Ya ....
B.U.D.A.K.
Orang yang tidak merdeka ....
Walaupun secara legal, sudah tidak ada praktik p********n di dunia ini. Itu jugalah alasan Tuan Khalid awalnya memaksa akan memberi gaji. Namun, Siti benar-benar menolak untuk digaji karena merasa sudah menjanjikan akan mengabdi seumur hidup tanpa gaji kepada Tuan Khalid. Dia tak ingin menjilat ludahnya sendiri.
Ahmed menyadari bahwa dibawanya gadis kecil ini ke Caviya memang atas saran dia. Namun dia tak bermaksud membuat Siti menderita dengan perjanjian kerja yang seperti p********n itu. Yang dia tawarkan adalah pekerjaan yang baik, bergaji baik, dengan waktu kontrak yang cukup masuk akal untuk memastikan tidak akan ada bahaya ketika mereka melepas Siti.
Ahmed bertanya-tanya dalam hati, apa gadis kecil ini tidak mengkhawatirkan dirinya? Padahal dia saja yang hanya melihat, merasa khawatir kalau-kalau Siti akan diperlakukan tidak baik oleh orang-orang di sekitar Tuan Khalid, terutama para istrinya, atau bahkan para pembantu lain yang lebih senior.
Namun, Ahmed menyadari bahwa gadis yang berada di sebelahnya ini bukanlah gadis biasa. Tak hanya menolak gaji yang ditawarkan oleh Tuan Khalid, dia bahkan meminta agar dibekali berbagai keahlian sebelum menjalankan tugasnya. Agar bisa menjadi pelayan yang berguna di rumah Tuan Khalid. Bukan menjadi beban atau bahkan pengacau.
Jadilah, dalam beberapa hari terakhir, jadwalnya sangat padat dengan berbagai kursus. Baik kursus Arabic, memasak, mengasuh bayi, serta kursus lain yang akan sangat menunjang pekerjaannya nanti. Padahal, seharusnya dia cukup mengambil kursus untuk mengurus bayi saja, karena memang hanya itulah pekerjaannya nanti.
Satu hal yang aneh, dia juga memilih untuk berlatih bela diri. Awalnya Ahmed yang bertanggung jawab atas semua yang berkaitan dengan Siti, menolak keras, dan bahkan mencurigai bahwa Siti akan menggunakan kemampuan bela dirinya untuk mencelakai tuannya. Namun jawaban sang tuan saat itu meyakinkannya kalau dia salah. Sangat—sangat salah.
"Hahahaha .... Kau pikir aku akan dicelakai oleh gadis kecil itu?"
Seketika Ahmed ingat siapakah jati diri atasannya. Sebagai satu-satunya anak lelaki dari Tuan Sulaiman, Tuan Khalid kecil menjalani pendidikan fisik dan akademik yang sangat keras untuk menjadi pewaris. Sehingga saat beliau dewasa, Tuan Khalid sangat percaya diri walaupun dia berjalan-jalan ke kota sendirian tanpa ditemani seorang bodyguard pun. Beliau bahkan pernah beberapa kali melumpuhkan sendiri penjahat bayaran sepupunya yang berniat jahat.
Menyadari bahwa Siti tidak akan membahayakan Tuan Khalid, Ahmed merasa belajar bela diri memang penting mengingat di kediaman Tuan Khalid nanti akan banyak pelayan yang tak semuanya akan senang dengan pendatang baru yang tidak satu bangsa dengan mereka.
Bahkan, ketika Ahmed mengingat bahwa pelayan di kediaman Tuan Khalid tak hanya para wanita, dia semakin bersemangat mencarikan guru bela diri terbaik yang bisa mengajarkan Siti setiap hari selama masih di Indonesia. Dia juga sudah mem-booking guru bela diri khusus untuk mengajar Siti saat tiba di Caviya nanti.
Bagaimanapun juga, Siti adalah gadis yang cukup cantik. Ahmed pernah sekilas melihat artis Indonesia di koran pagi yang ia baca, yang wajahnya mirip sekali dengan Siti ... kalau tak salah, namanya Nabila ... hmmm ... Syakieb? Entahlah, Ahmed lupa namanya. Yang jelas, Ahmed merasa bahwa Siti harus bisa melindungi dirinya bila nanti ada gangguan dari pelayan laki-laki yang berkelakuan buruk.
"Oh ya, Tuan ... eh, maksud saya ... Ahmed ...."
Panggilan Siti membuyarkan lamunan Ahmed. "Hmmm?" tanya Ahmed pelan dan sangat malas karena dia sudah sangat mengantuk.
"Saya baru sadar kalau saya lupa mengucapkan terimakasih untuk yang waktu itu. Kalau saat itu, Tuan Ahmed tidak menolong saya dan mengambil saya dari tukang pukul Tante Susan, mungkin saat ini saya sudah ... eh, Tuan tidur ya?"
Siti tak jadi meneruskan kata-katanya karena orang yang di depannya ternyata sudah tertidur. Mendengkur keras, begitu nyenyak, di atas kursi flat bed warna krem yang empuk.
Tanpa sadar, tangan Siti melewati pembatas kursinya dengan Ahmed, kemudian menaikkan selimut di kaki Ahmed hingga menutupi lengan, bermaksud membuat tidur Ahmed menjadi lebih nyaman. Apa boleh buat, Siti akan mengucapkan terima kasih lagi lain kali.
"Hmm ... Tuan Ahmed ternyata ganteng banget, ya. Mirip sekali dengan Serkan Cayoglu," gumam Siti pelan sambil mengamati wajah Ahmed, lalu sedikit terkikik.
Yang tidak diketahui oleh Siti saat ini adalah: sebenarnya Ahmed sedang mendengarnya dengan sangat baik. Dia bahkan tidak repot-repot mengoreksi Siti, walaupun gadis itu lagi-lagi lupa memanggilnya dengan sebutan Tuan.
Saat ini muka Ahmed begitu merah karena sangat malu dibilang tampan untuk pertama kalinya oleh seorang gadis. Tak tahu harus menjawab apa, tak tahu harus bersikap bagaimana, sehingga cara terbaik untuk lari dari keadaan ini adalah dengan tidur ... lebih tepatnya berpura-pura tidur ... karena sampai mendarat di Caviya nanti, tak akan sedetik pun dia bisa tertidur.
Melihat orang di sebelahnya yang bergeming, Siti akhirnya memilih menghibur diri dengan menonton film yang menarik perhatiannya. Zootopia, Frozen, Ballerina ....
"Ballerina sajalah. Sudah pasti bagus," gumam Siti pelan sambil memasang headset-nya ke tablet ber-casing keemasan nan elegan.
Terlarut dalam keasyikannya menonton, Siti tidak mengacuhkan pramugari cantik berwajah ... mmm ... mungkin Mesir, berseragam coklat tua yang mengajaknya berbicara, menawarkan apakah Siti menginginkan minuman. Tentunya dengan senyuman megawatt yang membuat Siti mau tak mau membalas senyumannya dengan yang setimpal. Namun, Bahasa Arab Siti yang masih level menyedihkan, membuatnya menjawab pertanyaan dalam Bahasa Inggris saja. Lagipula, ini penerbangan dari Indonesia. Mengapa bukan pramugari Indonesia saja yang mendatanginya?
"Sparkling water, please!" pinta Siti asal karena menginginkan minuman yang segar.
"Sorry we don't have it for this flight. But of course we have flavored soda if you want," jawab sang pramugari ber-name tag Fateema, menawarkan alternatif lain.
"Okay, then ... please give me ginger ale instead ...," pinta Siti pelan agar tidak membangunkan Ahmed.
Pramugari, yang berseragam coklat tua dengan bawahan celana panjang, juga menanyakan pula apakah Siti menginginkan cemilan. Siti pun menolak karena dia tak menginginkan makan apa pun. Gula dalam ginger ale sudah terlalu banyak baginya.
Namun, tiba-tiba Siti berubah pikiran, teringat kue favoritnya. Kue yang tak biasa ada dalam penerbangan. Namun, entah mengapa Siti tetap ingin menanyakannya.
Dia memanggil kembali pramugari yang sudah berjalan beberapa langkah. Namun, tentu saja wanita berpenutup kepala warna krem itu dengan senang hati kembali kepada penumpang yang agak rewel ini.
"Ma'am, do you have cream puff?" tanya Siti penuh harap. Matanya berbinar seperti anak kecil yang menginginkan permen dan coklat.
"Sure ... I will bring it for you!" jawab pramugari itu sambil lagi-lagi melempar senyum megawatt-nya. Kali ini, dia tampak benar-benar ingin tersenyum karena tingkah Siti.
Dia pun berbalik dan berlalu setelah Siti mengganti pesanan minumannya dengan teh tawar. Dia sungguh-sungguh tidak mau mengkonsumsi terlalu banyak gula. Walaupun ginger ale adalah minuman yang dia sukai, tetapi tak ada yang mengalahkan sedapnya cream puff di mulut Siti. Bila ada setumpuk cream puff, dia akan rela mengganti makan siangnya yang bergizi dengan cream puff favoritnya.
Bagi Siti, cream puff dan gula adalah cerita yang berbeda. Cream puff adalah makanan, gula adalah musuh kesehatan. Sangat tidak adil. Sesaat kemudian, Siti kembali asik menonton film, yang tadi dihentikan sejenak, sembari menunggu pesanannya datang.
Di sebelahnya, Ahmed yang sedang menyimak kelakuan Siti dengan mengandalkan ketajaman telinga, tercenung dalam tidur yang palsu. Dia benar-benar menyesal telah memesan tiket bisnis untuk perjalanan 11 jam direct flight ke Caviya. Seharusnya dia memesan tiket first class saja. Karena melihat kelakuannya yang sekarang, pastinya Siti akan baik-baik saja.