"Ya elah, Sisil lo percaya."
Sejujurnya bukan itu respon pertama yang ingin didengar Ditrisya usai menjawab menceritakan apa saja perkataan Sisil yang paling menganggunya. Salah satunya, saat Sisil mengatakan Ahyar lah yang menyuruh Vivi minta maaf.
"Jangankan Ahyar, Galang, cowok gue sendiri aja juga negur gue. Itu lah jeleknya gue, gue kalau ngomong suka spontan gitu aja. Tanpa mereka tegur pun, gue akan tetap minta maaf kalau gue rasa gue salah," jelas Vivi kemudian. "Setelah gue tahu ternyata ada teman dia lain yang merendahkan lo, gue maklum kenapa dia sampai negur gue cukup keras waktu itu."
Vivi mengusap-usap punggung Ditrisya dengan prihatin, dia belum juga berhenti menangis pasca Ahyar meninggalkannya.
"Udah, Di, jangan nangis lagi. Gue yakin Ahyar cuma lagi kesal. Percaya sama gue, dia nggak pernah sekesal ini kalau ada masalah sama cewek. Artinya apa coba?"
"Artinya gue bikin kesalahan besar banget."
"Bukaaan ... Hmm ...." Vivi mengembuskan napas panjang.
Ditrisya menyudut air mata dengan lembaran tisu entah ke berapa yang Vivi sodorkan padanya. "Kayaknya kali ini dia nggak bisa maafin gue. Sebelumnya gue pernah bikin kesalahan ini juga. Gue emang bodoh banget."
"Lo nggak bodoh. Lo cuma lagi bingung."
"Kalau kami beneran udahan, gimana?"
"Ya, gimana?..." Vivi menggaruk kepala turut bingung.
Sulit dipercaya, Ditrisya akan menangis karena seorang pria. Mengetahui Ahyar membelanya dengan risiko membuat Sisil tidak senang, di satu sisi membuat Ditrisya tersentuh, namun di sisi lain membuatnya sedih. Ia marah karena Ahyar tidak mau pulang saat ia menyuruhnya, tetapi ternyata tanpa Ditrisya tahu, Ahyar melakukan hal lebih daripada itu demi dirinya.
Jika ada penghargaan manusia terbodoh di dunia, Ditrisya sudah barang tentu akan keluar sebagai pemenangnya.
"Daripada lo nangis-nangis terus, kita cari makan, yuk. Ini lo baru balik kantor, kan?"
Ditrisya menggeleng sembari ia mendorong cairan hidungnya ke gumpalan tisu hingga membuat Vivi berjengit menutupi jijik. "Gue mau pulang aja."
"Yakin? Entar lo jangan-jangan di rumah nangis semalaman."
"Kayaknya."
"Heh! Ya jangan, dong."
Ditrisya terkekeh hambar. "Enggak, kok, gue nggak mau langsung pulang. Gue mau sekali lagi coba minta maaf ke Ahyar."
"Sekarang?"
Ditrisya mengangguk sekali. "Daripada gue beneran nangis-nangis semalaman." Ditrisya teringat malam mereka mulai pacaran, tengah malam Ahyar rela balik ke kos hanya untuk mengambil selembar foto, lalu balik lagi ke kontrakan Ditrisya hanya agar masalah tidak berlarut-larut sehingga Ditrisya bisa tidur nyenyak.
"Ya udah, nanti kabarin gue, ya, kalau ternyata Ahyar tambah bikin lo nangis."
Perasaan Ditrisya sedikit menghangat mendengar penuturan Vivi. "Gue kira, lo bakal mendukung Ahyar."
Vivi merangkul Ditrisya bersahabat. "Gue mendukung hubungan kalian berdua," jawabnya. "Selama berteman sama Ahyar, menurut gue lo yang paling cocok sama dia. Gue ngomong begitu bukan mau peres, tapi beneran, gue tahu cewek yang Ahyar butuhkan itu lo. Jadi jangan pernah menganggap kalau lo nggak berkontribusi apa-apa buat Ahyar. Bahkan yang dilakukan Sisil itu nggak ada apa-apanya."
Ditrisya mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Vivi karena mau jadi segelintir orang yang begitu mendukung hubungan mereka.
Kata-kata Vivi sangat berarti bagi Ditrisya.
***
Ditrisya hampir berlonjak kegirangan saat Ahyar menjawab teleponnya. Saat Ditrisya mengajaknya bertemu, Ahyar menyuruhnya menyusul ke tempat dia sedang berada sekarang. Tanpa pikir panjang, Ditrisya langsung minta tautan peta lokasi.
Ditrisya hanya mengikuti peta tanpa punya bayangan itu tempat apa. Baru lah saat tiba di sana, Ditrisya mendadak ragu untuk masuk.
Demi Tuhan ini adalah club malam. Seumur hidup Ditrisya belum pernah datang ke tenpat semacam ini, ia bahkan tidak tahu bagaimana cara masuk ke sana. Dengan segera, ia mengetikkan pesan pada Ahyar, memberitahukan bahwa ia susah di luar.
Ditrisya teringat malam saat Ahyar meneleponnya dalam keadaan mabuk. Ini gila, apa setiap kali punya masalah Ahyar akan mendatangi tempat semacam ini? Sejak mereka pacaran, dapat dihitung dengan jari Ahyar mengabari dirinya sedang nongkrong. Ditrisya tahu sebagian besar waktu lelaki itu tersita kerja di restoran Sisil. Apalagi saat Ahyar mulai jualan sendiri, seluruh waktunya dicurahkan di sana, hingga mau tak mau Ditrisya lah yang datang menemuinya. Membantu Ahyar jualan adalah salah satu cara 'kencan' mereka.
Ditrisya mengembuskan napas panjang. Baiklah, Ditrisya tidak punya pilihan selain masuk. Ia sudah jauh-jauh datang, dan tidak mungkin pulang begitu saja tanpa hasil. Paling tidak, ia harus melihat Ahyar tidak melampiaskan masalahnya dengan melakukan hal-hal bodoh.
Melihat segerombolan orang akan masuk, Ditrisya buru-buru mengikuti mereka di belakang. Melihat mereka semua mengeluarkan dompet, Ditrisya pikir mereka harus beli tiket atau semacamnya. Setelah menunjukkan KTP, mereka membayar sejumlah uang, baru diperbolehkan masuk.
"Ada tiket masuknya, ya, Pak?" tanya Ditrisya, siapa tahu ia tak perlu bayar karena tujuannya cuma untuk cari Ahyar.
Petugas pria itu memandang Ditrisya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tentu saja, pakaiannya terlalu sopan untuk masuk club malam. "Baru pertama ke tempat begini ya, Mbak?" Ditrisya mengangguk kaku. "Sendirian?"
"Ada teman di dalam."
"Ada undangannya?"
"Undangan apa?"
Petugas itu berdecak, lalu melirik sekilas ke antrean pendek di belakang Ditrisya. "Bayar cover charge, ya, 100 ribu."
"Apa harus? Saya nggak ada rencana minum-minum, kok."
"Harus, Mbak. Kalau mau minum-minum ya, bayar lagi. Kalau Mbak ribet, mending pulang aja."
"Sabar, dong, Mas. Saya, kan, nggak tahu."
"Ya, itu udah dikasih tahu masih tanya mulu. Dikira pasar apa?! Bebas keluar masuk."
"Lho, kok Mas jadi marah ke saya?"
Petugas itu menghela napas napas, sekali lagi melirik ke belakang. "Jadi, Mbak mau masuk apa enggak?"
"Ya, jadi lah. Dikira saya nggak punya uang apa?!" dengan sebal Ditrisya mengeluarkan selembar uang warna merah muda dari dompetnya.
Setelah itu, Ditrisya mengikuti jalur masuk menuju area club dan langsung disambut dengan suara berisik serta bau rokok. Ditrisya bingung harus bergerak ke mana, tubuhnya terdorong-dorong orang-orang di sekitarnya. Ia melirik ke segala arah, bukannya menemukan Ahyar, yang ada kepalanya malah pusing karena terlalu banyak orang. Ditrisya terus saja menggerakkan kakinya, tidak tahu ke mana sambil memeluk tas di depan d**a, seakan dirinya sedang ada di dalam gerbong kereta.
Hingga Ditrisya akhirnya menemukan sosok yang dicarinya tampak sedang duduk bersebelahan dengan Sandra di meja bar melingkar.
Seketika tubuh Ditrisya lemas. Apa-apaan ini? Ahyar sengaja menyuruhnya menyusul ke tempat seperti ini sendirian, tanpa mempertimbangkan Ditrisya perempuan dan belum pernah datang ke club malam, hanya untuk disuruh melihatnya ngobrol bisik-bisikan dengan Sandra?
*****
halo, ada orang di sana? komen yang aku baca kemarin bener2 jadi bahan koreksi aku. makasih banget, semoga dia masih mau baca bab ini juga
beneran terharu banget masih ada yg peduli sama cerita ini, padahal dibaca doang udah syukur banget.
Pokoknya terima kasih banyak dan ditunggu kritik dan sarannya