Pernikahan yang menyiksa?
Lagi, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini saat aku menatap wajahnya yang sayu dan penuh permohonan.
"Tolong biarkan aku meraih bahagia dengan caraku sendiri, tolong," ucap Najwa dengan penuh pengharapan.
Aku diam dan memilih untuk abai dengan permintaannya. Aku terus men-sugesti diri jika yang diucapkannya hanyalah emosi sesaat. Tidak lebih.
Dia hanya sedang cemburu pada Zhafira, kakaknya. Itu saja. Tidak lebih.
Ah, Zhafira. Aku bahkan melupakan janji temu yang sempat direncanakan bersama wanita itu. Namun, biarlah. Keselamatan Najwa lebih penting dari apa pun saat ini. Aku hanya perlu fokus dengan kesehatan wanita yang entah kenapa tiba-tiba membuatku tak rela untuk berpisah dengannya.
Ya. Mungkin aku sudah benar-benar gila sekarang.
Pesan masuk ke messenger yang jumlahnya mungkin puluhan—yang aku yakini dari Zhafira, aku abaikan.
Jari jemariku kembali menggulir layar ponsel. Mencari nomor kontak dokter pribadi yang biasa menangani keluarga kami. Dokter Alvin.
"Iya, Pak Irham. Selamat malam. Ada yang bisa dibantu?" Dokter yang selama dua tahun belakangan ini menjadi dokter langganan di keluargaku, berucap ramah begitu kami terhubung melalui sambungan telepon.
"Tolong datang ke rumah saya secepatnya, Dok. Istri saya demam tinggi, dia butuh penanganan cepat," ucapku to the points.
"Baik, saya akan segera ke sana."
"Baik, Dok. Terima kasih."
"Sama-sama, Pak Irham."
Aku berjalan pelan mendekati Najwa pasca panggilan dengan Dokter Alvin diakhiri. Entahlah, rasanya ... aku benar-benar gila dan ingin menikmati lebih banyak waktu dengannya.
"Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot memanggil dokter. Kalau aku mau, aku bisa melakukannya sendiri. Bukankah selama ini aku melakukan semuanya serba sendiri?"
Skak mat! Aku benar-benar kehabisan kata-kata mendengar ucapannya.
Selama ini, aku memang tak peduli bagaimana pun keadaannya. Termasuk saat dia sakit, aku hampir tak pernah ada untuknya. Fokusku cuma satu, mengembalikan kejayaan perusahaan yang dibangun Papa dengan susah payah. Itu saja.
Kami saling diam untuk beberapa lama sampai dokter umum yang usianya lebih muda dariku, datang dengan membawa peralatan medis di dalam tas jinjing yang dibawanya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Bu Najwa hanya perlu beristirahat yang cukup dan makan makanan bergizi seimbang setelah ini," ucap Dokter Alvin setelah melakukan pemeriksaan singkat pada istriku.
Aku mengangguk pelan.
"Saya hanya memberikan Paracetamol dan vitamin untuk daya tahan tubuh, tapi jika nantinya keadaan Bu Najwa tak kunjung membaik, Bapak bisa langsung membawanya ke rumah sakit."
Aku kembali mengangguk. Sementara Najwa yang malam ini kembali terlihat muram, hanya menunduk dalam. Seperti tak peduli dengan apa pun yang disampaikan oleh Dokter Alvin.
***
"Kamu harus makan dan minum obat."
Aku dibuat sedikit jengkel saat melihatnya terus diam dan tak mengacuhkanku setelah kepergian Dokter Alvin. Bahkan, saat aku datang mendekatinya dengan nasi dan sup ayam di tangan, dia masih saja asyik dengan sikap diamnya.
Bukankah wanita benar-benar rumit?
"Kamu harus makan agar kondisimu lekas pulih," ucapku sambil meletakkan nasi beserta sup ayam di atas nakas samping ranjang.
Setelah menghubungi Dokter Alvin tadi, aku memang berinisiatif melakukan delivery order makanan yang aku tahu baik untuk dikonsumsi oleh orang yang sedang demam.
"Makan, ya," ucapku mencoba berusaha bersikap lembut.
Najwa masih saja asyik dengan sikap diamnya. Membuatku hampir hilang kesabaran andai tak ingat dengan permohonannya untuk berpisah.
Aku mengumpat dalam hati. Merasa ini benar-benar seperti ironi. Saat dia sendiri yang memutuskan untuk mengakhiri semuanya, aku justru ingin menahannya lebih lama. Sungguh, ini benar-benar gila.
"Kamu harus sehat lagi karena permainan kita baru berlangsung satu ronde. Kamu ingat, kan?"
Aku tertawa dalam hati saat berhasil membuatnya mendongak dan menatap nyalang padaku.
"Aku ingin menghabiskan sepanjang malam dengan b******a bersamamu."
"Dasar otak m***m," umpatnya dengan ekspresi jengkel saat memandangku.
Aku tertawa bersama desir aneh yang perlahan menguasai hati saat melihatnya berekspresi.
Ya Tuhan! Apakah otakku sudah bergeser saat menikmati setiap ekspresinya sebagai hal yang menyenangkan?
***
Pagi.
Kedatangan Mama pada Minggu pagi kali ini seakan menjadi berkah tersendiri untukku. Suami yang sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan istri yang masih saja berkeras hati untuk pergi setelah semua drama yang terjadi malam tadi.
"Kalian ... baik-baik saja, kan?" Mama yang pagi ini terlihat begitu ceria, memandangku dan Najwa secara bergantian ketika kami sedang duduk bersama di ruang tamu.
Najwa hanya tersenyum tipis. Rasanya dia masih mempertimbangkan banyak hal jika ingin menyampaikan semua yang terjadi diantara kami tadi malam.
Istri yang baik!
"Tentu saja, Ma. Apa kami terlihat sedang bertengkar? Tidak, kan?" sahutku santai.
Najwa jelas kaget saat tanganku tiba-tiba melingkar di pinggangnya tanpa permisi.
Mama tersenyum sambil menatapku dan Najwa secara bergantian. Tatapan matanya yang terlihat teduh selalu terlihat menenangkan di mataku.
"Jika melihat kalian akur begini, bolehkah Mama berharap akan segera mendapatkan cucu dari kalian?"
Wajah Najwa terlihat menggelap dalam seketika mendengar satu pertanyaan itu.
"Tentu saja, Ma," jawabku tanpa ragu.
Mama tersenyum hangat menyambut ucapanku.
Untuk sesaat, suasana berubah hening sampai ....
"Mas Irham hampir selalu memakai pengaman saat berhubungan dan bahkan meminta Najwa mengkonsumsi pil pencegah kehamilan. Jadi rasanya ... keinginan untuk memiliki anak itu cuma omong kosong, Ma."
Aku dan Mama menunjukkan keterkejutan yang sama saat Najwa tiba-tiba buka suara dan mengungkapkan satu fakta yang selama ini kami simpan dan tutup rapat.
"Irham?" tanya Mama, seperti menuntut jawab padaku.
"Bisa Irham jelaskan, Ma, bisa Irham jelaskan," ucapku sedikit gugup saat berusaha membuat Mama kembali dalam kondisi tenang.
"Satu yang perlu Mama pahami, seorang laki-laki tampan tidak mungkin berharap anaknya terlahir dari wanita berwajah pas-pasan."
Aku meneguk ludah dengan berat dan kembali seperti diskak mat saat Najwa mengucap sesuatu yang memang pernah aku katakan padanya sebelum-sebelum ini.
"Benar begitu, Irham?" tanya Mama, dengan kilat kemarahan yang amat kentara. Dadanya tampak naik turun ketika menuntut jawab.
"Bu-bukan begitu, Ma."
"Jika Mama berpikir kami memiliki masalah kesuburan selama tiga tahun ini, itu salah besar, Ma. Anak Mama yang tampan inilah yang tak pernah mengharapkan kehadiran anak dari wanita berwajah pas-pasan sepertiku." Kudengar ada getaran dalam suaranya saat mengungkap satu kenyataan pahit yang sayangnya adalah sebuah kebenaran.
"Benar begitu, Irham?!"