Edward sedang menatap para layar laptopnya yang menampilkan laporan keuangan marketnya. Namun beberapa kali ia akan melirik ponselnya, Leyna tak juga mengirimkan chat kepadanya, biasanya Leyna selalu mengirimkan chat atau emot untuk menganggunya. Tidak pernah sekalipun ia melupakannya tapi hari ini sepertinya terjadi, mungkin keberadaan laki-laki itu membuat Leyna melupakannya. Edward menghela nafas malas, ia mencoba mengusir pikiran tentang Jensen dan Leyna dari dalam kepalanya dengan menyibukkan diri menatap angka-angka dalam laporan kertas kerjanya. Ia meraih gelas kopi lalu menyeruputnya, kopi ini masih panas bisa dilihat dari asap yang mengepul dari permukaannya.
"Edward."
Edward mendongak, suara itu begitu familiar ketika pandangannya mengarah pada ambang pintu. Ia menyemburkan kopi dari dalam mulutnya hingga mengenai layar laptopnya. Edward benar-benar terkejut melihat kehadiran Leyna di sana. Wanita itu nampak berbeda dengan gaun hitam dan model rambutnya yang nampak seperti model, kecuali tinggi badannya yang tidak sesuai untuk pekerjaan itu. Edward hanya memandang Leyna beberapa saat sebelum akhirnya dikejutkan ketika wanita itu melemparkannya beberapa tisu.
"Monitornya terkena air kopi mu dasar jorok. Bersihkan itu!."seru Leyna menatap monitor komputer Edward dengan pandangan horor.
Edward mengerjapkan matanya lalu membersihkan layar monitornya dengan gerakan cepat. "Apa-apaan pakaian itu!."
"Kenapa? aneh ya.. aku juga merasa begitu."Tidak. tidak sama sekali pikir Edward. Baru kali ini ia melihat Leyna seperti ini. Sangat cocok di tubuhnya dan penampilannya. Perasaanya di rundung sesal, tentu saja Jensen yang membuatnya secantik itu. Tapi kenapa Leyna ada di sini dengan pakaian seperti itu, Edward mulai bertanya-tanya. Sementara Leyna mendudukan dirinya di sofa ruang kerja Edward lalu menyalakan tv seperti di rumah sendiri.
"Kenapa kau ke sini? Dimana Jensen?."
Ekspresi Leyna berubah muram lalu ia tersenyum ketika acara comedy itu membuat sebuah lelucon. Edward menghampiri Leyna dan berdiri tak jauh darinya. Menatapnya penasaran namun Leyna terus mengabaikannya hingga membuat Edward menendang kakinya.
"Ada apa!."
"Kau pergi ke sini sendirian?."Leyna kembali memalingkan wajahnya dan tertawa, Edward kembali memanggil namanya dan membuat Leyna menghentikan suaranya. Leyna menatap Edward dengan kedua mata menyipit.
"Dia yang mengantarku kemari. Aku takut kau marah karena kejadian tadi."ucap Leyna yang kemudian beralih menatap layar tv. Edward melihatnya bersikap aneh, sesuatu terjadi dan Leyna berbohong tentang Jensen. Rasanya tidak mungkin Jensen mengantarkan Leyna kemari, dan untuk apa Leyna bukannya pergi menuju Apartemennya malah ke sini untuk menemuinya.
"Sesuatu terjadi! Apa dia melukaimu? hei Leyna aku sedang berbicara denganmu tatap aku dan jawab pertanyaanku."
Dengan terpaksa Leyna beralih menatap Edward walau sebenarnya ia tak ingin melakukan ini. Leyna sulit berbohong di hadapan Edward, karena pria itu selalu bisa membaca perasaannya. Leyna tersenyum seolah tak terjadi apapun namun reaksi Edward membingungkan Leyna. Laki-laki itu hanya diam saja dan tak menunjukkan reaksi yang membuat Leyna berpikir Edward tak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Leyna kembali memalingkan wajahnya lalu meraih remote tv dan mematikan nya.
"Ayo pulang. sudah malam."
Tiba-tiba Edward memalingkan wajahnya lalu membalikan tubuhnya membelakangi Leyna. Bibirnya mengetat marah, kedua tangannya terkepal emosi. Leyna bersikap seolah tak terjadi apapun, ini membuatnya kesal. Leyna bersikap seolah ia melindungi Jensen dari kemarahannya dan hal itu membuat Edward merasa kesal dan membenci sikapnya.
Edward meraih kunci mobilnya lalu kembali menghadap Leyna. "Kuantar kau pulang."
"Kau belum mau pulang?."tanya Leyna setelah melirik jam dinding yang berada di dalam ruang kerja Edward, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam namun laki-laki itu terlihat belum juga ingin pergi dari sana.
"Banyak yang harus ku kerjakan."
"Ouh... kalau begitu kerjakanlah, aku akan pulang. Ah. ketempat Viona dulu. Lanjutkanlah. Tidak apa."Leyna merasa canggung, ia berbalik memunggungi Edward lalu berjalan perlahan keluar dari dalam ruang kerja Edward. Baru beberapa langkah Leyna berjalan pergi Edward melewatinya dan berjalan di depannya dengan langkah lebar.
"Cepatlah. Aku tidak mau kakimu patah akibat berjalan lebih jauh lagi menuju Cafe Viona."Ucapan Edward membuat Leyna tersenyum geli. Ia mempercepat langkahnya agar bisa menyusul Edward yang pergi lebih dulu meninggalkannya.
***
Leyna melepaskan sepatu hak tingginya ketika berada di dalam mobil Edward. Rasanya pegal sekali, ia tak sanggup lagi berjalan menggunakan benda ini bahkan untuk beberapa menit saja rasanya tidak mungkin. Edward hanya memerhatikan apa yang Leyna tanpa turut berkomentar, bibirnya berkedu menahan tawa. Baru kali ini ia melihat Leyna memakai sepatu setinggi itu.
"Aku terkejut, kupikir kau tiba-tiba menjadi lebih tinggi. Ternyata karena sepatu itu."ucap Edward sarkatis yang membuat Leyna mendengus sebal. Ia kesal jika Edward menyinggung tentang tinggi badannya. Ia sudah berusaha olahraga bahkan meminum s**u, namun minuman itu malah membuatnya gemuk. Viona bahkan lebih tinggi di bandingan dirinya, kadang-kadang hal itu membuatnya iri.
"Sepertinya aku menjadi pendek saja di bandingkan harus memakai benda ini. Ahh.. sepatu ini menyakiti kaki dan perasaanku."Sepertinya itu adalah pilihan yang bagus, dari pada harus memakai benda terkutuk itu dan membuat kakinya bengkak lebih baik Leyna memilih untuk menjadi pendek saja. Ucapan Leyna membuat Edward tertawa, ia sudah mencoba untuk menahan diri dan tak mentertawakan wanita itu namun sungguh sulit, mengejek Leyna adalah hal favoritenya.
"Jangan tertawa. Ini tidak lucu."gerutu Leyna yang malah semakin membuat Edward tertawa terbahak-bahak. Mereka sampai di Apartemen, Leyna memilih untuk berjalan tanpa alas kaki di bandingkan menggunakannya, kedua sepatu tersebut ia pegang di sebelah tangannya sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menarik ujung gaun belakangnya yang begitu panjang menyentuh lantai.
"Aku akan kembali ke Toko dulu, istirahatlah dan rendam kakimu menggunakan air hangat."ucap Edward setelah menurunkan Leyna di lobby Apartemen.
"Terima kasih atas tumpangannya, hati-hati di jalan."seru Leyna sebelum kaca mobil Edward tertutup dan mobilnya meninggalkan lobby Apartemen. Leyna pergi menuju Lift yang mengantarkannya menuju lantai kamarnya. Ketika masuk ke dalam Apartemennya Leyna menaruh sepatu itu di rak sepatunya. Leyna akan membawanya ke jasa laundry besok, ia takut mencucinya sendiri dan merusak sepatu mahal itu.
Leyna ingin melepaskan gaun ini dan membersihkan tubuhnya lalu segera beristirahat. Baru saja ia berbelok untuk masuk ke dalam kamarnya Leyna di kejutkan dengan kehadiran seseorang di dalam kamarnya. "Jensen."seru Leyna terkejut.
Pria itu tengah duduk di pinggir ranjang dengan kedua tangan bertumpu di masing-masing lututnya dan terkepal erat. "Bagaimana caranya kau bisa masuk ke dalam kamarku?."
Jensen mengalihkan pandangannya menatap Leyna dengan tatapan kesal, hal itu membuat Leyna semakin kesal. Tidak ada alasan bagi Edward untuk marah, karena yang seharusya marah di sini adalah Leyna karena Jensen masuk ke dalam kamarnya begitu saja. Ini jelas-jelas melanggar privasinya.
"Kau meninggalkanku!."ucap Jensen marah, Leyna ternganga dibuatnya tak bisa percaya apa yang baru saja Jensen katakan padanya. Melihat ekspresi marahnya membuat Leyna tersinggung.
"Bagaimana caranya kau masuk,? kau tidak bisa masuk ke dalam kamarku seenaknya!."Jensen berdiri di hadapan Leyna, kedua tangannya mengerat, mengepal dengan eratnya. Wajah Leyna mendongak untuk terus menatap Jensen tajam. Menunjukkan raut wajah kesalnya pada laki-laki itu.
"Aku melihat dial passwordmu ketika kau menekannya."Leyna tak terlalu percaya padanya, rasanya ia sudah meminta Jensen untuk memalingkan wajahnya ketika ia akan menekan tombol password kamarnya.
"Kau seharusnya tidak masuk ke dalam kamar orang lain begitu saja."seru Leyna marah, nada suaranya terdengar penuh dengan peringatan namun Jensen rasanya tak mengindahkan perkataannya.
"Kau tahu aku meninggalkan semuanya, aku langsung mencarimu dan pergi kemari untuk bertemu denganmu."Leyna memalingkan wajahnya, ia tak ingin melihat wajah Jensen yang kini terus menatapnya.
"Kau seharusnya tak perlu kemari."ucap Leyna yang membuat Jensen semakin kesal.
"Tak perlu kemari kau bilang! Kau meninggalkan ponsel dan dompetmu di dalam mobilku. Kau pikir bagaimana bisa aku tidak datang kemari. Aku sangat mengkhawatirkanmu Leyna. Kau membuatku panik, aku memerhatikanmu dari atas sana, dan ketika aku memalingkan wajahku sedikt saja kau sudah menghilang. Kau tak membawa apapun, kau benar-benar membuatku panik. Aku mencarimu di sana namun kau tidak ada. Aku terus memerhatikan jalanan dan melihat-lihat apa mungkin kau berjalan pulang kembali ke Apartemenmu. Aku mendapat kabar kau pergi ke toko Edward itulah sebabnya aku menunggumu di sini."
Leyna mendongak, kedua matanya memanas sepertinya ia ingin menangis. Leyna kembali menatap Jensen dengan sorot mata yang serius. Ia harus membuat keputusan. Tetapi ketika Leyna mau mengatakan sesuatu ia merasakan air mata ingin melesak keluar membasahi wajahnya. Leyna rasa ia tak bisa mengatakan apapaun, salam perpisahan atau perkataan apapun itu yang akan membuatnya menangis di hadapan Jensen.
"Maafkan aku. Aku hanya merasa jika aku tidak cocok untuk berada di dalam sana, aku sudah mengatakannya padamu sejak awal.. jika aku tidak cocok berada di sana, bahkan berada di sampingmu."
"Leyna. Apa yang mereka katakan? mereka menyakitimu?."Jensen ingin meraih tangan Leyna yang membuat Leyna mengambil langkah mundur untuk menjauh dari Jensen.
"Aku lelah, besok aku harus bekerja, kau juga kan. Jadi.. aku mau istirahat."Leyna memalingkan wajahnya ke arah lain, sementara Jensen terus menatap Leyna yang jelas terlihat menghindarinya.
"Kau ingin aku pergi?."Entah kenapa Jensen masih bertanya tentang hal itu, ingin sekali Leyna menjawab ya, namun ya dilakukan Leyna hanyalah diam saja. Jensen menghela nafas berat, ia mendekati Leyna lalu memeluk tubuh Leyna dan mencium keningnya.
"Maafkan aku, aku menginginkanmu Leyna. Besok pagi aku akan menjemputmu."Jensen melepaskan pelukannya dari Leyna lalu beranjak pergi dari hadapannya menuju keluar dari kamar Leyna.
"Tidak perlu,"ucap Leyna yang membuat langkah Jensen terhenti di depan pintu kamarnya. "Aku bisa berangkat kerja sendiri."
Jensen membalikan tubuhnya untuk kembali menatap Leyna yang kini berdiri menghadap ke arahnya.
"Leyna."panggil Jensen dengan suara rendah yang membuat hati Leyna terenyuh.
"Selamat malam Jensen."ucap Leyna. Jensen hanya menatap Leyna sebelum akhirnya pergi dari hadapannya dengan langkah berat, ia akan mengalah untuk saat ini dan membiarkan Leyna istirahat. Leyna terlihat begitu lelah, walau sesungguhnya banyak hal yang ingin Jensen katakan.
Leyna dapat mendengar pintu kamar Apartemennya terbuka, dan ketika tertutup tubuh Leyna merosot terduduk di lantai. Ia terlalu lelah, Leyna menyandarkan tubuhnya pada tempat tidurnya dan mulai memejamkan mata. Benar-benar lelah, bukan hanya tubuhnya tapi juga hatinya. Leyna mulai menangis dengan matanya yang terpejam. Ia memang benar-benar tidak pantas untuk bersama dengan Jensen, perktaan wanita itu dan bagaimana tatapan para tamu undangan ketika melihatnya berada di sisi Jensen seolah mempertegas betapa tidak pantasnya ia jika bersanding dengan Jensen.