"Mas Irham selalu memaksaku meminum pil darurat jika dia lupa menggunakan pengaman," ucap Najwa bersama bulir bening yang perlahan merebak di matanya.
Aku seperti dikuliti hidup-hidup. Tenggorokanku kembali rasa tercekat saat ternyata, Najwa masih ingin mengadukan semua perbuatan burukku padanya selama ini. Tentang semua sikap picikku yang enggan memiliki anak dari wanita yang kuanggap terlalu sederhana wajahnya.
Mendengar kesaksian wanita yang bermata bening di sampingku, napas Mama tampak naik turun tak beraturan. Sorot matanya makin menyiratkan rasa benci saat menatapku. Anak kandung yang justru seperti dianaktirikan jika dibandingkan dengan Najwa yang bergelar menantu.
"Benar begitu, Irham?" tanya Mama dengan pandangan menusuk.
Aku diam tak menyahut.
"Benar begitu, Irham?!" ulang Mama sarat emosi. Wanita ini memang kalem dan bersahaja, tapi jika sudah marah, jangan ditanya lagi. Ngeri!
"Jangan terlalu berbangga diri dengan ketampananmu karena tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini. Usiamu sudah 30 tahun, dan percayalah, ketampanan yang kau bangga-banggakan selama ini, akan memudar seiring berjalannya waktu."
Aku terdiam seribu bahasa. Aku benar-benar tidak punya cadangan kata untuk mendebat ucapan Mama yang memang tidak keliru sepenuhnya.
"Kalau menurutmu Najwa kurang cantik, bisa jadi dia akan terlihat cantik dan menarik di mata laki-laki lain. Bukankah sejatinya kecantikan itu relatif?" sambung Mama sambil menatap hangat wajah sang menantu. Tatapannya selalu berubah teduh jika sudah berhadapan dengan menantu yang amat dibanggakannya.
Najwa tertunduk lemah. Sementara aku yang duduk di sampingnya, merasakan darahku seperti naik ke kepala mendengar ucapan Mama. Bayangan tentang bagaimana cara Fatih memandang Najwa tadi malam, langsung muncul dalam benak dan aku sangat tidak menyukainya.
"Maafkan Mama, ya, Sayang. Mama benar-benar tidak tahu kalau pernikahan ini sangat menyiksamu selama ini. Maafkan Mama."
Najwa mengangkat wajahnya dan menatap ibu mertuanya saat wanita yang melahirkanku, tiba-tiba mendekat dan menggenggam kedua tangannya dengan tatapan matanya yang terlihat tulus.
"Kalau kamu merasa sangat tersiksa dengan pernikahan ini, Mama tidak akan memaksamu melanjutkannya, Najwa." Kulihat setetes bulir bening menetes secara perlahan di pipi mata wanita yang melahirkanku saat tangannya terulur dan membelai lembut kepala Najwa yang berbalut jilbab instan warna merah marun.
"Ma." Aku mencoba menginterupsi saat merasa keputusan yang Mama buat terlalu tergesa-gesa dan seperti tanpa pertimbangan.
"Kamu masih muda dan pantas bahagia, Mama janji akan mencarikanmu jodoh yang lebih baik dari anak Mama yang tak pandai bersyukur ini," ucap Mama sambil menatapku dengan pandangan sengit.
"Ma!"
"Heh! Kamu diam saja, Irham. Mama sedang tidak ingin berbicara dengan laki-laki sok kegantengan yang tidak pandai bersyukur."
"Jadi, Mama tidak keberatan kalau Najwa ingin pisah dari Mas Irham?" Setelah sekian lama diam, bersama sorot matanya yang membiasakan kaca, Najwa kembali bersuara saat melontarkan satu pertanyaan yang sejatinya aku tak ingin aku dengar.
Apakah dia benar-benar siap berpisah dariku?
Mama memeluknya dengan penuh sayang setelah telapak tangannya mengusap lembut sudut mata wanita yang sudah tiga tahun ini aku nikahi.
"Tidak. Mama tidak akan pernah merasa keberatan jika itu bisa membuatmu bahagia dan lepas dari penderitaan yang menyiksa, Sayang."
Najwa tersenyum tipis menyambut ucapan wanita paruh baya yang masih berstatus sebagai ibu mertuanya. Meski hanya sebuah senyuman tipis, tapi percayalah, hal itu sudah lebih dari cukup untuk menghadirkan luka baru di dalam sini.
Seantusias itukah dia menyambut perpisahan kami?
"Dan kamu perlu ingat sesuatu, Najwa. Dengan siapa pun kamu menikah nantinya, kamu tetap anak perempuan Mama yang Mama banggakan."
Najwa mengangguk ringan. Dan sekali lagi, sebuah anggukan kecil saja sukses membuat hatiku nelangsa saat membayangkan jika perpisahan itu benar terjadi.
Mantra jenis apa yang kau gunakan, Najwa? Kenapa rasanya sesakit ini saat membayangkan perpisahan darimu?
Suasana hening tercipta beberapa saat sampai bel yang berdentang beberapa kali, membawa perbedaan situasi.
Aku bergegas bangkit dan berjalan menuju gerbang untuk melihat siapa yang datang.
Dan ... aku benar-benar dibuat muak saat melihat si Tengil sialan, datang lagi pagi ini.
"Heh! Ngapain lo datang lagi?"
Fatih tersenyum miring.
"Sorry. Gue bukan mau ketemu sama lo. Gue mau ketemu sama calon janda muda yang selama ini didzalimi sama suaminya. Mana dia?"
Tanpa tahu malu, laki-laki yang entah membawa apa di tangannya, selonong boy masuk melewatiku.
Dasar! Tidak punya sopan santun!
"Assalamualaikum." Begitu memasuki ruang tamu, Fatih cengar-cengir setelah membungkukkan badan dan mengucap salam.
Najwa dan Mama menoleh pada laki-laki Tengil yang selalu bergaya sok asik dan menyebalkan itu.
"Fatih?"
"Assalamualaikum, Bude." Seperti anak baik-baik, Fatih meraih tangan Mama dan mencium punggung tangannya dengan takzim.
"Waalaikumussalam. Tumben? Bawa apa, tuh?" tanya Mama sambil melirik bungkusan di tangan Fatih.
"Ini, Bude, coklat. Buat mengembalikan mood calon janda Mas Irham," ujarnya sambil cengengesan tak jelas.
Sialan!
"Jadi ... kamu sudah tahu tentang ...?"
Fatih mengangguk dan lantas menceritakan tentang semua yang dialami dan dilihatnya tadi malam. Sebagai pendengar yang baik, Mama menyimak dengan seksama apa yang disampaikan oleh sang keponakan.
"Dan oleh sebab itu, aku cuma mau bilang, Bude nanti jangan kaget, ya, kalau tiba-tiba aku melamar Najwa setelah Najwa lepas dari suaminya yang toxic ini. Aku janji, Bude. Aku akan membahagiakan Najwa semampuku dan sejauh mana yang aku bisa."
Mama menatap sendu wajah sang keponakan yang baru-baru ini mengumbar janji layaknya petugas partai di acara kampanye.
"Oke, Fatih. Bude percaya padamu."
"Ma!"