertarikannya terhadap Ahyar. Lalu si bodoh Ahyar, Ditrisya tidak yakin dia tidak menyadari itu, atau memang sengaja pura-pura tidak sadar demi kelancaran bisnisnya. Atau kemungkinan terburuk, Ahyar membiarkan dan menikmati kebersamaannya dengan Sisil.
Ditrisya menggeleng-gelengkan kepala, berusaha menepis pikiran terakhir itu. "Oh, kirain kangen sama dia. Lagian tiap hari juga ketemu, harus banget apa ajak kamu nyoba resep malam-malam."
"Kamu nggak tuh yang lagi kangen sama aku kali?" goda Ahyar. Dia sama sekali tidak tahu sesemrawut apa pikiran serta suasana hati Ditrisya. "Nggak usah capek-capek cemburu, tidur aja. Besok aku telepon."
Hah? Apa katanya? Nggak usah capek-capek cemburu? Jika tidak ada yang mematik, mana mau Ditrisya capek-capek cemburu. Lagipula, bukannya cemburu itu wajar?
"Katanya pacar, salah kalau misalnya aku emang cemburu? Pertanyaan besar kalau aku nggak cemburu dan masih bisa santai di saat aku tahu pacarku lagi sama cewek lain tengah malam begini."
"Di--"
"Kamu mau mandi dulu nggak sebelum kita lanjut?"
Deg! Itu suara Sisil. Kenapa dia menyuruh Ahyar mandi? Apa pula yang mesti mereka lanjut setelah Ahyar mandi?
"Kamu yakin kalian ada di restoran dan bukan di rumah Sisil?"
"Oh, itu. Kita emang lagi di restoran. Di sini ada kamar mandi buat karyawan."
"Siapa, Yar?" suara Sisil bertanya.
"Ditrisya," sahutnya.
"Oh, kalau udah selesai, aku tunggu di dalam, ya."
Kepala Ditrisya seolah saking banyaknya menduga-duga. Apa lagi itu? Di dalam Sisil bilang? Di dalam mana?
Ahyar lalu berbicara lagi pada Ditrisya. "Di, udah dulu ya, besok aku telepon lagi."
"Pulang sekarang," ujar Ditrisya lambat namun tegas.
"Ck, Di ..."
"Aku bilang pulang sekarang, Ahyar. Aku nggak suka kamu masih di tempat perempuan lain jam segini." Terlebih perempuan itu adalah Sisil.
"Kamu kenapa, sih, Di?" decak Ahyar jengkel, "Kamu nggak percaya sama aku? Aku udah biasa kali ke sini."
"Jadi kamu nggak mau pulang?"
"Sisil minta tolong aku, setelah semua bantuan dia ke aku, enggak enak kalau aku nolak."
Ditrisya tertawa garing, lagi-lagi alasan ikatan balas budi. Dan Ditrisya yang tidak memberi kontribusi apa-apa, tidak bisa menuntut apa-apa. "Oh, iya maaf aku lupa. Lagipula, di sana udah seperti rumah kamu, kan?"
"Apaan, sih- "
Ditrisya memutus sambungan dan menyembunyikan ponselnya di bawah bantal, lalu beranjak menuju saklar dan mematikan lampu kamar. Ponselnya berdering, Ahyar menelepon balik. Tanpa ragu Ditrisya memutus panggilan itu dan menonaktifkan ponselnya sekalian.
***
Keesokan harinya, Ahyar benar-benar meneleponnya. Namun Ditrisya masih enggan bicara. Bukannya jernih, pikiran Ditrisya malah makin keruh lantaran semakin ia berpikir, semakin banyak dugaan-dugaan baru yang muncul. Dan ya, tentu saja, hampir semuanya negatif.
Mata Ditrisya melebar sesaat, begitu melihat sosok Ahyar berada di lobby kantornya. Ditrisya berjalan mendekati lelaki yang tengah menunggunya, ia bisa lihat sorot antara lelah dan lega dari cara Ahyar menatapnya.
"Ngapain di sini?"
"Jemput kamu."
"Kenapa nggak bilang?"
"Kenapa nggak angkat telepon?"
Ditrisya hanya bisa diam sesaat, tak punya bantahan. "Ya udah, ayo."
"Tunggu, mana kunci motor kamu, biar aku aja yang ambil di parkiran."
"Kita naik motor sendiri-sendiri, kan?"
"Aku nggak bawa motor," Ditrisya menunggu jawaban bernada menggantung Ahyar, "sengaja, biar bisa ngobrol lebih banyak sama kamu." Ahyar tersenyum, Ditrisya mengulurkan tangan kanannya yang mengenggam kunci motor berbandul boneka babi. Bukan ide bagus mengkonfrontasi di sini.
Mereka tidak langsung pulang, Ahyar mengajaknya mampir di sebuah bistro. "Udah lama banget nggak makan di tempat beginian. Biasanya makan burger sendiri, atau nggak nasi bungkus. Sekali-kali nggak apa-apa kali, ya, jualan makin lancar ini." Ditrisya menanggapi celotehan Ahyar dengan senyuman seadanya. Tak bicara jika tak ditanya, tak menimpali jika tak ingin.
"Mau pesan apa?" tanya Ahyar lagi.
"Aku baru makan jam tiga tadi, masih kenyang."
"Oh, ya udah, minum aja."
Jadilah Ahyar hanya makan sendirian, menikmati suapan demi suapan makanan yang terasa hambar di mulutnya. Dan Ahyar sudah tak tahan lagi, "Ditrisya," panggilnya setelah menaruh garpu dan pisau di atas piring hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Lalu mengenggam tangan Ditrisya di atas meja.
Ditrisya mengangkat wajahnya, menatap Ahyar. "Aku bukan orang yang suka nebak-nebak, aku nggak jago baca pikiran orang. Jadi kalau kamu nggak ngomong, aku nggak tahu mesti gimana. Jawab aku yang jelas, apa yang lagi ganggu pikiran kamu? Apa benar cuma masalah semalam aku di tempat Sisil?"
"Menurut kamu itu 'cuma'?"
"Aku langsung pulang setelah setelah kamu tutup telepon, aku mau labgsung video call begitu sampai, tapi handphone kamu mati. Aku mesti gimana biar kamu nggak cemburu? Aku beneran nggak ada apa-apa sama Sisil."
"Kamu sadar nggak sih, kalau Sisil itu punya rasa ke kamu?" Ditrisya menahan desakan di d**a. Hatinya sakit mengingat setiap perkataan menyakitkan Sisil, lalu ingat lagi permintaan Ahyar untuk bersabar menghadapi Sisil karena Ahyar masih butuh bantuannya.
"Sisil nggak kayak gitu."
"Aku tanya kamu sadar, nggak? Aku nggak minta kamu coba ngeyakinin aku."
Ahyar menghela napas. "Kalau pun emang iya, apa masalahnya? Yang penting aku nggak punya rasa apa-apa ke dia."
Ditrisya simpulkan Ahyar sadar. Bukannya memberi penegasan, dia membiarkan dan malah memanfaatkan Sisil demi membantu bisnisnya. Sekarang, yang Ditrisya permasalahkan bukan lah perasaan Sisil, Ditrisya justru berbalik bersimpati padanya. Entah menyadarinya atau tidak, Ahyar sudah membiarkan Sisil memupuk harapan.
Jika Ahyar melakukan itu ke Sisil dan ke banyak perempuan lain, lalu apa yang membuat Ditrisya percaya diri Ahyar tidak melakukan hal sama terhadapnya?
"Gimana sama aku, Yar? Apa kamu beneran ada rasa ke aku?"