Makan siang di restoran cepat saji bersama beberapa teman yang baru-baru ini berkenalan dengannya. Ia tak begitu mengenal mereka. Tapi setidaknya cukup terbuka dengannya. Meski di awal juga pernah bertanya-tanya apa yang ia lakukan disaat siang begini sebelum akhirnya menyusul makan siang. Ia tentu solat zuhur dulu bukan?
"Aku gak sengaja lihat layarmu tadi," ujarnya.
Alfa ber-oh ria. Apa yang ia lihat?
"Pacarmu? Korean people?"
"Ah. No. Chinese. Keturunan. Di Indonesia ada banyak yang seperti ini," ujarnya.
Rekannya itu mengangguk-angguk. Menurutnya cantik. Ya memang cantik. Bagi Alfa pun begitu. Terkadang memang sering disalahpahami karena wajahnya begitu dengan mata yang bulat besar. Ia memang tak tampak seperti turunan Cina pada umumnya. Padahal keluarganya benar-benar asli turunan Cina. Tapi memang orang-orang di Asia Timur sejujurnya memiliki karakteristik fisik yang mungkin tak berbeda jauh.
Lalu Alfa diolok-olok karena dikira pacarnya. Ia tadi hanya membuka akun media sosial Narsha. Yeah mantan pacar yang membuatnya tak bisa mencari orang lain lagi. Gadis cantik itu seakan tenggelam. Namun rumor di banyak akun gosip tadi menyebutkan kalau ia akan segera menikah dengan lelaki yang memang sudah menjadi tunangannya sejak beberapa tahun terakhir. Itu membuat dadanya sesak. Tapi ia sadar kalau memang mereka ya sulit bersatu. Namun ia masih tak ingin berhenti. Perasaannya masih belum berubah.
"Apa orang-orang Indonesia secantik itu?"
Mereka penasaran. Karena wajah Narsha tampak oriental dengan mata bulat dan wajah yang tentunya lonjong. Belum lagi kulitnya putuh bersih. Ya tapi kan sebenarnya gadis-gadis Indonesia itu terkenal dengan kulitnya yang kecoklatan alih-alih putih. Terutama yang tampak eksotis.
Alfa enggan menjawab. Menurutnya, cantik itu relatif. Ya karena di Korsel memang berbeda dengan tipikal orang-orang Indonesia, maka mungkin memang lebih diminati perempuan yang seperti Narsha. Yang wajahnya memang tak tampak Indonesia. Apalagi ia juga seperti melihatnya tadi pagi di sini. Namun sepertinya halusinasi ya?
Gadis berambut kecoklatan dan berkulit putih bersih di sini tentu saja sangat banyak. Yang tingginya seperti Narsha juga banyak. Yang tubuhnya tampak kurus namun ideal juga banyak. Jadi ya mungkin ia benar-benar berhalusinasi. Setidaknya itu lah yang ia yakini hingga sekarang.
Usai makan siang di kantor, ia kembali ke kantor lalu ya bekerja seperti biasanya. Pikirannya tentu saja melayang ke mana-mana. Mencoba mencari keberadaan gadis yang memenuhi hatinya itu. Di mana kah dia? Kenapa tak muncul? Apa sedang bersama tunangannya itu?
Ia benar-benar sulit berkonsentrasi. Hingga akhirnya pulang dengan bus lagi menuju apartemen yang ia sewa selama satu bulan di sini. Hari-hari di Korsel tampak berlalu begitu cepat. Mungkin karena terasa hampa?
Usai solat magrib, ia bergerak menuju salah satu restoran. Restoran yang katanya Febby menjual makanan halal. Gadis itu minta dikirimkan makanan halal dari sana. Ya seperti kimchi dan ttoekbokki. Katanya akan tahan lama. Ya berhubung ini caranya agar gadis itu tak ngambek, ia terpaksa menuruti maunya. Menunggunya pulang dari sini tentu saja masih cukup lama. Jadi akan ia kirim sekalian begitu membelinya.
Ia melihat di peta soal lokasi restoran itu. Begitu melihat ke sekitar, lokasinya tak tampak begitu jauh. Ia berhenti melangkah dan sepertinya hanya butuh beberapa langkah dari keberadaannya dan ya restoran itu berada di sebelah kirinya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu melanjukan langkahnya lagi. Namun tiba-tiba terhenti dan terperangah ketika melihat seseorang baru saja keluar dari pintu itu.
@@@
Ia hari ini tak menganggur. Tentu saja sesekali membantu orangtuanya. Sebagai apa? Direktur film. Dengan mudah ia mendapatkan posisi itu karena memang orangtuanya memiliki production house sendiri. Jadi ia bekerja hari ini. Tentunya sendiri.
Dulu saat kuliah, ia sering mengerjakan ini bersama kakaknya. Tapi sekarang tentu tak lagi. Karena perempuan itu telah menikah beberapa tahun lalu. Sibuk juga sebagai artis dan membangun perusahaan yang yah sejenis SM entertainment seperti yang ada di Korsel. Kakak iparnya juga artis. Ia memang berada dari keluarga yang sangat berada.
"Masih jomblo nih, Feb?"
Ia hanya terkekeh karena diolok begitu. Perempuan secantiknya rasanya aneh memang kalau masih sendiri. Ia punya banyak pencapaian tapi tak pernah diperlihatkan. Meski kaya, ia benar-benar tampak ramah dan sederhana sebetulnya. Banyak yang suka tapi sayangnya, hatinya sangat setia pada satu orang. Sayangnya, ia juga tahu kalau Alfa tak memiliki hati sedikit pun padanya.
"Masa seorang Febby masih jomblo?!"
Ia hanya terkekeh. Setidaknya nikmati pekerjaan hingga selesai. Baru kemudian berpamitan untuk pulang. Ia mengendarai mobilnya menuju mall. Menghibur diri untuk berbelanja sedikit. Bukan berbelanja barang mahal. Ia tak segila itu. Ia lebih suka jajan. Kemudian membawanya menuju mobil hingga tak sengaja melihst sosok yang sangat familiar. Siapa?
Arsen.
Ia tentunya tak begitu dekat tapi cukup mengenal Arsen. Karena keluarga mereka sama-sama kaya. Ia menaruh makanannya dulu di dalam mobil lalu sengaja menghampiri lelaki yang baru hendak keluar.
"Arsen?"
Ia memanggil lebih dulu. Cowok itu baru menutup pintu mobilnya dan menoleh. Anak artis yang begitu terkenal ini tentu saja sangat ia kenal. Dulu ia juga pernah melihat perempuan ini bermain bersama tunangannya. Ah entah di mana perempuan itu. Ia kesal sekali.
"Oh...."
"Apa kabar?"
"Ya baik."
Ia melirik ke arah bangku penumpang. Kan siapa tahu ada Narsha di sana. Ia berharap begitu. Ia juga berharap kalau kedua orang ini segera menikah.
"Narsha....apa kabar?"
Ia bertanya karena sudah lama tak melihatnya. Ia, Alfa maupun yang lain memang tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya Narsha. Mendengar pertanyaan itu, Arsen berdeham. Akhir-akhir ini ia memang sangat sensitif tiap mendengar orang-orang yang bertanya soal keberadaan Narsha.
"Baik."
Ia enggan mengobrol lebih lama lagi. Febby mengangguk-angguk. "Gue dengar kalian akan segera menikah."
Ia berharap itu bukan sekedar kabar burung. Arsen tak menjawab. Cowok itu segera berpamitan. Kebetulan sekali asistennya memanggil dari dekat lift sana. Febby menghela nafas. Ya mengobrol hal seperti itu mungkin memang tak cocok dengan Arsen. Karena apa? Karena cowok itu memang dingin. Ia tahu itu. Walau memang patut diakui kalau Arsen sangat lah sempurna menjadi seorang lelaki.
Febby masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia sungguh masih penasaran di mana Narsha sebenarnya. Kalau sudah lebih pasti keberadaannya, ia akan jauh lebih tenang. Ya hanya sekedar untuk memastikan kalau gadis itu tak boleh terlihat di depan Alfa lagi. Karena ia tahu kalau Alfa masih belum bisa melupakannya. Entah sampai kapan.
Ia mencoba menghubungi Alfa. Tapi tak juga diangkat. Seharusnya sudah malam di sana.
@@@
"Ya, kenapa kau tak berterus terang saja?"
Ia senang sekali menggoda A Yana. Selama ini, gadis ini selalu mengelak. Narsha berkali-kali memastikan. Ya kalau ia tak salah mengira. Tapi entah kenapa, kali ini ia yakin kalau A Yana benar-benar menyukai sahabatnya sendiri.
"Kau gila!"
Narsha terkekeh. Ia tadi ke butiknya lalu kata salah satu karyawan A Yana, gadis ini ada di restoran ini sejak siang. Alibinya sih membantu padahal saat tiba, Narsha bisa melihat kalau A Yana bahkan tak bisa menyembunyikan perasaannya.
"Kau tampaknya sudah sangat lama menyukainya heh?!"
A Yana berdesis. Ia sudah berusaha menyembunyikan perasaannya kok. Tapi ya kalau sedang membludak begini juga susah menahannya.
"Yaaaak!"
Narsha terkekeh. Ia senang sekali mengoloknya. Kim Jae In tampak sibuk di kasir sana. Ia mengurus restoran ini bersama orangtuanya. Yeah ia dengar-dengar cowok ini juga sedang kuliah S2 di salah satu kampus di sini. Usai membumbui sayur untuk kimchi, keduanya bergerak untuk mencuci tangan. Ibunya Jae In tentu saja menyuruh mereka untuk membawa beberapa kimchi. Dengan senang hati, A Yana membungkusnya. Meski tak lama pergerakan tangannya terhenti. Narsha yang baru selesai mencuci tangan menyenggol bahunya. Apa yang A Yana lihat hingga tangannya berhenti memasukkan beberapa kimchi ke dalam plastik. Ia menoleh ke arah di mana A Yana melihat. Ternyata ada seorang gadis yang baru saja masuk dan wajah Kim Jae In tampak sumringah. Teman kampus? Dari gaya pakaiannya ya terlihat seperti mahasiswa dari.....Indonesia? Ia hanya menebak-nebak.
"Pacar?"
A Yana tak menjawab. Tapi matanya tak berhenti menatap gadis berkerudung yang tampak mengobrol dengan Kim Jae In. Wajah Kim Jae In yang tampak sumringah sehingga yaa Narsha juga bisa menebak dan menyimpulkan. Wajah A Yana berubah melihat Jae In dengan perempuan itu. Ya pasti ada rasa yang bagaimana ya mengatakannya?
"Yaaaa! A Yana!"
Akhirnya Jae In memanggilnya. A Yana memperbaiki raut wajahnya lalu berjalan mendekat. Narsha mengikutinya meski ia bisa merasakan perasaannya yang tampaknya terluka. Bahkan berusaha tersenyum ketika mengenalkan A Yana pada gadis yang bernama Sophia itu. Ya tampak manis seperti gadis Indonesia pada umumnya. Namun saat melihat wajah Narsha, ia seolah mengenalnya.
"Hong Soo Jin."
Jae In mengenalkannya dengan nama itu. Narsha berjabat tangan dengannya. Meski mungkin agaknya....
"Wajah anda agak familiar. Mungkin mirip kali ya?"
Narsha tersenyum canggung. Ia tak salah menduga kalau gadis ini adalah gadis dari Indonesia. Karena tahu wajahnya. Karena merasa canggung, tak aman, dan ya mengimbangi perasaan A Yana juga akhirnya ia memutuskan untuk mengajak A Yana pulang saja.
"Ya! Ya! Sebentar. Aku ambil kimchinya dulu."
Ia bahkan masih mengingat wajahnya tadi tampak terluka. Tapi kini sudah jauh lebih santai. Ia mengubah ekspresi wajahnya dengan cepat. Lalu berpamitan dengan normal pada Jae In yang tampak sedang berbunga-bunga hanya dengan kedatangan seorang gadis. Narsha mengajaknya keluar dan baru selangkah dari pintu, langkahnya terhenti. Terhenti tepat saat ia menoleh ke kiri dan melihat seorang laki-laki berdiri membeku di depannya. Sama kagetnya dengannya.
Alfa.
Nama itu jelas disebut di dalam benaknya. Ia benar-benar terkaget. Bahkan bukan cuma ia yang kaget. Tapi juga lelaki itu.
@@@
Narsha. Siapapun yang bertanya mengenai keberadaan gadis itu padanya, mood-nya langsung terganggu. Ia baru saja menelepon timnya di Korsel sana. Namun belum ada kabar baik. Narsha benar-benar harus pulang dan ia akan pastikan itu terjadi. Lalu malam ini, ia sedang berada di ruang VIP bersama beberapa teman yang tentu saja tahu soal kabar Narsha yang menghilang. Mereka meledeknya ya tapi memang selalu seperti itu. Ia tak pernah ambil pusing.
"Bro udah lama dia gak di sini. Kalo dia gak niat pulang, berarti dia gak cinta dong sama lo!"
Ia mendesis. Untung saja orang yang berbicara di sini ya sudah mabuk. Lihat saja beberapa botol yang sudah kosong. Mereka tentu saja tak memesan minuman yang sembarangan.
"Kalo gak cinta, gak usah dipaksain lah. Toh banyak cewek yang mau sama lo."
Ia ingin tertawa. Memangnya mereka akan begitu? Ia mencintai gadis itu. Sangat mencintainya. Jadi bagaimana mungkin ia lepaskan begitu saja? Meski perasaan ini tak terbalas. Bahkan mungkin tak pernah terbalas. Ia menarik nafas dalam. Alih-alih meninju mulut keduanya yang terus sok menasehatinya, ia lebih memilih untuk melempar botol minuman itu ke arah tembok. Akhirnya?
Ya pecah lah. Setelah itu, ia beranjak dari sana dan berjalan menuju mobilnya. Ia aka ke mana?
"Siapkan penerbangan menuju Seoul."
Ia menelepon sekretarisnya. Lelaki itu tentu saja kaget. Lalu buru-buru mencari penerbangan ke Seoul. Kebetulan sekali ada. Tapi harus melobi untuk bisa mendapatkan kelas bisnis yang kosong. Lalu ia buru-buru menyiapkan barang-barang bosnya. Menelepon asisten di apartemen Arsen. Memberitahu mereka untuk segera menyiapkan kebutuhan Arsen yang entah akan berapa lama di sana. Padahal cowok itu sibuk sekali dan ia terpaksa mengatur ulang jadwalnya untuk beberapa hari ke depan. Lalu mengambil beberapa dokumen penting untuk keberangkatannya dan segera menyusul ke bandara. Ia yakin kalau Arsen sudah dalam perjalanan ke sana. Cowok itu tak main-main kalau sudah mengejar sesuatu maka pasti akan ia dapatkan. Termasuk membawa Narsha untuk segera pulang. Apalagi maunya gadis itu? S3?
Ia akan berikan. Apapun akan ia turuti. Tapi hanya satu permintaannya sebelum menuruti semua keinginannya yang lain. Apa? Ya menikah dengannya. Hanya itu.
Ia tiba di bandara bersamaan dengan sekretarisnya yang baru saja berlari kencang ke arahnya. Ia tak menempuh jalur udara karena agak mabuk. Sekretarisnya pada naik ke jalur udara agar bisa menyusulnya.
"Saya sudah hubungi tim kita di Korsel untuk menjemput bapak."
Ia hanya mengangguk lalu mengambil beberapa berkas penting dan sempat menunggu asisten di apartemennya yang datang membawa koper. Ia masuk sendirian melalui pintu keberangkatan. Lolos begitu cepat menuju ruang tunggu. Keberangkatannya masih satu jam lagi. Penerbangan malam ini mungkin akan membawanya tiba pagi nanti di Seoul. Ia akan pastikan untuk membawa Narsha begitu bertemu di sana. Gadis itu tak akan bisa lolos lagi. Ia sudah terlalu baik. Sudah terlalu lama menunggu pula. Jadi tak ada alasan lagi untuk menunggu lebih lama.
Ia memejamkan matanya begitu duduk di dalam pesawat. Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Wajah Narsha begitu dekat. Hubungan mereka baik-baik saja. Meski ia tahu kalau Narsha tak bisa membalas perasaannya. Ia akan tetap memaksanya. Mereka harus menikah. Ia tak mau sakit hati. Cinta baginya harus memiliki. Salah kah? Tidak kan?
Ini kan pilihannya.
Aku mencintaimu, Nars. Sudah pernah kah aku mengatakan itu?
Ia memang dingin. Ia mungkin tak bisa mengungkapkan cinta melalui kata-katanya. Karena ia lebih suka menyampaikan perasaannya melalui tindakan.
@@@
"Mereka main curang."
Ya mereka menyogok makanya lahan itu jatuh pada mereka. Biaya suapnya pasti sangat besar. Juna tak mau begitu. Ia memang tipikal lurus. Ia bermain jujur. Ia bersedia membayar sesuai tagihan. Ia tak suka memperkaya orang yang mencari keuntungan pribadi.
"Terus apa rencana lo?"
"Kita akan coba cara resmi. Tapi gue perlu bantuan media massa."
"Oke. Nanti gue bantu cari pers."
Juna mengangguk. Persoalan pers masih lebih gampang bagi Ferril karena ya ada seseorang yang ia kenal.
"Terus lo mau ke mana?"
"Pulang. Capek gue."
Ferril terkekeh. Ia turun dari mobilnya dan menelepon asistennya untuk membawakan mobil. Ia belum akan pulang. Kalau pulang, ia bisa saja menumpang pada Juna. Jadi Juna pulang sendirian dengan mobilnya. Meski tak lama ponselnya berdering.
"Ya, um."
"Tadi pak kyai telepon. Katanya kamu disuruh datang besok pagi ke pesantren."
"Oh ya," ia tak mengecek ponsel seharian ini. Begitu melihat sekilas memang banyak pesan yang masuk. Ia menutup telepon dari umminya. Berpindah mengurusi urusan asmara.
Ranee. Namanya tampak berbeda dari gadis kebanyakan. Tapi ia suka. Bukan cantik. Gadis itu ya cukup manis. Ia suka? Tak tahu. Tapi pak kyai menawarkannya padanya. Jadi ia coba saja. Ia memang sedang ikhtiar mencari jodoh. Meski kata orang, usianya masih cukup muda. Dalam beberapa bulan baru akan menginjak usia 24 tahun. Perempuan ini juga lebih muda darinya. Baru-baru ini hampir menyelesaikan kuliahnya. Baginya yang terpenting perempuan itu mau di rumah. Meski ia juga tak membatasi kalau perempuan itu mau berkegiatan apapun di luar rumah. Selama tak melupakan tugas utama dan prioritasnya yaitu dirinya.
Tiba di rumah, umminya sudah berdiri di ambang pintu. Pasti sudah mendengar sesuatu dari pak kyai. Kalau tidak, ia tak mungkin berdiri di sana dan tampak sengaja menungguinya pulang.
"Siapa perempuan itu?"
Ia terkekeh. Ia bahkan baru saja keluar dari mobilnya. Dan kalau ditanya soal itu....
"Abang juga baru mau lihat."
Meski pernah melihatnya sekali. Besok sepertinya akan berhadapan langsung. Ia juga akan membawa kedua orangtuanya. Ini ta'aruf. Hanya perkenalan. Kalau cocok ya lanjut. Kalau tidak ya cari yang lain. Jangan dibuat pusing.
"Pak kyai bilang ummi sama abi juga harus datang."
"Ya. Abang sudah minta untuk bertemu keluarganya dulu. Biar ketemu juga sama ummi dan abi. Ummi bisa menilai."
Umminya mengangguk-angguk. Umminya mungkin akan agak cerewet soal jodoh. Ya dimaklumi karena anak lelaki tertua ini benar-benar harus mendapatkan seseorang yang pantas untuknya.
"Berapa umurnya?"
"Sekitar 21 tahun."
"Masih muda sekali."
"Ummi dan abi juga menikah muda."
"Ya tapi zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu, bang."
Juna mengangguk-angguk. Ia bergerak menuju tangga untuk istirahat. Tubuhnya terasa remuk saking lelahnya.
"Perempuan muda sekarang tidak semuanya matang."
Ia tahu umminya sedang berbicara tentang siapa. Tentu saja gadis yang tak pernah mau pulang ke rumah lagi. Entah di mana keberadaan adiknya. Ya ia tahu sih ada di kos-kosan. Tapi perkembangannya tak begitu ia ketahui. Aktivitasnya selain kuliah juga ia tak begitu tahu. Akhir-akhir ini ia begitu sibuk dengan urusannya sendiri.
Aah perempuan ya? Ia hampir lupa karena begitu sibuk dengan urusannya sendiri akhir-akhir ini. Usai solat isya di masjid, ia bergerak menuju ruang kerjanya. Kali ini bukan untuk membuka dokumen pekerjaan melainkan dokumen taaruf perempuan. Ada CV-nya. Ya gadis 21 tahun. Memang muda. Ia juga tak tahu seleranya seperti apa. Apa yang lebih muda atau kah sebaliknya. Atau yang seumuran? Ah entah lah. Dicoba dulu. Toh kalau jodoh pasti akan bersatu bukan?
@@@
Keduanya saling bersitatap lama. Sama-sama tak menyangka kalau akan bertemu di sini. Lalu ya menahan senyum. Yang satu menggaruk tengkuk karena malu. Yang satu lagi mengelus kedua lengan. Ia seolah memeluk tubuhnya sendiri. Memang agak dingin.
"K-kamu ada urusan apa di sini? Kerja atau....liburan?"
Bukan bertanya kabar. Karena sudah sama-sama saling melihat keadaan keduanya bukan? Sama-sama baik. Dan sekian tahun akhirnya bertemu lagi. Semenjak putus dan Narsha memutuskan untuk lanjut S2 di Malaysia, ia memamg sudah tak bertemu lagi dengan lelaki ini. Alfa tentu saja masih mencarinya. Berharap tak sengaja bertemu di suatu tempat. Ternyata benar-benar terjadi sekarang.
"Ada kerjaan. Kamu?"
"Eung....hanya menginap di tempat temanku."
"Gadis tadi?"
Narsha mengangguk. Mungkin heran karena temannya kali ini berhijab. Biasanya ia tak punya teman muslim selain dari Alfa. Perempuan-perempuan yang menjadi temannya tentu saja keturunan Cina dan kaya. Sangat kaya.
"Kamu lama di sini?"
"Kenapa?"
"Hah?"
Narsha bingung. Alfa terkekeh sendiri karena salah paham.
"Ku pikir....," ia menggaruk tengkuknya. "Kamu ingin mengajakku jalan."
"Aaah....," ia mengangguk-angguk.
Alfa semakin menggaruk tengkuknya karena semakin salah tinglah.
"Maaf ya? Aku terlalu lancang."
Ia baru ingat kalau perempuan ini punya tunangan. Narsha hanya berdeham. Ia sempat melirik ke arah Alfa yang mungkin agak kecewa dengan responnya. Tapi ya kalau soal ini, Narsha juga sulit. Hatinya memang tak pernah ada pada Arsen tapi ia juga tak mau berkhianat begitu saja. Rasanya begitu jahat. Meski tidak membalas perasaannya saja mungkin sudah jahat.
"Aku lupa kalau kamu sudah bertunangan," ucapnya. Padahal jelas hatinya sakit saat mengatakan itu. Bagaimana tak sakit? Ia masih mencintai gadis ini.
"Kamu sampai kapan di sini?"
Ia mengulang pertanyaannya. Melihat keberadaan Alfa di sini tentu saja ia senang. Meski ada rasa sedih juga. Mereka terlalu berbeda dari segala segi kehidupan. Bahkan sejak awal pun Narsha masih ingat. Di awal pertemuan dengan Alfa. Ia sudah yakin kalau tak akan ada ujungnya jika ia jatuh cinta pada lelaki ini. Mereka tak akan bisa bersatu. Bukan hanya satu tembok yang menjadi penghalang. Ada banyak tembok di antara mereka. Rasanya itu mustahil.
"Beberapa minggu lagi."
Narsha mengangguk-angguk. A Yana sudah mengiriminya pesan. Ia bisa merasakan getarannya. Gadis itu pasti ingin segera pulang.
"Kalau begitu, aku duluan."
Ia sebenarnya enggan berpisah. Tapi semakin lama bersama Alfa juga menyakitkan. Ini adalah definisi cinta namun tak pernah bisa memiliki.
"Nars...."
Ia tak ingin gadis itu pergi begitu saja. Salah kah?
Narsha menoleh ke belakang. Ia sudah maju beberapa langkah. A Yana sudah melambaikan tangan di kejauhan sana.
"Kamu ada waktu besok?"
@@@