42 | Do Not Even Try

1150 Kata
Brak! Tubuh Ditrisya terdorong dari belakang hingga membuatnya jatuh berlutut diantara kaki orang-orang, dan siapa pun orang yang mendorongnya entah sengaja atau tidak itu berlalu tanpa merasa bersalah. Ditrisya kesulitan berdiri, karena kaki-kaki di sekitarnya terus menyenggolnya. Hingga sebuah tangan, menarik dirinya berdiri dan minggir dari keramaian. Namun, saat Ditrisya melihat ke arah Ahyar. Lelaki itu masih duduk di tempat sama, bersama orang sama, dan dengan pose yang lebih mesra. Ditrisya meratap punggung Ahyar sedih. Seasyik itu kah mereka sampai tidak sadar ada keributan kecil di belakang mereka? "Lo nggak apa-apa?" Ditrisya menoleh pada orang di sampingnya, ia terkejut mendapati orang yang membantunya adalah Galang. Berbeda dengan Ditrisya, Galang tidak tampak kaget dan seolah sudah tahu yang dia tolong adalah Ditrisya. "Lo ke sini sama Ahyar?" Jika dilihat dari bajunya yang berupa kemeja slim fit dan celana gelap, Galang terlihat seperti orang baru pulang kerja. Galang mendesah. "Lo seharusnya nggak usah ke sini," ujarnya menyayangkan. "Kenapa? Ahyar yang sur--" Mendadak Ditrisya menyadari sesuatu. "Emang ini rencana Ahyar, kan?" tanyanya penuh selidik. "Ahyar yang sengaja pengen aku lihat dia lagi mesra-mesraan sama Sandra, kan?" teriak Ditrisya, sekadar memastikan suaranya cukup keras sehingga tidak teredam entakan musik yang bikin sakit telinga ini. "Mau lihat yang lebih mesra?" sahut suara lain, sebelum Galang sempat buka mulut. Saat Ditrisya dan Galang menoleh ke sumber suara, tampak Ahyar sedang merangkul Sandra berjalan mendekati mereka. Dan begitu Ahyar dan Sandra berdiri di depan mereka, dengan mesra Ahyar mengecup pelipis Sandra. Darah Ditrisya mulai panas, tak sampai mendidih lantaran ia menangkap lirikan canggung Sandra. Sandra tidak kaget dicium tiba-tiba, tapi terlihat tidak nyaman dicium lelaki langsung di depan pacar lelaki itu. Ralat, mantan pacar tapi jelas-jelas masih saling sayang. Darah Ditrisya memanas karena Ahyar. Baiklah, Ditrisya sepenuhnya paham sekarang. Jadi begini cara Ahyar menguji Ditrisya. Ahyar pasti sengaja ingin menunjukkan seberapa playboy dan berrengsek dirinya, terlebih Ahyar tahu insecuritas terbesar Ditrisya adalah Sandra. Berkat ketakutannya akan kemungkinan Ahyar dan Sandra balikan, Ditrisya nekat minta kejelasan dan mencium lelaki itu duluan. Sesuatu yang sungguh bukan Ditrisya Devaski sekali. Ditrisya mengangkat dagu. Ia pernah sekali nekat, lalu kenapa untuk yang kali ini ia pasrah? Ditrisya akan ikuti permainan Ahyar. "Berhubung ramean, mau open table aja, nggak?" tanya Sandra. Apa lagi coba open table? Ditrisya yang tidak mengerti, mengangkat bahu sok asyik, menjawab terserah padahal ia tidak tahu apakah ada pilihan lain. "Nggak usah." Diluar dugaan, Ahyar menolak. "Gue yakin Ditrisya nggak akan lama. Lagian, mana mungkin dia mau keluar uang lagi buat open table." Ditrisya tertawa miring, diremehkan begitu oleh Ahyar. Ahyar mungkin lupa, tapi sampai kapan pun Ditrisya tidak akan pernah lupa di pertemuan pertama mereka, Ditrisya membayar ratusan ribu untuk sekali makan. "Emang berapa, sih?" tantangnya. *** Ini jelas-jelas bukan tempat Ditrisya akan bermain sekalipun ia seorang triliuner. Apa enaknya berada di tempat berisik yang kalau ngobrol saja mesti teriak-teriak, penuh sesak oleh manusia-manusia setengah mabuk yang tidak peduli laki-laki ataupun perempuan, matanya jelalatan baik ke lawan jenis atau sesama jenis. Ditrisya begidik geli sendiri. Ia bersumpah ini terakhir kalinya ia masuk club malam. Dan, yang paling Ditrisya tidak habis pikir. Bagaimana bisa untuk diperbolehkan duduk di kursi melingkar ini, mereka harus bayar setara upah minimum daerah? Bahkan kata Galang, bagian sofa lebih mahal lagi. Kalau saja Galang tidak memajukan diri mentraktir dengan entengnya, Ditrisya pasti memilih keluar. Persetan dengan permainan Ahyar, ia tidak mau hasil kerjanya terbuang tanpa faedah. "Ekhem!" Ditrisya sengaja berdehem keras meski tidak ada yang mengganjal tenggorokannya. Ditrisya benar-benar seperti patung, dibiarkan jadi penonton. Selain bayar, Galang tak banyak membantu. Dia sendiri asyik dengan ponselnya. Dehemannya berhasil menyita perhatian dua orang yang sedari tadi tetap asyik ngobrol bisik-bisik sendiri diselingi tawa-tawa kecil. "Mood kamu kayaknya udah baik lagi ya, Yar? Perasaan beberapa jam lalu kamu banting-banting barang." "Iya, gue lega habis banting-banting barang. Ditambah senang, nggak nyangka ketemu Sandra di sini, jadi ada teman ngobrol." "Nggak sengaja?" Ditrisya melirik Sandra, lagi-lagi ia mendapati air muka aneh. "Maksudnya, kamu nggak sengaja mau-mau aja datang saat Ahyar minta, San?" Ditrisya memancing keterlibatan Sandra. Dengan kepibadian Sandra yang dikenalnya sejauh ini, ia yakin Sandra sangat menjaga perlakunya. Bermesraan seperti ini sangat tidak elegan, entah bagaimana cara Ahyar meyakinkannya. "Nggak ada yang suruh datang. Kami ketemuan di sini." Tak menghiraukan Ahyar, Ditrisya bertanya lagi pada Sandra. "Kamu nggak ngeri datang ke night club sendirian, San? Cowok macam apa main suruh-suruh cewek sendirian nyusul ke tempat seperti ini? Dia nggak khawatir apa, kalau si ceweknya kenapa-kenapa." "Lo bisa tolak kalau nggak mau," sahut Ahyar lagi. "Lagian, yang mau datang sendiri kan, lo? Bukan gue yang minta lo datang." Ditrisya memutar bola matanya dramatis ke arah Ahyar. "Lho, kan lagi ngomongin Sandra. Kenapa jadi aku?" "Enggak. Sejak awal kamu ngomongin diri kamu sendiri." "Oh, oke, ya udah. Ayo ngomong tentang aku. Aku ke sini emang mau ngomongin soal aku, kamu, dan kita, kok." "Kamu lupa? Sementara, nggak ada kita antara aku sama kamu. Jadi nggak ada yang perlu kita omongin, karena aku nggak peduli soal kamu." Deg! Ajaib. Kalimat terakhir Ahyar terdengar sangat jernih ditengah kebisingan sekitar. "Kalau nggak mau ketemu sama aku, kenapa kamu nyuruh aku nyusul ke sini?" tanya Ditrisya terluka. Sampai di titik ini, Ditrisya mulai tidak yakin Ahyar hanya sekadar mengujinya. "Ck, kalian kenapa, sih, pada nggak jelas begini?" Galang berdecak menyela. "Gue, kan, udah bilang selesaikan di luar aja." Ditrisya bertahan menatap Ahyar tajam. "Benar kamu udah nggak peduli sama aku?" Tidak ada cara lain, selain balik menguji. Memangnya Ahyar saja yang bisa. Ia melirik sekitar meja dan meraih gelas tinggi di depan Ahyar dan meminum sisa cairan dalam gelas itu dalam sekali tenggak tanpa sempat Ahyar dan Galang cegah. Ditrisya berjengit merasakan sengatan aneh dalam mulutnya. Ia tidak tahu minuman apa itu, yang jelas itu minuman paling tidak enak yang pernah diminumnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Galang kentara sekali khawatir. "Terima kasih udah peduli, tapi untungnya aku baik-baik aja." Ditrisya masih berjuang membiasakan diri dengan rasa tidak enak yang kini mulai menyerang kepalanya. "Kalau mau joget nggak harus bayar lagi, kan?" "Eh?" Ditrisya membuka blazer formal yang dipakainya, menyisakan kemeja pink hijau tosca. Sambil tatapan diluruskan ke mata Ahyar, Ditrisya membuka dua kancing teratas kemejanya kemudian berdiri dan menarik lingkar karet rok spannya hingga batas bawah yang sebelumnya dibawah lutut, kini naik sejengkal di atas lutut. Terakhir, Ditrisya melepaskan ikatan rambutnya dan mengibas-ngibaskan ke kiri dan kanan meniru Anggun dalam adegan iklan shampoo. Bedanya, rambut Ditrisya pendek sehingga ujung rambutnya malah menampar wajahnya. "Jangan coba-coba," bibir Ahyar bergerak mengancam. Ditrisya tersenyum miring. Ahyar bahkan belum tahu apa yang ingin Ditrisya coba. jadi, kenapa tidak dicoba saja? Ahyar pernah lihat sendiri Ditrisya bisa senekat apa. ***** Disclaimer: cerita ini pertama kali ditulis dan dipublish tahun 2016, beberapa bagian sudah diedit. apabila ada informasi-informasi yang tidak sesuai era sekarang, mohon koreksinya. terima kasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN