Sepertinya benar apa kata orang, setiap habis menjaga orang sakit di rumah sakit, pasti yang menjaga gantian sakit. Sejak semalam Ditrisya meriang sejak dua hari lalu dan tenggorokannya sakit untuk menelan apapun.
Ditrisya memelas menatap Ibu yang menyuapinya bubur seperti anak kecil. Ibu akan melotot saat Ditrisya tidak mau membuka mulut karena lidahnya terasa pahit.
“Udah kenyang, Bu," rengeknya.
“Kenyang apanya. Kamu harus makan, Mbak. Minum obat, terus tidur.”
“Aku akan minum obat, tapi setelah itu aku mau langsung pulang. Aku ada janji sama Ahyar nanti sore."
"Enggak. Kamu menginap di sini malam ini. Perlu Ibu yang bilang ke Ahyar kalau kamu lagi sakit?"
“Aku Cuma demam, Ibu.”
“Iya, Cuma demam 39 drajat.”
Ditrisya mengembuskan napas pasrah. Ia tahu Ibu sedang tidak dalam posisi mau dibantah. Seandainya subuh tadi ia tak datang ke sini untuk meminta Ibu memasakkan makanan untuk Ahyar, Ditrisya pasti tidak akan terjebak dalam drama mommy’ s ittle girl seperti ini. Ditrisya ingin mengembalikan nafsu makan Ahyar, mengingat dia sangat menyukai masakan Ibu.
Namun Ibu dengan pekanya bisa langsung menyentuh kening Ditrisya hanya dengan melihat wajahnya yang pucat. Saat itu juga Ibu langsung menariknya ke kamar dan tidak mengizinkannya keluar hingga sekarang.
“Ibu ngerti kamu khawatir sama Ahyar," ujar itu dengan lebih tenang, “tapi sebelum mengkhawatirkan kondisi orang lain, kamu harus memastikan diri kamu dalam keadaan tidak perlu dikhawatirkan.”
“Ahyar kasihan sekali, Bu.” Ditrisya menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Efek panasnya suhu tubuh dan getaran iba.
Ibu mengangguk, seolah memahami perasaan Ditrisya. “Nanti, setelah demam kamu turun, kamu bisa ketemu sama dia lagi. Tapi untuk sekarang, Ibu minta sama kamu, perhatikan diri kamu juga. Kamu nggak bisa ngasih semua waktu kamu untuk orang lain, kamu punya banyak hal yang bisa dilakukan, Mbak. Lihat, kamu sampai sakit begini."
"Tapi buat aku Ahyar bukan orang lain."
"Secinta-cintanya kamu sama Ahyar, dia tetap orang luar. Biasa-biasa aja, toh baru pacaran."
“Kenapa Ibu ngomongnya gitu?” Ditrisya menyipitkan mata, sedikit heran Ibu bisa mengatakan hal demikian. “Kenapa, Bu? Apa karena Ahyar bangkrut, penilaian Ibu tentang dia berubah jadi buruk sekarang?”
“Penilaian Ibu masih sama. Ibu masih menganggap Ahyar sebagai lelaki yang sopan dan baik. Ibu Cuma...," kalimat Ibu tersela oleh helaan napas panjang. "Ibu tuh, cuma takut," lanjut Ibu.
“Takut? Takut apa?”
“Lihat kamu secinta buta ini sama Ahyar, Ibu takut gimana kalau ternyata Ibu mempercayakan kamu ke laki-laki yang salah? Ibu akui Ahyar anak baik..."
"Tapi?" Ditrisya mendengarkan ibunya dengan perasaan cemas.
"Tapi, Ibu jadi ragu dia cukup kuat buat melindungi kamu. Sewaktu temannya itu memutuskan kerjasama dan Ahyar mau belajar memasak rendang, Ibu sempat salut sama kegigihan dia. Kamu sendiri yang cerita tadi kalau dia memutuskan nggak mau lagi jualan karena satu complain dari pembeli, tanpa mikir dulu buat belajar lagi memasak rendang yang baik. Itu nunjukin serapuh apa dia. Yang ada sekarang malah sebaliknya, kamu terus-terusan yang melindungi dia, melakukan apa saja buat dia.”
“Ibu... Aku nggak nyangka Ibu ngomong begini.” Ibu mengingat bagian-bagian yang disebutkan, tapi Ibu lupa bahwa Ditrisya juga cerita bahwa complain pelanggan bukan satu-satunya alasan, dan perjuangan Ahyar tidak hanya sebatas belajar masak rendang dari Ibu.
Seandainya Ibu mau menilik lagi dari sudut pandang lain, Ibu akan paham bahwa yang dialami Ahyar tidak akan mudah untuk dialami siapa pun. Jika itu menimpa pada Ditrisya, mungkin Ditrisya akan syok lebih parah daripada Ahyar.
“Mbak...” Ibu menangkup punggung tangan Ditrisya dan sedikit meremasnya. “Kamu jangan salah paham. Ibu bukannya membenci Ahyar, atau menentang hubungan kalian. Ibu Cuma mau mengingatkan, supaya kamu jangan terlalu berlebihan. Kamu belum jadi istrinya, bukan tanggung jawab kamu untuk melakukan ini semua.”
Ditrisya menarik tangannya dengan cepat, “Asal Ibu tahu, sekalipun kamu Cuma teman biasa, aku tetap akan melakukan hal sama. Bukan Cuma pada Ahyar, tapi juga teman-temanku yang sedang kesusahan. Ibu sendiri yang mengajari aku buat saling menolong, kan? Terus, sekarang, ketika ada seseorang yang butuh bantuan, kenapa Ibu ngelarang?”
“Ibu nggak melarang kamu menolong Ahyar.” Bantah Ibu, laku terdiam sesaat. “Ibu—“
“Intinya Ahyar bukan laki-laki yang baik buat dijadikan sandaran.” Dengan sangat terpaksa Ditrisya memotong perkataan Ibu. “Kalau itu yang mau Ibu katakan, sebaiknya jangan dilanjutkan. Aku udah paham.”
Tanpa berkata-kata lagi, Ditrisya meminum obat yang sudah Ibu siapkan. Menghabiskan air putih dalam gelasnya, kemudian kembali berbaring dan memejamkan mata. Suhu tubuhnya harus turun secepatnya, sehingga ia bisa menemui Ahyar lebih cepat.
Dan, Ditrisya tidak akan memikirkan perkataan Ibunya. Ia merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap. Mana yang baik dan buruk, mana yang harus dan jangan, mana yang perlu ia pertahankan dan mana yang harus dibuang.
***
Tiga hari setelah Ahyar keluar dari rumah sakit, kehidupan Ahyar tak ubahnya kelapa kering di tengah-tengah laut. Terombang-ambing pasrah.
Makin hari, tubuhnya makin terasa bugar. Setiap sore hari Ditrisya pasti akan datang untuk mengantarkan makan malam. Mereka akan makan bersama dan membicarakan hal-hal ringan.
Di saat Ahyar kehilangan harta serta mata pencaharian, Tuhan menurunkan Ditrisya untuk menemaninya, sesuatu yang tak memiliki bandrol harga, saking mahalnya. Disaat erempuan manapun pasti akan meninggalkan pria yang sudah tidak punya apa-apa.
Ahyar melirik jam di sudut layar ponselnya, seharusnya Ditrisya sudah tiba di sini sesuai janjinya. Tepat saat Ahyar ingin meneleponnya, telepon dari gadis itu masuk lebih dulu. Sayangnya, Ditrisya tidak menelepon untuk memberitahu bahwa dia sudah sampai. Melainkan, dia tidak akan datang.
"Oh, oke. Nggak apa-apa." Ahyar tidak berniat menanyakan alasan. Seberapa pun ia bersarap Ditrisya ke sini, Ahyar sadar Ditrisya punya kepentingan lain yang barangkali banyak dia skip demi Ahyar. "Kamu di mana sekarang?"
"Di rumah Ibu."
"Kenapa suara kamu pelan begitu? Kamu sakit?"
"Enggak, cuma masih ngantuk. Baru bangun tidur." Ahyar mengangguk tanpa curiga.
"Nginep, nggak?"
"Kenapa?"
"Kalau nggak nginep, maunya besok pagi-pagi banget aku jemput."
"Ngapain? Jogging di car free day?" tanya Ditrisya.
"Bukan ke car free day," jawab Ahyar tertawa pelan.
"Terus?"
"Jalan-jalan. Aku bosen banget lihat tembok, ingin nyegerin otak lihat matahari terbit."
Ditrisya tidak langsung menyahut, ada jeda bisu cukup lama hingga Ahyar merasa tidak enak hati. "Tapi kalau--"
"Oke, aku tunggu."
***
Saat Ahyar tiba di kontrakan Ditrisya, gadis itu sudah menunggunya di teras dengan jaket wol abu-abu membungkus tubuhnya. Kepalanya ditutup tudung jaket yang membuatnya kelihatan makin mungil. Dia berlarian kecil menghampiri motor Ahyar sambil menenteng helmnya.
"Dingin banget, ya?" sambut Ahyar, menyentuhkan telapak tangannya di kedua pipi Ditrisya, namun hanya sekilas karena Ditrisya langsung menepisnya.
"Kita mau lihat matahari terbit di mana?" tanya Ditrisya antuasis. "Ayo, buruan, nanti kesiangan," lanjutnya, melompat naik ke boncengan Ahyar.
Ahyar terkekeh senang dengan antusasme Ditrisya, membuatnya yang semula sungkan merampas jatah bangun siang Ditrisya, menjadi bertambah tidak sabar ingin melihat matahari terbit.
"Tangannya maskin kantong jaket aku biar nggak dingin." Serta merta kedua tangan Ditrisya menyusup ke dalam kantong jaket Ahyar, bersamaan dengan dagunya disandarkan ke pundak Ahyar.
Mereka melewatu jalanan gelap yang masih sepi mengingat sebagian besar orang memulai harinya masih beberapa jam lagi. Sesekali Ditrisya menunjuk bintang-bintang di langit yang terlihat jelas, membuat perjalanan mereka tidak sesunyi definisi pagi buta.
Sekitar empat puluh menit kemudian, mereka tiba di sebuah pantai di pinggiran kota. Tidak ada siapa pun di pantai berpasir putih itu kecuali mereka.
Bias cahaya dari bola keemasan yang seolah menyembul dari dalam laut, mendorong kegelapan di sekitarnya pelahan-lahan. Ditrisya tidak berkedip hanya karena tidak mau melewatkan pemandangan itu barang seperkian detik pun. Apa yang tersaji di depan matanya ini terlalu magis untuk dilewatkan. Meski harus bertengkar dengan Ibu karena ia tidak nurut disuruh menginap, Ditrisya sama sekali tidak menyesal. Ahyar membuat ide brilian dengan mengajaknya kemari.
Ditrisya duduk memeluk kedua lututnya di atas pasir tanpa alas, ketika tubuhnya dilingkupi kehangatan saat Ahyar memeluknya dari belakang. Tanpa canggung, Ditrisya menyandarkan tubuhnya di d**a Ahyar.
Hatinya mendadak teriris, bagaimana bisa Ibu bilang Ahyar tidak bisa dijadikan sadaran, sedangkan saat ini Ditrisya merasa benar-benar terlindungi dan nyaman?
Ahyar dan Ditrisya hanya saling diam dengan pikiran masing-masing. Ditrisya teringat percakapan singkatnya dengan Dhika sewaktu tadi malam mengantarnya pulang.
“Ketakutan Ibu sebenarnya beralasan lho, Mbak."
"Ck, kamu nggak usah ikut-ikutan, deh. Yang lebih kenal Ahyar itu aku. Dia cuma lagi di fase terpuruk sebentar aja," Ditrisya menanggapi malas.
"Beneran nggak apa-apa dia jadi pengangguran lagi?"
“Mau gimana lagi?”
“Cinta banget, ya?”
Butuh waktu lebih lama sampai Ditrisya mendapatkan jawaban yang diyakininya. “Kalau aku ninggalin Ahyar sekarang untuk berharap ada yang lebih baik dari dia, aku nggak yakin itu bisa dijadikan alasan tepat. Selama ini kekeh cuma mau didekati laki-laki yang dewasa dan mapan, aku kira aku kebahagiaanku ada di tipe laki-laki itu. Tapi ternyata...”
“Mbak justru menemukannya di sosok Ahyar?”
Ditrisya tak menjawab, disamping itu Dhika nampaknya juga tak membutuhkan jawaban lebih lanjut lagi.
Seperti malam yang hanya sesaat, Ditrisya yakin terang akan segera datang. Selama Ahyar tidak menunjukkan tanda kepasrahan berkepanjangan, Ditrisya yakin masih ada harapan. Sehingga Ditrisya bisa buktikan bahwa ia tidak bersandar di pundak yang salah.