Saat ini Siti berada di dalam pesawat menuju kota Caviya, kota asal sang Tuan Arab yang beberapa hari lalu dia ketahui bernama Khalid Sulaiman Al-Mohsen. Di saat yang sama, Siti mendapatkan kejutan lain tentang jati diri dari sosok yang telah menjadi penolongnya. Dia juga baru tahu bahwa Tuan Khalid adalah CEO dari Al-Mohsen Group, kerajaan bisnis terbesar penggerak roda ekonomi di negara Almaas, sebuah negara di kawasan Timur Tengah yang merupakan salah satu destinasi wisata dan pusat perdagangan yang terkenal di dunia.
Tuan Khalid sendiri sudah kembali ke Caviya dua hari lalu setelah urusan bisnisnya selesai. Oleh karena itu, saat ini Siti berdua saja dengan Ahmed, asisten pribadi Tuan Khalid, melakukan perjalanan udara menuju kota Caviya.
Atas saran Ahmed, Tuan Khalid setuju untuk membantu membebaskan Siti dari Tante Susan dan bahkan membawanya ke Caviya. Ahmed bersikukuh menyarankan bahwa Siti sebaiknya dibawa ke Caviya karena kebetulan mereka akan membutuhkan pengasuh untuk merawat anak yang akan lahir dari istri kedua Tuan Khalid yang kini sedang hamil tua.
Setidaknya begitulah yang Siti tahu.
Namun dibalik semua alasan formal tersebut, sebenarnya Ahmed khawatir bila Siti dibiarkan pergi, nantinya akan dimanfaatkan untuk mengancam Tuan Khalid atau bahkan membuat rumor negatif tentang sang Tuan. Dengan semua alasan itu, tentunya akan lebih ringan resikonya bila Siti dibawa ke Caviya dan diawasi sendiri olehnya dan Tuan Khalid.
Tuan Khalid akhirnya menyetujui saran Ahmed. Setelahnya, Ahmed segera mengurus keberangkatan Siti, termasuk membereskan urusan Siti dengan Tante Susan dan Direktur PT Pandan Indonesia, rekan bisnis Tuan Khalid yang menyewa jasa wanita penghibur dari Tante Susan. Semua urusan berjalan dengan cepat dan efisien di tangan Ahmed. Apalagi, dengan mengatasnamakan Tuan Khalid, orang sangat penting di negara Almaas, urusan imigrasi menjadi sangat lancar dan cepat.
Kedudukan Tuan Khalid di negara Almaas begitu penting, hingga publik nyaris menyejajarkan beliau dengan sahabatnya, putra mahkota Almaas, Pangeran Yusuf Ibrahim Al-Ahmar. Bagaimana tidak? Separuh lebih sektor usaha yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat Almas dikelola oleh Al-Mohsen Group. Baik ekspor-impor bahan pokok, otomotif, barang elektronik, maupun perdagangan berlian yang merupakan ikon negara Almaas. Oleh karena itu, bila hanya sekadar mengurus perizinan tinggal dan kerja Siti di Caviya, tentu saja sangat mudah bagi Tuan Khalid untuk memuluskannya. Apalagi didukung dengan keefisienan Ahmed dalam bekerja, segalanya menjadi lancar seperti menyetir di jalan tol.
Kepiawaian dan keloyalan Ahmed yang seperti inilah yang membuatnya bisa menjadi asisten pribadi Tuan Khalid walaupun usianya masih muda. Tak heran bila Tuan Khalid menggajinya dengan sangat tinggi dan memberinya fasilitas VIP untuk segala aspek baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun pribadi. Tuan Khalid bahkan memberi Ahmed rumah tinggal agar dia bisa membawa Ibu dan adiknya ke Caviya. Semua dilakukan oleh Tuan Khalid agar Ahmed tidak meninggalkan pekerjaannya saat ini atau pulang ke negara asalnya di Turki.
Lantas, mengapa saat ini Ahmed hanya sekadar naik pesawat kelas bisnis dalam perjalanannya ke Caviya? Bukankah seharusnya dia mendapatkan tiket first class?
Jawabnya adalah, ini semua karena Ahmed ingin menemani Siti. Khawatir Siti takut dan tidak terbiasa melakukan perjalanan udara. Dugaan Ahmed, kabin first class Almaas Airlines yang lebih berkesan individual, akan membuat Siti merasa takut. Apa boleh buat. Walaupun kurang nyaman, Ahmed masih bisa sedikit bertahan di kelas bisnis Almaas Airlines, bukan maskapai lain karena kualitas dan pelayanannya memang bagus walaupun untuk kelas bisnis.
Karena bosan, Ahmed pun mengajak Siti bercakap-cakap mengenai banyak hal yang masih menjadi pertanyaan di pikiran Ahmed. "Kamu yakin tidak akan menyesali keputusan ini?" tanya Ahmed kepada Siti. Berusaha meyakinkan lagi agar Siti memikirkan yang terbaik untuk dirinya. Menurut Ahmed, gadis kecil di dekatnya ini seperti seseorang yang banyak menahan diri. Entah karena takut, atau memang pembawaannya seperti itu.
Misalnya seperti saat ia memasuki kabin business class dari maskapai Almaas Airlines yang merupakan salah satu dari sepuluh maskapai terbaik di dunia. Ahmed mengira Siti akan terkagum-kagum, gembira, atau canggung karena tidak terbiasa. Karena seingat Ahmed, saat pertama kali terbang, dia bahkan bahagia walau hanya kelas ekonomi. Namun, perkiraan Ahmed salah, Siti tidak menunjukkan banyak perubahan sikap. Sama seperti saat mereka pertama kali bertemu, Siti banyak diam dan hanya akan menjawab pertanyaan yang butuh jawaban saja.
Ahmed berpikir, apakah seharusnya dia memesan tiket first class untuk membuat Siti terkesima?
Sedikit perbedaan yang terjadi adalah, ketakutan dan kekhawatiran sudah tidak nampak lagi di wajah Siti. Untuk itulah, sedari awal, Ahmed memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan Siti agar dia merasa lebih nyaman dan tampak lebih bersahabat. Ya, tidak seperti atasannya, Ahmed bisa berbahasa Indonesia dengan sangat baik, dalam artian tata bahasa dan pilihan katanya. Namun, untuk logat, nilainya hanya enam dari sepuluh. Apa boleh buat, dia orang asing bukan?
"Aku masih bisa membantu untuk sedikit mengubah isi kontrak dengan Tuan Khalid sebelum kamu mulai bekerja," tambah Ahmed lagi.
"Tidak perlu, Tuan. Dari awal saya sudah berjanji seperti itu kepada Tuan Khalid. Saya tidak mau ingkar, Tuan, " jawab Siti disertai senyuman tipis agar terkesan sopan.
Maklum, sejak diperlakukan buruk oleh Pak Lik Sarjo dan Tante Susan, Siti menjadi gadis yang sangat menjaga perilakunya. Dia tidak mau dianggap sebagai w*************a, sekalipun Ahmed menyebutkan bahwa dia belum menikah.
"Ya, tapi aku sungguh heran. Mengapa kamu menolak gaji yang ditawarkan Tuan Khalid?" komentar Ahmed sambil berpikir dan memilih kata-kata agar Siti tak tersinggung. Ahmed khawatir dia terkesan merendahkan martabat Siti, "Kamu, 'kan, bisa menabung uangnya untuk masa depan kamu nanti. Untuk berjaga-jaga saja ...."
"Saya tidak butuh uang, Tuan," timpal Siti singkat.
"Well, kalau kamu memang bersikeras begitu, aku tidak bisa memaksa," simpul Ahmed, memilih untuk menyerah dan tidak mendebat lebih lanjut. "Dan panggil aku Ahmed saja. Jangan diberi tambahan Tuan," tambahnya sedikit kesal karena ini sudah ke-se ... ratus ... atau dua ratus (?) kali dia mengingatkan Siti agar jangan memanggilnya Tuan.
Ahmed tahu Siti tidak butuh uang karena berdasarkan penuturan Siti, dia hidup sebatang kara. Ibunya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Dia juga tidak punya keluarga lain di desa. Benar-benar gadis yang memenuhi syarat ideal untuk ditipu dan dijual kepada lelaki hidung belang. Ahmed merasa sedikit bersalah karena dia juga merasa sedikit menipu Siti dengan tidak mengutarakan seluruh alasan kenapa dia dibawa ke Caviya.
Kebutuhan untuk diri pribadi Siti nantinya akan sepenuhnya dipenuhi oleh majikannya. Jika dia memang tak punya keinginan untuk jalan-jalan, atau obsesi pribadi untuk memperbaiki kondisinya yang sekarang, dia memang tidak butuh uang. Namun tetap saja, bekerja tanpa gaji dan tanpa batas waktu kontrak yang pasti, adalah jelas-jelas ... p********n ....
Benar begitu, bukan?
Ya ....
B.U.D.A.K.
Orang yang tidak merdeka ....