DP 14. Ciuman Selamat Tidur Lagi

4280 Kata
"Hah ... hah ...." Napas Devdas tersengal-sengal saat ia terkapar setelah selesai sesi terakhir di aula pelatihan istana langit. Penggunaan elemen es sangat menguras cakranya karena tubuhnya belum terbiasa. Ia angkat kedua telapak tangannya untuk memandangi bara energi yang berbeda terasa berdenyut menggebu-gebu, padahal ia sedang kehabisan tenaga. Seolah kedua elemen itu berusaha bersaing. Devdas tersadar, elemen es mungkin bukan elemen yang cocok untuk tubuhnya. Devdas mengenyahkan energi di tangan kanannya agar bisa melepas cincin sisik naga es dari jarinya. Begitu cincin itu dicabut, gejolak energi dalam tubuhnya langsung terhenti dan ia bisa bernapas lebih tenang. Ia genggam cincin itu lalu memejamkan mata sambil berusaha memulihkan energi. Devdas berandai-andai jika Delisha melihat cincin barunya, ia pasti sangat senang dan ingin mencobanya. Itu Delisha yang dulu. Delisha yang masih kecil mungkin tidak akan sanggup menangani energi sebesar kekuatan es. Penglihatannya mencari sosok Delisha melalui mata Siberian. Namun, alangkah terkejutnya Devdas ketika melihat Siberian menyalak pada Delisha, tetapi gadis itu bergeming. Devdas memperhatikan sekeliling Siberian adalah rumah mansionnya di Chicago, membuat Devdas tersadar Delisha berada di rumah itu dan keadaannya sedang sangat mencurigakan. Gadis itu tidak menggubris anjingnya, bahkan sedang tertidur berjalan sempoyongan. Sesuatu memancing Delisha naik ke lantai dua. Sekelebat lewat bayangan wanita berambut pirang yang langsung Devdas kenali sebagai Gea. Gea dan Delisha-nya berduaan? Hanya berarti satu hal. Wanita itu melancarkan aksinya. "Sialan!" Devdas mendesis. Ia membuka mata, bangkit dari lantai secepatnya, melesat keluar dari istana Erion. Bahkan Erion yang berpapasan dengannya pun dilewatinya begitu saja tanpa sempat bertatap muka untuk berpamitan. "Devdas?" ucap Erion yang disahuti angin menderu kecepatan kilat Devdas melesat. Erion melongo sementara Avram di sisinya menunduk dalam agar mencegahnya berkomentar buruk soal kelakuan Devdas. Avram tidak ingin menjadi seorang yang merecoki hubungan mereka. Nanti ia dikira cemburu pada bestie baru Erion. Erion mendeham beberapa kali, kemudian berusaha menata wibawanya. Tangannya bertaut ke belakang dan lanjut melangkah dengan dagu terangkat. Ia bergumam menghibur diri. "Devdas pasti terlalu malu untuk mengucapkan terima kasih padaku. Chandni sudah mengatakan ia akan bersikap seperti itu, aku jadi tidak heran lagi. Hhh, Devdas, Devdas ...." Devdas tidak ada waktu memikirkan tata krama apalagi ucapan untuk Erion. Nyawa kekasihnya sedang dipertaruhkan. Entah apa yang bisa dilakukan Gea pada gadis itu. Devdas mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melesat secepat mungkin menuju kediamannya. Anak- anaknya tidak bisa dihubungi, juga Vijay dan yang lainnya, membuat kekhawatiran Devdas menjadi-jadi. Dalam hati ia berdoa sungguh-sungguh agar ia tidak terlambat. Untuk kesekian kali dalam hidupnya, ia berharap tidak terlambat tiba di sisi Delisha-nya. Cinta-nya. Hidup-nya. *** Sebagai seorang agen rahasia, penyelidik pionir, dan juga seorang ayah, Richard Lee mudah waswas dan curiga terhadap segala hal. Pesan video dari Delisha yang memuat Siberian sedang menyalak-nyalak gelisah di latar belakangnya, cukup menjadi petunjuk bagi Richard bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumah itu. Awalnya, ia pikir Devdas berwujud menghilang ingin mendekati putrinya, tetapi anjing itu menyukai Devdas, tentunya tidak akan membuat Siberian gelisah. Hal paling mungkin adalah Gea masih ada di rumah itu dan mengintai anak-anak. Tipe perempuan seperti Gea tidak akan memberi kesempatan lawannya tenang. Jadi, Richard putuskan mengintai rumah itu. Ia berjaga di pepohonan dekat danau, perkiraan jarak yang aman karena ia tidak tahu tingkat kewaspadaan makhluk seperti Gea bisa berapa jauh merasakan kehadiran orang lain. Insting Richard tidak salah. Begitu terdengar teriakan dari mansion itu, Richard bergegas ke sana. Ia terobos pintu depan untuk masuk ke rumah itu. Ia langsung menaiki tangga menuju ke kamar di mana putrinya disekap. Siberian masih ada berusaha membuka pintu dengan caranya. Richard coba membuka dan mendobraknya, ternyata tidak berhasil. Pintu itu ditahan sangat kuat dari dalam. Bahkan Richard tembak penguncinya, pintu itu tetap tidak mau terbuka. Richard berteriak sambil menggedor pintu itu. "Lepaskan putriku, berengsek! Buka pintunya! Buka pintunya,!" Gea mendengar seluruh keributan itu, tetapi ia tahu manusia biasa tidak akan bisa menembus bariernya. Ia tetap fokus tujuannya semula yaitu mengambil emblem The Lady dalam dimensi astral Delisha, sekalian menyiksa Delisha. Ia lakukan dengan cara sesakit mungkin. Jika gadis itu tewas atau cedera, ia bisa beralasan karena memang Delisha yang terlalu lemah. "Huahahaha ...." Gea tertawa seraya merogoh isi tubuh Delisha. Ia menggenggam sesuatu yang ia yakin emblem yang dicarinya. Namun, tiba-tiba Gea malah terlempar dan tubuhnya terpecah menjadi 5 Gea. Emblem The Lady rupanya melindungi Delisha. Tubuh gadis kecil itu masih melayang dan mengeluarkan cahaya. "Sialan!" desis para Gea. Kelima wanita itu bersiaga menyerang Delisha lagi, akan tetapi, sebelum itu terlaksana, jendela hingga kaca dan dinding sekitarnya hancur menimbulkan bunyi dentuman keras. Prang!! Geruduk geruduk! Ruangan mengepul debu dan reruntuhan berjatuhan. Para Gea menoleh dengan ekspresi muka terkejut melihat Devdas muncul menerobos kegelapan dan kepulan debu. Mereka termangap, tetapi sebelum sempat melakukan apa pun, mereka berubah menjadi patung es. Whuzzzz! Tamatlah riwayat Gea. Akan tetapi, bagaimana dengan Delisha? Devdas turun perlahan, memijakkan kaki di lantai dengan tatapan terpesona sekaligus getir melihat tubuh Delisha melayang dan bercahaya karena cakranya terbuka. Pintu terbuka karena Gea sudah mati. Richard dan Siberian bisa masuk. Mereka tidak peduli patung-patung es di sekeliling ruangan itu. Mereka merasakan hal yang sama dengan yang Devdas rasakan, yaitu mencemaskan Delisha. Richard malah tidak tahu sama sekali apa yang harus dilakukan terhadap putri kecilnya. "Apa yang terjadi padanya?" lirih Richard. "Jiwa astral Delisha telah meninggalkan tubuhnya, Ayah," jawab Devdas tanpa mengalihkan pandangannya. Ia benar-benar cemas, tetapi berusaha tidak terbawa emosi. Jika jiwa astral Delisha bisa meninggalkan tubuhnya, tandanya kemampuan kedua Delisha akhirnya terbuka, yaitu berpindah alam. Richard bergetar suaranya seolah kehilangan daya. "Bagaimana cara mengembalikannya?" tanyanya. Devdas menarik napas dalam memantapkan diri. "Aku rasa aku tahu caranya," ujarnya lalu Devdas melangkah penuh keyakinan. Ia jemput tubuh Delisha ke dalam dekapannya. Tubuh halus itu lunglai begitu saja dan berhenti bercahaya, matanya terpejam rapat, tidak lagi kejang-kejang. Devdas bawa gadis itu ke kamarnya diiringi sang ayah. Ia rebahkan Delisha di ranjang dan ia duduk di sisinya. Ia usap wajah Delisha yang pucat tetapi bercahaya bersih. Ekspresi wajah Devdas melembut penuh kasih. Mereka telah mengalami kejadian seperti sekarang berkali-kali dan siapa sangka ternyata semua itu memberikan pengalaman bagi Devdas untuk memandu Delisha kecil. Richard waspada melihat cara Devdas menatap anak gadisnya. "Apa yang hendak kau lakukan, Devdas?" tanyanya. Devdas menjawab, "Mengembalikan Delisha ke tubuhnya, Ayah." Kemudian ia menunduk mencium bibir gadis itu. *** Ketika Gea mencolok badannya, Delisha secara spontan kehilangan kesadaran, lalu jiwa astralnya terlempar keluar begitu saja seperti sebuah balon yang lepas dari tangan anak kecil. Melayang, membubung tinggi ke angkasa, diombang-ambing oleh angin. Pertama yang dipikirkannya adalah apa yang dilakukan Miss Gea padanya karena rasanya sangat sakit seluruh tubuh. Delisha sampai menggigil kedinginan. Kemudian sakit itu tak terasa lagi bersamaan ia meninggalkan tubuhnya. Delisha pikir ia sudah mati. Ia bisa melihat tubuhnya, ia bisa melihat Miss Gea lalu wanita itu berubah menjadi beberapa orang, lalu ia melihat segalanya dari tempat yang lebih tinggi. Ia bisa melihat seluruh atap mansion Mister D dan semakin tinggi, semakin banyak pemandangan yang dilihatnya. "Wuaah, indahnya!" pungkas Delisha takjub. Danau di seberang mansion terlihat sangat indah memantulkan bayangan langit dan bulan. Di sisi lain, lampu penjuru kota bercahaya kelap kelip seperti kunang-kunang memukaunya. Gedung-gedung tampak tersusun seperti balok-balok dunia pixel. Kendaraan lalu lalang seperti sel-sel dalam pembuluh. Ia melihat ke atas, awan dan bintang seolah dalam jangkauannya, sangat indah seperti lautan yang bisa ia selami. Secara harfiah, ia benar-benar berada dalam samudra alam sebelah dan ia melayang seperti sedang berenang di dalamnya. Ada banyak penampakan dilihatnya seliweran sama seperti ikan-ikan yang berenang dalam lautan. Ada yang cantik dan bercahaya indah, ada juga yang terlihat muram menyeramkan. Makhluk-makhluk lainnya itu bergerak sibuk ke sana kemari, ibarat jalur lalu lintas yang mereka gunakan untuk bepergian dengan gerakan sangat cepat tanpa harus terhalang kemacetan atau belokan putar balik dan sebagainya. Delisha terpesona dengan semua yang dilihatnya sehingga ia pergi jauh dan semakin jauh. Ia lupa pada rasa sakit yang dialaminya. Ia keasyikan bisa pergi ke beragam tempat yang berjauhan dalam waktu yang singkat. Pemandangan- pemandangan indah yang biasa dilihatnya di wallpaper PC, sekarang bisa didatanginya langsung. "Wuaaah ...." Delisha tak henti-hentinya berseru takjub. Sampai suatu ketika ia ingin bergerak lagi, tahu-tahu sesuatu menahan tubuhnya. Ia tidak bisa bergerak, dan sedetik kemudian, sebuah kekuatan menariknya hingga melesat sangat cepat, lalu ia tidak melihat apa pun lagi karena sangat mengantuk lalu lelap terbenam dalam dekapan yang sangat empuk dan hangat. Bersamaan dengan ciumannya, Devdas mengalirkan cakra ke dalam tubuh Delisha untuk membantu memulihkan kondisi Delisha yang terkuras staminanya, juga membantu mengurangi pegal-pegal yang akan dirasakannya setelah sadar nanti. Richard terdiam saja karena kelu, memandangi putrinya dicium Devdas. Sementara Siberian menyalak riang karena merasakan tubuh tuannya sudah komplit dan tidak terancam bahaya lagi. Selesai mengamankan Delisha, Devdas menyelimutinya dengan apik. "Setelah ini ia mungkin akan merasa kelelahan, tetapi ia akan baik-baik saja," gumam Devdas tanpa berani beradu mata dengan ayah gadis itu. Devdas tersipu-sipu bergegas beranjak keluar kamar. Richard tegur dia. "Kau mau ke mana?" Devdas menoleh ayah kekasihnya. Ia tersenyum tipis seraya menjawab, "Aku mau memeriksa keadaan putra putriku, Ayah. Mereka di bawah sana, tidak mengetahui apa yang terjadi. Gea mungkin telah melakukan sesuatu pada mereka. Richard berujar kikuk, "Uh, oh. Aku harap mereka baik-baik saja." "Ya, Ayah. Terima kasih," sahut Devdas lalu ia lanjut melangkah. Richard kemudian duduk di sisi putrinya, memandangi wajah tidur gadis itu dengan sorot lembut seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya. Namun, dalam hati ia sangat murka pada Xelios. Devdas juga marah pada pria itu dan akan menghadapinya cepat atau lambat. la harus memastikan keselamatan anak-anaknya dulu. Syukurlah, ketiganya baik-baik saja meskipun tertidur lelap karena sesuatu yang dilakukan Gea, tetapi tidak berbahaya. Begitu juga anak buah lainnya. Yang jadi masalah adalah ke mana Qoy'an dan Qoysan? Setelah dari Kashmir dikiranya berada di Chicago untuk menjaga anak-anaknya. Jadi, Devdas pergi mencari kedua jin itu. Beriringan pagi tiba, penghuni rumah bangun tidur seperti biasa. Delisha juga membuka matanya, dan terperanjat mengetahui ia berada di sebuah kamar asing dan sekitarnya beraroma semilir wangi hangat yang terasa familier. Hanya karena badannya lemas ia tidak bisa banyak bergerak. Hal yang membuatnya jauh lebih lega adalah menemukan ayahnya ada tertidur di sisinya. "Daddy ...," sebutnya terisak. Richard terbangun dan menyapa sambil tersenyum menenangkan anaknya. "Hi, Baby, bagaimana keadaanmu?" "Seluruh badanku terasa sakit, Dad. Aku tidak tahu apa yang Miss Gea lakukan padaku. Aku rasa ia wanita yang sangat kejam. Heu hu huuu ...." Richard peluk anaknya sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Sudah, tidak apa-apa. Ia tidak akan mengganggu kalian lagi. Mister D sudah membereskannya." "Apa? Mister D ... datang?" Delisha terperanjat sehingga melonggarkan dekapan untuk menatap minta penjelasan dari ayahnya. "Iya. Ia datang di saat yang tepat. Untung saja. Kalau terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi padamu di tangan Miss Gea." "Lalu ... apa yang terjadi pada Miss Gea?" "Bisa kau tebak sendiri, wanita itu mati. Mister D yang menghabisinya." Wajah Delisha pias. "Ma-mati? Mister D membunuhnya?" Richard paham putrinya tidak tega seseorang mati dibunuh. Putrinya mungkin berharap Miss Gea diberi kesempatan meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Sayangnya, tidak semua orang patut diberi kesempatan seperti itu. "Harus dilakukan, sayang. Miss Gea sudah melakukan tindakan yang sangat berbahaya, bukan hanya kepadamu, tetapi juga kepada Aaryan, Chander, dan Rani." Delisha peluk ayahnya lagi karena ngeri terbayang jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka semua. "Aku tahu kau takut, sayang, tetapi ada hal-hal yang harus dilakukan orang dewasa untuk mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih besar." Anak-anak Mister D datang dengan suara yang ribut. Mereka sudah diceritakan apa yang terjadi dan baru saja melihat patung-patung es Miss Gea dan mereka gembira bukan main. "Delisha-ji, Delisha-ji, kau harus melihat apa yang dilakukan ayah kami pada Miss Gea. Ia mengubah Miss Gea menjadi patung es! Kita bisa menghancurkannya dan Miss Gea tidak akan hidup lagi. Ayah kami semakin tambah sakti. Ayah kami akan menjadi tak terkalahkan!" Namun, Delisha tidak bisa bersuka cita akan hal itu. Ia malah ketakutan. Delisha tidak berkata apa pun pada anak-anak itu. Alih-alih ia memelas pada ayahnya. "Daddy, aku mau pulang. Please, Daddy ..., Please ...." Richard tidak menolak permintaan anaknya yang seperti itu. "Alright, Baby, let's go home." Richard gendong putrinya lalu membawanya keluar tanpa menghiraukan tatapan anak-anak Mister D padanya. "Delisha-ji ...," lirih mereka. Namun, Delisha tidak membalas panggilan mereka. Dia malah semakin membenamkan wajah di da.da ayahnya dan memejamkan mata seolah tidak ingin melihat apa pun lagi. *** Sepanjang siang, Devdas mencari keberadaan Qoy'an dan Qoysan. Ia menemukan kedua jin itu dilumpuhkan oleh Gea menggunakan serbuk tidur. Keduanya disekap dalam botol yang kemudian dibuang Gea ke danau. Setelah ia lepaskan kedua jin itu, Devdas harus memberi mereka energi agar lekas pulih. Devdas tiba di rumahnya lagi dan menemui anak-anak di ruang makan. Ia langsung ambruk ketika menjejakkan kakinya. Ruangan itu terasa berputar dan lantainya bergelombang. Bola mata Devdas nyaris terbalik. "Papa!" pekik Aaryan, Chander, dan Rani. Mereka meninggalkan meja makan dan mengerubungi ayah mereka yang terkapar di lantai. Vijay yang berada di ruangan lain, mendengar pekikan itu pun bergegas datang. "Tuan!" serunya panik lalu secepatnya memapah Devdas. "Aku tidak apa-apa," ucap Devdas lirih. "Papa .... Huhu huuu...." Suara tangis anak-anak semakin nyaring. Devdas tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan mereka. Vijay dan beberapa pengawal lalu menggotong Devdas ke kamar tidur diiringi anak-anaknya. Tangan dan kakinya lemas, bahkan kelopak matanya terasa sangat berat. Apalagi untuk berjalan, ia tidak ada tenaga lagi. Setelah sekian lama ia merasakan secara jelas apa yang disebut kelelahan. Devdas telah memforsir dirinya habis-habisan selama beberapa hari. Ia telah bersanggama gila-gilaan dengan 10 Delisha. Ketika ia mau pulang, Erion menyuruhnya berlatih kekuatan es dan tak lupa membunuhnya sehingga ia harus memulihkan diri. Itu memakan banyak energi. Lalu ia harus menempuh perjalanan jauh dengan kecepatan yang tak dapat ditera untuk bisa tiba di mansionnya. Ia harus memusnahkan Gea, yang untungnya tidak sempat menyerang balik atau mengelak. Selanjutnya, ia harus membantu pemulihan Delisha, dan terakhir memulihkan dua jin pengikutnya. Sebelumnya, semua lelah akan tergantikan jika ia bercin.ta dengan Delisha-nya, serta makanan-makanan buatan Delisha membantu pemulihan cakra. Sekarang, tidak ada lagi yang demikian. Ia harus memulihkan diri sendiri dengan cara apa adanya. "Delisha ...?" sebutnya pelan ketika tidak melihat Delisha di kamar itu. "Nona sudah pulang bersama ayahnya, Tuan," ungkap Vijay. Devdas diam terhenyak. Mungkin itu yang terbaik, pikirnya. Karena jika Delisha masih di rumahnya, gadis itu mungkin akan bertatapan dengannya lalu akan membuka cakra selanjutnya yaitu cahaya di puncak kepalanya. Dia akan bercahaya seperti lampu mercu suar. Devdas berbaring di ranjang dan menatap lekat bekas rebahan Delisha di sisinya. Namun, itu semua buyar. "Papa ...," tangis anak-anak yang naik ke ranjang mengelilingi Devdas sehingga menghilangkan bekas Delisha. Devdas pun menghela napas dalam sambil mengusap-usap punggung mereka. Vijay tidak sampai hati melihat kondisi Devdas yang demikian, ia bertanya, "Tuan, apakah perlu saya panggilkan dokter?" "Tidak. Tidak usah," jawab Devdas lirih. Ia berusaha memejamkan mata, tetapi, anak-anak menjadi sangat menuntut. "Papa ... biar kami berikan energi untuk Papa ... Ayolah, Pa ... Biar Papa lekas sembuh." "Terima kasih, anak-anak, tapi tidak usah. Papa tidak ingin kalian kenapa-kenapa. Sebaliknya kalian simpan saja energi kalian," pinta Devdas. Vijay lalu mengubit mereka. "Anak-anak, biar ayah kalian istirahat dulu. Itu yang dibutuhkannya." Meskipun berat, anak-anak bersedia meninggalkan kamar ayah mereka. "Kami mencintaimu, Pa," kata mereka lalu satu-satu memberikan kecupan di pipi Devdas. "Papa juga cinta kalian," balas Devdas. Vijay membukakan pintu untuk jalan anak-anak keluar, kemudian ia menutupkan pintu kamar untuk Devdas. Kamar itu pun sunyi senyap dan Devdas bisa kembali merenungkan kekasih hatinya. Ia sentuh bibirnya yang telah mengecup bibir suci Delisha. Betapa ia berharap getaran-getaran halus itu terasa lagi. Lembut bibirnya dan kehangatannya, semua terasa sempurna walaupun sentuhan itu harus berlangsung singkat. "Delisha-ji, apa kau memikirkan aku?" bisiknya, tetapi tidak ada jawaban. Ia memejamkan mata sambil melihat-lihat apa yang dilakukan Delisha melalui mata Siberian. Sepanjang siang, Delisha rebahan saja di kamar. Ia meringkuk di balik selimut, tatapan menerawang sambil mencubit-cubit bibirnya yang terasa berdenyut halus seperti diemut seseorang. Pikiran Mister D telah menyelamatkannya, membuat wajah Delisha memanas, sontak ia tersipu-sipu sendiri. Ia kira ia telah mati dan entah bagaimana caranya, jiwanya kembali ke tubuhnya. Ayahnya tidak menjelaskan apa yang terjadi selama periode itu, kecuali bahwa Miss Gea telah tewas dan wanita itu tidak benar-benar mati karena ia bisa hidup dengan membelah diri. Itu sedikit melegakan. Terbayang Mister D bisa membunuh orang-orang dengan mudah, membuat rongga perut Delisha menciut. Mungkin pria itu sejenis hibrida yang memiliki wujud manusia, juga wujud monster yang berkekuatan sangat besar. Bagaimana jika pria itu sejenis serigala berbulu domba? Maksudnya, ia suka binatang jenis serigala dan domba berbulu lucu, tetapi tidak menyukai makna dari peribahasa tersebut. Seperti Misa Gea mengincar tubuhnya, maka pria itu bisa jadi juga mengincarnya. Apa yang sebenarnya orang-orang itu inginkan dari dirinya? Pintu kamarnya dibuka oleh ayahnya membuat Delisha terkesiap lalu berlagak menggeliat seperti bangun tidur. "Hi, Baby, kau sudah bangun?" tanya Richard sambil membawakan sepiring biskuit dan segelas su.su. "Ya, Dad. Aku merasa jauh lebih baik," kata Delisha. Ia duduk dan bersandar ke kepala ranjang untuk menerima kudapan yang disajikan ayahnya. "Ini, makanlah dulu." "Thanks, Dad." Delisha mengunyah biskuit sambil sesekali mencelupnya ke su.su. Richard duduk di sisinya memperhatikan saksama kalau-kalau putrinya butuh sesuatu lagi. "Uhm, Dad, boleh aku bertanya sesuatu?" celetuk Delisha. "Tentu, Delly. Katakan padaku apa yang ingin kau ketahui," sahut Richard sepertinya sudah penuh persiapan jika putri remajanya bertanya. "Miss Gea anak buah Kakek Xelios, bukan? Dan Mister D juga bekerja padanya, bukan? Selain itu perusahaannya juga bekerja sama dengan Xin's, bukan?" "Iya, betul." "Dad, sebenarnya apa yang mereka inginkan dariku? Aku tidak mengerti. Sewaktu Anthony di sini, Daddy melarang aku ikut program Dream Catcher. Kemudian Miss Gea mengincar sesuatu dalam tubuhku, tetapi gagal karena Mister D datang. Aku pikir Mister D menyelamatkanku karena ia tidak ingin sesuatu itu diambil lebih dulu oleh Miss Gea." "Itu karena kemampuan indera keenammu, sesuatu berkaitan dengan yang mereka sebut cakra, tetapi aku menyebutnya jiwamu. Semua yang mereka lakukan padamu berisiko kau kehilangan nyawamu, karena itu aku melarangmu mengikuti kata Anthony. Sedangkan bagi Xelios, sudah pasti ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan cakra itu. Oleh karena itu, mencegah cakramu berkembang adalah satu-satunya pilihan agar mereka tidak mengincarmu. Namun, rupanya mereka memutuskan membukanya dengan cara mereka sendiri. Harapanku, Mister D orang yang cukup sakti untuk bisa melindungimu dari segala ancaman." "Jadi, hidupku tergantung pada Mister D sekarang?" "Bisa dibilang begitu." "Tapi Dad, bisa jadi ia juga mengincar tubuhku untuk kepentingan pribadinya! Tubuhku ini ... aku pikir ada sesuatu di dalamnya," cecar Delisha. Richard terdiam memasang tampang datar. Niat Devdas itu sudah sangat jelas, tidak perlu dipertanyakan lagi. Hal itu akan membuat Xelios dan Devdas berseteru. Oh, pantas saja Xelios ingin emblem The Lady pindah ke tangannya, karena hanya emblem itu yang mampu menangkal kekuatan emblem The Lord miliknya untuk membuat Devdas tak berkutik. Delisha terlihat gusar sehingga Richard mencoba menenangkannya. "Jangan pikirkan soal itu, Delly. Walaupun ia 'mungkin saja' mengincar tubuhmu, tetapi ia yang paling mengerti dirimu. Maksudku orang dengan kekuatan sepertimu. Lihat saja anak-anaknya. Mereka orang-orang yang bisa melindungimu." "Dad, bukankah kalau begitu jauh lebih baik jika aku mengembangkan kekuatanku supaya aku bisa melindungi diriku sendiri?" "Tidak, Delisha! Dalam hal ini justru itu yang jangan sampai terjadi." Delisha terperangah. "Bukankah seharusnya tokoh yang lemah berkembang menjadi kuat? Jadi, aku tidak boleh melakukannya? Jadi, aku harus menjadi ... Lemah? Sepanjang kisah hidupku aku harus menjadi ... Pecundang?" "Tidak, tidak, Delly, bukan pecundang. Hanya manusia biasa." "Oh ya ampun!" Delisha terbaring lemas lagi. "Aku tidak mengerti, Dad. Aku benar-benar tidak mengerti." Richard juga tidak tahu lagi bagaimana supaya dia mengerti. "Istirahatlah dulu, Baby. Aku yakin kita akan menemukan solusi yang lebih baik, hanya tidak sekarang. Pulihkan saja dulu kondisimu. Kita bicara lagi nanti." Ia lalu meninggalkan kamar putrinya. Siberian meringkuk turut kehilangan semangat. Sementara Devdas mengikuti saran Richard. Ia pun lekas-lekas tidur agar bisa berpikir lebih jernih dan menemukan solusi yang tepat untuk Delisha-nya. *** Hari Senin, Delisha bertemu lagi dengan Aaryan, Chander, dan Rani. Delisha tidak enak hati karena telah bersikap tidak sopan ketika menginap di rumah mereka. Lagi pula, katanya sebuah ruangan hancur. Ketiga anak itu berwajah muram, sehingga Delisha agak segan menyapa mereka. "Hai, Rani, Aaryan, Chander, bagaimana kabar kalian?" "Baik, Delisha-ji, tetapi kami sedih, ayah kami sepertinya sakit-sakitan. Ia tidak pernah sakit sebelumnya. Ini yang pertama kali dan terjadi setelah ibu kami tiada. Entah bagaimana ayah kami bisa bertahan." Delisha tersenyum kikuk. "Eh, hmm, aku yakin dokter bisa mengobati ayah kalian. Ia akan baik-baik saja." Mereka tahu dokter bukanlah orang yang dibutuhkan ayah mereka. "Terima kasih atas perhatianmu, Delisha-ji," ucap mereka datar lalu ketiga anak itu mengikuti pelajaran walaupun tidak antusias sama sekali. Ketika jamnya pulang pun, mereka berlekas-lekas pulang. "Kasihan ayah kami tidak ada yang mengurus. Ia bukan manusia biasa, kau tahu, dokter tidak akan menyembuhkannya," ucap mereka sambil berlalu, meninggalkan Delisha tak bisa berkata-kata. Richard telah bicara pada Devdas melalui telepon mengenai rencana mereka selanjutnya pada Xelios dan mendengar suara pria itu tanpa intonasi bahkan serak, Richard merasa prihatin kondisi Devdas sedang tidak sehat. "Apa kau ingin rekomendasi dokter terbaik di sini?" tanya Richard. "Tidak, Ayah. Aku tahu tubuhku dan apa yang dibutuhkannya, tetapi terima kasih atas perhatianmu," jawab Devdas. "Oke, baiklah. Sampai jumpa lagi," Richard menutup pembicaraan. Richard mendapati putrinya duduk di sofa ruang tengah sedang memegang ponsel, tetapi diam saja tidak mengetik apa pun. "Apa yang sedang kau lakukan, Delly?" tegur Richard sambil lalu. "Hanya ingin mengetik mengetik pesan, Dad. Kata Rani ayah mereka sakit. Aku berpikir apakah aku perlu mengirim pesan ucapan untuk Mister D, karena ia sudah menyelamatkanku. Setidaknya itu yang bisa kulakukan." Richard mematung sesaat. Bukannya ia tidak tahu terima kasih, tetapi rasanya sangat aneh karena ia tahu betul apa yang dibutuhkan Devdas. Ephebofilia pria itu akan semakin terasah. "Hmm, Delly, bagaimana jika kita berkunjung ke kediamannya?" Delisha memutar badan hingga hampir melompat di sofa. "Apa? Serius, Dad?" "Ya, itu akan jadi cara yang lebih sopan, mengingat kebaikannya dan ia juga rekan bisnisku." "Ya, Dad, aku setuju!" seru Delisha. Jadi, mereka pergi ke mansion mewah itu. Delisha merasa sangat bersemangat sehingga ia mengenakan gaun wol yang bagus, syal, serta topi rajutan untuk menutupi rambut bob-nya dari udara luar yang sangat dingin. Tak ketinggalan Siberian ikut serta. Mereka membawa buket bunga ucapan semoga lekas sembuh. Vijay menyambut mereka di pintu depan. "Silakan masuk, Tuan, Nona." "Kami datang untuk menyerahkan ini. Ia pasti butuh istirahat, jadi kami tidak akan mengganggunya. Semoga Mister D lekas sembuh," ucap Richard lalu mengubit putrinya agar menyerahkan karangan bunga di tangannya. Vijay menyambut bingkisan tersebut. "Terima kasih. Akan saya sampaikan pada Tuan. Beliau akan sangat senang." Delisha manyun mendelik ayahnya. Keheranan kenapa kunjungan mereka sesingkat itu. Mereka melangkah undur diri, akan tetapi, ponsel Richard berbunyi dan ia harus menjawabnya. Telepon yang singkat, tetapi bermakna kode penting. Niatnya hanya mampir dan mengantar buket bunga itu, tetapi siapa sangka Richard harus segera pergi karena ada misi dari korporasi yang mengharuskannya pergi ke luar negeri secepatnya. Richard serba salah, tetapi meninggalkan putrinya dalam penjagaan Devdas Star Tailes adalah hal terbaik daripada meninggalkannya di rumah sendirian dengan ancaman Xelios Xin mengincar putrinya. "Ada apa, Dad?" tanya Delisha melihat ayahnya berwajah mengernyit. Richard menyimpan ponselnya. "Delly, aku harus pergi karena urusan darurat. Apa kau tidak keberatan jika tinggal di sini selama aku tidak ada?" Mata Vijay membesar mendengar hal itu. Lain hal dengan Delisha. Ia sedikit protes, "Apa? Tiba-tiba begini?" "Iya, sayang. Eh, kita 'kan sudah seperti keluarga di sini, jadi aku rasa tidak apa-apa menitipkanmu di sini." "Tentu, Tuan, tidak masalah," imbuh Vijay dengan wajah berseri-seri. "Jadi, Daddy tinggal dulu, sayang. Jaga dirimu." Richard kecup kening putrinya lalu ia bergegas pergi. "Hati-hati, Dad. Semoga selamat di perjalanan!" seru Delisha seraya melambai melepas kepergian ayahnya di teras mansion. Setelah mobil tak terlihat lagi, Vijay menggiring Delisha ke dalam rumah. "Mari, Nona, kita ke dalam. Aaryan , Chander, dan Rani pasti akan senang sekali dengan hal ini." "Eh, hehe, semoga saja, Tuan Vijay, tetapi tanpa insiden seperti tempo hari. Itu sangat mengerikan." "Ya, Nyo ... Nona, semoga saja tidak ada kejadian lagi. Kasihan Tuan jatuh sakit karena hal itu juga. Miss Gea meracuni Qoy'an dan Qoysan, Tuan berusaha keras mengobati mereka tanpa mempedulikan kesehatannya sendiri." "Oh, Mister D yang malang," lirih Delisha. Di anak tangga, Aaryan, Chander, dan Rani baru saja turun, mematung melihat Delisha ditinggalkan ayahnya. "Delisha-ji, kau ... tidak pulang?" "Ayahku tiba-tiba ada urusan, jadi katanya aku dititipkan di sini." Ketiga anak itu terbelalak saking gembiranya. "Apa??" Mereka berlarian mengerubungi Delisha. "Sungguhan? Jadi kau akan tinggal di sini? Berapa lama? Kau tidak keberatan? Kau tidak takut?" Delisha tersenyum salah tingkah. "Aku rasa lebih menakutkan kalau aku sendirian. Jadi, lebih baik aku berkumpul bersama kalian, bukan?" Aaryan tak sadar berseloroh. "Woaah, Papa pasti akan senang sekali nih ...." Segera ditutupi Rani dengan bersuara nyaring dan mendorong Delisha ke dapur. "Kalau begitu ayo, ayo kita menyiapkan makan malam bersama. Delisha-ji, apa yang ingin kau makan? Kami punya nasi kari, masakan Paman Vijay. Apa kau ingin mencobanya? Atau kita bisa delivery makanan yang kau sukai." "Eh, entahlah, aku biasa memasak sendiri makan malamku, tapi nasi kari sepertinya asyik. Aku ingin mencobanya." Mereka makan nasi kari bersama-sama di ruang makan. Anak-anak menceritakan pada Delisha siluman-siluman yang pernah mereka temui dan hadapi agar Delisha tidak perlu merasa takut lagi. Delisha mendengarkan penuh perhatian. Sementara Siberian duduk di dekat kursinya dengan lidah terjulur senang pada perkumpulan orang-orang di meja makan itu, terutama adanya kehadiran satu sosok yang hanya bisa dilihat anjing itu. Di kursi kosong, Devdas tengah bertopang dagu, termangu-mangu memandangi Delisha. Hatinya menghangat hanya dengan kehadiran gadis itu di dekatnya. Ketika malam larut dan anak-anak itu tidur di kamar masing-masing, Devdas mendatangi mereka satu per satu untuk mengucapkan selamat tidur. Kamar terakhir yang dikunjunginya adalah kamar tidur Delisha. Gadis itu mengenakan baju tidur Rani karena ia tidak membawa baju ganti. Dia tampak tidur gelisah karena jiwa astralnya berkelana keluar dari tubuhnya. Devdas tahu itu akan berbahaya bagi Delisha. Ia membisiki gadis itu. "Ini akan menenangkan saraf-sarafmu, Delisha." Lalu ia kecup lembut bibirnya. *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN