Sekeras apapun usahamu untuk mengejarnya, sesuatu yang bukan milikmu tidak akan pernah menjadi milikmu, dan sesuatu yang memang ditakdirkan untukmu akan menemukan jalan untuk sampai padamu.
Syok. Galuh langsung terkejut saat pembatas kamar mandi itu bergeser dan laki-laki tua itu sudah berdiri di belakangnya. Spontan tangannya langsung menutup d**a dan inti tubuhnya meskipun cara itu tidak cukup untuk menutupi tubuh moleknya.
"Apa yang Om lakukan di sini?" Syok Galuh dan Teo hanya tersenyum tipis menanggapi reaksi gadis muda itu.
"Apa yang aku lakukan?" Kutip Teo. "Bukankah tadi kau yang menawarkan untuk melakukan itu?" Sarkas Teo mengingatkan jika sebelumnya Galuh menawarkan diri untuk melakukan hal yang biasa di lakukan pasangan pengantin di malam pertama mereka.
"Tapi. Tapi gak di sini juga kali Om." Galuh masih tidak bisa memperlihatkan tubuh polosnya di hadapan seorang laki-laki meskipun sekarang laki-laki ini adalah suaminya.
"Galuh. Aku tidak akan melakukannya di sini. Bukankah tadi aku mengatakan kita akan mulai dengan mandi? Ya ini maksud ku. Kita akan mulai dengan mandi bersama, agar kau lebih rileks." Jawab Teo dengan nada suara yang cenderung lembut, untuk menjaga kewarasan gadis muda itu.
"Tapi Om." Galuh ingin protes.
"Om tidak akan melakukan nya di kamar mandi, kita benar-benar hanya akan mandi bersama tidak lebih, jadi tenanglah!" Potong Teo saat sudah naik di bathtub dan ikut membasahi tubuh polosnya dan Galuh sudah dari tadi menutup matanya tidak ingin melihat tubuh polos laki-laki tua itu. Teo melihat bagaimana Galuh yang terlihat sangat ketakutan dengan menutup matanya, dan Teo bisa memaklumi itu.
Teo buru-buru menuangkan larutan sabun ke dalam bak besar itu lalu menyalakan kran air hangat agar bak mandi itu terisi penuh hingga berbusa dan tubuh keduanya tenggelam di dalam air dengan busa yang mengepul di permukaan air itu.
"Buka matamu. Tubuh kita sudah sama-sama tertutup air dan busa, jadi kau tidak perlu merasa malu!" Ucap Teo hanya diam di sisi sebelah bak dengan tubuh yang sudah tenggelam sampai di leher. "Buka matamu Galuh, dan lihat aku!" Ucap Teo sekali lagi tapi Galuh benar-benar masih sangat takut untuk melihat tubuh laki-laki itu.
"Aku tidak bisa Om. Aku,,," suara Galuh bergetar, dan Teo benar-benar bisa memahami itu, mengerti jika gadis muda yang hari ini resmi menjadi istrinya itu masih takut untuk sekedar menatapnya, lalu untuk apa tadi dia menawarkan diri untuk melakukan hal ini?
"Buka dulu matamu. Bagaimana kau akan mengenaliku jika kau tidak ingin melihat dan menatapku. Bukankah kau sendiri yang menyetujui pernikahan ini? Aku bahkan tidak pernah memaksa mu untuk menikah denganku, jadi sekarang singkirkan rasa takutmu itu, Galuh. Lihat aku , dan hilangkan rasa tidak enak itu di hatimu! Itu sama sekali tidak berguna!" Ucap Teo meminta Galuh membuka matanya dan menyingkirkan rasa tidak enaknya, karena sekarang mereka sudah tidak ada batasan apapun, dan seharusnya, gadis muda ini paham apa yang berusaha Teo jelaskan, tanpa harus mengatakan secara langsung maksud dia yang sesungguhnya, karena Teo juga tau , Galuh tidak mungkin tidak tau tugas dan tanggung jawab seorang istri, sebelum dia menyetujui untuk menikah.
"Galuh!" Lirih Teo lagi karena Galuh masih saja menutup mata dengan memeluk tubuhnya sendiri.
"Galuh!" Lirih Teo sekali lagi dan baru setelah itu Galuh berani membuka matanya dan langsung menatap wajah teduh laki-laki itu, laki-laki tua yang seumuran dengan ayahnya.
"Kau harus membiasakan diri untuk menatap mataku, menatapku saat bicara denganmu dan menatapku setiap kali aku memanggil dan melirihkan namamu." Ucap Teo dengan sangat lembut dan kali ini Galuh mengagguk dengan sangat patuh.
"Aku sengaja memulainya dengan cara seperti ini, agar kau sudah lebih siap jika aku ingin melakukan itu dengan cara yang sepantasnya!" Ucap Teo lagi masih dengan menatap dalam ke manik mata gadis cantik itu dan Galuh lagi-lagi hanya kembali mengangguk sambil menatap Teo ketika berucap seperti yang Teo inginkan tadi, dan Teo menyelesaikan mandinya lalu bangkit dari bak besar itu hingga tubuh polosnya kembali terekspos dan kali ini, meskipun merasa sangat malu, Galuh benar-benar berusaha menghilangkan rasa canggung karena seperti yang Teo ucapkan, dia harus melawan rasa sungkan dan malu itu karena bagaimanapun, laki-laki ini sekarang adalah suaminya.
"Selesaikan mandi mu. Aku akan menunggumu di ranjang!" Ucap Teo saat bangkit dan menutup tubuh bagian bawahnya dengan handuk setelah sebelumnya dia juga membilas tubuhnya dengan air bersih, dan lagi-lagi Galuh hanya mengagguk dengan sangat patuh, menyelesaikan mandinya dengan sangat baik lalu membungkus tubuhnya dengan handuk yang sebelumnya Teo bawa untuknya karena ternyata Teo juga membawa pakaian yang sebelumnya Galuh gunakan keluar bersamanya, jadikan Galuh keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk kimono dan rambut yang Galuh gulung tinggi.
Dengan langkah kaku Galuh berjalan menghampiri Teo yang duduk di bibir ranjang, sudah dengan pakaian tidur model kimono dengan bahan sutra warna merah maron.
"Pakai pakaian ini, dan istirahat lah." Ucap Teo menunjuk ke arah satu stel pakaian tidur dengan model yang sama dengan yang Teo gunakan, dan Galuh hanya mengangguk, lalu mengambil pakaian yang tergeletak di atas ranjang sebelah Teo, kemudian segera bergegas ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
Baru saja Galuh akan membuka kamar mandi, saat tiba-tiba suara bareton itu kembali memanggil namanya.
"Galuh." Teo.
Galuh kembali menoleh kearah Teo,
"Iya Om!" Galuh.
"Mau kemana?" Tanya Teo.
"Mau ganti baju, Om!" Jawab Galuh polos dan Teo terlihat menghela napas dalam diam.
"Ganti baju di sini. Aku ingin melihat mu!" Ucap Teo dan seketika seluruh otot dan persendian Galuh langsung kaku di tempat. Rasanya , itu sangat mustahil bisa Galuh lakukan. Galuh dan Teo baru bertemu dan mengenal nama satu sama lain hari ini , tapi mereka sudah langsung diikat dengan tali pernikahan dan sekarang tiba-tiba Galuh dihadapkan dengan situasi yang mencekam seperti ini, karena Teo, laki-laki yang sudah menikahinya itu tiba-tiba memintanya berganti pakaian tepat di depannya.
"Tapi Om!" Galuh ingin protes tapi Teo langsung menggeleng, dan jujur Galuh tidak punya kata untuk menolak ucapan laki-laki tua itu, Teo.
Dengan perasaan gugup, malu bercampur takut , Galuh akhirnya kembali dari arah pintu kamar mandi. Berdiri di hadapan Teo yang masih terlihat duduk tenang dengan tatapan fokus padanya. Pelan-pelan Galuh melepas handuk kimono itu hingga teronggoh di lantai hingga tubuh molek dan putih itu bisa Teo lihat secara keseluruhan.
"Berputar!" Ucap Teo mengintruksikan Galuh untuk berputar agar dia bisa melihat bagian tubuh belakang gadis cantik itu, dan Galuh benar-benar berputar seperti yang Teo inginkan.
"Diam!" Ucap Teo saat Galuh berhasil berputar seratus delapan puluh derajat dan Teo bisa melihat bagian belakang tubuh gadis itu secara sempurna. Teo bangkit dari duduknya, membuka baju tidur berbahan sutra itu dan merentangkannya ke arah punggung Galuh. Galuh langsung memejamkan matanya, karena bagaimanapun Galuh ingin mencoba melawan rasa gugup dan takutnya, nyatanya Galuh tetap merasa gugup dan belum siap jika sampai laki-laki ini melakukannya sekarang. Tapi di luar dugaan Teo malah menutup tubuh Galuh dengan gaun tidur itu, membantu Galuh merentangkan sedikit tangannya lalu mengikat simpul baju tidur di pinggang Galuh.
Sungguh, Galuh sampai tidak bernapas saat Teo melakukan nya tadi. Napasnya serasa berhenti di perut karena takut dan gugup.
"Istirahatlah. Aku akan turun mengambil air minum dulu!" Ucap Teo dengan sangat lirih kemudian berlalu dari hadapan Galuh, keluar dari kamar mereka, dan baru setelah itu Galuh bisa bernapas lega sembari menjatuhkan bokongnya di atas ranjang. Menghela nafas lalu menghembuskannya dengan sangat dalam dan pelan. Lega.
Belum cukup rasa lega yang Galuh rasakan saat tiba-tiba Teo sudah kembali ke kamar itu dan menatap Galuh yang ternyata masih duduk seolah sedang menunggu Teo untuk memintanya naik ke atas ranjang.
"Kau belum tidur. Tidurlah. Ini sudah cukup larut!" Ucap Teo saat melirik jam di sisi dinding sebelah Utara dan jam sudah menunjukan angka sepuluh tepat.
"Iya, Om!" Jawab Galuh yang langsung beringsut di sisi ranjang sebelahnya , karena Teo langsung duduk di sini sebelah lainnya. Menarik selimut hingga menutup perutnya lalu merebahkan tubuhnya, begitu juga dengan Teo. Naik dan ikut menutup tubuhnya dengan selimut yang sama dengan yang Galuh gunakan.
Diam sejenak karena ternyata tidak hanya Galuh yang merasa gugup, tapi Teo juga. Meskipun ini bukan kali pertama Teo menikah dan melakukan aktivitas suami istri, nyatanya Teo juga tetap gugup saat akan melakukannya pada Galuh, gadis muda yang masih sangat-sangat muda untuknya.
"Kenapa kau ingin menikah denganku? Apa Papa mu memaksamu untuk menerima pernikahan ini?" Tanya Teo setelah cukup lama diam dan tidak bisa memejamkan matanya, dan Teo yakin Galuh juga sebenarnya kesulitan untuk sekedar memejamkan matanya. Terdengar helaan napas halus lepas di bibir gadis itu dan Teo langsung menoleh ke arah Galuh, menunggu jawaban gadis itu.
"Tidak. Papa tidak pernah memaksaku untuk menikah dengan Om, tidak sama sekali." Jawab Galuh apa adanya.
"Lalu?" Tanya Teo lagi.
"Papa hanya menceritakan sedikit tentang Om, bagaimana Om yang berjuang dan membantu kasusnya. Bagaimana Om yang terus mengatakan tidak akan berhenti membantunya hingga dia mendapatkan keadilan meskipun pada akhirnya keadilan itu tetap membuatnya berada di tempat itu. Menceritakan bahwa Om adalah orang yang sangat baik dan bertanggung jawab. Menceritakan bagaimana Om dan Papa dulu menghabis waktu bersama di negara orang ketika menjadi mahasiswa. Dan menceritakan jika Om sudah menduda lama setelah istri Om,,," Galuh menjeda kalimatnya karena tidak ingin mengatakan atau mengungkit kematian wanita yang merupakan istri pertama Teo, takut jika itu malah menyinggung perasaan laki-laki itu.
"Lalu kau menawarkan diri untuk di nikahi olehku?" Kutip Teo saat menarik tubuhnya untuk miring menghadap gadis cantik itu.
"Tidak." Jawab Galuh di luar dugaan Teo.
"Lalu apa?" Tanya Teo lagi dan Galuh kembali menghela napas dengan sangat lembut.
"Papa menceritakan jika Om memimpikan seorang istri dan anak untuk menemani hari tua Om, dan kembali menceritakan semua kebaikan Om. Hanya kebaikan Om, tanpa sedikitpun menceritakan sisi buruk Om, dan setelahnya bertanya pada Galuh. Apakah Galuh tidak ingin punya suami seperti Om?" Ucap Galuh, yang benar adanya jika setelah Galuh setuju untuk menikah dengan Teo, dan kedua kakak perempuannya meninggalkan mereka, Evan, ayahnya menceritakan hal itu padanya.
"Lalu kau menjawab iya?" Tanya Teo setelahnya dan kali ini Galuh langsung mengagguk dalam diam.
"Ya." Jawab Galuh.
"Kau langsung mengatakan iya meskipun kau belum tau bagaimana aku yang sesungguhnya?" Tanya Teo benar-benar penasaran dan lagi-lagi Galuh kembali mengagguk.
"Ya." Jawab Galuh lagi.
"Bagaimana bisa?" Tanya Teo heran dengan kepolosan gadis itu.
"Galuh percaya dengan Papa. Galuh percaya jika Papa tidak mungkin ingin membuat putrinya menderita dengan membiarkan putrinya menikah dengan laki-laki sembarang. Intinya Galuh percaya jika Papa pasti sudah memikirkan dengan sangat matang saat menawarkan pernikahan ini pada Galuh!" Jawab Galuh terdengar sangat logis dan rasional dan kali ini Teo yang mengangguk dengan penjelasan gadis itu.
"Iya. Kau benar. Aku memang pernah mengatakan bahwa aku memimpikan seorang istri dan anak untuk menemani hari tua ku pada Papamu, tapi sungguh , aku tidak pernah meminta putrinya untuk menikah denganku, tidak pernah sama sekali!" Ucap Teo setelahnya lalu kembali merentangkan tubuhnya dengan menghadap langit-langit kamar nya.
"Iya. Papa juga tidak pernah mengatakan hal itu. Dia hanya bertanya, apakah Galuh tidak keberatan jika di nikahkan dengan Om Teo!" Jawab Galuh, dan kali ini Galuh yang membalik tubuhnya, miring menghadap Teo dan Teo kembali memiringkan tidurnya untuk menatap gadis itu, melihat keseriusan gadis itu ketika berbicara. "Dan ya, Galuh menjawab tidak keberatan!" Jawab Galuh terdengar tulus dan kali ini tangan Teo terangkat dan mendarat di sebelah pipi Galuh.
"Dan kau pasti tidak pernah membayangkan jika ternyata aku sudah setua ini kan?" Tanya Teo setelahnya sambil membelai pipi gadis itu, tapi Galuh menggeleng.
"Bukankah tadi Galuh juga mengatakan jika Papa menceritakan tentang kebersamaan Om dan Papa saat menyelesaikan studi di luar negeri? Jadi Galuh sudah memprediksikan Om akan sama tuanya dengan Papa." Jawab Galuh apa adanya dan Teo kembali mengangguk dengan perasaan yang luar biasa hangat.
Tangan besar itu masih terus membungkus dan membelai pipi dingin Galuh, menatap manik mata coklat Galuh yang jernih, dan dengan sangat halus Teo meminta kesediaan Galuh untuk dia sentuh lebih, karena ini adalah malam pengantin mereka dan rasanya akan sangat hambar jika mereka hanya melewatkan malam itu dengan bercerita tanpa saling menyentuh.