Ditrisya meninggalkan jejak-jejak kakinya di hamparan pasir putih. Berlari ke bibir pantai, lalu berlari lagi menjauh saat ombak datang. Seolah sedang mengajak ombak main kejar-kejaran. Sambil menenteng sandalnya, gadis itu bermain-main sendiri tanpa sadar Ahyar mengarahkan kamera ponselnya ke arahnya. Merekam setiap tawa dan pergerakan Ditrisya dalam sebuah video.
Matahari semakin meninggi, udara yang semula dingin menusuk kulit kini mulai hangat. Embusan angin membawa aroma khas lautan sampai ke daratan, membuat Ditrisya sesaat lupa bahwa kondisinya belum cukup sehat untuk berada di tempat berangin.
"Ahyar..." Ditrisya melambai-lambaikan tangan, "aku udah kayak di drama korea, belum?" Otak miring Ditrisya membayangkan dirinya adalah Yoona yang sedang kejar-kejaran dengan Ji Chang Wook.
Ahyar hanya terkekeh, mengacungkan jempolnya ke atas lalu menukik ke bawah. Ditrisya mencibikkan bibir ke bawah, perubahan ekspresi wajah itu tertangkap di rekamannya, termasuk saat gadis itu berlari ke arah Ahyaf dan Ahyar berlari menjauhinya.
Sebelumnya, jika Ahyar dipaksa Ditrisya menyaksikan potongan adegan film dimana sepasang kekasih sedang berkejar-kejaran di pinggir pantai, lelaki itu akan langsung mencibirnya habis-habisan. Tapi sekarang saat ia yang menjadi pemerannya, Ahyar rasa adegan ini tidak terlalu kampungan.
Ditrisya tertawa begitu lepasnya. Rambut ikal alaminya beterbangan berantakan, hingga kerap kali menampar wajahnya. Matahari bergerak makin naik, pasangan kekasih itu sudah merasa cukup untuk bermain. Dan sekarang Ahyar kelelahan campur kelaparan. Ahyar duduk di atas pasir, tak lagi peduli dengan celananya yang sudah basah sebatas lutut. Ia mengukurkan tangan saat Ditrisya ikut duduk di sampingnya sambil tertawa-tawa.
“Kenapa tiba-tiba punya ide ngajak aku ke sini?” tanya Ditrisya.
“Nggak ada alasan, ingin refreshing sebentar aja. Lagian kalau diingat-ingat, kita belum pernah jalan-jalan santai. Sejak kita pacaran, aku udah langsung sibuk."
Ditrisya menoleh, jarak di antara mereka membuat mereka mudah melihat wajah masing-masing. “Aku senang lihat matahari terbit kayak tadi. Kita bisa sering-sering, kan, ke sini?"
"Kapanpun kamu mau ke sini, bilang aja," jawab Ahyar disambut cengiran senang oleh Ditrisya. "Mau lihat foto-foto kamu, nggak? Aku dapat banyak foto bagus tadi."
"Mana, mana. Aku yang pilih." Ditrisya mencondongkan kepalanya hingga menempel pelipis Ahyar agar bisa berbagi layar ponsel, menggulir satu persatu foto yang kebanyakan diambil Ahyar secara diam-diam.
"Aku baru tahu kalau wajahku difoto dari kanan, cantik juga," gumam Ditrisya menilai potret wajahnya sendiri. "Yang ini bagus, tapi rambutnya kayak masuk lubang hidung. Ini juga bagus. Kok aku pendek banget, ya? Ya ampun, yang ini jelek banget. Hapus. Yang ini aku suka...."
Lama kelamaan Ditrisya menguasai layar sepenuhnya, sementara Ahyar memandangi wajah Ditrisya yang lucu bergumam-gumam sendiri.
"Aku paling suka yang ini," ujar Ditrisya menunjukkan foto yang dimaksud pada Ahyar. Ahyar pun mengalihkan pandangannya dari wajah Ditrisya ke swafotonya bersama Ditrisya dengan latar matahari tepat ada di atas kepala mereka. "Bagus, kan? Meskipun di foto ini akunya chubby banget, tapi aku suka pemandangan di belakang kita. Lihat, deh, lautnya sama warna langitnya. Iya, kan?" ungkap Ditrisya penuh senangat.
"Bagus. Mau cetak, nggak? Nanti aku cetakin."
"Mau." Seketika Ditrisya menganguk-angguk. "Buat kenang-kenangan. Jadi kita bisa terus ingat meskipun nggak sama-sama."
“Kenapa? Memangnya kamu ada rencana ninggalin aku karena aku pengangguran?” tanya Ahyar asal.
“Menurut kamu aku mesti gimana?”
Sejenak Ahyar terdiam, ditatapnya wajah Ditrisya yang tampak serius menanyakan itu. "Maksud kamu?"
Ditrisya bukannya tidak menyadari nada waspada dan ketakutan dari suara Ahyar, gadis itu hanya ingin menguji, sebesar apa keinginan Ahyar bertahan bersamanya. “Hidup itu harus pakai logika, cinta pun katanya harus realistis.”
Ditrisya memperhatikan perubahan air muka Ahyar. Tampak rahangnya mengeras, sejurus kemudian wajahnya dilempar ke deburan ombak yang landai. Cukup lama, pria itu baru bersuara lagi. “Ya, memang udah seharusnya begitu.”
“Jadi?”
“Jadi apa?" lempar Ahyar. Tidak ada yang bisa dia kukuhkan dengan keadaannya sekarang. "Kamu benar, cinta harus realistis. Sejak awal, bahkan sebelum aku bangkrut, aku udah bilanh kalau aku nggak akan larang seandainya kamu milih laki-laki yang lebih baik dari aku. Kamu berhak ngejar kebahagiaan kamu, walaupun kebahagian kamu itu mungkin akan nyakitin aku.”
Ditrisya menahan senyumnya. "Itu dia. Aku bahagianya cuma sama kamu, walaupun di mata orang kurang realistis."
Perlahan Ahyar menolehkan kepalanya lagi, menatap Ditrisya tak mengerti.
Ditrisya memajukan wajahnya, mengecup bibir Ahyar sekilas. "Pokoknya, aku cintanya cuma sama kamu."
Beban yang dipikul Ahyar serasa terbang bersama angin laut. Akan sangat tidak elit jika ia menangis terharu karena ucapan Ditrisya, maka satu-satunya reaksi yang masuk akal adalah tertawa. Ditrisya sudah mempermainkannya, membuatnya ketakutan setengah mati akan sebuah kehilangan yang bahkan tak berani ia pikirkan.
“Aku tadi pikir ini jadi kenangan terakhir kita," aku Ahyar jujur. Ditrisya makin berani mengungkap perasaan, di saat Ahyar masih sering menimbang-nimbang.
“Kamu takut kehilangan aku?” tanya Ditrisya balik.
“Aku nggak pernah tahu rasanya kehilangan, tapi aku tahu sekali rasanya nggak punya siapa-siapa. Itu rasanya lebih meyakitkan daripada kamu nggak punya apa-apa.” Senyum leha Ahyar mengkerut menjadi sebaris senyum simpul, dan matanya menerawang ke kejauhan. “Mungkin dulu pernah merasakan kehilangan, tapi saat itu aku terlalu kecil untuk mengingat rasanya. Aku baru sadar kalau aku sendiri dan nggak punya siapa-siapa, saat ada orang kaya yang membuat pesta ulang tahun anaknya di panti.
"Aku masih ingat sekali. Anak itu tanya ke Ibunya, Ma, anak yatim piatu itu apa? terus dijawab sama Ibunya kalau anak yatim piatu adalah anak yang ditinggalkan kedua orangtuanya.”
Ahyar belum pernah bercerita mengenai ini sebelumnya, dan Ditrisya tak pernah punya nyali untuk bertanya. Ahyar melempar senyum tipis. “Rasanya sangat menyakitkan. Selama itu aku penasaran, dari dua pertanyaan ini mana yang lebih tepat ditanyakan; Orang tua macam apa yang tega meninggalkan anaknya? Dan aku ini anak seburuk apa sampai-sampai ditinggalkan?"
"Jadi? Mana yang paling tepat?"
"Aku udah nggak pernah mikirin sejak aku keluar dari panti dan merasa bukan anak-anak lagi."
“Jadi kamu sama sekali nggak tahu tentang orang tua kamu?” Ahyar menggeleng pendek-pendek. “Kamu nggak pernah caritahu siapa mereka?” tanya Ditrisya lagi berhati-hati.
“Untuk apa, Di?” tanya Ahyar retoris. “Di dunia ini hampir nggak ada orang yang memunggut sampahnya sendiri.”
“Ahyar...” Ditrisya mengusap-usap punggung Ahyar, meyakitkan mendengar Ahyar menganalogikan dirinya sebagai sampah.
Ahyar menghela napas, sekedar untuk mengontrol emosinya sendiri. Lelaki itu lantas memeluk Ditrisya, satu dari segelintir orang yang Ahyar harap tidak akan meninggalkannya.
***
"Gimana keadaan kamu, Yar? Payah, masa gitu aja udah KO."
Ahyar tahu maksud Eka tak lain untuk menyemangatinya, tapi Ahyar yang terlampau sensitif semenjak musibah itu terjadi, tidak bisa menahan diri menganggapnya sebagai sindiran tersirat.
Hari minggu itu Ditrisya mengajaknya berkumpul di rumah orangtuanya. Ahyar sempat dibuat heran lantaran tak ada yang mengungkit nasib buruknya padahal ia sudah mempersiapkan jawaban yang sekiranya tidak akan membuatnya terlihat malang, hingga tanpa sengaja Ahyar mendengar Ditrisya mengucapkan terima kasih kepada Ayah serta kedua kakaknya sudah tidak menanyakan masalah itu.
Ahyar menarik kesimpulan bahwa Ditrisya pasti sudah menceritakan semuanya sehingga mereka semua tak perlu mendengar cerita langsung dari Ahyar lagi.
"Ya, kalau Mas dihadapkan di situasi yang sama, Mas Eka juga pasti syok berat." Sosok Ditrisya tiba-tiba muncul dan bergabung dengan para lelaki, dia menendang kaki Dhika agar bergeser sehingga ia bisa duduk menempel di sebelah Ahyar. "Nggak cuma sakit, Mas mungkin aja bisa langsung jantungan." Tambahnya sambil menyambar bungkusan snack kentang dari pangkuan Ditrisya. Dhika gesit merebutnya kembali.
"Dasar pelit," cibirnya.
Dwipa membalikkan halaman koran, segaja cukup kasar hingga menimbulkan bunyi. "Berarti mental Ahyar nggak cukup kuat buat jadi pengusaha."
"Ahyar sakit karena akumulasi kecapekan, Mas Dwi." Bela Ditrisya, "Yang namanya musibah, nggak ada yang bisa nebak kapan dan gimana bentuknya. Lagian jadi masalah banget Ahyar sakit, kayak kalian nggak pernah aja."
"Di," Jika tak dihentikan, Ahyar jamin Ditrisya tak akan berhenti mengomel. Dengan orang yang baru dikenal dan tak terlalu dekat, Ditrisya cenderung lebih banyak tutup mulut. Dia akan jadi orang yang sangat berbeda jika sudah bersama orang-orang terdekatnya. "Mas Dwi benar, kok. Kalau aku udah terjun ke bisnis, harusnya aku udah siap menghadapi resiko yang datang tiba-tiba. kejadian ini pengalaman berharga banget, sih."
"Masih mau bisnis lagi?"
Ahyar nampak berpikir sejenak. "Mungkin enggak dalam waktu dekat ini. Modalnya yang susah."
Dhika mengangguk paham. "Pinjam aja sama Mas Dwipa."
"Aku?" Dwipa seketika mendongak, "Lagi nggak ada uang, baru aja dipakai DP beli rumah."
"Ah, alas-"
"Ahyar nggak butuh uang Mas Dwi juga, kok. Tenang aja. Yang dialaminya sekarang ini bukan jatuh, tapi Tuhan sengaja membuat dia jongkok dulu, mengambil ancang-ancang sebelum melompat tinggi." Sahut Ditrisya santai.
Dwipa melirik Ditrisya sebentar dengan sudut bibir tertarik samar, lalu mengembalikan fokusnya pada deretan kalimat di koran. Tetal saja sebagian perhatiannya juga terbagi untuk mendengarkan obrolan ketiga saudaranya.
Bohong jika Ahyar tak terpengaruh dengan apa yang barusan terjadi. Dwipa yang menunjukkan tanpa keengganan bahkan sebelum diminta, dan Ditrisya yang defensif membelanya seolah tahh maksud Dwipa apa.
Jika diizinkan memakai kaca mata cenauang, barangkali di mata Dwipa Ahyar tak lebih dari anak bawang yang bodoh. Tidak layak diberi kepercayaan. Karena bukannya untung, uang Dwipa bisa lenyap seperti yang terjadi dengan uang Galang. Hanya mengandalkan modal kedekatan personal, itu tak bisa menjadi jaminan untuk bisa membayar. Uang tetaplah uang. Bahkan saudara kandung bisa saling bunuh karenanya, apalagi Ahyar yang bukan siapa-siapa?
Ahyar cukup tahu diri dengan tidak membela diri. Lebih tepatnya, Ahyar memang tak punya apapun untuk dibela. Apa yang dipikirkan Dwipa tidak bisa disalahkan, yang ditakutkannya pun masuk akal.
Ahyar melirik Ditrisya yang kini sedang berebut kripik kentang dengan Dhika, senyumnya terkulum begitu saja, setidaknya ada Ditrisya yang percaya padanya. Meyakinkan Ahyar bahwa ini bukanlah akhir, dan membuat Ahyar sadar bahwa Ditrisya masih punya keberuntungan.