"Sir, Saya ... Saya tidak bermaksud ...," jelas Siti, ingin menjelaskan bahwa dia bermaksud menawarkan diri untuk bekerja tanpa dibayar, bukan sebagai istri.
"Saya anjurkan Anda sebaiknya segera pergi, Miss!" perintah sang Tuan memotong perkataan Siti. Dia tak mau lagi mendengar apapun penjelasan dari Siti.
Hal ini membuat Siti sadar bahwa dia memang datang ke orang yang salah. Dia hanya merepotkan orang asing di hadapannya. Bukankah seharusnya dia sudah merasa beruntung karena tadi dibiarkan pergi? Sebaiknya jangan berharap terlalu banyak ke orang yang baru dikenal, bila tak ingin kecewa.
Siti pun akhirnya meminta maaf dan segera pergi dari kamar sang tuan. Saat berjalan menjauh dari kamar, dia berpapasan dengan seorang pria muda yang berjalan berlawanan arah dengannya. Nyaris Siti menabrak si pria karena tidak melihat ke depan saat berjalan. Dia tampak benar-benar putus asa dan tidak fokus. Lebih putus asa dari seorang gadis muda yang ditinggal lari oleh calon pengantin pria, tepat di hari pernikahannya, karena ternyata sang calon pengantin pria mencintai gadis lain hingga membuat gadis lain itu hamil. Yah, semenyedihkan itu kondisi seorang Siti saat ini.
Dia berjalan gontai di sepanjang koridor. Badannya lelah karena berlari tadi. Juga karena pengaruh obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Dia lalu bersandar di dinding, lututnya lemas bagaikan jelly, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Dia sudah tak mampu berjalan lagi, hanya bisa berharap bahwa pengejarnya tak akan menemukannya di sini.
Beberapa waktu kemudian, pintu lift terbuka dan nampaklah dua tukang pukul yang tadi mengejarnya. Siti berdiri mematung, pasrah. Kedua tukang pukul itu pun membawa Siti pergi tanpa perlawanan apa pun darinya. Dengan menurut kepada kedua tukang pukul itu, berarti Siti sedang melindungi dirinya, saat ini, dari luka-luka dan rasa sakit yang tak perlu.
Entah apa yang akan terjadi sesampainya di rumah b****l nanti. Apakah dia akan dicecar dan disiksa bila ketahuan tidak melakukan pelayanan kepada pelanggan dengan baik? Bukan. Lebih tepatnya, baik si pelanggan dan dia sendiri, menolak melakukan transaksi tukar jasa dengan uang. Apakah dia tetap akan disiksa walaupun si pelanggan juga tidak bersedia?
Mungkinkah ini memang sudah suratan takdir baginya?
Apakah saat ini, dia akan kembali kepada Tante Susan untuk nantinya dijual lagi kepada pria yang Siti tidak tahu bagaimana kepribadiannya? Apakah nantinya, dia tidak akan berhasil mempertahankan mahkotanya? Andaikan kondisi sekarang ideal, pastilah Siti bisa terbebas dari jeratan Tante Susan dalam keadaan yang paling baik yang pernah dia harapkan. Masih utuh, tidak akan lagi disiksa, dan merdeka.
Tak adakah pilihan lain untuk membuatnya tetap bisa mempertahankan harga diri?
Sungguh pertanyaan yang sangat sulit dijawab karena pikiran Siti sedang kalut, sedangkan kedua orang di sampingnya, bukanlah seorang sahabat karib yang bisa dijadikan tempat curhat. Terpaksa Siti harus mempertimbangkan sendiri semua keputusan dan tindakan yang akan diambilnya nanti. Benar-benar bukan kondisi ideal untuk memikirkan hal yang sangat penting. Bahkan seorang raja yang tiran pun akan tetap membutuhkan nasihat dan saran timnya saat akan berperang.
Saat ini, Siti dan para pengawal Tante Susan sudah melangkahkan kaki ke dalam lift. Saat pintu lift hendak menutup, Siti melihat sekelebat bayangan orang yang ingin memasuki lift juga. Bila hal ini terjadi di lain kesempatan, Siti akan dengan senang hati menahan pintu lift agar tidak menutup, sehingga orang yang susah payah berlari menggapai lift tadi akan bisa masuk ke dalam dan ikut turun bersama mereka. Namun, Siti tak mempunyai sedikit pun tenaga untuk menggerakkan tangan dan kakinya untuk meraih tombol buka. Sungguh kasihan, karena dua orang pengawal kekar di sisi kanan dan kiri Siti, memilih mematung saja. Tiada sedikit pun berniat menolong si pengejar lift, sehingga si pengejar tadi harus menunggu giliran berikutnya untuk turun.
“Mengapa tidak ditahan pintu liftnya?” protes Siti reflek. Padahal sebenarnya dia berencana untuk diam saja daripada harus membuat dua pengawal itu marah.
“Lebih enak bila tidak ada orang yang mengganggu kita,” jawab si botak datar sambil memandang lurus ke depan.
Sedangkan teman si botak, hanya melihat Siti tanpa menjawab apa pun. Kini setelah melihat dari dekat, Siti bisa mengetahui bahwa dia hanya memiliki satu mata dan berambut gondrong yang dikuncir asal. Siti menebak, dia buta warna. Terbukti dari pilihan warna kuncir rambutnya yang berwarna baby pink. Atau, bila tidak buta warna, pastinya ada sesuatu yang lain sebagai alasan.
“Hai,” sapanya melambai feminin ke arah Siti, membuat Siti terperanjat setengah mati. Apalagi ketika si gondrong mengedipkan sebelah matanya dengan centil ke arah Siti, membuat mulut Siti mau tak mau membentuk huruf O, senada dengan kedua bola matanya yang terbelalak. Sungguh suatu hal yang tak disangka.
Bila kebersamaan Siti dan si botak akan diromantisasi oleh seorang penulis roman, lain halnya dengan yang sekarang. Penampakan Siti, si botak, dan si gondrong saat ini pasti akan diromantisasi oleh penulis BL menjadi kisah antara si gondrong dan si botak, dengan posisi Siti sebagai figuran, yaitu sahabat dekat si gondrong. Oh, Siti menggelengkan kepala berkali-kali karena tampak tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Jangan macam-macam kamu, ya! Kalau enggak mau aku pites,” seru si gondrong dengan kombinasi centil, sekaligus mengerikan.
Benar saja!
Kata-kata si gondrong barusan menyadarkan Siti, bahwa ketidaklaziman yang baru saja dilihatnya tidak berarti mengurangi bahaya yang sedang mengancam Siti. Walaupun si gondrong bermain untuk tim yang berbeda, bukan berarti dia lemah. Tetaplah dia lelaki kekar dengan kekuatan monster.
Rasa takut, kembali menyerang Siti.
Saat ini, menolak sampai mati terdengar seperti sebuah solusi mutlak. Dia bertekad tidak akan menuruti kemauan Tante Susan walaupun diancam akan dibunuh. Rumor yang beredar di kalangan pekerja di rumah b****l, Tante Susan adalah g***o jahat yang bekerja sama dengan mafia berdarah dingin. Tipe kelompok yang tak segan-segan menyingkirkan orang yang melawan mereka. Itulah sebabnya tak ada satu kasus pun w****************a yang berhasil melarikan diri dari jerat iblis bernama Tante Susan.
Sudahlah, bila memang harus seperti ini, apa hendak dikata. Siti akan pasrah dengan segala kenyataan hidup yang sebentar lagi akan menyapa dan bersiap-siap memeluknya di masa mendatang. Bila selamanya akan disiksa, biarlah. Akan ditanggungnya siksaan itu. Bila siksaan itu akan berujung kematian, biarlah. Semoga Tuhan memberikan dia tempat yang indah untuk berkumpul dengan keluarganya, yang telah pergi meninggalkannya terlebih dahulu.
Lift pun berhenti. Pintu lift terbuka. Dua pria kekar dan satu gadis muda, melangkah keluar dengan aura yang berbeda-beda. Sang gadis, kini memejamkan mata, hingga siapa pun yang melihatnya akan memahami bahwa dia sedang berdoa.
Sungguh, saat ini yang dia Siti lakukan hanyalah memohon kepada Yang Maha Kuasa. Berdoa untuk kedua orang tuanya, agar keduanya diberi tempat peristirahatan yang indah. Berdoa juga untuk dirinya sendiri, agar diberikan pilihan terbaik, dan tak akan goyah mempertahankan prinsip hidupnya. Lebih baik mati, daripada hidup namun kehilangan harga diri.
Berdoa, karena dia tahu, hanya Tuhannya yang bisa menyelamatkannya.
Berdoa, karena siapa saja musuhnya, mereka adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Berdoa, karena apa pun takdir yang telah dipilihkan Tuhan untuknya, akan dijalani dengan penuh rasa syukur dan ketabahan.
Di tengah lamunan dan doa Siti, salah satu pintu lift yang lain terbuka. Kemudian seorang lelaki bersuara bariton berseru dengan bahasa Indonesia yang terdengar agak aneh.
"Hei, Baby, mau kemana kamu? Urusan kita, ‘kan, belum selesai ...."
***
Note:
Hi, Pembaca!
Maaf, banyak kata yang kena sensor sistem aplikasi di sini. Semoga tetap mengerti.
Jangan lupa tap love sebelum melanjutkan ke chapter berikutnya, ya!
Makasih dan selamat membaca!