Lepas makan siang, Ditrisya mendapat giliran mencuci piring kotor. Ditrisya mengeluh karena peralatan yang harus dicuci banyak sekali tapi tampaknya tak ada yang mau peduli. Sementara seluruh keluarga bersantai di teras belakang dengan ditemani cemilan berupa buah-buahan dan kue kering sehat buatan Ibu, tanpa sengaja Ditrisya memecahkan sebuah gelas. Ahyar menghampirinya dan membantu membersihkan pecahan beling.
Ditrisya mengadu bahwa tangannya pegal, dengan penuh perhatian Ahyar berkata bahwa ia yang akan menyelesaikannya. Ditrisya tak mau dan mereka pun mengerjakannya bersama-sama. Ditrisya yang menyabuni piring-piring itu, dan Ahyar yang membilas di bawah air mengalir, sekaligus menatanya di atas rak pengering.
"Omongan Mas Dwipa tadi..." Ditrisya sengaja menggantungkan kalimatnya, memastikan Ahyar memberikan perhatian pada ucapannya. "Tolong jangan masukin ke hati."
"Aku udah lupa, emangnya omongan yang mana?" timpal Ahyar tidak ingin membahasnya lebih agar tak terkesan serius.
Ditrisya memutar bola mata, bisa membaca Ahyar hanya pura-pura tak paham maksudnya. "Ayolah Ahyar, Mas Dwi itu bukan Mas Eka atau Catur yang mulutnya kayak perempuan. Dia ngomongnya dikit tapi suka ngelekit."
Banyak orang bilang Dwipa adalah Ditrisya versi laki-laki. Pendiam, seperlunya, dan kalau ada sesuatu yang tidak dia suka akan disuarakan entah tersirat atau gamblang. Untuk urusan uang, tingkat kepelitan Dwipa berada tepat di bawah Ditrisya, disusul oleh Eka dan Dhika dibawahnya secara berurutan.
Ahyar mendelikkan bahu tak acuh. "Hati aku nggak punya pintu masuk buat omongan orang. Di situ cuma ada satu, dan itupun udah tertutup."
Ditrisya menaikkan alis, mengerejap bodoh. "Hah?" Ucapan Ahyar seakan lompat dari topik. "Apa hubungannya omongan Mas Dwi, pintu hati kamu yang cuma satu dan udah tertutup itu? Nggak nyambung."
"Kamu lupa kalau kamu udah pernah melewati pintu itu?" Kerutan di kening Ditrisya makin dalam, "dan sekarang pintu itu udah tertutup begitu kamu masuk. Jadinya isinya cuma ada kamu." Ahyar menunjuk bagian d**a di posisi jantung berada.
"Ck, ck, ck," Ditrisya geleng-geleng tak habis pikir. "Udah nggak nyambung, gombalannya maksa banget lagi. Nggak jelas," cibirnya.
Ahyar tertawa ringan. Lebih baik dianggap tidak jelas, daripada membahas sesuatu yang belum jelas. Bagaimana pun juga, respon Ahyar terhadap sikap Dwipa pasti akan mempengaruhi respon Ditrisya juga. Ahyar tidak mau Ditrisya terlalu membelanya sampai ribut dengan keluarganya.
"Apa karena sekarang kamu yang lebih jago ngomong manis, makanya aku jadi garing?"
"Mana ada aku ngomong manis. Biasa aja perasaan," dengus Ditrisya, meski ia akui bahwa belakangan ia memang makin sering mengungkapkan perasaan.
"Masa, sih, biasa aja? Aku masih ingat semua lho, yang kamu bilang. Apalagi pas aku sakit. Mau dengar ulang?"
"Enggak, nggak ada, ya!" Ditrisya melotot dengan wajah memerah menahan malu. Seandainya tahu Ahyar akan menggunakan kejujuran hatinya untuk menggodanya seperti ini, lebih baik Ditrisya acuh tak acuh saja.
"Terus, yang di pantai minggu lalu. Kami bilang pokoknya aku cinta kamu," Ahyar menduplikasi suara Ditrisya. "Terus, cium--"
"Ahyar!" jerit tertahan Ditrisya lantaran kesal dan takut ada yang mendengar lalu salah paham. Takut dikiranya gaya pacaran mereka kebablasan. Dilemparnya spons berbusa ke tangan Ahyar. "Nih, selesain sendiri. Tadi nantangin mau cuci piring sendiri, kan?" bersunggut-sunggut kesal, Ditrisya benar-benar meninggalkan Ahyar. Harusnya ia lakukan itu sejak tadi demi melindungi wajah dan kesehatan jantungnya.
Tak sampai sepuluh menit kemudian Ahyar sudah selesai dengan pekerjaanya, kemudian ia menyusul berjalan ke arah dimana sumber tawa dan celoteh berasal.
"... jahat gitu, lah, Mas, tanya teman-temanmu siapa tahu ada yang punya lowongan kerja."
Labgkah Ahyar tertahan dibalik sekat tembok, mendengar suara Ditrisya. Setahunya, Ditrisya tidak dalam posisi butuh pekerjaan. Ahyar sengaja diam-diam mendengarkan, sembari berharap terbakannya saat ini tidak benar.
"Kamu, kan, juga punya teman."
"Teman aku dikit."
"Ada, sih, lowongan kerja. Tapi jadi tukang sapu di halaman balai kota, mau?"
"Ya nggak tukang sapu juga. Mas Dwi?"
"Mas kerja di lingkungan rumah sakit, Tri. Kalau nggak mau jadi tukang sapu di sana, ya dia harus punya background medis dulu."
"Kalian semua kok nggak ada yang peduli sama Ahyar, sih?"
Deg! Inilah yang Ahyar takutkan. Ditrisya bertindak terlalu jauh dari semestinya. Ahyar hanya ingin Ditrisya tidak meninggalkannya, dan bukan berusaha lebih keras menyelesaikan masalah Ahyar.
"Kalau dia emang mau kerja, harusnya dia yang tanya sendiri. Jangan ngarepin kepedulian dan bantuan orang lain terus." Itu suara kakak kedua Ditrisya, Dwipa. "Nggak cukup apa pengalaman dari bisnis gagalnya kemarin? dia terlalu menggantungkan diri sama orang lain, pas orang itu pergi, dia kelabakan.
" Zaman sekarang itu, semangat sama kemauan aja nggak cukup, setiap orang harus punya setidaknya satu keahlian," lanjut Dwipa.
"Dwipa benar," sambung Eka, "apalagi kamu bilang dia nggak suka sama peraturan yang terlalu ketat. Ayolah, semua yang ada di dunia ini punya aturannya. Bedanya ada yang resmi, ada juga norma. Pilot yang bisa nerbangin pesawat aja nggak mungkin sampai tujuan kalau nggak berpatok sama navigasi dan nurut sama komandi menara pengawas. Percuma kamu susah-susah nyariin kerja, kalau dasarnya dia yang nggak mau kerja."
"Ayah?" Kali ini Ditrisya meminta bantuan sang Ayah.
"Ahyar laki-laki dewasa, Mbak. Kamu bukan istri atau ibunya, nggak seharusnya kamu panik kayak gini. Biasa-biasa saja lah."
Agaknya Ahyar terlalu nyaman dengan kehadiran Ditrisya, dan mungkin Ditrisya pun memposisikan diri sebagai satu-satunya orang terdekat yang dimiliki Ahyar sehingga dia merasa harus melakukan sesuatu lebih untuk membantu Ahyar. Hingga Ahyar tidak sadar kalau Ditrisya sudah membantunya terlalu banyak dan mencampuri urusannya terlalu jauh. Kali ini Ditrisya sudah melewati batasnya.
Meskipun keluarga Ditrisya menerimanya dengan tangan terbuka, posisi Ahyar tak lebih dari tamu. Tamu sedikit spesial sebab bagi Ditrisya, ia bukan orang biasa. Entah seberapa banyak Ditrisya menceritakan masalah Ahyar ke keluarganya. Atau mungkin malah sudah semuanya.
Semua pembicaraan itu sukses membuat Ahyar merasa tidak berguna.
***
Sejujurnya, Ditrisya bersyukur Ahyar mengaku ada urusan mendadak sehingga harus pamit pulang lebih awal, lantaran ucapan Kakak-kakaknya makin lama main terdengar nyinyir. Bukan cuma kedua kakaknya, bahkan Ibu dan Ayah pun cenderung skeptis tiap kali Ditrisya mencoba meluruskan bahwa Ahyar tidak seperti yang mereka kira. Ditrisya ingin mereka berempati sedikit saja pada Ahyar yang baru kena musibah. Ibarat orang habis kecelakaan, bagaimana bisa dia dituntut langsung mengejar ketertinggalan sedangkan kendaraan rusak dan jalan kaki pun terpincang-pincang?
Jika benar penilaian mereka terhadap Ahyar berubah lantaran kegagalan bisnis Ahyar, Ditrisya pastinya sangat kecewa. Ia tak menyangka keluarganya berpikiran picik.
"Bye, kalau udah sampai jangan lupa kabarin," ujar Ditrisya melepas Ahyar pergi.
"Di, soal aku...." Ahyar urung menaiki motornya, lantaran ada hal yang ingin dikatakan.
"Ya?" tanya Ditrisya penuh perhatian.
Ahyar menimbang-nimbang sesaat, ragu apakah mengatakannya sekarang adalah hal tepat. Namun jika yak sekarang, Ahyar khawatir semakin banyak masalah pribadi Ahyar yang jafi konsumsi keluarga Ditrisya. Pada akhirnya, Ahyar putuskan untuk berkata, "Ayah benar, kamu biasa-biasa aja. Tolong jangan membela aku terlalu berlebihan, ataupun minta bantuan atas nama aku."
Alis Ditrisya bertaut, tanda dia sedang berpikir keras. "Kamu bicara tentang apa?"
"Aku dengar pembicaraan kamu sama keluarga kamu waktu aku cuci piring barusan."
Seketika itu juga tautan alis Ditrisya terurai, dan menukik naik bersamaan dengan kelopak matanya membeliak kaget. "Apa aja?" tanya Ditrisya berusaha tenang. Sembari mengingat-ingat tiap kata dalam obrolannya dengan keluargannya yang disinggung Ahyar tadi.
"Sebagian kecil, aku rasa."
Ditrisya sedikit menundukkan kepala. Ia ingin menyangkal, tapi ia takut itu malah akan terdengar seperti hanya cari-cari alasan. Jika Ahyar tahu Ayahnya menyuruh Ditrisya biasa-biasa saja, maka artinya Ahyar mendengar hampir semuanya. "Aku nggak bermaksud bikin kamu kelihatan buruk--"
"Iya, aku tahu. Karena itu aku nggak mau mempermasalahkannya," potong Ahyar. "Berhubung udah terlanjur, sekarang kalau bisa apa yang jadi masalah aku, biar jadi milik aku. Kalau pun aku membaginya sama kamu, bukan berarti aku mengizinkan kamu membaginya ke orang lain. Termasuk ke keluarga kamu. Kalau nanti aku butuh bantuan, biar aku sendiri yang minta tolong," jelas Ahyar sabar, di saat bersamaan siapa pun pasti bisa merasakan kegeraman yang ditahan-tahan.
"Iya, maaf...," gumam Ditrisya bersungguh-sungguh.
Ahyar menyentuh kepala Ditrisya sekilas. "Kita ngobrol lagi nanti. Sekarang aku pulang dulu," ujarnya, sebelum menaiki motor dan meninggalkan rumah Ditrisya. Meninggalkan Ditrisya yang sangat merasa bersalah.
Ditrisya melakukan semua itu semata-mata untuk meringankan beban Ahyar, mengingat belakangan lowongan kerja makin jarang. Jika hanya mengandalkan iklan, bisa-bisa berbulan-bulan kemudian Ahyar baru mendapat pekerjaan. Dan ia pikir, jika semakin banyak orang yang mengetahui keadaan Ahyar, maka akan semakin banyak pula orang yang menyemangatinya. Ditrisya benar-benar tidak ingin melihat Ahyar terpuruk terlalu lama.
Respon keluarganya lah yang luput dari pertimbangan Ditrisya, ia tak menyangka itu malah membuat penilaian Ibu, Ayah, dan saudaranya terhadap Ahyar berubah.
Ditrisya masuk kembali ke dalam rumah dengan lesu. Ia jelas belum puas dengan akhir pembicarannya dengan Ahyar, mereka benar-benar harus membahasnya lagi nanti.
***
Ahyar tidak berpangku tangan. Seperti pecut kuda, sindiran keluarga Ditrisya memacu Ahyar untuk tak buang-buang makin banyak waktu. Ahyar sepenuhnya sadar sekarang, di dunia seperti ini lah ia hidup. Tempat dimana seseorang hanya akan dinilai dari pencapaian dan pendapatan. Tanpa memiliki keduanya, meskipun Ahyar baik dan tidak pernah menyakiti siapa pun, label Ahyar tetap lah seorang pecundang.
Ahyar ingin membayar cinta dan semua yang Ditrisya berikan padanya dengan menjadi laki-laki yang berguna di mata semua orang. Entah bagaimana caranya, Ahyar harus punya sesuatu untuk ditunjukkan. Sesuatu yang memiliki 'nilai' pastinya.
Kotak terkirim akun email-nya mendadak penuh setelah Ahyar banyak mengirim aplikasi lamaran kerja ke tempat-tempat yang sekiranya sesuai dengan keterampilannya yang terbatas. Menyedihkan bagaimana Ahyar baru paham arti waktu adalah uang di umurnya sekarang. Waktu Ahyar banyak terbuang untuk bersenang-senang, terutama di umur-umur sembilan belas sampai dua puluh empat, yang mana merupakan awal masa produktifnya sebagai manusia. Kini Ahyar harus membayar keterlambatannya sekarang.
Efek butuh uang agaknya membuat urat gengsi Ahyar putus. Dia mendatangi Bastian, seorang temannya yang bekerja di agensi modeling. Sebelumnya Ahyar menggandalkan Bastian untuk mendapat uang. Ahyar tidak akan berakhir seperti ini sekarang seandainya dulu ia tak membuang banyak kesempatan dan tawaran untuk mengembangkan karir, mengingat Ahyar punya modal fisik lebih dari cukup untuk menjadi seorang model profesional atau aktor jika mau bekerja sedikit lebih keras.
Bastian menyuruh Ahyar menemuinya di kantor agensinya, Bastian tidak mau mau dimintai pekerjaan hanya melalui telepon atau diajak Ahyar bertemu di tempat luar lantaran mengaku sangat sibuk. Baiklah, memang seperti ini harusnya. Siapa yang butuh, dia yang datang.
Ahyar sudah menunggu selama sekitar setengah jam, ketika Bastian memberitahu Bastian akan ada kksks
"Sandra!"
Saat pandangannya menangkap sosok Ahyar, Sandra menunjukkan ekspresi kaget sama halnya seperti Ahyar. "Lo ngapain di sini?" tanya Ahyar sembari berjalan mendekat.
"Lah, lo sendiri ngapain?" tanya Sandra balik. "Kalau gue, kan, urusan kerjaan."
"Kerjaan?" ulang Ahyar sekadar memastikan telinganya tidak salah dengar. Setahunya sepulang dari pendidikan di luar negeri, Sandra kini bekerja di firma hukum milik pamannya. Ahyar tercetus satu hal. "Ah, kasus yang lagi lo tangani berhubungan sama kantor ini, ya?"
Sandra tertawa kecil. "Kira-kira, dong, Yar. Menurut lo gue akan kerja dengan baju begini?"
Barulah saat itu Ahyar menyadari Sandra tidak memakai setelan kerja formal, melainkan pakaian yang kelewat casual, berupa celana jeans dan atasan crop top yang membungkus tubuh rampingnya. Membuat Sandra terlihat makin jenjang. "Terus? Kenapa bisa ada di sini?" tanya Ahyar tak kunjung mengerti.
"Lo sendiri?"
Gantian Ahyar yang tertawa. Sepertinya akan ada banyak hal untuk dibicarakan, sehingga mereka memutuskan untuk membicarakannya dengan santai di kedai kopi yang ada di lantai dasar gedung bertingkat ini.
Sandra memberinya informasi tak disangka-sangka, yaitu Sandra meninggalkan karir hukumnya untuk mengejar mimpinya menjadi seorang aktris. Tidak tanggung-tanggung, Sandra ingin menjadi bilang film. Mimpi yang dulu sering mereka jadikan bahan candaan lantaran tampak mustahil. Sedari awal Sandra sudah pesimis karena orang tuanya selalu mengutamakan pendidikan formal, pun dengan Ahyar yang saat itu bahkan tidak punya keinginan sehingga tidak bisa membantu Sandra.
"Kerjaan lo sekarang gimana? Nggak sayang ditinggalin?" tanya Ahyar, setelah menanyai keseriusan Sandra sebanyak dua kali dan Sandra selalu tampak yakin di tiap anggukan kepalanya. "Maksud gue, lo udah sekolah jauh-jauh, tapi ujung-ujungnya ilmunya nggak terpakai."
Sandra mengangkat bahu ringan. "Jangan kayak orang terbelakang gitu lah mikirnya, Yar. Namanya ilmu, pasti terpakai. Banyak kok orang yang berkarir nggak sesuai background pendidikannya. Gue merasa harus melakukan ini sebelum mati."
Ahyar meringis, tak enak hati pernyataanya dikoreksi. Pernyataan Sandra barangkali tidak akan pernah bisa dimengerti oleh orang seperti Ahyar yang berhenti kuliah karena merasa sekolah terlalu tinggi tidak ada gunanya. "Orang tua lo setuju?"
"Awalnya ya, enggak. Gue buat semacam perjanjian, kalau sampai dua tahun ternyata gagal. Mau nggak mau, gue harus lanjut lagi ke dunia hukum."
Ahyar mengangguk mengerti, mungkin itulah yang dinamakan mengejar passion. "Itu keren, setidaknya lo tahu apa yang ingin lo lakukan."
"Gimana sama lo sendiri? masih mau berbisnis lagi?"
Ahyar diam sedikit lebih lama. Meski belum bisa melupakan kegagalan dan iklas menanggung kerugian, ada sesuatu yang mengganjal di hati Ahyar. Semacam rasa penasaran, jika lubang-lubang yang dulu tidak ia sadari itu tertutup, apakah bisnis itu akan berhasil? "Aku ingin coba peruntunganku sekali lagi," jawab Ahyar pelan, lebih karena tidak yakin kesempatan untuk mencoba itu masih ada.
"Jangan paksa, kalau lo merasa nggak bisa. Lo udah pernah coba. Lo gagal, itu bukan karena lo yang salah, ya mungkin karena itu bukan bidang yang cocok buat lo aja. Sesuaikan aja sama apa yang jadi prioritas lo sekarang."
Ahyar mengangguk. Ia pun berpikir demikian. Ia tidak akan gegabah seandainya ingin berbisnis lagi. Untuk sekarang, yang selalu Ahyar pikirkan hanyalah uang. Ia tidak bisa hidup dengan bayang-bayang hutang dan agar Ditrisya berhenti mencemaskan dirinya.
"Eh, besok lo kosong, nggak?" tanya Sandra tiba-tiba.
"Maksud lo apa, San? Gue ini pengangguran!" Ahyar pura-pura geram.
"Bagus itu," Sandra berbinar-binar senang, Ahyar mengerutkan kening. Bukankah Sandra terlalu kejam, bersenang-senang di atas kemalangan Ahyar?
"Kalau gitu lo bisa ikut gue. Besok gue ada casting buat iklan shampoo, mereka cari talent cowok sama cewek. Tunggu," Sandra menjeda, dia menarik kepas topi Ahyar dari kepala lelaki itu. "Nah, kebetulan banget rambut lo lumayan panjang dan kelihatan tebal. Tinggal ke barber shop buat rapihin sendikit."
"Iklan, San?" Ahyar geleng-geleng karena rencananya tidak sampai sejauh itu. "Enggak, enggak, gue rencananya cuma akan jalan di runaway aja."
"Ih, kalau mau melakukan sesuatu ya jangan nanggung-nanggung, Yar. Sekalian nyemplungnya. Yah, kecuali kalau itu emang nggak suka dan ingin ngejar passion lo di bidang lain."
Passion? Ahyar berdecih. "Gue nggak nikirin passion, gue akan melakukan sesuatu yang bisa ngasih gue uang. Gue bukan lo, San, yang bisa seentengnya ninggalin pekerjaan menjanjikan, bukan sesuatu yang belum pasti. Demi passion itu."
"Ya udah, artinya lo nggak ada alasan buat nggak mau mencoba, kan?"
Ahyar menatap Sandra, gadis itu terlihat sangat yakin dengan sarannya.
Melihat keraguan di mata Ahyar, Sandra kembali menambahkan, "gampangnya, pas jadi model, lo ngelakuinnya asal-asalan aja menghasilkan. Bastian bilang tawaran buat lo sebenarnya banyak, cuma lo aja yang moody-an. Coba kalau lo seriusin, terima job-job besar. Ikut casting, cari relasi. Jadi artis nggak rendah-rendah amat, kok, Yar. Buat sebagian orang, itu malah jadi jalan pintas merubah nasib. Lihat aja, banyak banget contohnya."
***
Ditrisya bersumpah dirinya tak akan tenang sebelum bertemu langsung dengan Ahyar, memastikaan maafnya bukan hanya pemanis bibir saja. Maka ia memaksa Ahyar untuk bertemu, Ahyar berjanji akan menemuinya di sebuah restoran cepat saji dekat rumah Ditrisya karena lelaki itu masih ada urusan entah apa.
Ditrisya menunggu sekitar tiga puluh menit, minuman yang ia beli pun sudah nyaris habis. Ia belum memesan makanan karena ingin menunggu Ahyar.
"Maaf, udah nunggu lama, ya?" ucap suara itu dibarengi elusan di kepala Ditrisya dari arah belakang, sedetik kemudian sosok Ahyar sudah duduk di kursi hadapannya sambil melepaskan jaket yang membuat badannya gerah. "Belum pesan makan?"
"Nungguin kamu," jawab Ditrisya memperhatikan kini Ahyar mulai memakai barang-barang bagusnya lagi. Beda dengan Ditrisya yang diliputi ketegangan, Ahyar tampak santai dan ceria. Suasana hatinya pasti sedang baik. "Dari mana?"
"Ada meeting."
"Meeting?"
"Kamu tolong pesenin yang biasa, ya, aku ke toilet dulu." Ahyar melenggang cepat menuju arah toilet.
Ditrisya berjalan ke counter pemesananj sambil membawa dompetnya, sembari otaknya sibuk menerka-nerka meeting apa yang dimaksud Ahyar. Pakaian lelaki itu terlalu santai untuk sebuah pertemuaan formal, dalam hal ini seandainya Ahyar baru mendapat pekerjaan baru dan membahasnya.
Sepuluh menit kemudian Ahyar sudah kembali dan langsung menyantap makanannya dengan lahap. Ditrisya memperhatikannya sambil memakan makanannya juga sedikit demi sedikit. "Ada kabar bagus, ya?" tebaknya.
Ahyar tersenyum lebar disela-sela kunyahannya. "Kelihatan banget, ya?"
"Apa itu?" Ditrisya memukul-mukul meja pelan, tak sabar mendengarnya.
Senyum di bibir Ahyar yang makin mengembang, melegakan sekali melihat wajah Ahyar terlihat makin bersinar dari terakhir kali.
"Aku tadi iseng ikutan casting. Dan kamu tahu? aku langsung dapat kontraknya. Yang paling gilanya lagi, ada seorang produser yang bilang aku punya bakat dan kesempatan aku bisa jadi artis sangat besar. Dia ngasih aku kartu namanya, aku bisa hubungi dia kapan aja kalau aku udah yakin sama keputusanku."
Mendadak Ditrisya kaku. "Dan keputusan kamu?"
Ditrisya menunggu beberapa detik jeda dalam cemas. Entah mengapa ia tidak melihat kabar itu sebagai kabar baik.
"Aku menerimanya."