43 | We Meant To Be Together

1273 Kata
"Lepas!" Ditrisya berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Ahyar hingga tangannya sakit, Ahyar menyeretnya seperti dia adalah tawanan yang kabur dari penjara. Ahyar sama sekali tidak menghiraukan. Dia terus menyeret Ditrisya keluar dari gedung club malam dengan amarah meletup-letup di d**a. "Lepas! Tangan aku sakit!" teriak Ditrisya. Barulah saat itu Ahyar menghentikan langkah dan melepas tangannya. Ia berbalik badan hanya untuk mendapati Ditrisya menatapnya dengan sorot amarah lebih besar. Ahyar lantas melepas jaket semi-denimnya dan disampirkan di d**a Ditrisya. "Kamu kira apa yang barusan kamu lakukan?" Ahyar tidak tahu apa yang ada di pikiran Ditrisya saat menengak alkohol dan melemparkan diri ke kerumunan lantai dansa dengan tatapan genit ke lelaki-lelaki sekitarnya. Segera saja Ahyar menyeretnya keluar, tepat saat tangan seorang lelaki mendarat ke pinggang Ditrisya dan merapatkan tubuhnya ke tubuh yang setengah mati berusaha Ahyar jaga selama mereka pacaran. Bisa-bisanya dia mengundang laki-laki itu menyentuhnya. "Pertanyaan sama yang mau aku tanyain ke kamu! Kamu nggak perlu bersikap begini kalau emang nggak peduli lagi sama aku." Ya, tentu saja, semua ini karena Ahyar lah yang memulai. Berangkat dari kekecewaanya lantaran semudah itu Ditrisya berkata ingin putus, Ahyar ingin menunjukkan gambaran kecil bahwa itulah yang akan Ditrisya lihat seandarinya mereka benar-benar putus. Ahyar tidak sangka Ditrisya akan berbalik menunjukkan bahwa seperti itu juga lah yang akan Ahyar lihat jika ia mengabaikannya. Pada akhirnya, Ahyar yang mengaku kalah duluan. Ia tidak bisa melihat lebih lama Ditrisya bermain-main dengan lelaki lain. Ditrisya maju selangkah mendekat, gantian dirinya yang mengintimidasi. "Ayo, coba bilang lagi kalau kamu udah nggak peduli sama aku. Bilang itu sambil tatap mata aku." Ahyar mendesah. Dengan begini saja ia mengaku kalah. "Ayo, bilang," Ditrisya mendesak. "Aku tahu aku udah bikin kamu kecewa, Yar. Tapi nggak gini cara balasnya. Sadar nggak, dibanding aku, yang akan lebih sakit itu Sandra?" "Kenapa jadi bawa-bawa Sandra, sih?" "Kamu yang bawa-bawa dia duluan. Sekali lihat aja aku tahu dia nggak nyaman kamu pepet-pepet gitu, tujuan kamu pepet nyosor gitu buat apa coba? Biar aku jealouse?" Ahyar terdesak, ia berdehem sebab tenggorokannya mendadak kering. "Kenapa jadi kamu yang lebih marah? Yang harusnya marah itu aku?!" sentaknya berkacak pinggang, sekaligus usahanya menghindari pertanyaan. "Kamu yang seentengnya minta putus, terus datang-datang kayak nggak terjadi apa-apa." "Oh, jadi karena kamu marah, kamu merasa bisa melakukan apa aja buat ngasih aku pelajaran?" Ditrisya mengangguk mengerti, seolah baru saja menyimpulkan sendiri. Sorot matanya melemah dan sekarang lebih terlihat seperti lelah. "Kalau begitu, kamu gagal. Karena yang kamu kasih siksaaan bukan aku, tapi Sandra. Jelas- jelas kamu tahu dia masih cinta sama kamu. Orang bodoh mana yang bakal percaya kalian akan ketemu secara nggak sengaja di sini dari seluruh kota? Kebetulan sempurna kayak gitu cuma ada di sinetron. Kamu tahu, itu jahat banget." "Aku emang minta dia sedikit pura-pura, tapi aku nggak suruh dia datang. Dari kejadian ini, kamu akhirnya tahu kebetulan nggak cuma terjadi di sinetron," desis Ahyar menyangkal. Ditrisya tersenyum separuh. "Aku--" Krucuk! Ditrisya melotot lebar, sontak meremas perutnya yang berbunyi nyaring. Cacing-cacing di perutnya sepertinya demo besar-besaran minta diberi asupan makan. Salahkan Ahyar yang sudah membuatnya mendadak menganggap melewatkan makan malam dengan risiko kena maag, tidak lebih parah dibanding risiko kehilangan Ahyar. Ahyar menatap Ditrisya lagi, lalu mengembuskan napas. "Bodoh. Ayo, pulang," Ditrisya berkelit saat Ahyar hendak meraih tangannya. "Tas aku masih di dalam," ujarnya hendak beranjak, namun dicegah oleh Ahyar. "Tunggu di sini, biar aku aja." Baru tiga langkah Ahyar berlalu, lelaki itu kembali lagi hanya untuk memakaikan jaketnya di badan mungil Ditrisya, bukan sekadar menyampirkannya saja. "Benerin rok kamu," perintahnya kemudian. "Ambil aja tasnya." "Benerin dulu roknya." Ahyar menolak beranjak, sebelum memastikan Ditrisya membenahi bajunya. Distrisya memutar bola mata malas, dan menurunkan roknya hingga kembali ke bawah lutut. "Puas?!" "Tunggu di sini, jangan kemana-mana. Kalau ada yang godain, cuekin aja. Kalau ada yang maksa--" "Ck, harusnya kamu khawatir tadi waktu suruh aku nyusul ke sini sendirian. Sen - di - ri - an," potong Ditrisya kesal. "Jadi ambil tasnya, nggak?" Ahyar mendesah lagi. Baiklah, sepertinya ia tidak akan pernah bisa menang melawan gadis ini. Ahyar pun melangkah lebar-lebar meninggalkannya, atau mereka akan berdebat di sini semalaman. *** Selepas Ahyar pergi, Ditrisya berjongkok di pinggiran pembatas taman untuk menekan perutnya yang makin dirasakan, makin keroncongan. Ditambah lagi kepalanya sedikit pusing, mungkin efek dari seteguk minuman beralkohol yang seumur-umur baru sekali ini ia minum. Ahyar sialan. Ketika Ditrisya sedang menghitung kerugian serta kebodohan apa saja yang dialaminya sepanjang hari ini, sepasang kaki jenjang dibalut sepatu cantik berdiri di hadpaannya. Ditrisya mendongak dan mendapati senyum bangsawan Sandra. Sontak Ditrisya berdiri. Ia tidak tahu harus berkata apa, ia malu berhadapan dengannya setelah apa yang Ahyar lakukan. Tidak ada seorang perempuan pun yang pantas diperlakukan seperti itu, terlebih perempuan sebaik Sandra. "Tas sama blazer kamu," Sandra menyodorkan tote bag andalan Ditrisya yang warnanya berubah jadi putih gading, saking seringnya dipakai. "Kenapa sendirian? Ahyar ke mana?" tanyanya setelah Ditrisya menerima tasnya dan mengucapkan terima kasih. "Barusan banget masuk buat ambil ini, nggak tahunya udah kamu bawain keluar. "Oh, berati kita papasan tapi nggak lihat." "Hehe kayaknya," Ditrisya tertawa garing. "San, maaf, ya, Ahyar jadi ngelibatin kamu dalam masalah kami. Sandra mengibaskan tangan enteng. "Nggak perlu minta maaf, kadang drama-drama konyol gitu bakal jadi kenangan kocak di masa mendatang." "Iya, juga, sih..." Sandra tersenyum lagi. "Nggak usah merasa nggak enak, Ditrisya. Karena Ahyar, Galang, dan kamu, aku jadi punya teman minum. Sekalian meluruskan dugaan kamu tadi, ya, aku sama Ahyar dan Galang emang secara kebetulan ketemu di dekat bar. Aku datang sendiri langsung dari kantor karena ya... biasalah, sedikit suntuk sama A, B, C, D. "Terus Ahyar terima telepon kamu, nggak tahu tiba-tiba Ahyar kepikiran pengen bikin kamu cemburu karena katanya kamu gampang dipanas-panasi." Ditrisya sedikit menunduk malu. "Kalau diingat-ingat memang iya. Sebelum jadian sama Ahyar sampai sekarang, ada aja orang yang ngasih tahu kalau Ahyar itu begini, Ahyar itu begitu. Sedangkan aku yang belum lama kenal Ahyar dan di depanku Ahyar nggak seperti yang mereka bilang, aku jadi sedikit, apa ya? Goyah kalo, ya?" Sandra mengedip maklum. "Mau dengar pendapat lain dari orang yang lama kenal Ahyar?" "Kamu?" tanya Ditrisya memastikan. Sandra mengangguk. Meski takut, Ditrisya pada akhirnya mengangguk juga. "Ahyar yang sekarang, bukan Ahyar yang dulu," ujar Sandra tampak sangat serius. "Kalau ada orang yang merasa paling kenal Ahyar hanya karena lebih lama kenal dia dibanding kamu, jangan dengerin, karena itu artinya dia nggak kenal Ahyar sama sekali." "Benar... kah?" Entah kenapa jantung Ditrisya berdebar mendengarnya. "Percaya aja sama penilaian kamu sendiri, Ditrisya. Kalau boleh jujur, Ahyar yang dulu emang nggak cocok buat kamu. Tapi Ahyar yang sekarang...," Sandra menjeda, seolah sengaja ingin membuat jantung Ditrisya meledak penasaran. "Menurutku, kalian cocok memiliki satu sama lain." Mata Ditrisya berkaca-kaca, menahan lonjakan bahagia seseorang mengatakan kalimat semanis itu. "Terima kasih, San." Ditrisya tidak terpikir kata-kata lain. Sandra meremas lembut lengan Ditrisya. "Semangat, ya," ujar Sandra, lalu memberi isyarat akan pergi duluan dengan menunjuk arah tempat parkir. "Sandra," panggil Ditrisya. Sandra pun menahan langkahnya. "Mungkin nggak, kita bisa berteman?" "Lho, aku udah anggap kamu teman. Jadi kamu sampai sekarang masib anggap aku orang asing?" canda Sandra bernada merajuk, tapi senyumnya terkulum. "Aku juga berharap kita bisa akrab, kayak kamu sama Vivi." Menyadari kekonyolannya yang ke sekian, Ditrisya terkekeh pelan. Usai saling bertukar tawa sebentar, Sandra melambaikan tangan dan perlahan menjauh dari hadapan Ditrisya. Dan saat Ditrisya melihat sosok Ahyar berjalan dari kejauhan ke arahnya, Ditrisya berlari menyongsong Ahyar. "Kenap--" Ahyar tak sempat melanjutkan ucapannya, tubuhnya keburu ditantam tubuh Ditrisya. Ditrisya memeluk Ahyar sangat erat, sembari berbisik, "udahan ributnya. Capek banget berantem sama kamu, tapi aku belum mau pisah dari kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN