Ditrisya berjalan cepat memasuki kamar kos Ahyar, ia bilang pada Fandy bahwa ia ingin ke toilet. Namun, alih-alih masuk ke toilet, Ditrisya malah berdiri di depan cermin sepanjang pintu lemari Ahyar. Memperhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan diiringi pertanyaan, mengapa orang lain menganggapnya tak cocok bersanding dengan Ahyar?
Ditrisya meraba rambutnya yang lepek dan kusut, ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia keramas, dua hari lalu? atau tiga hari yang lalu? Kulit wajahnya nampak kusam dan mengkilap, pabrik di bawah pori-pori kulitnya memproduksi begitu banyak minyak setelah seharian ini sibuk membantu Ahyar.
Dan perasaan dulu kulitnya tak segelap sekarang. Apa mungkin itu karena ia malas memakai lotion? Lisa saja punya lotion berbeda untuk siang dan malam hari, sementara ia hanya memakai sebelum berangkat ke kantor, sekedar agar kulitnya tidak kering bersisik. Perawatan wajah pun demikian, Lisa rutin perawatan di sebuah klinik kecantikan. Dokter di sana memberinya sabun, serta krim-krim yang khusus dibuat sesuai dengan tipe dan kondisi kulitnya.
Sedangkan Ditrisya, ia hanya mengandalkan sabun wajah dan pelembab yang dibeli di mini market. Sepertinya Ditrisya juga harus mulai rajin luluran, bukankah katanya nenek moyang sudah mengenal lulur, jadi tidak mungkin ramuan itu dipercayai turun temurun jika tidak ada khasiatnya.
Ditrisya membayangkan dirinya berdiri berdampingan dengan Ahyar, lelaki itu nampak begitu sempurna. Dia punya wajah tampan yang selalu segar, pakaiannya selalu bersih dan wangi, pembawaan dirinya easy going dan murah senyum. Beda jauh dengan Ditrisya yang tidak akan tersenyum jika tidak disapa lebih dulu. Orang-orang menyebutnya kaku, jutek. Ibu sampai pernah mengaku sempat berpikir telah lupa mengajari Ditrisya cara bersosialisasi.
Apa Ditrisya perlu memanjangkan rambutnya, memberi warna cokelat gelap yang natural? Sepertinya pipinya terlalu tembam, ia perlu diet atau tanam benang agar tirus. Oh, bibirnya tipis sekali. Nyaris terlihat seperti garis tipis. Apa ia perlu membuat bibirnya seperti bibir milik adik Kendal Janner? Ah, tidak-tidak. Biayanya pasti mahal sekali. Ditrisya tidak mau bangkrut hanya karena ingin cantik.
Perlukah ia merubah penampilan demi mengimbangi Ahyar?
Tidak. Meskipun Ibu pernah bilang tidak ada salahnya merubah penampilan demi menyenangkan pasangan, Ditrisya tidak ingin kehilangan jati dirinya.
Selama Ahyar tidak berkomentar atau protes, Ditrisya akan anggap Ahyar menerima ia apa adanya. Terserah orang lain berpikir apa, toh yang menjalani semua ini adalah mereka berdua. Harusnya begitu. Kalaupun ada yang keberatan dengan penampilan Ditrisya, orang itu haruslah Ahyar.
Ya, itu yang harus Ditrisya tanamkan dalam benaknya agar tetap percaya diri.
Ditrisya tersentak kaget saat pintu tiba-tiba terbuka, ia mengembuskan napas lega sambil memegangi d**a saat mendapati orang yang membuka pintu adalah Ahyar. "Bikin kaget aja," ujarnya beranjak dari depan kaca.
Ahyar menutup pintu pelan-pelan. "Kamu ngapain di sini?"
"Mau pipis." Ahyar masih menatapnya lekat, seolah meragukan dalih Ditrisya. Maka Ditrisya buktikan dengan benar-benar ke kamar mandi dan membuat suara men-flush closet agar tampak seperti habis buang aor kecil sungguhan.
Saat Ditrisya keluar, Ahyar masih ada di kamar. Dia duduk di pinggir tempat tidur, seakan sedang menunggunya. "Kenapa malah duduk di sini? Di luar masih banyak orang."
"Sini, aku mau ngomong." Ahyar menepuk ruang di sebelahnya.
"Ngomong apa, sih? Nanti aja, nggak enak ninggalin tamu."
"Sebentar aja, Ditrisya."
Ditrisya mendecakkan lidah, ingin membantah tetapi aura Ahyar saat menyebut namanya sangat mengintimidasi. Dengan terpaksa Ditrisya duduk di sebelah Ahyar, tidak persis di titik yang lelaki itu tepuk tadi. "Apa? Mau ngomong apa?"
"Kamu kesal, kan?"
Ditrisya mengembuskan napas panjang. Percuma saja pura-pura bodoh tidak mengerti maksud Ahyar. "Nggak kesal, cuma ...," Ditrisya menjeda lantaran bingung bagaimana mengungkapkannya. "Maksud aku cuma kenapa, sih? Apa aku sejelek itu? Masalahnya, Vivi bukan orang pertama yang kayak kaget tahu aku pacar kamu. Sisil, Lisa, teman-temanmu yang lain juga, meskipun nggak diungkapin verbal."
"Mereka cuma kaget karena style kamu beda sama cewek-cewek yang pernah aku bawa ketemu mereka, bukan karena kamu jelek. Justru mereka herannya ke aku, kayak kok bisa tipe aku tiba-tiba berubah."
"Ya, udah, aku ngerti. Yuk, keluar sekarang."
Ahyar meraih tangan Ditrisya, menahannya tetap duduk. Dia lalu menggeser tubuhnya duduk lebih merapat pada Ditrisya. "Sama satu hal lagi." Ahyar memberi remasan lembut di tangan Ditrisya yang digenggamnya. "Aku tahu kamu juga kesal sama Sisil, tolong sama dia kamu lebih sabar. Aku masih butuh bantuan dia sampai aku bisa bikin bahan utama sendiri."
"Aku tahu." Ditrisya menghela napas lagi. Itulah mengapa Ahyar sangat patuh pada Sisil. Lantaran bahan utama seperti rendang dan varian lain masih Ahyar ambil dari restoran Sisil, Sisil memberi 'harga teman' yang jika dihitung-hitung nilainya akan setara jika mengobah sendiri dari bahan mentah. Mengambil dari Sisil jelas lebih praktis, selagi Ahyar membiasakan diri dan meraba arah perkembangan bisnisnya nanti.
Itu yang paling mengesalkan, Ditrisya tidak punya pilihan lain selain diam.
"Besok pulang kerja kamu datang, kan?"
"Teman-teman kamu datang juga?"
Ahyar mengangguk. "Aku minta mereka ikut ramein, tapi pastinya nggak barengan. Sisil juga akan bantu jaga sebentar, buat jaga-jaga semisal ada masalah sama bahan utama." Tangan kanan Ahyar terulur hendak menyentuh rambut depannya, sontak Ditrisya menelengkan kepala menghindari. Ia malu membiarkan Ahyar menyentuh rambut lepeknya.
Tok! Tok! suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka, sejurus kemudian terdengar suara Vivi. "Yar? Sandra sama yang lain pada mau balik, tuh."
Ahyar menyahut kalau dirinya akan keluar, mereka pun lalu keluar. Ahyar berjalan duluan di depan, lantaran Vivi minta Ditrisya berhenti sebentar. "Em, soal yang tadi, maaf, ya."
"Nggak perlu minta maaf. Hampir semua teman Ahyar reaksinya begitu." Ditrisya membarengi jawabannya dengan tawa kecil, tawa yang ia tujukan untuk menertawai diri sendiri.
"Aku nggak ada maksud jelek, apalagi ngerendahin kamu. Yang udah kenal Ahyar lama, pasti tahu kalau Ahyar suka cewek yang yah, minimal pakaiannya kekinian. Beneran, bukan maksud aku bilang kamu kuno. Tapi, ya, kalau dipikir-pikir wajar aja, sih. Waktu Ahyar bilang kamu bikin dia nemu pandangan baru, mestinya aku sadar kalau kamu bukan cewek biasa." Vivi mengakhiri dengan ringisan canggung.
***
Jam sembilan malam, semua teman Ahyar sudah bubar. Hanya Sisil, Galang serta pacarnya, Vivi, yang masih tinggal untuk membantu Ahyar membereskan sisa acara.
Ditrisya sedang menumpuk kursi-kursi plastik, ketika Sisil tahu-tahu turut membantunya mengumpulkan kursi-kursi itu.
"Lo pasti senang bisa bikin Ahyar marahin temannya."
"Hah?" Ditrisya mengernyit tak mengerti.
"Nggak usah sok bingung. Lo kira Vivi minta maaf karena dia ngerasa ucapan spontannya salah?"
Sabar, sabar. Ditrisya merapalkan mantra itu, ingat pesan Ahyar bahwa ia harus menahan diri menghadapi Sisil.
Merasa diabaikan, Sisil menduduki kursi yang hendak Ditrisya angkat. "Setelah bertahun-tahun kenal Ahyar dan Vivi, baru tadi gue lihat Ahyar marah-marah dan nyuruh dia minta maaf ke lo. Padahal apa salah dia? Dia kan cuma heran Ahyar pacaran sama cewek kayak lo. Dia nggak bilang lo jelek atau fashion lo payah."
Ditrisya ternganga selama beberapa detik, yang barusan itu sepertinya sangat keterlaluan.
Sisil tidak akan percaya, bukan, seandainya Ditrisya menyangkal tuduhannya. Ditrisya sama sekali tidak mengadu, ia bahkan tidak mengharap permintaan maaf atau penjelasan. Ia sangat mengerti situasinya.
Ditrisya memilih mengabaikannya dan lanjut membereskan kursi lain, menganggap Sisil tidak ada.
"Untungnya Galang nggak baperan, coba kalau dia baperan lihat pacarnya dimarahin Ahyar. Bisa-bisa dia menarik pinjaman modal yang dia kasih ke Ahyar tanpa bunga."
Seketika gerakan Ditrisya tertahan. "Pinjaman modal?"
"Jangan pura-pura naif. Eh, nggak tahu juga kalau mungkin nalar lo secetek itu. Lo kira uang hasil jual skuter bekas cukup buat semua ini?" Sisil memutar bola mata meningkahi ketercengangan Ditrisya. Ia benar-benar tidak tahu Ahyar berhutang.
"Oke, sebelum lo baper dan ngaduin gue ke Ahyar macam-macam, lo perlu tahu satu hal," Sisil menjeda, dia berdiri setelah melihat Vivi dan Galang baru keluar kamar Ahyar. "Kalau nggak bisa berguna buat Ahyar, seenggaknya jangan lakukan apa-apa yang bisa bikin dia kena masalah."
***
Money Slave
Gimana jualannya?
Ahyar sengaja hanya membaca pesan itu sekilas, lalu mengantongi ponselnya lagi. Ahyar memastikan pesan itu tercentang biru agar Ditrsya tahu saat ini ia sedang marah padanya.
"Thanks ya, Fan. Hati-hati di jalan lo." Ahyar melepaskan karyawannya untuk pulang dengan mengendarai motornya, sementara Ahyar akan menyetir mobil kuliner ke kostan. Untung saja tempat kostnya punya tempat parkir yang cukup luas dan sang pemilik tak berkeberatan Ahyar menaruhnya di sana.
Hari pertama jualan, berjalan tidak begitu baik. Kendati Ahyar sudah hampir 2 bulan berusaha membiasakan diri dengan bisnis kuliner, tetap saja ia masih serba bingung.
Tangannya sempat gemetar sewaktu menyajikan burger pertama, sempat menjatuhkan wadah selada dan beberapa perintilan kecil lainnya. Yang paling parah, Ahyar tak berjaga-jaga uang pecahan kecil. Sehingga saat ada pembeli yang membayar menggunakan uang pecahan besar, ia harus berlari ke mamang asongan untuk menukar uang. Untung saja ada Fandy yang sudah berpengalaman di dapur sehingga dia bisa membereskan kekacauan yang Ahyar buat. Untungnya lagi ada Sisil. Dia banyak memberi tips-tips yang membuat pekerjaan Ahyar lebih ringkas dan mudah.
Beberapa temannya juga datang, mereka-mereka itu yang menjadi pembeli pertama. Dhika dan pacarnya juga mampir, Dhika memujinya keren dengan lilitan apron di pinggangnya. Sayangnya orang yang paling Ahyar harapkan kehadirannya malah tidak datang dengan alasan tidak jelas.
Jelas ini ada yang aneh, selama persiapan sebelum hari H, Ditrisya getol bertanya apa yang Ahyar butuhkan dan apa yang kiranya bisa dia bantu.
Usai memarkirkan mobil kulinernya dan membereskan peralatan serta bahan-bahan yang perlu di simpan ke dalam kulkas, Ahyar baru bisa mandi dan membaringkan tubuhnya di kasur. Ia tak menyangka pekerjaan ini ternyata sangat melelahkan, badannya pegal karena terus berdiri. Belum lagi persiapan-persiapan yang harus dilakukan sebelum jualan, menyiapkan ini dan itu, serta memastikan agar tak ada yang tertinggal ataupun terlewat.
Ini baru hari pertama.
Ahyar butuh seseorang menyemangatinya bahwa besok akan lebih baik dari hari ini.