"Siapa?"
Ferril menghela nafas. Kalau ia sudah begini, artinya ya orang yang mereka duga tak lain dan tak bukan ada pada daftar yang senantiasa menganggu mereka selama ini. Setidaknya, salah satu dari mereka. Dan kali ini? Semua mata tertuju pada Juna usai mendengar kabar pengambilalihan kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan pengusaha terkaya di Inggris. Ya setidaknya ia adalah salah satu anak muda terkaya di sana yang namanya cukup populer di kalangan Ferril. Ya bahkan Ferril sangat mengenalnya karena mereka dulu adalah teman satu jurusan. Pernah akur?
Wohoo. Sangat. Sering bermain bersama. Tak disangka kini malah tumbuh berbeda. Efek punya harta dan kekuasaan? Rasa-rasanya hanya persoalan pedoman hidup saja. Kalau Ferril mau memperkaya hidup, ia bisa melakukan apa saja untuk menguasai semua bisnis. Termasuk mencuri sumber daya alam negara lain. Tapi ia tidak mau melakukan dengan cara itu. Sementara lelaki ini? Mau legal atau ilegal, ia tak perduli. Seseorang yang tak percaya Tuhan sama sepertinya bahkan tak akan perduli halal dan haram kok. Yang penting menghasilkan cuan. Iya kan?
"Adik lo, Jun."
Juna terdiam. Mereka semua melihat keberadaan adiknya Juna, yaitu El Rumi tepat di sebelah lelaki itu. Juna tak tahu bagaimana perkembangan kampusnya. Karena mereka seolah putus hubungan sejak satu tahun terakhir. Meninggalkan islam dengan semudah itu membuat Juna dan keluarganya marah besar. Ya oke tak masalah kalau ia memang memiliki keyakinan sendiri. Tapi yang parah, dia mulai mempengaruhi orang lain dengan mengiming-imingi dengan uang. Itu yang membuat Juna marah. Karena ia seolah mengolok-olok agamanya dengan membeli keimanan orang lain menggunakan uang. Padahal yang salah itu adalah orangnya bukan agamanya. Tapi ia mana perduli?
Juna mengusap wajahnya. Ah pusing dengan dua adiknya yang sungguh berantakan. Farrel menepuk-nepuk bahunya. Tahu bagaimana kegalauannya. Pasti lelah bukan menghadapi dua adik yang sungguh berbanding terbalik dengannya?
"Axelle Stewart Harrison. Dari judi sampai batu bara."
Lelaki itu seusia Ferril tapi bisnisnya melaju pesat. Benar-benar pesat. Caranya mendapatkan pun ya jangan ditanya. Sungguh mengerikan. Apalagi pertarungan sengit beberapa bulan dengan salah satu pengusaha di Indonesia yang akhirnya malah terkapar di rumah sakit.
"Udah positif, dia bakal dapat izin secara penuh untuk kelola lahan itu?"
Ferril bertanya pada salah satu anak buahnya yang berada di depan laptop masing-masing. Mereka sedang berada di sebuah ruangan khusus untuk melihat pertemuan secara langsung antara lelaki itu dan pemerintah. Ya seperti biasa, negara ini memang hendak dijual pada orang asing. Bukannya Farrel dan yang lain tak mau mengambil alih. Mereka sebenarnya paling malas kalau harus berurusan dengan proyek pemerintah. Tahu kan kenapa? Belum apa-apa sudah mengeluarkan uang banyak untuk melobi. Farrel tak suka cara itu. Mungkin berbeda dengan Juna. Juna tak punya niatan untuk menyuap mereka. Tapi ia punya idealisme untuk mengelola sunber daya alam Indonesia oleh orang-orang Indonesia itu sendiri. Ia tahu kalau asing yang mengelola, mereka tidak akan untung. Jangan bodoh deh. Sudah ada contohnya di Papua sana.
"Lo dan yang lain gak dapat kabar soal kelanjutan proyek itu, Jun?"
Juna mendengus. Ia kesal sekali. Bukan pada orang yang sepertinya akan mengambil alih lahan itu. Melainkan pada pejabat yang kemarin-kemarin berurusan dengannya. Bukan kah sudah sepakat kalau ia yang akan kelola? Mana ia sudah memberikan bayaran. Ya yang mereka anggap uang muka padahal sepertinya ia baru saja ditipu oleh oknum-oknum itu.
"Gue akan kejar mereka," tukasnya. Ia akan mengejar para pejabat yang telah menipunya.
Ferril menghela nafas. Paling susah menghadapi pejabat. Tahu kenapa? Meski sudah ketahuan bohong pun, mereka tak akan pernah mau mengakui kesalahan mereka. Yang ada malah memutarbalikan pertanyaan atau fakta. Initnya sih ngeles terus menerus. Biar selamat di dunia ya? Padahal di akhirat nanti ditagih loh sumpahnya yang diucapkan di depan kitab itu.
"Kita amankan dulu bukti kita. Baru kita hajar, Jun."
Ia tentu saja akan turun tangan untuk membantu Juna. Kedua tangan Juna terkepal karena saking kesalnya. Dunia politik memang kotor. Bukan sekali atau dua kali juga Juna ditipu begini oleh pejabat. Sudah terlalu sering. Bukannya ia terlalu bodoh. Ia punya pandangan tersendiri. Begini loh menurutnya ya. Kalau ia mau mencari keuntungan, ia sudah punya banyak saham di perusahaan-perusahaan asing yang ada di luar negeri sana. Lalu keuntungan itu ia bawa ke Indonesia untuk investasi dan mengelola sumber daya Indonesia. Ia tak menhitung untung-ruginya berbisnis di Indonesia karena tujuannya memang ingin membantu kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia. Tapi para penjilat ini benar-benar tak tahu diri.
"Tapi harus hati-hati sama Axel," ingat Farrel. Ia sudah pernah mendengar rumor yang banyak. Bilioner yang satu itu tak punya belas kasihan sama sekali terhadap siapapun musuhnya. "Yang kita hadapi ini bukan orang sembarangan tapi orang gila."
Ya orang yang sudah kehilangan kewarasan dalam tanda kutip. Seperti yang telah diucapkan.
Axelle Harrison. Sang biliober yang sangat menggilai uang. Ia akan membuka cara apa saja untuk mendapatkan apapun yang ia inginkan. Kalau tak dapat?
Pilihannya hanya dua. Musuhnya akan mati atau menderita. Tapi efeknya akan bergantung pada keimanan. Karena sesungguhnya siapapun yang berhadapan dengan dia berarti sedang berhadapan dengan iblisnya iblis. Raja iblis? Kakau ada tingkatan di atas itu maka memungkinkan untuk menaruhnya di sana.
@@@
Narsha menghela nafas. Menjelang jam 12 siang, ia akhirnya selesai dengan serangkaian proses seleksi hari ini. Ia jarang berusaha sekeras ini. Baru kali ini ia melakukannya demi bertahan hidup. Ia tak menyangka kalau akan ada di titik ini.
Ia berjalan keluar dari sana dan langsung diterpa oleh panasnya matahari. Ia menutupi kepalanya sembari melangkah menuju halte his. Ia butuh makan. Tapi ingin ke tempat A Yana saja. Ia lebih nyaman kalau makan bersama mereka dari pada sendirian dan selalu waspada.
Ia duduk di bangku halte. Menunggu bis tujuannya. Ya berharap segera datang agar bisa minum es serut nanti. Membayangkannya saja sudah indah. Hahaha. Pikirannya memang sedang santai. Tanpa tahu kalau bahaya justru sedang mengintai. Tim yang dibentuk Arsen sudah berangkat mencari keberadaannya kali ini. Tentu saja tak ada kompromi karena ia menghilangkan jejak. Tak bisa dihubungi oleh siapapun. Hal yang membuat Arsen benar-benar jengkel di Jakarta sana.
Ia sebetulnya tak seburuk yang dibayangkan orang. Narsha juga tahu kok kalau ia baik. Narsha saja yang tak serius dengannya. Padahal lelaki itu sungguh sempurna sekali karena Arsen benar-benar memiliki segalanya bukan?
Sialnya, lagi-lagi cinta tak berpihak pada kesempurnaan semacam itu. Cinta Narsha justru berpihak pada laki-laki sederhana yang tak punya seberapa banyak harta. Namun ia memiliki cinta yang begitu besar untuknya.
Alfa.
@@@