Ahyar melihat penampilannya sekali lagi di cermin, sebelum keluar dari sebuah ruangan khusus untuk menuju tempat meet and greet-nya berlangsung. Alvin, manager Ahyar, merangkul pundaknya, membimbing sekaligus melindunginya dari fans yang sepanjang jalan menunjuk-nunjuk dirinya dengan teriakan histeris.
Ahyar hanya mengangguk sambil melempar senyum. Memang itulah yang wajib dilakukan artis pendatang baru seperti dirinya, membangun citra sebaik mungkin agar digemari banyak orang. Saat Ahyar sudah terlibat di proyek lebih besar dan fans fanatiknya makin banyak, saat itulah Ahyar boleh mengangkat dagu dan tersenyum separo.
Alvin memberitahunya apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh Ahyar lakukan. Sekarang Alvin lah yang memegang kendali atas dirinya, dia yang mengatur semua jadwal, pemasukan, hingga pengeluaran rutin.
Riuh teriakan yang didominasi suara perempuan menyambut Ahyar begitu memasuki hall yang menjadi pusat dari mall ini. Ratusan pengunjung melingkari sebuah panggung kecil yang diletakkan di tengah-tengah. Di belakang panggung membentang spanduk besar berisi foto Ahyar serta deretan logo sponsor acara. Menengok ke atas, Ahyar bisa melihat pengunjung lain berjejer rapat di batas pagar pengaman ke empat lantai di atasnya. Ahyar melambaikan tangan menyapa mereka semua.
Ahyar... namanya diteriakkan saling sahut menyahut. Ahyar tersenyum lebar dan sesekali melemparkan lambaian tangan.
Mata Ahyar menyapu ke sekeliling, kagum betapa banyak orang yang rela datang hanya untuk bertemu dengannya secara langsung. Pekerjaan ini sangat mudah, dalam waktu kurang dari setengah tahun, Ahyar hampir mendapat semua yang ia inginkan.
Hingga sapuan matanya terhenti di satu titik, di tengah-tengah ratusan fans yang berdiri di depan panggung. Jika semua orang mengembangkan senyum sambil mengacungkan gadget, titik itu hanya diam memandanginya dengan mata berkaca-kaca.
Hati Ahyar berdesir melihat Ditrisya berada diantara ratusan penggemarnya. Kehadiran Ditrisya tentu bukan tanpa maksud. Ahyar terpaku karena ia sadar, ia telah mengacuhkan gadis itu. Sebagai lelaki Ahyar tak bisa melakukan apapun, sampai gadisnya harus berdesakan dengan ratusan orang hanya untuk melihatnya secara langsung.
Ditrisya masih ada di sana hingga acara selesai, membuat Ahyar terintimidasi dan nyaris mengacaukan acara dengan kecanggungannya di atas panggung hingga Alvin beberapa kali memberinya kode agar ia bisa lebih rileks.
Ditrisya pun menyadari sesekali Ahyar meliriknya, terlihat jelas dia tidak nyaman Ditrisya berada di sini. Padahal Ditrisya cuma berdiri, ia tak ikut mengangkat tangan saat pembawa acara meminta beberapa penonton naik ke atas panggung untuk melakukan games bersama Ahyar.
Acara selesai beberapa saat kemudian, Ahyar sudah meninggalkan panggung dan para penggemar membubarkan diri.
Ditrisya berjalan tanpa tenaga mendekat ke arah panggung yang sekarang sedang dibereskan petugas. Menatap foto Ahyar dengan perasaan kacau. Ahyar yang ada di panggung, bukan Ahyar yang ia kenal meski mereka memiliki wajah yang sama. Bukan lelaki itu yang dicintainya.
Ahyar yang ada di atas panggung tadi tidak membuat detak jantungnya meningkat. Saat dia melempar guyonan menggoda, Ditrisya tidak merasa tersipu malu-malu bahaga. Atau saat Ahyar tersenyum menunjukkan pesona, di mata Ditrisya, Ahyar tidak ada tampan-tampannya sama sekali. Sosok Ahyar yang ada di panggung tadi tak lebih dari lelaki yang tahu dirinya punya wajah lumayan yang sedang cari-cari perhatian.
Huh, Ditrisya akui itu pemikiran paling jahat sebagai kekasih Ahyar. Ditrisya benci dirinya sendiri karena tidak bisa mengendalikan pikiran. Kembali Ditrisya memarahi diri, semestinya ia bangga melihat Ahyar banyak yang mengidolakan. Tidak semua orang bisa mencapai posisi Ahyar dan tidak semua orang bisa jadi pacar lelaki seperti Ahyar. Ditrisya semestinya merasa bersyukur. Ahyar tidak akan mempertahankan hubungan mereka seandainya lelaki itu memang sudah berubah.
Ditrisya sungguh penasaran apa yang akan Ahyar katakan setelah ini, yang jelas ia tahu Ahyar pasti akan marah atau sejenisnya.
Saat ini Ditrisya menunggu ponselnya berdering. Jika Ahyar masih belum juga menghubunginya, Ditrisya sudah akan berpikir ulang apakah ia sanggup atau sudah menyerah untuk menjalani hubungan yang makin lama makin terasa asing ini. Sehinga Ahyar bisa terbang setinggi-tingginya, tanpa perlu Ditrisya merasa memilikinya.
Gadis itu tersikap merasakan sentuhan di pundaknya dari arah belakang. Ia membalikkan badan cepat, ambil ancang-ancang waspada melihat seorang lelaki bermasker hitam dan mengenakan topi hingga menutupi separuh wajahnya. "Apa-"
"Ikut aku." Dari suaranya, Ditrisya mengenalinya. Karena itulah Ditrisya tak melawan saat tangannya ditarik cepat ke area parkir, lalu masuk ke dalam sebuah mobil kosong.
"Ahyar?"
Ahyar melepaskan masker dan topinya diiringi helaan napas panjang. "Kamu ngapain ada di sana?" tanya Ahyar dingin.
Ditrisya yang berharap ada pelukan setelah sekian lama tak bertemu, memutar bola mata jengkel. Tentu saja, begitulah Ahyar akan merespon. Bukankah sejak awal Ditrisya sudah tahu Ahyar tidak akan menyambutnya dengan pelukan rindu, tapi kenapa ia masih merasa kecewa seolah-olah tidak bersiap dengan kemungkinan terburuk?
"Buat nunjukin kalau aku masih hidup, sekaligus memastikan kamu juga masih hidup," sahut Ditrisya ketus sekalian. Jika saja Ahyar menanyakannya dengan nada lebih ramah, Ditrisya akan mengarang alasan manis.
"Setiap hari kita masih teleponan, kan? Aku selalu sempat-sempatin telepon bisa nggak bisa."
Ditrisya ternganga. Apa ia tidak salah dengar? Benarkah barusan Ahyar menggagungkan telepon yang bahkan tidak pernah lebih dari sepuluh menit.
"Wow, aku nggak tahu kalau ternyata biar bisa telepon aku perjuangan kamu sampai sebegitunya. Berati bagus, dong, aku datang ke acara-acara kamu kayak tadi?" Dalam durasi tersebut, Ahyar lebih banyak menceritakan kegiatannya sendiri. Ditrisya tidak minta dua puluh empat jam waktu Ahyar, ia sungguh hanya ingin punya waktu berkualitas meski hanya belasan atau puluhan meniy saja.
"Kalau pun mau datang, harusnya kamu bilang dulu!"
"Apa semua fans kamu juga bilang dulu kalau mau datang ke acara kamu?"
Ahyar mengusap wajahnya kasar, menyikapi sindiran Ditrisya. "Kenapa kamu nggak bisa sabar sih, Di? aku belum ada waktu buat kamu karena aku-"
"Sibuk," potong Ditrisya bosan sekali mendengar satu kata itu. Seakan di dunia ini hanya Ahyar yang punya kesibukan. "Aku tahu itu, karena itulah aku ada di sana tadi. Menemui kamu walaupun aku tahu aku nggak mungkin diberi sesi ngobrol pribadi. Aku nggak naik ke atas panggung dan merebut microfon buat bilang kalau aku adalah pacar kamu. Kenapa kamu mesti sekesai ini cuma karena itu, Yar?"
Ahyar menatap Ditrisya sesaat, kemudian menghela napas. "Maafin aku..." Ahyar meraih tangan Ditrisya untuk digenggamnya. "Aku-"
Pintu di penumpang di sebelah pengemudi terbuka, Alvin masuk dan di detik yang sama Ahyar melepaskan tangan Ditrisya.
Alvin menunjuk Ditrisya bingung. "Kamu siapa?"
"Sa-"
"Teman gue, Mas."
Ditrisya terperangah mendengarnya. Bahkan, pada manajernya pun Ahyar merahasiakan hubungan mereka?
Ditrisya menatap Ahyar tak percaya, ada gabungan antara luka dan tanya di dalamnya. Sementara untuk saat itu Ahyar hanya bisa membalasnya dengan tatapan sarat akan permohonan.
"Masih hal penting yang mau dibahas? Kita mesti jalan ke lokasi syuting sekarang."
"Enggak. Kalaupun ada yang perlu dibahas, itu kayaknya bukan hal penting," jawab Ditrisya menahan sakit di d**a. Bukan dirinya atau apa pun, bagi Ahyar yang penting selarang hanya syuting dan syuting.
"Kamu syutingnya di mana?" Ide menarik tiba-tiba melintas di kepala Ditrisya. "Boleh nggak aku ikut? Aku nggak akan norak ketemu artis, kok, cuma mau lihat gimana tempat kamu kerja aja."
Tak kunjung dapat jawaban dari Ahyar, Ditrisya pun bertanya pada Alvin. "Boleh nggak, Mas?"
"Oh, boleh aja, sih. Asal di sana nanti nggak ganggu orang-orang kerja," jawab Alvin yang langsung disambut Ditrisya dengan wajar senang dan gumaman terima kasih.
Ahyar menatap Ditrisya penuh peringatan, dengan bibir menipis seolah sedang menahan kegeraman. "Syutingnya nggak sejam dua jam, Di. Aku mungkin tengah malam baru pulang."
"Oh, nggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri. Kamu kan, tahu tempat kerja aku. Aku juga ingin tahu gimana tempat kerja teman aku. Boleh, kan?"