30 | Burger Biru

1621 Kata
"Bos, gue aja yang kerjain." "Nggak usah!" Tubuh kurus Doni dengan mudah ditepis oleh Bos Bambang yang ukuran badannya tiga kali lipat dari badan Doni. "Tapi ini--" "Ck, lo kalau nggak ada kerjaan di sini. Cari-cari kerjaan di dalam! Nyuci baju, kek, itu tumpukan baju lo bawahnya udah jamuran. Gosok WC atau apa terserah." Doni menghela napas pasrah, ia melirik Ahyar penuh peneyesalan. Ahyar memberi isyarat kedipan khidmat sekali, mengirim tanda bahwa tidak apa-apa dan Doni bisa menyerah membuat Bos Bambang menyerahkan pekerjaan menyervis motor itu pada Doni sehingga Bos Bambang bisa bicara sama Ahyar dengan tenang. Ahyar memberi isyarat lagi agar Doni masuk, Doni semula tampak enggan, tetapi dia masuk juga pada akhirnya. Meninggalkan Ahyar dan Bambang hanya berdua di bengkel itu. Ahyar memperhatikan pekerjaan Bos Bambang, dan dengan siap mengambilkan kunci-kunci yang akan dia gunakan. Bos Bambang tidak mengatakan apa-apa sejak Ahyar mengungkapkan tujuan kedatangannya kemari, yaitu minta maaf dan minta doa untuk kelancaran bisnisnya mendatang. "Jadi belum mulai?" Ketegangan Ahyar mengendur ketika akhirnya Bambang bersuara. "Kalau semua sesuai rencana, awal bulan depan bisa mulai." "Oh, jadi dari tadi lo gembar-gembor yang belum ada?" Bambang merespon sinis, membuat Ahyar menundukkan pandangan sedih. "Nanti aja lah, ke sini lagi kalau udah jadi." Bambang lalu berdiri dari duduknya, beranjak ke rak perbekalan, sibuk entah mencari apa. "Buktiin aja dulu. Gue baru akan maafin lo, setelah gue lihat sendiri lo bisa jadi orang bertanggung jawab." Apa lagi yang bisa Ahyar katakan? Ia pun pulang dengan memikul beban di punggung. Di sepanjang jalan pulang, Ahyar berusaha mengatur pola pikir. Alih-alih beban, ia ingin menganggapnya sebagai tantangan. *** Burger Biru. Nama itu tercetus begitu saja saat pikiran Ahyar buntu, dipaksa mencari nama kreatif. Tidak ada arti atau filosofi khusus, Ahyar hanya ingat pesan Ibu Ditrisya untuk selalu melibatkan orangtua dalam setiap langkahnya, saat terakhir kali saat Ahyar bilang bisnisnya akan mulai beroperasi besok. Ahyar hanya manggut-manggut, semata-mata karena tidak ingin bahasan jadi panjang dan rumit. Melibatkan bagaimana, Ahyar bahkan tidak pernah memikirkan mereka lagi. Setiap kali memikirkan orangtuanya, yang ada hanya bayangan bayi pucat terbungkus selimut biru. Lelah berpikir dan waktu yang makin memburu, Ahyar akhirnya putuskan nama itu. Biru. Burger Biru. "Namanya lebih aneh dari yang aku kira," komentar Ditrisya saat Ahyar menunjukkan foto mobil kulinernya yang kini sudah ada nama dan logonya. "Nggak apa-apa. Justru yang aneh yang gampang diingat," jawab Ahyar, sekaligus menghibur diri sendiri. Ditrisya bukan orang pertama yang berkomentar seperti itu. Hari ini Ahyar akan melakukan semacam uji coba sekaligus syukuran kecil-kecilan. Ahyar sudah minta izin ke pemilik kos dan tetangganya untuk membuat sedikit keramaian di halaman kos. Ia mengundang tak lebih dari dua puluh temannya untuk datang dan menjadi orang-orang pertama yang mencoba jualannya, sebelumn resmi berjualan besok. Ahyar diberi izin hanya dari sore sampai jam 9 saja, agar tidak menganggu istirahat penghuni lain. Sejak pagi hari Ditrisya sudah ikut repot membantunya mempersiapkan segala hal, dibantu oleh Fandy. Orang yang dipekerjakan Ahyar untuk membantunya berjualan, dia baru lulus SMK, Ahyar mengenalnya dari salah satu anak magang di restoran Sisil yang ia tanyai barangkali ada temannya yang butuh pekerjaan. Tentu saja Ahyar tidak bisa menjalankan bisnis ini sendiri, sekalipun usahanya bukan berkonsep mobil kuliner, Ahyar tetap tidak mungkin bisa mengatasinya sendirian. "Mas Ahyar, ini enak banget. Nggak bohong," seru Mbak Rusty memuji dari bangku-bangku plastik yang Ahyar sebar di sekitar mobil. "Iya, Mas. Beda dari burger rendang lain yang pernah saya makan," timpal tetangganya yang lain. Ditrisya dan Ahyar saling lempar senyum, sangat senang mendengarnya. Sisil menjadi orang yang datang paling awal, dia langsung mengecek semuanya dan menyuruh membenani apa yang menurut dia salah. Ahyar sangat nurut dan mendengarkan dia, lantaran selain teman, Sisil sudah dianggap Ahyar sebagai mentor. Satu per satu temannya datang, Ahyar mulai dan Fandy mulai sibuk. Pun dengan Ditrisya yang membantu menyapa dan menyambut teman-teman Ahyar. Ketika sudah tidak terlalu ramai, Ditrisya menyuruh Ahyar turun agar bisa melayani dengan teman-temannya. Sementara ia yang akan menggantikan tugasnya bersama Fandy. "Udah jam berapa, Fan?" tanya Ditisya ia tak memakai jam tangan. Fandy menunjukkan jam tangannya. "Jam 7, Kak." Ditrisya mengangguk mengerti. "Kayaknya yang datang udah lebih dari separuhnya." Kebanyakan yang datang adalah wajah-wajah yang baru Ditrisya lihat, ia pernah bertemu beberapa diantaranya di acara makan malam Sandra waktu itu. Ditrisya tidak masalah bertemu dengan semua teman Ahyar, asal bukan Risa. Baru saja memikirkan Lisa, Sandra datang sendirian. Sisil langsung menyambutnya, diikuti oleh Ahyar. "Hai, kita ketemu lagi," sapa Sandra ramah pada Ditrisya. Ditrisya pun berusaha membalas dengan energi positif yang sama. "Iya. Apa kabar?" "Baik, senang Ahyar masih mau ngundang aku. Kamu kerja sama Ahyar?" "Cobain yang ini, San," Sisil menyela seolah tak memberi kesempatan Sandra dan Ditrisya bertegur sapa. Sandra menunjuk foto-foto menu. "Burger rendang, sih, andalannya. Tapi kalau mau yang rasanya lebih ringan, bisa yang lain." "Boleh, deh. Aku mau coba itu satu, ya." "Oke," jawab Ditrisya. "Nanti tolong antar ke sana, ya," ujar Sisil menunjuk ke satu arah. "Bukannya harus ditunggu?" "Nggak apa-apa, tadi punya gue sama yang lain tadi dianterin juga sama dia." Supaya lebih meyakinkan, Sisil bertanya pada Ditrisya, "bisa, kan?" jawaban apa yang bisa Ditrisya beri selain anggukan. Sandra melirik Ditrisya tak enak hati. "Terima kasih, ya, Ditrisya." Jika bukan karena Sandra, Ditrisya tidak mau menyusahkan diri dengan pura-pura tersenyum. Sandra lalu ditarik Sisil menjauh, selagi Fendy menyiapkan pesanan Sandra dan Ditrisya membantu sebisanya. Ia lebih banyak melihat ke arah dua gerombolan di sana yang tampak seru sekali tertawa-tawa. Ditrisya senang melihat Ahyar bisa tertawa lepas, ia tahu dua minggu terakhir dia sangat stress dan sibuk. "Ada yang datang lagi, Kak," ujar Fandy, lantas saja membuat perhatian Ditrista teralih. Badan gadis itu menegang setelah melihat siapa yang datang. Ada Lisa berjalan mengapit lengan Vinno mesra. Pertengkaran terakhir mereka membuat mereka agaknya meninggalkan sakit di hati masing-masing. Mereka belum pernah berkomunikasi lagi sejak hari itu, dan melihat bagaimana cara Lisa melirik sekelilingnya saat ini, Ditrisya sepertinya tambah tidak ingin bicara dengannya. Ditrisya tidak tahu apa ini hanya pandangan dari kaca mata negatif, Ditrisya merasa tatapan itu seolah-olah menyiratkan kalimat, 'oh, cuma begini saja?' Yang mendekat ke mobil hanya Lisa, sementara Vinno dengan cepat larut dalam keseruan. "Gue mau menu andalannya ya, Di. Satu aja, karena kan lo tahu gue nggak makan fast food." "Oke." Dalam hati Ditrisya berdecih, untuk apa datang kalau nggak ikut makan. "Lo ngapain, sih, mau aja disuruh panas-panasan di sini. Ikut nimbung sana sama yang lain, lo kan ceweknya si owner." Ditrisya mengembuskan napas lelah. "Lis, tolong, nggak usah nyinyir." "Dih, siapa yang nyinyir. Lo aja baperan." Sekuat tenaga Ditrisya menahan diri. Ia terima, baiklah, mungkin memang ia yang terlalu baperan. "Nanti diantar, kan?" Meski ingin sekali menjawab tidak, membuat Lisa menunggu di sini merupakan ide lebih buruk lagi. Ditrisya minta Fendy menyiapkannya dengan cepat agar ia bisa mengantarnya sekalian dengan milik Sandra yang sebenarnya sudah siap. Saat Ditrisya hendak keluar dengan nampan di tangan, Ahyar berlarian sambil mengangkat tangan menyuruhnya tetap diam. Ahyar meminta nampan itu. "Nanti kalau ada yang minta diantar lagi, tunggu aku yang ambil ke sini," ujarnya. Ahyar tidak langsung pergi, ia berkata lagi dengan suara lebih pelan, "aku undang Vinno, tapi nggak tahu dia ajak pacarnya juga. Nggak apa-apa, kan?" "Nggak apa-apa lah," tampiknya gagal meyakinkan lantaran senyum yang ia maksudkan untuk menenangkan, terlihat sekali itu dipaksakan. Ahyar menatapnya. "Mau gabung ke sana?" Ditrisya menggeleng pelan. "Aku di sini aja, kasihan Fandy sendirian." Seandainya tidak ada Lisa dan Sisil, ia juga ingin mengakrabkan diri dengan teman-teman Ahyar yang lain. "Selama nggak ada yang minta pesananya dianterin, aku nggak apa-apa sendirian, Kak," timpal Fandy. Ditrisya kembali menggeleng, ia berharap Ahyar tidak memaksanya. "Mana si Ahyar?" seru seorang wanita berambut cokelat tergerai yang baru memasuki gerbang sambil menenteng tas jinjingnya. "Aku ke sama dulu, ya?" ujar Ahyar tersenyum kecil, lalu pergi membawa nampannya setelah mendapat anggukan Ditrisya. "Wih, ini dia playpoy tobat. Keren, udah jadi entrepreneur sekarang." Dengan heboh wanita itu memukul-mukul lengan Ahyar. "Aduh, aduh, ini mana, sih pawangnya. Datang-datang bikin rusuh." "Pawangnya di sini." Seorang lelaki menyusul di belakang wanita itu. Ditrisya ikut tersenyum melihat keseruan itu, mereka pasti sangat dekat dengan Ahyar. "Mana nih cewek lo? Lo bilang mau dikenalin di sini?" Wanita itu celingukan ke segala arah. Tanpa sadar Ditrisya merapikan rambutnya dan membasahi bibir agar tidak tampak kering. "Tuh, dia di sana." "Mana, suh?" Perempuan itu menengokkan kepalanya ke arah dagu Ahyar dihendikkan. "Nggak mungkin Mbak-mbak itu, kan?" Ditrisya buang pandangan, pura-pura tidak sadar banyak kepala serentak tertoleh ke arahnya. Bahkan Fandy ikut-ikutan meliriknya. Sadar tindakan itu membuatnya terlihat konyol, Ditrisya berusaha melempar senyum sebisanya. Wanita itu menatap Ahyar lagi dengan ekspresi kaget. "Oh, no! Nggak mungkin, kan, Yar." "Sangat mungkin," jawab Ahyar kalem. "Memang dia orang yang akan gue kenalin sama lo di sini. Lo nggak perlu heran berlebihan." Wanita itu menutup mulut tak menyangka, "Maaf maaf, gue nggak tahu. Habis Mbaknya gitu ..." ucapan wanita itu menggantung setelah lengannya disikut oleh lelaki di sebelahnya, setelah memberi wanitanya lirikan tajam, lelaki itu melangkah ringan mendekati Ditrisya. "Hai, Ditrisya, kan, ya?" sapanya. "Gue Galang, kita pernah ngobrol di telepon pas Ahyar mabuk." "Ah, ya, Hai." Ditrisya mendadak tidak tahu harus berkata apa, suasana hatinya memburuk, meski pada akhirnya wanita itu menunjukkan penyesalan langsung dan memperkenalkan dirinya dengan benar. Ditrisya tidak pernah semalu ini mendengar orang lain menilai penampilan, atau pun mereka yang tidak menyangka Ahyar berpasangan dengan dirinya hanya karena dandanan wajah dan penampilan Ditrisya tidak seperti perempuan-perempuan yang sebelumnya dekat dengan Ahyar. Bahkan saat Risa menyebutnya grade C, Ditrisya masih berani mengangkat wajah. Kali ini Ditrisya benar-benar takut melihat wajah Lisa, Sisil, dan Sandra. Apakah Ditrisya seburuk itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN