Pagi itu, Galuh lebih dulu terjaga, melirik ke arah Teo yang masih terlelap dalam tidurnya sambil menopang wajahnya dengan telapak tangannya, menghela nafas lalu menghembuskannya dengan sangat pelan, lalu menyingkap selimut yang menutup tubuhnya, ternyata dia masih telanjang di balik selimut itu. Galuh ingat jika semalam dia melepas baju tidurnya di sebelah ranjang, namun saat dia melihat ke arah sisi ranjang sebelahnya, gaun tidur itu sudah tidak ada di sana.
Galuh bangkit dari rebahnya, menurunkan kedua kakinya untuk menyentuh lantai dingin itu, kemudian melihat sekeliling lantai berharap dia akan bisa menemukan gaunnya atau kain yang bisa dia gunakan untuk sekedar menutup tubuhnya, namun naas, tak satupun kain di sekitarnya yang kiranya bisa di gunakan untuk menutup tubuh polosnya, selain bedcover dan seprai yang dia tiduri dan untuk menarik selimut itu ternyata Galuh juga tidak punya keberanian karena itu artinya dia akan mengusik tidur laki-laki tua ini.
Galuh membuka nakas di sebelahnya, namun baru saja Galuh membuka pintu nakas tersebut, suara gesekan dari pintu nakas itu justru mengusik ketenangan tidur Teo.
"Apa yang sedang kau lakukan , Galuh?" Suara serak itu langsung terjaga dan bertanya.
"Galuh mau ke kamar mandi Om, tapi Galuh tidak bisa menemukan baju tidur Galuh yang semalam!" Jawab Galuh apa adanya dan Teo Mervino langsung bangkit dari rebahnya, kemudian turun dari ranjangnya, mengambilkan gaun tidur Galuh. Semalam mereka melakukan hubungan suami istri, dan ketika Teo sudah selesai membersihkan diri. Teo memungut gaun tidur Galuh yang asal Galuh lepas saat menawarkan tubuhnya pada dia meletakkan gaun itu di punggung sofa kamar tersebut.
Teo memberikan gaun tersebut pada Galuh, kemudian Galuh dengan cepat memakai gaun merah maron itu, menutup tubuhnya agar tidak di lihat oleh Teo, seolah dia lupa jika semalam Teo melihat seluruh tubuhnya, tidak hanya melihatnya tapi Teo juga menyentuh dan membelai tubuh itu bahkan lebih, tapi ya namanya juga Galuh, dia rada polos dan kedua dia masih belum terbiasa dengan status barunya sebagai seorang istri.
Teo hanya berdiri di sebelah ranjang itu saat Galuh memeluk dadanya, setelah selesai menggunakan gaun tidurnya, menahan pangkal pahanya saat akan bangkit dari duduknya.
"Om bisa lanjut tidur, maaf jika Galuh mengganggu istirahat Om!" Lirih Galuh sambil menunduk saat Teo hanya berdiri tanpa kata di sebelahnya seolah ingin menuntutnya untuk satu keinginan atau sebuah tanggung jawab.
"Tidak. Ini sudah pagi. Silakan kalau kau mau ke kamar mandi lebih dulu!" Jawab Teo sambil melangkah dua langkah ke belakang, Karena Teo pikir dia sudah menghalangi langkah wanita muda itu. Galuh mengagguk, kemudian melangkah dua langkah kedepannya namun langkahnya terhenti saat merasa seluruh otot kewanitaannya terasa ngilu di sertai rasa perih, sementara Teo hanya memperhatikan wanita muda yang semalam dia perawani itu.
Diam, Galuh diam di antara langkahnya, menarik napas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan seolah cara itu bisa meredam rasa sakit diantara kedua pahanya juga pinggangnya. Kembali melanjutkan langkahnya meskipun dengan sangat pelan sambil menahan rasa nyeri dan perih di antara kedua pahanya, dan Teo benar-benar hanya melihat bagaimana langkah wanita muda itu tertatih seolah ada luka di pergelangan kakinya. Teo Tidak berkomentar karena sejatinya Teo tahu apa penyebab semua itu. Teo hanya tersenyum dalam hati, merasa lega karena telah mendapatkan sebuah berlian yang bahkan belum pernah dia bayangkan sebelumnya.
Cukup lama Galuh di kamar mandi, dan sama seperti semalam saat Teo meminta Galuh mandi, pagi ini Teo juga melarang Galuh untuk mengunci pintu dari arah dalam.
Kurang lebih lima belas menit setelah Galuh masuk ke kamar mandi, Teo juga ikut masuk ke dalam kamar mandi itu, mengejutkan Galuh yang baru selesai mematikan air shower, dan memijit rambut basahnya.
"Oh, Apa yang kamu lakukan di sini?" Syok Galuh yang langsung memeluk dadanya dan berlutut memeluk lututnya.
"Kau tidak membawa handuk Galuh! Jadi aku bawakan handuk untukmu!" Jawab Teo karena tahu jika di dalam kamar mandi itu tidak ada handuk karena handuk terakhir semalam tiba bawa keluar saat membersihkan tubuhnya dari sisa percintaan mereka. Teo langsung membungkus punggung polos Galuh dan Galuh buru-buru menarik kedua sisi handuk kimono yang baru saja Teo gunakan untuk menutup punggungnya.
"Lain kali jangan langsung masuk ya Om, Galuh masih belum bisa!" Ucap Galuh setelah mengikat simpul handuk nya, Teo lagi-lagi hanya tersenyum menanggapi reaksi wanita muda ini.
"Aku suamimu Galuh. Dan seharusnya kau harus membiasakan diri dengan semua ini." Jawab Teo yang malah langsung membuka pakaian tidurnya untuk segera membersihkan tubuhnya di bawah pancuran air shower, namun masih menggunakan celana boxer nya.
"Ya, Galuh tau. Tapi tetap saja aku tidak bisa terbiasa dengan cara instan Om. Jadi tolong beri Galuh waktu. Galuh tidak akan menghindari Om, hanya saja ada satu situasi yang benar-benar Galuh tidak bisa untuk terbuka dan salah satunya seperti saat ini! Balas Galuh saat Teo kembali memberikannya handuk ukuran sedang untuk membungkus rambut basahnya.
"Baiklah. Maafkan Aku. Aku terlalu bersemangat. Dan aku benar-benar terlalu bahagia hingga aku kesulitan mengekspresikan rasa bahagiaku! Maaf jika aku terlalu menuntut mu untuk buru-buru terbiasa denganku!" Timpal Teo saat wanita muda itu mengeluh dengan sikapnya barusan, Galuh menggangguk, sambil menunduk dan percayalah, Teo merasa sangat malu sekarang, bisa-bisanya dia malah tidak paham hal sekecil itu, menatap punggung Galuh yang berlalu dan keluar dari pintu kamar mandi dengan langkah yang terlihat sangat lucu. Tersenyum , dan seketika lupa akan rasa malu yang baru saja dia dapatkan dari wanita itu.
Dalam hati, Galuh benar-benar merasa kesal dengan sikap Teo tadi, tapi nyatanya untuk membencinya , tidak.
Galuh duduk di kursi meja riasnya, duduk sambil menahan pangkal pahanya dari rasa nyeri dan perih setiap kali dia bergerak, menatap pantulan dirinya di kaca meja itu dan kali ini mau tidak mau dia harus siap untuk menyandang gelar istri dan tidak penutup kemungkinan kejadian malam tadi akan terulang di setiap malamnya, dan percayalah, Galuh merasa nyeri jika membayangkan itu, membayangkan jika dia akan kembali merasakan rasa sakit itu nantinya.
Setelah menggunakan pakaian lengkap, Galuh kembali duduk di kursi meja riasnya, memoles krim wajah agar tetap lembab, dan dari arah pantulan kaca meja riasnya, Galuh bisa melihat jika Teo, suami tuanya itu baru keluar dari kamar mandi, masih menggunakan handuk kimono di tubuhnya, lalu keluar dari kamar itu tanpa mengatakan apapun atau hanya sekedar menyapanya. Air mukanya terlihat datar dan dingin. Pikir Galuh, mungkin Teo marah atau tersinggung dengan ucapannya tadi! Oh sekarang Galuh benar-benar menyesal telah mengatakan itu secara langsung.
"Bodoh. Ingat Galuh, sekarang dia adalah suamimu jadi dia bebas melakukan apapun padamu termasuk untuk sekedar melihat tubuh polos mu. Bukankah semalam kau juga melakukan hubungan badan dengan dia , lalu kenapa sekarang kau malah malu hanya untuk menunjukkan tubuh tanpa busana mu?" Batin Galuh sembari menyisir rambut panjangnya.
Matahari sudah terlihat menyoroti bumi, dan kilau keemasan itu juga sudah terlihat menerobos kaca bagian timur kamar itu, ada rasa hangat yang tercipta di kamar itu, hingga jam menunjukkan angka tujuh lebih tiga puluh menit, laki-laki tua itu tidak lagi kembali ke kamar itu.
"Tuan, apa Nona, eh maksud Bibik Nyonya Galuh gak ikut turun? Sarapan sudah siap!" Ucap Bibik saat melihat kakek Daniel Fabiano itu terlihat hanya asik sendiri dengan kopi dan layar tabletnya.
"Bawa saja sarapan dia ke kamar, dia mungkin tidak akan turun!" Jawab Teo tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tablet di tangannya karena dia sedang membaca beberapa email yang masuk kemarin hingga pagi ini.
"Lho kenapa? Apa kalian tidak akan sarapan bersama?" Tanya bibik lagi tapi Teo tetap hanya fokus di layar tabletnya.
"Oh, Bibik tau!" Seru paruh baya yang punggungnya sudah sedikit menunduk itu dan seketika Teo langsung mengalihkan fokusnya dari layar tablet itu , lalu menatap bibik yang sedang berbicara dengannya. "Apa semalam Tuan dan Nyonya benar-benar melewatkan malam pengantin yang sangat manis seperti kebanyakan para pengantin-pengantin yang seharusnya?" Tanya bibik sambil menatap Teo dengan senyum mengejek namun juga terkesan menginterogasi laki-laki tua itu, tapi Teo hanya balas dengan senyum tipis di salah satu sudut bibirnya, dan bibik langsung menangkap isyarat itu seperti yang dia pikirkan se dari tadi. "Oh apa dia benar-benar langsung menerima Tuan!" Seru Bibik lagi , benar-benar kepo untuk urusan majikannya tapi Teo justru kembali tersenyum tipis.
"Apa sih Bik. Udah ah, aku dah telat. Pagi ini aku mau nemuin rekan kerjaku. Ada pekerjaan penting yang sedang menungguku." Jawab Teo mengalihkan topik pembicaraan yang sedang asisten rumah tangganya bahas, tapi wanita itu malah berdecak kecewa saat Teo mengatakan akan menemui rekan kerjanya.
"CK. Payah!" Ucap bibik sembari menyuguhkan satu mangkuk sup iga dengan nasi putihnya, dan Teo kembali memperhatikan ekspresi wanita itu saat berdecak tadi. "Dasar laki-laki tua, tidak pengertian, dan kurang peka! Umur saja yang udah banyak tapi pengalaman minus. Mana ada pengantin baru pergi bekerja, yang ada mereka tuh pergi honeymoon kali. Oh untung bukan Bibik yang jadi istri Tuan, kalo iya, dah Bibik tinggal kabur dan balik ke rumah orang tua Bibik!" Sarkas bibik untuk sikap acuh laki-laki itu.
" Tapi Bik,,,"
"Apapun alasannya seharusnya kali ini Tuan tu lebih mengurangi aktivitas kerja Tuan. Ingat, Tuan itu udah menduda lama, kesepian pula, masa giliran udah ada pendamping masih tetap saja menyibukkan diri dengan kerja? Ih, enggak asik , Tuan tu seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan istri baru Tuan, meksipun itu hanya sekedar makan bersama!" Sambung bibik memotong ucapan Teo sebelum Teo kembali mengeluarkan segala alasan untuk sekedar menyibukkan diri, dan seperti biasa Teo hanya tersenyum menanggapi keluhan wanita itu sedari kemarin-kemarin saat dia terus saja disibukkan dengan pekerjaannya.
Setelah mengatakan hal itu bibik juga langsung menyiapkan sarapan untuk Galuh kemudian mengantar nampan berisi sarapan itu ke kamar wanita muda yang kemarin Teo nikahi. Meskipun punggung bibik sudah sedikit membungkuk tapi dia masih sangat sehat, secara umur Teo lebih tua beberapa tahun dari bibik dan entah faktor apa yang membuat wanita itu sedikit membungkuk.
Bibik membuka pintu kamar itu setelah sebelumnya dia juga mengetuknya tiga kali, meletakkan nampan berisi sarapan itu di meja sofa kamar tersebut. Galuh masih duduk di pinggir ranjangnya, dia benar-benar menghindari untuk sekedar berjalan karena rasa perih itu akan kembali terasa setiap kali dia bergerak.
"Nona gak turun sarapan? Tuan dah nungguin lho?" Ucap bibik mencoba mendekatkan pasangan suami istri beda usia itu meskipun dia harus mengeluarkan jurus berdusta. Galuh hanya diam, tak ingin beranjak dari duduknya karena benar-benar merasa sangat nyeri.
"Galuh baru saja akan turun Bik!" Jawab Galuh karena sebenarnya tadi dia memang ingin keluar dari kamarnya, tapi karena rasa nyeri itu masih kentara, dia malah kembali duduk.
"Tak apa-apa, jika dia tidak bisa menghampiriku, biarkan aku yang menghampirinya Bik!" Timpal Teo yang ternyata sudah ikut masuk ke kamar itu dan seketika Galuh menoleh ke arah Teo. Benar, Teo mencoba memahami apa yang dikatakan bibik tadi, dia baru menikah kemarin dan saat ini dia juga sedang di fase pendekatan dengan istrinya dan hal yang sangat tidak logis jika dia malah pergi bekerja, saat seharusnya dia lebih banyak beradaptasi dengan wanita muda ini. Teo duduk di sofa, di mana tadi bibik meletakkan nampan sarapan untuk Galuh, ikut meletakkan sarapan yang sebelumnya bibik suguhkan untuk dia di meja makan. Seperti kata paruh baya itu, dia harus lebih sering menghabiskan waktu meski itu hanya sekedar makan bersama. Bibik tersenyum dalam diam lalu buru-buru keluar untuk memberi ruang pada pasangan pengantin baru itu, dan Galuh langsung menghela napas dengan kecanggungan luar biasa.
"Maaf." Ucap Galuh tiba-tiba tapi Teo hanya tersenyum.
"Maaf untuk apa?" Teo tidak tau untuk apa Galuh minta maaf.
"Maaf untuk kata-kata Galuh tadi di kamar mandi. Sungguh Galuh gak bermaksud untuk,,," ucapan Galuh terjeda saat Teo berjalan mendekati arah duduknya, kemudian duduk di sebelahnya.
"Ucapan mu yang mana? Aku dah lupa. Maklum aku kan udah tua!" Tolak Teo buru-buru dan Galuh langsung terlihat begok. "Tapi meski begitu, aku tidak lupa jika kau adalah istriku!" Sambung Teo yang sudah langsung mendarat satu kecupan di pipi Galuh seolah dia benar-benar laki-laki tua yang suka daun muda.
"Jadi Om gak marah sama Galuh?" Tanya Galuh lagi dan Teo langsung menggeleng.
"Marah kenapa? Bukankah semalam kita udah menghabiskan malam yang indah, masa iya aku marah?" Tolak Teo yang sudah bangkit dari duduknya dengan kedua tangannya yang langsung mengangkat tubuh kecil Galuh untuk dia bawa dan dudukkan di sofa kamar itu karena mereka harus menyelesaikan sarapan itu sebelum sarapan itu keburu dingin, dan seketika Galuh menjerit tertahan karena terkejut.
"Om,,,"
"Aku tau kau sedang malas bergerak, jadi aku akan membantumu." Ucap Teo dengan tersenyum. Teo tau apa yang saat ini Galuh rasakan, sakit di bagian inti tubuhnya dan seharusnya beginikan cara dia bertanggung jawab.
"Tidak Om!" Tolak Galuh.
"Tidak akan menolak jika sewaktu-waktu aku kembali melakukan kegiatan semalam! Gitu kan maksud mu?" Potong Teo saat mendudukkan Galuh di sofa, kembali mendaratkan satu kecupan di pipi itu, lalu menarik sarapan Galuh untuk dia makan, membuka penutup mangkok sup itu untuk Galuh.
"Om,,," kesal Galuh dengan pipi yang langsung memerah malu sekaligus nyeri tapi Teo langsung meletakkan ujung jarinya di bibir, meminta Galuh untuk tidak bicara lagi.
"Tenang. Next aku akan melakukannya dengan sangat pelan hingga kau terbiasa, atau kita bisa coba lagi setelah sarapan, ku yakin pasti kau,,,"