1. Jangan!
Dia begitu cantik tanpa harus berias
Dia begitu dewasa dalam usia yang terlalu muda
Dia begitu menarik tanpa harus menggoda
Dia tetap lembut dalam ketegasannya
Dia seperti pelangi
Begitu elok, tetapi tak bisa disentuh
Hanya mampu diriku memandang
karena dia begitu jauh
Apalah daya
Aku menemukan cinta tatkala diri sudah tak sendiri
Saat inilah seorang pria diuji
Akankah kuturuti kata hati
Ataukah kupegang teguh janji
Namun, jauh dalam lubuk hati
kudengar suara ibu berkata
"Tenanglah, Anakku!
Bagaimanapun juga, cinta akan menemukan tuannya"
(Khalid Sulaiman)
***
Siti ketakutan setengah mati. Kaki mulus nan jenjangnya gemetaran, tubuhnya kehilangan keseimbangan, tak sanggup menghadapi kenyataan pahit yang dia alami malam ini. Lelaki tinggi besar berwajah Arab di hadapannya perlahan mendekatinya. Akankah dia kehilangan kehormatannya malam ini?
Dalam hati, gadis berambut hitam panjang itu berkali-kali mengutuk kebejatan Pak Lik Sarjo karena telah menipunya dengan menjualnya kepada seorang mami bernama Tante Su. Mereka lalu dengan paksa mendandaninya dengan pakaian terbuka dan riasan wajah yang sangat menor. Saat dibawa ke kamar hotel ini, dia dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh obat bius. Beruntung sekali karena bisa bangun tepat pada saat sang tuan belum melakukan apa pun padanya.
"Tuan, saya mohon jangan lakukan ini, Tuan ...."
Sudah kesekian kalinya Siti memohon sambil menangis. Matanya menatap memelas ke arah lelaki besar yang dipanggilnya Tuan. Namun sang Tuan hanya menatap ke arahnya dengan wajah bingung. Saat itulah Siti sadar bahwa sang Tuan di depannya tidak bisa berbahasa Indonesia. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk memakai bahasa yang lain.
"Saya mohon jangan lakukan ini, Tuan!" pinta Siti terisak, kali ini dalam Bahasa Inggris yang fasih. Berharap Tuan Arab di hadapannya mengerti bahasa yang kini dia ucapkan, satu-satunya bahasa asing yang dia kuasai. Di saat genting seperti ini, Siti sangat menyesal mengapa dia dulu tidak belajar Bahasa Arab. Yah, selalu saja seperti itu kan? Penyesalan tidak mungkin datang di awal.
"Apa maksud Anda, Nona?" jawab sang Tuan, yang dari tadi diam saja. Siti pun sedikit lega karena ada secuil harapan untuknya. Sang Tuan, bisa berbahasa Inggris juga.
"Tuan, Saya bukan wanita penghibur. Tolong biarkan saya bebas ...," ucap Siti terbata-bata sambil terus menangis sambil menatap pria di hadapannya. "Tolong jangan ambil kesucian saya ...."
"Jangan ambil apa?" tanya sang Tuan mengernyitkan dahi, tampak tersinggung. Sisi kanan bibirnya terangkat seolah mencibir Siti. Kemudian tertawa terbahak-bahak sambil memegangi mulut dan perutnya. "Apa kamu tahu, kamu sedang mengatakan hal yang konyol?"
Siti tak mengerti maksud sang Tuan. Bukankah wajar saja bila dia mengatakan hal itu? Bukankah dia memang dikirimkan ke kamar ini sebagai wanita penghibur? Ataukah, sang Tuan tidak tertarik kepadanya karena Siti mengatakan bahwa dia masih perawan? Sempat dia mendengar perbincangan para pekerja wanita di rumah b****l, banyak pelanggan Tante Su, terutama yang berasal dari luar negeri, tidak menyukai perawan karena penakut dan tidak berpengalaman. Perawan benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyenangkan pelanggan. Karena itulah, perawan hanya diberikan kepada yang meminta secara khusus, dan dijual dengan harga sangat tinggi karena langka.
Beberapa diantaranya bahkan bernasib beruntung karena pada akhirnya ditebus oleh pelanggan yang sangat menyukainya. Mereka dijadikan simpanan, dan dipelihara secara khusus, hidup selayaknya orang bebas, bahkan dengan harta melimpah sebagai gundik pria kaya. Hanya status terhormat sajalah yang tidak dipunyainya. Namun, sepanjang pandai menutupi aib, orang akan menganggap mereka selayaknya wanita terhormat. Menurut mereka, kondisi seperti itu lebih terhormat dan tidak melacur, karena hanya menjadi pemuas nafsu seorang lelaki saja.
Namun, tidak demikian bagi Siti. Orang tua dan sekolahnya mengajarkan apa itu arti kehormatan bagi seorang wanita. Sebebas apa pun lingkungannya, tak akan mengubah pendirian Siti terhadap makna ini. Dia hidup sebagai wanita bermoral yang akan melindungi kehormatannya dengan sekuat tenaga. Bukan sebagai w************n yang rela menukar harga dirinya dengan harta.
Kening Siti mengerut, matanya perlahan mencari cermin. Kemudian berjingkat terkaget sendiri dengan pemandangan yang terpantul dari cermin. Didapati dirinya dengan paras mengerikan karena pipi yang putih berubah menjadi belang-belang hitam oleh maskaranya yang luntur membentuk garis gelap tak teratur. Rambut hitamnya yang panjang sepinggang juga sangat acak-acakan. Lelaki manapun pasti sangat jijik melihatnya saat ini. Dia pun malu atas apa yang dia ucapkan sebelumnya, tetapi juga sangat lega sekaligus, karena ini berarti sang Tuan tidak akan menyentuhnya sedikit pun.
"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud merendahkan Anda," kata Siti memohon maaf, kali ini dia berhenti menangis. "Kalau begitu, bolehkah saya pergi dari sini sekarang juga?"
"Tentu saja ..., " jawab sang Tuan sambil melambaikan tangan untuk menyuruh Siti agar segera pergi. "Silakan pergi! Secepat mungkin."
Sang Tuan memang tak akan menahannya karena dari awal dia tak tahu mengapa ada seorang wanita di kamarnya. Kemungkinan terbesar adalah ulah rekan bisnis yang menginginkan mulusnya negosiasi. Hal seperti itu seringkali terjadi padanya apabila sedang berada dalam perundingan bisnis yang melibatkan banyak aspek rumit nan alot. Awalnya, tentu merasa tersinggung dan merasa direndahkan. Namun, setelah hal itu berulang, beliau memilih tidak ambil pusing dan langsung mengusir saja wanita yang dikirim untuk menghiburnya.
Setelah mengucapkan terimakasih berkali-kali dengan uraian air mata suka cita, Siti segera pergi meninggalkan kamar sang Tuan. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bersyukur karena tidak pernah mengabaikan pelajaran Bahasa Inggris saat masih sekolah dulu. Pertama kalinya dia merasakan langsung manfaat belajar, selain untuk ujian tentunya.
***
Siti berjalan menuju pintu keluar utama hotel, melewati lobi hotel. Sepatu hak tinggi yang dia kenakan membuat kakinya terasa sangat sakit, sehingga dia memutuskan untuk melepasnya. Toh, saat masih di desa dulu, dia juga sering berjalan tanpa alas kaki di sawah, tanpa membuat telapak kakinya kasar. Tentu lantai marmer yang dia injak sekarang ini tidak akan menyakitinya sedikit pun.
Kesadaran akan hal lain menghinggapinya. Perasaan bahagia karena dilepas begitu saja oleh sang Tuan Arab, kini menjelma menjadi rasa cemas yang berbeda. Dia tak memiliki satu orang teman pun di kota besar ini.
Diliriknya jam dinding di lobi hotel yang menunjukkan pukul 23:47. Bila dia berjalan di luaran saat tengah malam dengan pakaian seperti ini pastilah akan dikira wanita malam penjaja diri. Mengapa tadi tak terpikirkan olehnya membawa bathrobe hotel untuk menutupi tubuhnya yang terekspos secara berlebihan. Ralat ... mungkin maksud Siti adalah meminjam bathrobe hotel.
Ke manakah gerangan Siti harus melangkahkan kaki selanjutnya?
Dia ingin sekali kembali ke desa. Namun, saat ini ia bahkan tak punya uang sepeser pun. Dipandanginya suasana sekitar yang saat ini cukup lengang. Akankah ada orang yang percaya kalau dia meminta tolong pada orang yang tak dikenal? Apakah mereka akan dengan mudah membantu orang yang sedang butuh bantuan sepertinya? Ataukah dia akan dianggap penjahat atau penipu karena berbuat hal yang mencurigakan di tengah malam?
Satu masalah belum selesai, sudah muncul permasalahan yang lain. Saat ini, dia melihat dua orang pria besar, kekar, berpakaian serba hitam sedang mengawasinya lekat. Salah seorang dari mereka adalah wajah yang sangat familiar di mata Siti, si botak yang selalu mengawalnya agar tidak melarikan diri dari rumah Tante Su tempat dia dipaksa bekerja dulu.
'Gawat!'