Alfa.
Nama itu hadir lagi dalam benaknya. Hal yang tak pernah ia sangka kalau malah akan bertemu di sini. Ia sudah lama di Korea Selatan. Ya memang dalam rangka menghindari sesuatu. Meski akhir-akhir ini, suasananya tak seaman saat ia tiba pertama kali. Bukan karena Seoul yang tak aman. Tapi.....
"Soo Jiin-aaaah!"
A Yana tampak bawel.
"Neee!"
Ia segera menyusulnya. Meski ia kembali membalik badan untuk mencari Alfa yang ia lihat tadi. Namun tak terlihat lagi. Ke mana? Ia juga tak tahu. Terlalu banyak orang di sini. Ia tak bisa meraba ke mana kepergiannya. Meski ia memutar badannya ke segala arah hingga A Yana memanggilnya tepat di dekat telinganya.
"Ya! Kau bilang mau bertemu dengan guruku?"
Ah ya. Ia hampir lupa. Ia buru-buru mengikuti langkahnya. Ia punya misi ke sini kan? Ia sudah banyak merepotkan A Yana. Gadis ini selalu membantunya.
A Yana mengenalkannya pada salah satu guru yang mengajarkan mengenai keislaman. Ia memang punya niatan meski masih sangat ragu. Banyak hal yang ia pikirkan.
"Why do you want to be a moeslem?"
Ya itu adalah pertanyaan pertama yang ia dengar. A Yana juga pernah menanyakan hal ini. Karena kaget ketika berpikir ia punya niatan untuk berpindah agama. Bahkan menjadi seorang muslim. Baginya, untuk seseorang seperti Narsha, itu tidak akan mudah. Ia tahu kalau Narsha adalah Chinese yang sangat taat. Di dalam pandangannya, Chinese itu sungguh kuat dan dalam jika berurusan dengan agama. Terlebih keluarganya. Dan itu yang memang terus membuat Narsha galau.
"Saya suka dengan orang-orang yang sedang solat. Mereka tampak terlihat damai sekali."
Ia menjawab dengan jawaban yang memang sungguh sederhana. Si guru mengangguk-angguk.
"Solat itu sungguh berat, Narsha."
A Yana mengangguk. Ia juga menyadari itu setelah sekian lama memeluk Islam. Kadang rasa malas begitu menusuk hati hingga suka sekali membuat pikirannya teralihkan. Tapi kalau iman sedang naik, biasanya tak ada celah untuk rasa malas itu.
"Sudah sejauh mana yang kamu ketahui tentang islam?"
Ia tersenyum tipis. "Belum banyak. Tapi saya suka belajar."
Si guru mengangguk-angguk. "Meski sudah lama memeluk islam, kita semua harus terus belajar untuk memupuk keimanan, Narsha. Karena menjadi muslim memang tak mudah."
"Tapi sejujurnya, aku belum siap jika harus bersyahadat hari ini."
A Yana menoleh. Ia tahu kalau Narsha memang terus meragu. Baginya, itu sesuatu yang sangat wajar. Ia juga dulu begitu. Terlebih kalau harus memikirkan keluarganya. Ya, ibunya. Apa yang harus ia katakan? Bagaimana menjelaskannya?
"Ya, tak apa." Si guru maklum. Ia sudah terbiasa dengan para calon mualaf yang masih meragu. Dalam memeluk agama, tak boleh ada keterpaksaan. Jadi menurutnya, biar kan Narsha berpikir. "Setiap tindakan kita memang harus dipikir secara matang."
Si guru tersenyum. Narsha nyaman kalau diperlakukan seperti ini. Maksudnya, keputusannya dihormati. Ia menarik nafas dalam. Malamnya, ia berdiri di balkon kamar. A Yana menegurnya. Gadis itu menumpang di kamar sewanya.
"Kalau keluargamu tahu...."
"Jangan bicara begitu."
Ia juga sedang mengkhawatirkan hal itu. Ia belum lama di sini kok. Ya hitungan bulan saja lah. Ia sengaja melarikan diri ke sini karena?
Orangtuanya terlalu mengekang. Ia bahkan tak boleh mengambil keputusan untuk masa depannya sendiri. Ia lelah. Ia melarikan diri. Entah akan berhasil atau tidak. Ia juga tak yakin. Karena.......keluarganya sungguh kuat. Ketika ia kelak akan memutuskan untuk berpindah agama, itu juga bagai menabuh genderang perang bagi keluarganya. Tak mudah bagi seorang keturunan Cina sepertinya. Meski tinggal di Indonesia.
@@@
Jas hitam dan begitu pula dengan celananya yang berwarna senada. Tubuhnya sungguh tegap. Wajahnya? Wah jangan ditanya. Ia adalah koko-koko terganteng yang ada di dalam gedung ini. Matanya tidak sipit, justru tampak bulat meski kelopak matanya tak begitu terliaht. Namun ith lah yang unik darinya. Bulu matanya juga panjang. Alisnya juga tebal. Warna kulitnya? Ya seputih seperti orang-orang keturunan Cina pada umumnya.
Namun wajahnya tak pernah tampak bersahabat. Ia jarang tersenyum. Terlebih sudah hampir setahun ini, ia kehilangan tunangannya. Ia sudah melacak keberadaan perempuan itu tapi selalu berpindah-pindah. Belum ada kabar baik pula yang dibawa oleh para anak buahnya. Sementara kedua orangtuanya selalu bertanya.
"Arsen, kapan kalian menikah?"
Ia juga tak punya jawaban untuk itu.
"Kita ada pertemuan setelah ini, pak."
"Dengan siapa?"
"Nona Xin Hua. Investor baru kita."
Ia mengangguk. Baru hendak masuk lift, sekretarisnya membisikkan sesuatu. Apa itu?
"Dia datang lagi, pak. Kita harus bagaimana? Usir lagi?"
"Suruh dia pulang. Jangan sampai keluargaku tahu."
Sekretarisnya mengangguk lantas menugaskan yang lain untuk pergi ke ruangannya. Sementara ia masuk ke dalam lift. Wajahnya tampak kaku karena jarang tersenyum. Tiba di lantai yang dituju, ia menemui perempuan paruh baya yang sudah menunggunya. Yang janda tentu saja. Tampaknya tertarik padanya bukannya pada perusahaan yang sedang berupaya ia bangun. Yeah tentunya warisan.
"Jadi....nak Arsen. Tante dengar kalau--"
"Ada yang perlu ditanyakan lagi, bu? Pak Arsen harus segera meeting lagi dengan yang lain."
Salah satu sekretarisnya memotong ucapannya. Ia memang sudah berjaga-jaga jika ada hal semacam ini. Jadi bisa kabur dengan cepat tanpa terperangkap hal-hal yang rumit. Begitu berhasil keluar dari ruangan, ia menghela nafas panjang.
"Tampaknya dia ingin menawar putrinya yang baru putus dari aktor itu."
"Kamu tidak lupa kalau saya punya tunangan?"
Si sekretaris tersenyum tipis. Tentu saja tidak. Tapi baginya itu bukan tunangan. Pertunangan macam apa yang hanya disetujui secara sepihak? Walau ia tak berani berkomentar. Ia tahu kalau bosnya ini akan sangat sensitif jika menyangkut tunangannya yang entah kabur ke mana. Padahal rencana pernikahan sudah di depan mata.
"Ruangannya sudah siap, pak."
Ia mengangguk. Setelah menunggu beberapa menit, ia masuk bersama para stafnya. Kali ini rapat virtual dengan tim cabang perusahaannya yang ada di Amerika. Ia sedang mengembangkan perusahaan ayahnya yang sempat stuck dalam beberapa waktu karena beberapa masalah yang tak terselesaikan.
Menjelang jam delapan malam, semua agendanya baru selesai. Ia akhirnya bisa beristirahat. Tapi fisik tubuhnya bahkan baru berada di dalam mobil. Ia benar-benar tampak lelah.
"Pak, nyonya sepertinya menunggu di rumah."
Ia mengusap wajahnya. Nyonya yang dimaksud adalah ibunya. Padahal ia sudah lelah. Tapi ia tak bisa menolak jika urusannya dengan mamanya. Terlebih ketika akhirnya tiba di apartemennya.
"Harusnya ada perempuan di sini."
Yang dimaksud tentu saja tunangannya.
"Kapan Narsha kembali, Arsen? Mama tidak mau kalian menunda-nunda pernikahan. Itu tidak bagus. Terlebih, usia Narsha juga sudah cukup matang untuk menikah."
Mamanya mulai bawel lagi. Ia memang tak memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Biar ia dan keluarga tunangannya itu yang akan mengurus hal itu.
"Arsen! Arsen! Kamu dengerin mama gak sih?"
Ia hanya menghela nafas usai menutup pintu kamar. Ia juga lelah dengan banyak hal dan gadis itu hanya menambah beban itu.
"Kalian cari sampai dapat dan bawa dia kembali apapun yang terjadi."
@@@
Terasa seperti tak asing. Namun sayangnya, begitu ia menoleh, ia tak melihat perempuan itu lagi. Ia menarik nafas dalam. Mau sampai kapan ia begini? Kalau pun bertemu lagi dengannya, bukan kah ia akan tahu akhirnya seperti apa? Seperti hubungan mereka yang telah berlalu bertahun-tahun lalu.
Ia berjalan lagi menuju kantornya pagi ini. Berharap dapat kembali lagi ke Jakarta. Lalu? Menjalani kehidupan seperti biasanya. Tanpa gadis itu lagi.
Alfa, mama boleh tanya?
Ia mengusap wajahnya. Baru saja duduk di atas kursi, ada pesan masuk dari ibunya. Ah bukan hanya ibunya yang akan seperti ini. Tapi hampir semua orang di dalam keluarganya. Padahal ia adalah anak lelaki. Terserah mau menikah diusia berapa bukan?
Nanti, ma. Alfa sedang sibuk. Nanti Alfa telepon.
Ia bukannya tak sopan. Tapi mamanya mungkin mengira kalau waktu Seoul sama dengan Jakarta.
Kamu sedang sibuk?
Tentu saja tak akan cukup hanya balasan itu dari mamanya yang bawel. Kalau ia menelepon sekarang, malah akan berakhir dengan panggilan yang sangat lama.
"Haaah. Kapan lah anak ini akan menanggapi dengan serius!"
Anak pertamanya tertawa. Perempuan berhijab panjang yang sedang duduk di atas sofa sambil menyusui anaknya.
"Ma, di dalam kepala Alfa itu hanya ada urusan kantornya."
"Bukan. Mama tahu persis isi kepalanya. Pasti perempuan yang dulu itu, siapa namanya?"
Siti menarik nafas dalam. Ya menyerah kalau urusannya sudah membawa-bawa masa lalu adiknya yang paling kecil itu. Ia juga tak bisa apa-apa. Ia tahu kalau mamanya memang tidak suka. Ya bukan tidak suka dengan kepribadiannya tapi dengan keluarganya. Yang kalau dibandingkan dengan mereka, ya jelas Alfa sedang mencari petaka. Jatuh cinta pada gadis Chinese yang sangat kaya. Bahkan orangtuanya sangat berkuasa. Apa yang bisa diharapkan dari keluarga sederhana mereka?
"Gak usah diungkit-ungkit lah, ma. Kan udah lama putusnya. Dan lagi, Alfa juga gak mungkin balikan sama dia."
"Ya mama tahu. Tapi khawatir loh. Ada si Febby tuh kalau dia mau. Mendingan sama Febby kan yang seiman. Yang sejalan. Nanti baru ajarkan untuk menutup aurat juga."
Siti tertawa. Ya mamanya memang sangat ketat untuk urusan agama. Tak bisa jika harus disepelekan. Karena agama adalah tiang kehidupan bagi keluarga mereka yang sangat religius. Walau Alfa sendiri merasa tak demikian. Setidaknya untuknya. Ia memilih jalan yang berbeda dari kakak-kakaknya yang hidup di pesantren sedari kecil bahkan berkuliah di Mesir. Ia merasa sangat jauh dari itu.
"Kali ini siapa lagi korban mama?"
"Kamu ini! Bukan korban lah namanya. Mama kan hanya ingin punya menantu terbaik. Hanya satu loh yang akan menjadi menantu perempuan di keluarga ini. Mana mungkin mama bermain-main?"
Siti tersenyum kecil. Tatapannya memang menagih jawaban. Penasaran dengan perempuan baru yang akan ditawarkan oleh mamanya pada Alfa.
"Siapa, ma?"
"Itu loh si Syifa, anaknya pak kyai Mustafa. Istri beliau loh yang nanyain langsung, sekiranya Alfa mau enggak sama dia. Mama gak enak dong kalau nolak. Apalagi kan Alfa juga gak jelas itu sama si Febby. Tiap ditanya bilangnya cuma temen. Ya kali aja jodohnya sama yang ini. Ya dibanding si Febby kan mendingan yang ini. Syifa ini anaknya solehah loh."
Siti hanya bisa tersenyum tipis. Kalau mamanya sudah berdalil maka akan susah sekali membantahnya.
@@@
"Dia ada ngehubungi lo?"
"Ngapain si Alfa sering-sering ngehubungi gue heh?"
Ia terkekeh. Ia baru datang dan bergabung di meja tongkrongan seperti kebiasaan mereka. Sayangnya Alfa tak bisa bergabung kali ini karena ya jauh dari Jakarta. Cowok itu kan masih di Seoul.
Riza melihat wajah lesunya. Febby itu cantik. Tapi sayangnya, ia sangat setia. Setia kok sayang? Hahaha. Karena cintanya pada Alfa sedari awal masuk kuliah. Sayangnya tak terbalas. Mungkin sampai sekarang masih sama?
"Galau mulu soal Alfa. Udah bertahun-tahun, orangnya masih sama."
Febby mendesis. Kalau ia bisa memikih orang lain untuk jatuh cinta, ia akan memilih itu. Rasanya tentu tak nyaman. Tapi mau bagaimana? Perasaannya telah begitu dalam.
"Temen lo tuh bener-bener gak peka."
Riza terbahak. "Apa sih yang lo harapkan dari Alfa, Feb? Ya gue tahu sih, Alfa itu bukan cowok neko-neko ssperti yang lo bilang. Cuma maksud gue, lo pasti tahu dia belum bakal move on dari mantannya."
Ya itu lah yang menjadi masalah. Ia tak tahu bagaimana cara menarik hati Alfa yang tampaknya sudah dipenuhi oleh perempuan lain. Perempuan yang akan selalu menjadi saingannya. Dulu ia begitu iri dengan mereka. Karena ia memang salah satu saksi kisah cinta mereka semasa kuliah.
"Lo tahu kabar Narsha?"
Riza tampak berpikir. "Lo mau tahu?"
"Cuma mau hitung-hitung peluang."
Riza terkekeh. Rasanya tak bisa ditebak. Karena toh kesempatan Febby sekarang itu sangat terbuka lebar. Namun tak menjamin bisa merebut hati Alfa bukan? Meski mereka sudah sangat lama bersama. Ya hampir sepuluh tahun mungkin?
"Narsha ya setahu gue udah punya cowok deh."
"Yang CEO itu?"
"Tuh lo tahu."
"Tapi dia udah gak pernah update apapun di medsosnya."
"Sibuk kali. Lo tahu sendiri orangtuanya sekaya apa. Dengan Narsha yang begitu, pasti dia bantuin ngurusin perusahaan bokapnya."
"Enak ya jadi orang kaya?"
Riza terbahak. "Eh. Kalo punya bokap sama nyokap artis tenar dan bayaran per sinetron bisa sampai 100 juta per episode itu emangnya gak kaya? Bonyok lo juga udah buka PH sendiri lagi."
Febby mendengus. Tetap saja menurutnya, masih kalah kaya dengan keluarga Narsha yang benar-benar tajir itu. Ia tak yakin kalau Alfa suka karena Narsha kaya. Ya ia tahu kalau Alfa bukan lelaki seperti itu. Toh ia juga mengenal Narsha meski tak pernah benar-benar menganggapnya sebagai teman bukan? Karena gadis itu terlalu sempurna untuk dibenci.
Narsha Eleanora. Dia adalah salah satu gadis tercantik di kampus yang pernah Febby tahu. Pamornya sebagai anak artis masih kalah besar dengan seorang Narsha. Karena wajah dan prestasinya yang gemilang. Yang membuat semua orang bertanya-tanya adalah kenapa berpacaran dengan lelaki yang sungguh biasa seperti Alfa? Walau Febby juga tahu jawabannya. Apa istimewanya seorang Alfa?
"Duduk di sini saja, ahjumma."
Ia baru saja merelakan kursinya untuk diduduki. Toh ia juga masih kuat berdiri. Namun hal-hal sederhana seperti ini yang malah menarik hati para perempuan untuk jatuh cinta padanya.
@@@
Catatan :
Ne : iya
PH : Production House
Ahjumma : bibi