C H A P T E R 10
Selama pertemuan berlangsung, Mia hanya diam sambil terus memikirkan Sam. Gadis itu hanya berbicara sekali saat memperkenalkan dirinya. Seorang pria yang memperkenalkan namanya sebagai penghubung antara Bumi dan manusia lain dari luar Bumi bernama Milan Morgue.
"Yang jelas, jika kalian masuk ke dalam komunitas ini, kalian harus percaya bahwa Alien itu ada. Aku pernah bertemu dengan mereka. Jari-jari mereka yang hanya ada tiga dan berwarna hijau itu menyentuh tanganku dan mereka hampir membunuhku." Milan terus mengoceh tentang pengalamannya saat bertemu dengan Alien.
Mendengar itu, Mia rasanya ingin tertawa. Dia dulu berpikir bahwa alien tidak ada. Dan sama seperti Milan yang berpikir bahwa alien berwarna hijau dan memiliki kepala besar dengan jari berjumlah tiga. Tapi sekarang semua itu benar-benar tidak masuk akal lagi bagi Mia.
"Mungkin kalian pikir semua alien berkepala besar dan berwarna hijau." Mia memotong pembicaraan Milan.
"Maaf, maksudmu kau meragukan pengalamanku ini?" tanya Milan.
Mia menatap Milan sambil melipat lengannya di d**a. "Aku hanya sedang membicarakan pengalamanku," jawab Mia.
Milan terkekeh, seolah dia tidak mempercayai Mia. "Whoa, selamat! Ada orang lain yang melihat alien selain diriku."
Semua orang sekarang menatap ke arah Mia. Menunggu Mia berbicara. "Kau percaya bahwa alien itu ada tapi kau tidak percaya bahwa aku pernah melihatnya juga?" tanya Mia tidak percaya.
Milan seolah tersudut. Dan mata mulai beralih ke arahnya. "Karena hanya orang-orang tertentu saja yang bisa bertemu dengan alien."
"Maksudmu alien memiliki kriteria untuk bertemu dengan makhluk lain?" tanya Mia dengan sinis. Dia memandang Milan dengan penuh pertanyaan. "Bagaimana jika aku katakan bahwa aku adalah alien?" tanya Mia lagi.
Semua orang mulai menatapnya lagi. Dan Milan mulai tertawa. "Kau sungguh aneh anak baru, siapa namamu tadi? Mungkin aku bisa menjadikanmu asistenku."
"Aku ini alien, apa aku berusaha membunuhmu?" Mia sejujurnya sedang membela diri, tapi semua orang hanya berpikir bahwa Mia memiliki pikiran yang lain.
"Alien itu jahat! Mereka ke Bumi untuk menculik manusia. Mereka bisa memakan otakmu atau lebih parah lagi, mereka menjadikanmu sebagai kelinci percobaannya." Milan melipat lengannya di d**a sambil bersandar di kursinya.
Mia akhirnya bangkit dari tempatnya duduk. Dia sudah cukup muak mendengar omong kosong Milan yang tidak masuk akal. "Aku kira ini komunitas pecinta damai. Tapi kau justru menanamkan permusuhan bahkan sebelum kami bisa mengetahui kebenaran apapun." Dan Mia meninggalkan ruangan.
Mengingat hal itu membuat Mia baru ingat bahwa dia belum menelepon ayahnya sejak dia sampai di sini. Dengan cepat, Mia merogoh sakunya dan menekan tombol cepat nomer ayahnya.
"Mia," kata ayahnya bahkan sebelum dering pertama selesai.
"Hai, Dad! Bagaimana kabarmu?" tanya Mia.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana kuliahmu? Apa kau mendapat teman baru? Apa Hannah sekamar denganmu?"
Mia tertawa mendengan pertanyaan yang terlontar dari ayahnya. "Dad, tenang. Aku harus menjawab yang mana dulu?" goda Mia. "Perkuliahan baru akan mulai senin depan, jadi aku masih punya dua hari untuk berkeliling dan istirahat."
Ayahnya hanya bergumam. "Bagaimana dengan Hannah? Dia sedang bersamamu?" tanya ayahnya lagi.
"Tidak, aku baru mengikuti acara pertemuan komunitas. Hannah tidak mendaftar untuk komunitas itu. Tapi sepertinya aku juga akan keluar dari komunitas itu," kata Mia pada ayahnya.
"Kenapa? Mereka tidak menyukaimu?"
Mia tertawa lagi. "Tidak, kau tidak akan percaya. Aku ikut komunitas Alien Beliver dan salah satu orang yang merupakan ketua dari komunitas itu mengaku pernah bertemu alien dan mereka berusaha membunuhnya."
"Tidak mungkin," ujar ayahnya terkejut.
"Ya, dan dia juga mengatakan bahwa alien itu semuanya berwarna hijau dan berkepala besar, mungkin maksudnya jelek. Mereka hanya belum bertemu denganmu saja." Mia menggoda ayahnya.
Ayahnya tertawa. "Mereka akan tergila-gila padaku, ya kan?" ayahnya terpancing perkataan Mia.
"Mereka akan memujamu," kata Mia sambil tertawa. Dan saat gadis itu berbalik, seseorang sedang menatapnya beberapa meter tidak jauh darinya. "Dad, aku harus pergi. Nanti aku telepon lagi. Aku sayang padamu," kata Mia dan mematikan sambungan teleponnya.
Alex masih memandang Mia dari kejauhan. Dia telah ingkar dengan janjinya untuk menemui Mia. Dan Alex tahu bahwa Mia marah padanya karena itu. Alex kemudian mendekati Mia yang sudah menutup teleponnya.
"Ayahmu sangat mengkhawatirkanmu ya?" tanya Alex yang sudah berada di dekat Mia.
Mia tidak menjawabnya. Sambil memasukkan telepon genggamnya ke saku, Mia berjalan begitu saja meninggalkan Alex.
"Mia, maafkan aku," kata Alex kemudian. Mia terus berjalan tanpa menghiraukan Alex. Namun pria itu berlari mengejar Mia sambil menarik lengannya dan menghadapkan wajah Mia ke wajah Alex.
Mia yakin jantungnya sudah terlatih untuk hal semacam ini. Tapi nyatanya, Mia masih tidak bisa mengendalikannya sama sekali.
"Aku tahu kau pasti merindukanku, jadi aku ke sini untuk menemuimu," ujar Alex dengan penuh kepercayaan dirinya.
Mia masih diam saja dan tidak mengatakan sepatah katapun.
"Aku ingin tahu, siapa teman sekamarmu itu?" tanya Alex tiba-tiba.
Sekarang Mia yakin, bahwa Alex datang hanya untuk menanyakan hal tidak penting itu. Bukannya untuk menemui Mia.
"Aku kira kau datang karena aku," kata Mia sambil menatap mata Alex yang biru.
Wajah Alex tampak bingung. "Aku memang datang karena kau." Alex mengelak.
"Kau menanyakan hal itu yang berarti kau hanya peduli tentang perkataan Hannah. Kau tidak peduli dengan perasaanku." Sekarang Mia melepas lengannya dari Alex dan berbalik.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kau menjawabnya." Alex kemudian mengejar Mia dan memeluknya dari belakang.
Alex melingkarkan satu lengannya yang panjang si tulang belikat Mia dan mendekatkan wajahnya ke pundak Mia. Dalam posisi ini, Mia tidak bisa bergerak. Hampir sama saat Alex menciumnya waktu itu, namun dalam posisi yang berbeda.
"Kalau kau bergerak, aku akan mendekapmu lebih erat," bisik Alex.
Tapi Mia tidak menuruti kata-kata Alex dan berusaha membebaskan tubuhnya. Sayangnya Alex bukan pria yang bisa melepaskan Mia begitu saja tanpa mendapatkan jawaban darinya.
"Jawab dulu pertanyaanku," bisik Alex lagi ditelinga Mia. Dan membuat gadis itu sedikit tergelitik. "Siapa pria yang menjadi teman sekamarmu?" tanya Alex lagi.
Mia masih bungkam. Dia hanya ingin terbebas dari Alex saat ini atau dia bisa tekena serangan jantung tiba-tiba.
"Memangnya apa urusanmu?" Mia berusaha mengalihkan agar Alex tidak menanyainya lagi.
Tapi Alex justru menjawabnya. "Dia akan berurusan denganku jika berani menyentuhmu."
Mia menelah ludah. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Kau gugup?" tanya Alex. "Bukannya kota sudah pernah melakukan lebih dari ini, seperti berciuman." Alex sedikit tertawa.
Mia akhirnya menggunakan trik yang Alex pernah ajarkan padanya dengan membebaskan dirinya ke belakang dan kemudian meminting tangan Alex ke belakang. Dengam cepat Alex berputar dan berhasil membebaskan tangannya dari pintingan.
"Kau semakin bagus ya," kata Alex.
"Tentu saja, instrukturku mengajarkanku dengan baik," ujar Mia.
Alex tersenyum. "Jadi, siapa teman sekamarmu itu?" tanyanya lagi. Masih penasaran dengan jawaban Mia.
"Kau percaya dengan perkataan Hannah?" Mia berusaha meyakinkan Alex.
"Aku percaya padamu," jawab Alex.
Mia menggigit bibir bawahnya. "Kenapa kau sangat ingin tahu?" tanya Mia penasaran.
Alex diam sesaat sambil bertolak pinggang. "Aku cemburu padanya. Dia bisa melihatmu saat tidur bahkan bisa saja dia melakukan sesuatu saat kau tidur dan kau tidak tahu."
Mia tidak menyangka Alex akan mengatakan bahwa dirinya cemburu pada Sawyer. Apalagi Alex bukan tipe yang suka merendahkan dirinya.
"Jadi, seperti apa pria yang sekamar denganmu?" tanya Alex lagi.
"Seperti ini," kata sebuah suara tidak jauh dari mereka.