Benteng Yang Tak Bisa Ditembus

3050 Kata
"Maaf." Narsha menolaknya. Ya jelas lah akan ditolak. Ia sudah punya tunangan. Apa yang lo harapkan, Al? Ia menarik nafas dalam. Kalau urusan sedih sih tak perlu ditanya lagi. Ini lebih dari sekedar sedih. Meski ditolak bukan lah akhir. Ia pergi bekerja seperti biasanya tapi lebih lesu dari hari kemarin. Ia seperti kehilangan semangatnya. Dunianya tanpa Narsha memang sudah berjalan sejak bertahun-tahun terakhir. Berapa tahun? Ketika putus dari perempuan itu, mereka berada di tahun terakhir kuliah. Ia sudah mengkhayal akan wisuda bersama Narsha seperti saat mereka lulus SMA dulu. Namun ternyata itu tak terjadi. Sedih? Sangat lah. Tapi ia menguatkan diri. Berupaya menjalani hidup apapun yang terjadi. Ya walau rasanya tak sama. Ia telah menemukan perempuan yang menurutnya paling memahaminya. Paling tahu dirinya. Tahu cara menghadapinya dalam keadaan apapun. Halangan apapun seakan bisa dihadapi kalau berdua. Namun ternyata salah ya? Ia ingat hari terakhir ketika Narsha mendatanginya. Memutuskannya karena satu hal yang tak pernah bisa sama bagi mereka. Apa? Tuhan memang satu.... Kita yang tak sama... Haruskah aku lantas pergi.... Meski cinta tak kan bisa pergi..... Bukan Narsha yang bernyanyi. Tapi gadis itu menyodorkan earphone-nya untuk ia dengar. Dengar apa? Tentu saja lagu itu yang liriknya begitu pas. Ia langsung membeku kala itu. Ia tahu kalau akan tiba harinya mereka berbicara mengenai hal itu. Mengenai benteng yang tak bisa ditembus dengan cara apapun. Jika urusannya Tuhan, bagaimana bisa? "Aku mungkin bisa meninggalkanmu, Al. Tapi aku gak pernah bisa meninggalkan Tuhanku." Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut Narsha sebelum meninggalkannya. Kalimat putus. Kalimat perpisahan. Ia tahu kalau di sini, mereka berdua sama-sama pilu. Tapi ya seperti sejak awal Narsha pernah katakan padanya ketika gadis itu mati-matian menghindarinya dulu. Dulu sekali saat mereka masih belum berpacaran. Ia sudah pernah mengatakan pada Alfa kalau hubungan mereka tak akan pernah menemukan ujungnya. Narsha sadar kalau ia juga bukan orang yang benar-benar taat. Begitu pula dengan Alfa. Tapi untuk urusan keyakinan, ia tak bisa. Sekalipun orang bilang kalau ia jarang ke gereja, bukan berarti ia melupakan Tuhannya. Baginya Tuhannya selalu ada di dalam hatinya. Ia rasa itu berlaku bagi setiap orang. Kini usai dari kantor, ia bukannya pulang ke apartemen, ia malah berjalan menuju ke masjid. Lalu berdiri di depan sana. Termenung menatapnya. Ucapan Narsha bertahun-tahun yang lalu sepertinya berlaku padanya. Ia bisa ditinggalkan Narsha. Tapi ia tak bisa hidup tanpa Allah bukan? Ia tergugu ketika bersujud. Perasaan ini sama seperti terakhir ketika Narsha meninggalkannya di hari itu. Ia sungguh hancur. Ia kehilangan orang yang ia kira akan melengkapi hidupnya. Ia benar-benar seakan kehilangan separuh nafasnya. Beberapa orang tentu saja menoleh ke arahnya. Karena ia tergugu begitu saja. Namun tak ada yang berani menegurnya. Hanya melihat dan ya mungkin ada masalah. Mereka berpikir begitu. Tapi memang benar. Ia sedang berada pada masalah hati di mana ia masih belum bisa melupakan Narsha meski kisah ini sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Mungkin 7 tahun? Ah entah lah. Namun saat melihat Narsha lagi, ia merasa seperti kejadian itu belum lama terjadi. Seolah-olah baru terjadi kemarin. @@@ Narsha? Sama terlukanya. Gadis itu menangis semalaman. Ia tahu kalau ia akan selalu rapuh tiap melihat Alfa. Meski ia tetap melakukannya. Ia tak bisa berhenti melihat isi akun media sosial lelaki itu. Ia masih suka menguntitnya. Masih tahu kabarnya meski yaa sejak S2 di Malaysia, sudah agak berkurang. Karena ia juga sibuk dengan urusannya sendiri. Ia sibuk kabur dari tunangannya. Ia belum siap menikah dengan lelaki yang hingga saat ini tak bisa ia cintai. "Kalau kau cinta, kenapa kau tolak ajakannya?" A Yana sampai menginap di apartemen kecilnya. Gadis itu tak tega meninggalkannya. Tentu saja ia tahu kisah cinta Narsha. Karena Narsha tak sanggup menyembunyikannya. "Setidaknya kau bisa berjalan-jalan sebentar, Nars." Maksud A Yana adalah menyenangkan hatinya. Meski tahu kalau akan tetap terluka. Narsha menghela nafas. Ia duduk di meja makan. A Yana sibuk menyiapkan roti dan menuangkan s**u untuknya. "Kau tahu? Kalau sekali saja aku melakukannya, aku mungkin tak ingin pergi darinya lagi." A Yana tampak menggetuk-,getukkan jari. Ia menatap Narsha. "Aku boleh bertanya? Tapi kau jangan tersinggung." "Apa?" Gadis itu menatapnya. Ya agak ragu. Tapi tetap saja ia tanyakan. "Kau terpikir untuk menjadi mualaf karenanya?" Narsha terhenyak. Pikiran itu memang terlintas. Ya setidaknya sedikit. Tapi itu lah yang memberatkannya. Ia takut apa yang ia lakukan hanya untuk lelaki itu. Bukan karena ia yang memang ingin. "Aku bukannya bermaksud untuk menyinggung hatimu. Tapi kalau dia adalah salah satu alasannya, lebih baik jangan." Narsha berdeham. Ia menatap A Yana. "Aku memang suka melihat mereka bersujud. Ya kalian bersujud. Tapi.....ya kau benar. Ada sedikit perasaan itu." "Itu yang membuat kau tak yakin?" Ia mengangguk pelan. "Narsha yang ku kenal biasanya sangat tegas. Termasuk kabur dari tunangan." Ia tersenyum kecil. Ya penolakannya tak begitu keras juga sebenarnya untuk urusan tunangan itu. Kenyataannya, Arsen tak seburuk itu. Tapi bukan karena itu juga ia enggan meninggalkannya. Melainkan? Titah orangtua. Perintah orangtua. Itu yang membuatnya tak tegas dengan statusnya sendiri. "Kalau kau belum menemukan ujungnya, apa yang akan kau katakan pada tunanganmu nanti?" Ia terdiam. "Kadang tak semua orang bisa sabar menunggu." Ya memang benar. "Jadi menurutmu...." "Aku juga tak bisa melihatmu menikah dengan orang yang tidak kau cintai, Nars." Ya. Ia juga sama. Makanya jalan menuju pernikahan ini begitu berliku. Usai memakan rotinya dan meneguk habis susunya, ia segera beranjak. "Kau akan ke butik?" "Ya. Tapi aku pulang dulu ke rumah. Kau ikut kan? Atau kau mau di sini saja?" "Aku mau pergi sebentar. Nanti aku menyusulmu." A Yana mengangguk. Keduanya keluar bersama dari apartemen Narsha. Lalu berpisah di halte. A Yana naik bus yang berbeda darinya. Ia hendak ke mana? Bukan mencari Alfa. Meski ia ingin sekali tahu di mana lelaki itu tinggal. Bisa kah ia bertemu lagi. Atau ya setidaknya menatapnya dari jauh. Karena kalau harus bersitatap seperti kemarin, ia khawatir akan rapuh. Ia khawatir tak bisa mengendalikan dirinya lagi. Ia naik bus menuju Myeongdong. Untuk apa? Untuk mampir ke salah satu gerrja yang ada di sana. Sejak tiba di Korsel, ia rajin ke sana. Bahkan sekalipu ia sering mengunjungi masjid. Kenyataan kalau hatinya memang belum sepenuhnya siap untuk berpindah, itu memang benar. Ia hanya takut kalau ternyata perasaan ingin pindah ini bukan semata-mata untuk Tuhannya. Melainkan seseorang yang diinginkannya. Itu akan terasa salah bukan? Tiba di sana, ia segera turun dan berjalan menuju katedral. Katedral Myeongdong adalah katedral umat Katolik Roma pertama yang didirikan di Korea Selatan. Yeah sebetulnya tak begitu jauh lah dari masjid besar Seoul. Kalau berjalan kaki mungkin butuh waktu sekitar satu jam? Namun dengan kendaraan umum seperti taksi tentu saja tak begitu jauh. Katedral Myeongdong ini didirikan pada masa pemerintahan konfusius Dinasti Joseon oleh pendeta Katolik asal Prancis yang bernama Eugene Coste. Sama seperti masjid, Narsha juga sangat mengagumi gereja. Ia terpaku lama di depannya. Menumpahkan air mata. Yang selalu menjadi pertanyaannya adalah kenapa cinta harus sesulit ini? Bukan kah Tuhan kita sama? Tapi kenapa jalannya sesulit ini? Meski hanya untuk bersama? Ia menangis tanpa suara di depan sana. Berharap menemukan jalan untuk cintanya. Tidak bisa kah ia mencintai Alfa? Tidak bisa Tuhannya merestuinya? Pertanyaan itu terus berulang. Namun ia tentu sudah tahu jawabannya bukan? @@@ "Udah dapat itu yang di SD 56?" Ia hanya bisa tersenyum tipis. Gagal untuk ke sekian klinya untuk menjadi guru memang cukup menjadi masalah. Terlebih untuknya yang sudah satu tahun ini belum juga mendapatkan pekerjaan yang tetap. Ya yang gajinya agak lumayan. Selama ini kan ia hanya mengandalkan les privat beberapa murid. Berhubung bukan murid elit ya bayarannya juga tak seberapa besar. Ia buru-buru masuk. Capek ditanya tetangga soal kapan kerja. Guru les privat bagi mereka ya tak bisa dihitung sebagai pekerjaan. Menyedihkan ya? Ya. Tapi capek juga kalau kita hanya sibuk memikirkan omongan orang lain tentang kita. Ia juga lelah kan bergulat dengan banyak hal? Meski kedua orangtuanya selalu membelanya. Selalu menyabarkan hatinya kalau tak ada yang salah dengan pekerjaan yang bisa ia lakukan sekarang. Yang salah adalah kalau tak melakukan apa-apa untuk hidup diri sendiri. Benar kan? Ia masuk ke dalam kamar. Lalu pergi mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, mamanya memanggilnya. Diminta turun dari lantai dua. Ada hal yang perlu dibicarakan. Memangnya sepenting apa? Usai memakai baju, ia buru-buru turun. Omong-omong rumahnya cukup sederhana untuk berada di tengah-tengah Jakarta. Rumah dua tingkat dengan dua kamar. Tak ada jarak rumah dengan tetangga kiri dan kanan. Tak ada garasi untuk menyimpan mobil. Mama dan papanya juga tak punya mobil kok. Mereka hanya lah keluarga sederhana. Papanya baru saja pensiun dari guru. Hanya mamanya yang masih mengajar. Ya walau begitu, papanya masih mendapatkan masukan juga sebagai seorang kyai dan memiliki pesantren kecil di dekat sini. Namun kehidupan mereka amat sederhana. "Gimana tadi?" Ia hanya menghembuskan nafas. Tes di SD 56 tentu saja tak lolos. Lalu tadi ia kembali ikut tes di sekolah lain namun tampaknya akan sama. Tes menjadi guru tidak tetap di sekolah negeri saja sulit baginya. Apalagi tadi? Di swasta yang elit. Ia bahkan tak bisa berbicara bahasa Inggris dengan begitu fasih. Jadi ya tahu lah bagaimana akhirnya. Ia bahkan sudah bisa mengira kok hasil tesnya akan seperti apa. Gagal kan? Haaaah. Ia menarik nafas dalam. Lalu kini harus berhadapan dengan mamanya pula. "Ya. Gak perlu dibilang deh." Mamanya langsung berbicara begitu. Ia hanya bisa menahan senyum. Mohon maaf kalau belum bisa membanggakan. Padahal cita-citanya begitu sederhana. Hanya ingin menjadi guru. Namun realitanya tak semudah yang ia pikirkan ya? "Papamu menawarkan seseorang. Ya mama sebenarnya yang meminta." "Meminta apa?" Ia turut membantu menyiapkan makan malam. "Kamu kenal Alfa? Yang dulu pernah tinggal di sekitar sini? Mungkin beberapa tahun lalu waktu kamu masih SD kelas 6." "Itu udah lama banget." Tapi ia sudah paham ke arah mana pembicaraan ini. Kalau mamanya sudah begini, ya tak akan jauh-jauh dari urusan perjodohan. Mamanya dan papanya memang begitu. Kalau urusan kuliah sudah selesai ya menikah. Ia? Entah lah. Meski ada keinginan. Tapi.... "Nah nanti kita ke rumahnya deh. Dia usianya sekitar 28 tahun. Sudah mapan, sudah punya pekerjaan tetap." "Dia mau lamar Syifa?" "Bukan. Mama yang meminta sama ibunya. Siapa tahu kamu tertarik." Aaaah. Ia mengangguk-angguk. "Ya kalo dianya mau sama Syifa sih, Syifa gak apa-apa. Hanya kenalan kan?" Mamanya mengangguk. Tentu saja sangat senang. "Mama tuh senang dengan keluarganya. Kakak-kakaknya solehah semua. Mudah-mudahan dia juga soleh. Bagi mama kan yang penting menantu itu soleh. Urusan rezeki biar Allah yang atur asal mau berusaha." Ya sesederhana itu. "Dan barangkali bisa bantu papamu urus pesantren kecilnya." Mamanya tampak antusias. Kalau urusan perjodohan, memang biasanya orangtua yang paling sumringah alih-alih anak-anaknya. Syifa juga melihat hal yang sama pada ibunya. Ia sih anak yang penurut. Selama hal itu baik menurut orangtuanya, ia tak pernah membantah. Ia selalu mengikuti apapun mau mereka. Kenapa? Ia juga tak tahu apa maunya. Ya mungkin hanya menjadi guru? Urusan laki-laki, ia tak begitu tahu. Selama ini, belum ada lelaki yang menarik hatinya. Hidupnya juga ya begini-,begini saja. "Terus tadi, mama dengar kalau si Ranee mau dilamar sama pengusaha kaya itu ya?" "Ranee? Pengusaha?" "Iyaa. Mamamya heboh banget tadi pagi. Sampai orang-orang di komplek sini jadi tahu." "Mama mulai gosip deh." Ia terkekeh. "Hanya bertanya. Kan kamu temennya." "Ranee gak ada cerita," ujarnya. Lagi pula, ia ada salah paham dengan perempuan itu. Salah apa? Ah panjang lah urusannya dengan keponakan kyai terkenal di Tangerang. Jadi ia sudah lama tak bersua juga. Sudah sibuk masing-masing. Ia sih sudah selesai lebih dulu. Ranee? Seingatnya sempat cuti setahun tapi tak tahu karena apa. Yang jelas, masih skripsi. Setahunya begitu. "Ya maksud mama, enak banget ya?" Syifa terkekeh. "Istigfar maah. Rezeki dan jodoh tiap orang itu kan beda-beda." Mamanya tersenyum tipis. Ya memang sih. Kadang ya hanya berpikir aja, kok bisa? Bukan bermaksud untuk merendahkan Ranee juga. Tapi semua orang juga tahu bagaimana Ranee dan keluarganya. Bahkan para tetangga juga masih heboh membicarakannya. "Makin besar kepala lah itu emak sama babenya. Kegirangan dapat menantu kaya sama soleh kalo bener!" Syifa juga mendengar itu ketika ia pergi membawa makanan menuju pesantren kecil milik papanya. Seebtulnya itu hanya menampung anak-anak yang ingin sekolah namun tak mampu. Papanya memang begitu. Membangun kepedulian meski diri sendiri belum tentu amat tercukupkan. Tapi baik ia maupun mamanya tak pernah protes sih. Karena tahu kalau itu untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka. Nyatanya, ada saja rezekinya dan keluarganya meski masih memberikan sesuatu dan membantu orang lain bukan? Rumus itu yang tak pernah bisa ia pahami. Perhitungannya Allah itu yang tak bisa ditakar oleh manusia. @@@ "Ummi baca CV-nya. Anaknya seumuran kamu tapi masih skripsi?" "Iya, katanya ikut pertukaran di luar negeri itu, um. Makanya telat lulusnya." Umminya mengangguk-angguk. Percaya saja. Mereka baru saja berangkat menuju rumah kyai. Memang direncanakan untuk bertemu di sana. "Kamu suka sama perempuan itu?" Juna mengangguk. Ya setidaknya memang ada ketertarikan. Umminya mengangguk-angguk. Akan sulit melarang juga kalau sudah begitu. Dan lagi, ia juga tak cerewet asal perempuan itu baik. "Selama perempuan itu baik ya ummi setuju-setuju saja." Umminya tak bawel. Ya syaratnya memang hanya baik. Kalau tidak, ia juga enggan merestui. Juna tersenyum tipis. Sebetulnya, ia juga tak tahu kan perempuan seperti apa yang ia sukai? Tapi baginya selama orang itu baik dan keluarganya juga baik ya tak masalah. Perjalanan terasa singkat. Mungkin karena Juna sudah tak sabar ingin bertemu? Ia juga tampak rapi sekali. Dengan baju koko berwarna putih dan celana katun yang biasanya ia pakai untuk acara-acara tertentu. Kali ini stelan ini ia gunakan untuk bertemu dengan calonnya. Ya kalau sekiranya berjodoh. Kedatangannya tentu saja sudah disambut keluarga besar kyai. Namanya yang begitu terkenal memang menarik perhatian banyak orang. Belum lagi ditambah wajahnya dan ya kekayaan yang tentu saja banyak. Tentu banyak perempuan yang sangat tertarik dengannya. Namun ia juga tak mau asal memilih. Ia dan keluarganya dibawa masuk ke dalam rumah besar itu. Dikenalkan satu per satu dengan semua kerabat kyai. Setelah itu dibawa duduk di ruang keluarga yang memang sangat besar. Namun gadis bernama Ranee itu belum terlihat. Mungkin memang sengaja disembunyikan ya agar ia penasaran? Setelah mengobrol beberapa waktu, akhirnya Ranee dibawa keluar oleh beberapa perempuan. Juna ikut menoleh ke arah datangnya. Ya gadis itu memang cantik. Ia akui itu. Meski ia juga tak berani menatapnya. Takut dosa kalau berlebihan. Sementara itu, reaksi orang-orang tentu saja menahan senyum. Lucu melihat kedua orang yang akhirnya dipertemukan secara resmi. "Jadi, bagaimana nak Juna?" Ya setelah melihat Ranee secara langsung dengan lebih jelas, semua orang butuh jawabannya bukan? Ia menunduk sementara perempuan yang ada di seberang meja tepat di depannya itu menatapnya malu-malu. Ia berbisik pada abinya. Hal yang membuat abinya terkekeh lalu berdeham-deham. Semua orang menantikannya. "Ta'aruf dilanjutkan." Begitu kata abinya yang tentu saja membuat semua orang merasa lega. Ya Juna juga masih perlu memantapkan hati. Meski dari rasa tertarik, ia sudah oke. Ketertarikan fisik dalam pernikahan itu lumrah. Karena manusia manapun menyukai keindahan. Ya kan? Kalau ada yang bilang ketertikan fisik itu tak penting atau ya tidak boleh menjadikannya pertimbangan, itu munafik namanya. Ranee turut lega. Ia memang sudah terpincut dengan lelaki itu. Siapa sih yang tak tertarik dengan Juna? Ia seolah manusia yang paling sempurna di dunia ini. Teman-temannya bahkan banyak yang iri dengannya karena bisa berkenalan dengannya. Bahkan sejak awal melihatnya secara langsung di pesantren ini pun, ia tak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Lelaki itu benar-benar idaman banyak perempuan di dunia ini. @@@ Ia sudah bangun sejak pagi. Ia juga ikut berkeliling dengan supir yang menemaninya. Ya mencari ke sekeliling Seoul. Seharusnya mudah mencari perempuan itu bukan? Meski hingga menjelang siang, ia belum menemukannya. Belum ada kabar juga dari anak buah yang ia tugaskan. Tentu saja ia marah besar. Ia jadi tak bisa fokus bekerja karena mengurusi Narsha yang entah di mana. "Cari sampai dapat." Itu adalah titahnya yang harus dipenuhi. Jadi semakin banyak orang yang mereka rekrut dan bayar untuk mencari Narsha. Sementara itu, orang yang dicari justru masih berada di dalam gereja. Tangisnya sudah berhenti seiring dengan perutnya yang berbunyi. Ia bahkan belum makan nasi sama sekali. Wajar kalau mereka berteriak. Mau tinggal di mana pun, nyatanya ia hanya orang Indonesia yang tak bisa kalau tak memakan nasi. Jadi setelah berdoa terakhir kali, ia segera beranjak. Harapannya apa dengan datang ke sini? Tak tahu. Ia juga tak mengerti dengan hatinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan? Ia gamang ketika keluar dari gereja. Lalu menghembuskan nafas. Mau datang berkali-kali ke gereja mana pun, tak akan ada jawaban lain untuk kasus cintanya. Hanya melupakan. Karena toh ia tak bisa meninggalkan Tuhannya bukan? Ia masih meragu untuk pergi. Bagaimana kalau ternyata ia salah milih dan tak bahagia? Ia tak mau mengambil resiko itu. Ia baru hendak berjalan ketika melihat beberapa orang membawa poster dan menanyai sesuatu pada orang-orang yang ada di sekitar gereja. Awalnya ia hendak berjalan santai. Mencoba untuk mengabaikan. Namun ternyata begitu tak sengaja melihat poster itu adalah gambarnya, ia buru-buru menutupi kepalanya dengan kupluk jaketnya. Lalu berjalan secepat mungkin. Tapi sialnya ada salah satu orang yang menatap ke arahnya lalu ke arah poster itu. Tak lama, ia ditunjuk. Kurang dari satu detik, ia sudah berlari kencang. Karena ia berlari, tentu saja membuat beberapa orang yang memang sedang mencarinya itu ikut berlari untuk mengejarnya. Ia benar-benar ketakutan namun berusaha lari dengan tenang. "Sorry! Sorry!" Entah berapa kali ia tak sengaja menabrak sesuatu atau orang-orang yang ada di hadapannya. Meski larinya cukup kencang namun yang menjadi lawannya adalah lelaki. Ia tetap bisa kalah tanpa intrik bukan? Ia tak menyerah. Tiba di jalan besar, ia berlari menyebrang dan beberapa kali hampir ditabrak. Tentu saja kerusuhan yang ia ciotakan. Setidaknya tidak ada tabrakan antar kendaraan. Ia kembali berlari di atas trotoar. Terus menjadi tontonan orang. Mungkin orang-orang akan mengiranya pencopet? Dan tahu kenapa ia tak meminta tolong sama sekali? Karena ia tahu akan percuma. Ia yakin itu adalah orang-orang suruhan tunangannya. Lelaki itu punya banyak pengaruh yang besar. Keluarganya juga tak akan membantunya. Yang ada, ia malah akan diserahkan secara sukarela. Jadi ia berlari sebisa mungkin hingga lebih dari setengah jam. Ya tentu saja staminanya hampir habis. Beerapa kali mencoba bersembunyi tapi terus ditemukan dan beberapa kali juga hampir tertangkap andai ia tak melempar barang-barang yang ia temui ke arah mereka. Ia masuk ke jalanan lain. Kali ini menanjak dan lelah sekali. Para cowok itu juga sudah lelah. Namun kesal karena ia tak kunjung berhenti. Ia sebenarnya tak kuat. Tapi tahu kenapa ia masih bisa berlari menanjak hingga energinya hampir habis? Karena ia tak mau tertangkap. Meski kemudian ia benar-benar lunglai. Kakinya tak bisa diajak berlari dengan benar lagi. Ia mungkin memang harus menyerah. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN