44 | This is Not Over Yet

1057 Kata
Ditrisya tahu mereka sudah berdamai di detik Ahyar membalas pelukannya disertai kekehan kecil di tepat di samping telinga Ditrisya. Mereka bertahan karena sama-sama tidak mau berpisah. Ditrisya menyudai pelukannya beberapa detik kemudian. Meski pelukan Ahyar sangat nyaman, Ditrisya tidak mau mati kelaparan. Ditambah lagi, ia merasa tak nyaman berpelukan di tempat umum walaupun di dalam club tadi dia beberapa kali melihat pasangan berciuman tanpa risih. Tidak banyak warung atau tempat makan yang masih buka hampir tengah malam begini, dengan sisa jatah pengeluaran hari ini di kantong Ditrisya. Pasalnya Ditrisya sudah mengeluarkan dana tak terduga untuk masuk club, tentu saja ia tidak mau keluar uang lebih banyak lagi untuk makanan. Mereka beruntung menemukan warteg 24 jam searah jalan pulang. Kepala Ahyar sedikit memiring, ia menopangkan sebelah sisi wajahnya dengan tangan yang bertumpu di siku. Semakin intens memandangi Ditrisya yang makan sambil senyum-senyum sendiri sedari tadi. Entah apa yang sedang dipikirkan atau dibayangkan olehnya. Saat menyadari dirinya sedang diperhatikan, Ditrisya mengerejap cepat dan sontak memegang sekitar bibirnya. "Ada nasi nempel, ya? Apa cemong?" Ahyar hanya menggelengkan kepala pelan. "Kenapa kamu lihat aku terus?" "Suka aja. Cantik." Ditrisya tertawa, ia sampai harus menutup mulut dengan tangan supaya sisa makanan di mulutnya tidak ikut menyembur keluar. "Apaan sih, nggak jelas banget." Ahyar makin betah memandangi Ditrisya. Ia tidak bohong, apalagi sedang menggombal. Ditrisya makin hari makin cantik, baik itu fisiknya ataupun pembawaan dirinya. Terutama, saat dia tak segan menunjukkan perasaan lebih dulu. Ahyar merasakan hal sama. Bertengkar dengan Ditrisya sangat melelahkan lantaran keduanya selalu punya pembelaan diri dan tidak mau kalah begitu saja meski sudah mengaku salah. "Ah... kenyang...," desah Ditrisya menepuk-nepuk perut senang. Kalau begini, ia pasti bisa tidur nyenyak. "Sengaja, ya?" "Eh?" dengung Ditrisya tak mengerti. "Itu." Ahyar menunjuk sudut bibir Ditrisya. "Sengaja dicemong-cemongin." "Hah? Masa, sih--" Ditrisya terkesiap saat tahu-tahu Ahyar menjumput sebutir nasi dari sudut bibirnya, lalu dimasukkan ke mulut sendiri. Ditrisya berjengit jijik, namun bibirnya tidak bisa menahan senyum. "Ih, jorok." "Kalau punya pacar sendiri, ya, nggak jorok." "Tetap aja." Ditrisya mengambil selembar tisu dan mengelap sekitar bibirnya, memastikan area itu bersih dari sisa makanan serta minyak-minyak. "Sekarang aku ngantuk," ujarnya, meremas tisu bekasnya menjadi bola kecil. "Mau langsung pulang? Baru juga kita baikan," Ahyar berlagak merajuk. "Kita baikan biar besok-besok bisa ketemuan lagi." Saat Ahyar sudah bersiap-siap akan pergi, Ditrisya tiba-tiba merasa harus menanyakan ini sekarang, "rencana kamu selanjutnya apa, Yar?" Dilihat dari perubahan air muka Ahyar, Ditrisya tahu Ahyar pasti mengerti rencana yang dimaksudnya. "Belum tahu. Ibarat badan manusia, rendang, sama sambal-sambal dari Sisil adalah organ vital. Kalau itu semua nggak ada, ya, mati." "Rendang sama sambal-sambal itu cuma tangan dan kaki," ucap Ditrisya, berusaha meyakinkan Ahyar bahwa ini masih terlalu awal untuk diakhiri. "Nyawa dari bisnis kamu nggak bergantung sama Sisil. Kalau kamu belum sanggup bikin sendiri, kamu bisa kerjasama sama orang lain. Memangnya di sini cuma Sisil aja yang jago masak?" "Rasanya nggak akan sama, Di. Pelangggan aku sukanya sama rendang Sisil." "Iya, pastinya nggak akan sama. Siapa tahu lebih enak, siapa tahu pellanggan kamu makin suka?" Ahyar tak tahu apakah bisa semudah itu. Selama ini Ahyar selalu menjaga kualitas dan standar rasa selalu sama. Ahyar sudah cukup banyak bertaruh. Ia tidak punya sisa nyali untuk ambil resiko ditinggal pelanggann lantaran perubahan standar rasa. "Ahyar...," panggil Ditrisya bersamaan dengan tangan hangatnya menangkup punggung tangan Ahyar. Ia memberi sedikit remasan agar fokus Ahyar kembali. Ditrisya menunggu sampai mata Ahyar kembali menatapnya. "Ini cuma masalah kecil. Dicoba lagi, ya?" ujar Ditrisya lembut. "Aku nggak akan bisa berhenti menyalahkan diri kalau kamu gagal karena memilih aku." "Ini bukan salah kamu." Ahyar berbalik menguatkan. "Sisil memang keterlaluan. Dia berusaha nyetir aku dari bantuan-bantuan yang dia kasih. Teman yang begitu, bukan teman yang layak dipertahankan. Justru...," kata Ahyar mengantung, ia membalikkan tangan dan balas meremas tangan Ditrisya. "Justru aku yang harusnya merasa bersalah. Di depan aku dia bisa bicara kasar tentang kamu, apalagi kalau dia bicara langsung sama kamu?" Ditrisya tersenyum lembut. "Aku aja yang terlalu dibawa perasaan. Kata Vivi, omongan Sisil nggak usah dipercaya." "Kamu gitu, ya, lebih percaya ke orang lain daripada aku." "Karena Vivi nggak punya alasan buat bohong. Kita mau baikan atau putus, dia nggak ada ruginya. Kalau kamu, bisa aja kamu bicara sesuai situasi dan tujuan kamu. Tapi, Yar..., aku masih panasaran karena kamu belum jawab, beneran kamu pernah bilang cinta ke Sisil?" "Enggak!" bantah Ahyar tanpa seketika. "Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, kayaknya itu cuma salah paham." "Salah paham gimana?" Ditrisya menuntut penjelasan lebih. Vivi adalah perempuan dewasa yang pastinya pintar, mana mungkin dia bisa salah paham. "Kejadiannya udah lama banget. Aku pernah bilang, seandainya aku mau pacaran serius dan mencintai seseorang, orang itu adalah Sisil." Mata Ditrisya memicing, tidak mau langsung percaya. "Mana mungkin sesepele itu." "Bener, Di. Sumpah." "Gimana sama aku?" tanya Ditrisya lagi dengan serius. "Kalau aku mikir kamu cinta sama aku, itu salah paham juga apa enggak?" Ahyar tak langsung menjawab, lelaki itu malah melirik sekitar dengan, lalu bangkit berdiri. Ditrisya belum sempat menebak apa yang hendak Ahyar lakukan, ketika tiba-tiba tubuh Ahyar condong dan mencium bibirnya sekilas. "Itu kenyataan," bisik Ahyar tepat di depan bibir Ditrisya, sebelum menegakkan lagi punggungnya, kemudian menarik Ditrisya ikut berdiri bersamanya. Ahyar menggandeng Ditrisya meninggalkan warung usai membayar di kasir. Ada yang meletup-letup di d**a Ditrisya yang membuatnya kesulitan menahan senyum. Ditatapnya kepala belakang Ahyar, lalu turun ke tautan tangan mereka. Ditrisya penasaran, perasaan norak ini dirasakan oleh semua orang atau hanya dirinya saja? Ditrisya memeluk Ahyar dari belakang, sesekali Ahyar akan menarik tangab kirinya dari setir motor hanya untuk menyentuh tangkupan tangan Ditrisya di perutnya. Siapa yang butuh mobil, jika naik motor begini saja mereka serasa memiliki dunia? Apa yang pernah jatuh cinta berkali-kali pada orang berbesa juga merasakannya, atau hanya dialami oleh orang-orang seperti Ditrisya yang baru kenal apa itu cinta? "Yar...," gumam Ditrisya saat motor Ahyar harus berhenti, kena lampu merah. "Ehm?" "Kamu nggak akan nyerah, kan?" Ahyar terdiam sangat lama, sampai-sampai Ditrisya pikir itulah jawabannya. Ditrisya tidak boleh membiarkan itu terjadi. "Belum saatnya," jawab Ahyar disusul suara klakson kendaraan dari arah belakang. Tanpa melirik tiang lampu lalu lintas, Ahyar ikut menyusul kendaraan lainnya, melanjutkan perjalanan. Benar kata Ditrisya, yang memegang kemudi kendali adalah Ahyar sendiri. Ia baru boleh benar-benar berhenti jika kerusakan kendaraannya benar-benar tidak bisa diperbaiki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN