Mengharap Sesuatu Dalam Diam

832 Kata
Setelah ini, aku yakin Fatih bakal semakin besar kepala karena mendapat dukungan penuh dari Mama untuk .... ... mendapatkan janda bekas kakak sepupunya? CK! Omong kosong macam apa ini? "Lagian lo, ya. Udah punya istri sholeha, kalem, penurut, masih aja pengen CLBK sama mantan yang mata duitan. Otak lo taruh di mana otak?" ejek Fatih, yang dalam seketika mampu menghadirkan keterkejutan untuk semua orang yang ada di sini. Tunggu! Dari mana Anak Tengil ini tahu tentang affair yang sedang aku jalani dengan Zhafira akhir-akhir ini? Apakah dari ... Najwa? Ah, tidak mungkin! Sejak tadi malam, aku bahkan tidak melihat istriku sempat memegang ponsel karena sibuk dengan recovery dan berkemas untuk pergi setelah membereskan semua pekerjaan rumah. Ya, bahkan, Najwa masih sibuk untuk bersih-bersih rumah dan membereskan apa yang pantas dan tak pantas sebelum akhirnya meminta untuk pergi secara baik-baik. Namun, belum sempat keinginannya terealisasi, Mama keburu datang dan membuat dirinyatertahan. "Kalau boleh gue bilang, lo bahkan lebih bodoh dari seekor kerbau, Bro." Pedas mulut Fatih saat memperolok kakak sepupunya ini. Sialan! "Lo tahu alasan si Zhafira bakal gugat cerai suaminya?" Semua terdiam. "Karena perusahaan suaminya hampir bangkrut dan dia lagi cari orang baru buat pegangan." Mendengar apa yang Fatih ucapkan, Mama menggeleng cepat dengan dadanya yang terlihat naik turun. "Dan sekali lagi, gue cuma pengen bilang lo bodoh kalau sampe kembali sama dia padahal alasan lo ditinggalkan dulu juga karena hal yang sama dengan apa yang dialami suaminya sekarang." Mama tersenyum bangga menatap Fatih. "Nggak salah kalau kamu mencalonkan diri sebagai calon suami baru buat Najwa, Fatih," puji Mama berlebihan. Membuat Fatih terlihat semakin jemawa. "Karena selain tampan, kamu juga begitu pandai melihat keadaan," tambah Mama yang jelas akan membuat Fatih merasa diatas angin. "Sudah jadi rahasia umum kalau mantannya si Irham ini matre, Bude." Kulihat wajah Najwa berubah pias mendengar bagaimana sepupuku tak henti menyematkan kata matre untuk Zhafira. "Yang ... sorry to say, kakak kamu, Wa." Najwa tersenyum kecut saat Fatih menatap dalam wajahnya. "Tapi ... kalau misalnya lo masih minat balikan sama mantan yang menurut lo cantik dan sesuai kriteria lo ya nggak masalah," ucap Fatih saat tatapannya teralih padaku. "Terus lo mau ngarepin bini gue, begitu?" sambarku cepat. "Ya, seperti yang sudah pernah gue bilang sebelum ini. Wanita sholeha pantas mendapatkan pendamping hidup yang lebih bisa menghargai. Bukan laki-laki nggak tahu diri yang belum move on dari masa lalu," ucap Fatih tepat sasaran. Jujur aku mengakui, sejauh ini, paramater kecantikan bagi seorang Irham memang masih dimenangkan oleh Zhafira Maya. Wanita pertama yang sanggup membuatku jatuh cinta selama bertahun-tahun lamanya. Namun, anehnya ... wanita yang selama tiga tahun ini aku anggap biasa, membuatku tak rela saat dirinya menyatakan kesiapan untuk berpisah. Hidup memang seaneh ini. Lamunanku buyar saat Mama tiba-tiba meminta Najwa mengemasi barang-barangnya. "Kamu pantas bahagia, Sayang. Mama tidak akan lagi memaksamu untuk tetap bersama anak Mama jika itu hanya menciptakan luka." Najwa mengangguk dengan bulir bening yang kembali menghiasi sudut matanya. "Wa, izinkan aku memperbaiki semuanya." Semua menoleh padaku. Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Mama tersenyum sinis. "Mama yakin Fatih lebih bisa membahagiakan Najwa daripada kamu." Aku menggeleng cepat. Tak setuju dengan Mama yang terlalu mengagung-agungkan Fatih dibanding anaknya sendiri. Semua sedang dalam mode serius saat Najwa tiba-tiba menutup mulutnya dengan wajah yang mendadak merah. "Wa ... kamu ... baik-baik saja?" tanya Mama terlihat prihatin. Najwa mengangguk dan seperti berusaha ingin terlihat baik-baik di depan mertuanya. Namun, hal itu tak berlangsung lama sampai akhirnya ... wanita itu bangkit dan bergegas menuju ke kamar mandi terdekat dengan langkah cepat. Aku yang cemas, buru-buru mengikuti kemana langkah wanita itu terayun. Bukan sekali dua kali kudengar Najwa muntah di dalam sana. Berkali-kali. Apa yang terjadi dengannya? Apakah dia masuk angin setelah semalam pingsan di kamar mandi dalam kondisi mengenaskan? "Wa ... kapan terakhir kali kamu dapat tamu bulanan?" Najwa yang baru keluar dari kamar mandi, terlihat gugup dan terkejut saat Mama yang berdiri di sampingku, menodong dirinya dengan satu pertanyaan itu. "Kapan, Sayang?" Wanita itu membeku dengan wajah yang terlihat memucat mendengar Mama mencecarnya dengan satu pertanyaan itu. "Kapan, Nak?" "Du ... dua bulan yang lalu," ucapnya terbata. Mama tersenyum penuh arti menyambut jawaban sang menantu. "Bisa jadi kamu ...." Najwa menggeleng cepat. "Nggak, Ma. Nggak mungkin Najwa hamil. Mas Irham selalu memaksa Najwa untuk minum pil darurat saat dia lupa memakai pengaman. Jadi nggak mungkin kalau Najwa hamil," ucap wanita itu dengan air mata yang menetes di kedua pipinya. "Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah berkehendak. Obat dan pil cuma ciptaan manusia, Najwa," ucap Mama yang dalam diam membuatku sepakat dengan apa yang diucapkannya. Mungkinkah dalam diam aku menginginkan jika Najwa hamil sehingga bisa membuatnya bertahan lebih lama denganku? "Tapi Najwa tidak pernah menginginkannya, Ma. Najwa tidak menginginkannya," ucapnya sambil menggeleng cepat dengan napasnya yang terlihat memburu. Mama menatap sendu sang menantu yang wajahnya menunjukkan ketakutan atas kemungkinan dirinya hamil padahal dia memiliki suami yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku meneguk ludah yang terasa pahit di tenggorokan. Suami macam apa aku ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN