bc

Play In Darkness 4: Dark Paradise

book_age18+
627
IKUTI
4.2K
BACA
one-night stand
love after marriage
dominant
goodgirl
CEO
sweet
bxg
enimies to lovers
secrets
witchcraft
like
intro-logo
Uraian

Romance Fantasi 21+

Lanjutan dari PLAY IN DARKNESS 1, 2, dan 3.

PLAY IN DARKNESS 4: DARK PARADISE

Delisha yang masih remaja berkenalan dengan tiga anak berkebangsaan India yang memiliki wujud sangat indah, gabungan malaikat dan makhluk astral agung. Keindahan wujud anak-anak itu bukan tanpa sebab. Ayah mereka seseorang yang sangat rahasia bergelar Mister D. Delisha tidak pernah bisa melihat wujud Mister D sehingga membuatnya sangat penasaran.

Usaha penyelidikan Delisha ternyata membuka rahasia gelap Mister D yang berharga setara nyawanya. Hal itu membuat Mister D menuntut kompensasi yang tidak tanggung-tanggung pada ayah Delisha. Mister D ingin putri Richard Lee menikah dengannya setelah menginjak usia 18 tahun.

Surga Kegelapan, itulah Mister D menyebut ruangan pertemuan mereka. Pria itu bisa melihat dan merasakan seluruh dirinya, sementara Delisha buta sama sekali kecuali indera lainnya yang menjadi ketagihan rasa Mister D.

"You're mine, I'm yours, but you can't see me." Kau milikku, aku milikmu, tetapi kau tidak bisa melihatku.

Berhadapan dengan malaikat mautnya, mampukah kali ini Delisha mengelak dari kematian? Untuk sekali lagi?

chap-preview
Pratinjau gratis
DP 01. Prolog
DARK PARADISE Memasuki season Dark Paradise. Delisha yang masih remaja berkenalan dengan tiga anak berkebangsaan India yang memiliki wujud sangat indah, gabungan malaikat dan makhluk astral agung. Keindahan wujud anak-anak itu bukan tanpa sebab. Ayah mereka seseorang yang sangat rahasia bergelar Mister D. Delisha tidak pernah bisa melihat wujud Mister D sehingga membuatnya sangat penasaran. Usaha penyelidikan Delisha ternyata membuka rahasia gelap Mister D yang berharga setara nyawanya. Hal itu membuat Mister D menuntut kompensasi yang tidak tanggung-tanggung pada ayah Delisha. Mister D ingin putri Richard Lee menikah dengannya setelah menginjak usia 18 tahun. Surga Kegelapan, itulah Mister D menyebut ruangan pertemuan mereka. Pria itu bisa melihat dan merasakan seluruh dirinya, sementara Delisha buta sama sekali kecuali indera lainnya yang menjadi ketagihan rasa Mister D. "You're mine, I'm yours, but you can't see me." Kau milikku, aku milikmu, tetapi kau tidak bisa melihatku. Berhadapan dengan malaikat mautnya, mampukah kali ini Delisha mengelak dari kematian? Untuk sekali lagi? *** Devdas membawa Akshay ke puncak Himalaya yang berhawa lebih hangat serta terang oleh sinar bulan. Devdas ingin menghajar habis-habisan Akshay. Ia mengempaskan jin itu berkali-kali ke bebatuan. "Kau pengkhianat! Kau menyebabkan istriku terbunuh. Bahkan jika kau mati, nyawamu tidak akan bisa membayarnya." "Uughh! Uhuk, uhukkh!" Akshay mengerang seraya memuntahkan darah. Nanar ia berucap, "Itu sudah takdir, Tuan. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan soal itu ...." Walaupun kepala Akshay berputar, Devdas tidak berhenti menyiksanya. Ia tendang d**a Akshay hingga terpental lalu membentur bukit dan lapisan salju berguguran. Akshay terkapar, segera ditarik Devdas lagi. Devdas cengkeram leher Akshay dan ia guncang-guncang tubuh jin itu sambil memukulinya. "Takdir katamu?! Kau bisa mencegahnya. Kau bisa memilih tidak membawanya pada Erion, tapi kau tetap melakukannya. Dan jangan mengajarkan padaku apa itu sumpah. Aku hidup karena aku bersumpah dan Delisha bisa hidup juga karena itu, jadi tidak ada sumpah yang menyebabkan kami mati!" Di antara menahan rasa sakit, Akshay berusaha berteriak, "tapi Anda yang menyebabkan Nyonya Delisha memenuhi takdirnya. Anda yang membuka pintu-pintu cakranya!" "Apa?" Seketika Devdas tercenung, seakan ia tak bertenaga lagi, ia lepaskan Akshay sehingga jin itu terbaring di salju. Devdas mundur selangkah. "Apa maksudmu?" lirihnya dengan pandangan nanar ke sekitarnya. "Bagaimana mungkin aku ...." Akshay susah payah berusaha duduk sambil bicara meringis kesakitan. "Sejak Anda hidup sebagai Imdad Hussain sang panglima, Anda mengasah kesaktian Chandni, ditambah cakra Maharana Rajputana, itu membuka keseluruhan kekuatan cakranya. Lalu ketika Anda bertemu dengannya lagi sebagai Delisha, Anda telah memulai lagi siklus metamorfosisnya. Anda tahu seekor kupu-kupu sangat indah, tetapi hidupnya tidak lama. Itulah dia Nyonya Delisha yang Anda kenal. Bukan cahaya kehidupan Anda yang surga rindukan, tetapi cahaya kehidupannya. Anda hanya katalis, karena itu jiwa Anda—Imdad dan Rajputana—tidak pernah mencapai surga!" Kepala Devdas terasa pusing tujuh keliling. Ia menuding dadanya sendiri. "Karena aku?" Devdas berjalan sempoyongan berputar bak orang mabuk. "Aku ... jadi aku ... seharusnya tidak bertemu dengannya? Seharusnya aku ... tidak mencintainya? Lalu ... bagaimana aku mesti hidup sedangkan aku abadi?" Devdas jatuh berlutut penuh sesal. Sekarang keabadian menjadi perangkap. Oohh ... karena surga tidak menginginkannya? Oohh .... sialan!! Devdas roboh terkapar sendiri di hamparan salju. "Huahahhaha ...." Ia tertawa terbahak-bahak, tetapi hatinya menangis. "Delisha-ji ... aku membunuhmu? Cintaku ... membunuhmu? Ahahaha ...." Lucu sekali dunia ini mempermainkannya. Devdas tertawa-tawa tidak karuan. "Delishaaaa!" teriaknya kesal, karena Delisha tidak menjawab pertanyaannya. Akshay merangkak tertatih-tatih mendekati Devdas. Ia berkata terengah-engah, "Tidak, Tuan ...." Devdas melirik mencemooh. "Apa maksudmu tidak? Apa kau mengerjaiku dengan teori bodohmu?" "Tidak, Tuan ... Sruup," jawab Akshay seraya menyeruput liur campur darah yang meleleh di bibirnya. "Lalu apa, hmm? Ayo cepat jelaskan padaku mumpung aku masih gila, karena setelah aku waras, aku akan membunuhmu, pengkhianat!" Akshay terseruduk di sisi Devdas. Wajahnya melekap ke salju dan rasanya sangat nyaman karena meredam nyeri cederanya. "Saya beritahu sebuah rahasia yang bahkan Raja Erion tidak tahu, Tuan." "Apa itu?" "Nyonya Delisha tidak pernah benar-benar mati." Devdas terpaku sesaat mencerna jawaban itu. Maknanya terlalu ambigu. Devdas tertawa gelak. "Ahahahhahah .... Jika maksudmu bahwa dia berada di bulan bersama Nigrum Mortem artinya ia masih hidup, ya, aku bisa menganggap demikian. Aku bisa merasakan cakranya dari sinar bulan. Tetapi aku tidak akan membodohi diri sendiri. Ia kristal sekarang, tentu saja ia mengandung radiasi cakra Delisha. Kau tahu artinya itu? Delisha di bulan adalah material abadi untuk keperluan pemujaan umat Erion." "Itu benar, tetapi bukan itu maksud saya, Tuan. Anda tentunya tahu kenapa Nyonya Delisha tidak pernah benar-benar mati?" Devdas meresah keras sambil menggaruk-garuk rambutnya. "Ahhh, Akshay! Jangan membuatku jadi tua bangka dalam sekejap. Aku bukan filsuf, jangan berkata bertele-tele padaku!" "Nyonya Delisha yang mati adalah copy-an yang dibuat Nyonya Kimberly." Seketika Devdas berubah menjadi Einstein. *** Einstein dalam artian pikiran Devdas menjadi tercerahkan. Kepingan-kepingan misteri terbuka untuknya dan kematian Delisha kali ini seolah berkah demi masa depannya. Namun, ia juga dibuat waswas. Benarkah semudah itu? Jika ia menemui Delisha lagi, bukankah ia akan memulai lagi siklus metamorfosisnya? Jika ia tidak salah mengingat cerita Delisha, ia telah diduplikat sekali saat masih balita. Peristiwa itu yang membuka indera keenamnya. Ia diduplikat yang kedua karena harus tinggal di masa kini bersamanya. Delisha tahu ada konsekuensi berat bagi Kimberly melakukan itu. Demikian, tidak mungkin Delisha diduplikat lagi dan lagi. Delisha yang saat ini berusia sepantaran Rani, kemungkinan besar adalah satu-satunya dan Devdas tidak ingin mengulang kesalahan yang sama kehilangan cinta dalam hidupnya. Tadinya ia bahagia, kemudian mendadak kehilangan semangat lagi. Devdas kembali terkapar di hamparan salju. Akshay mengujarinya lagi. "Semua tergantung keputusan Anda, Tuan, apakah Tuan mengulang siklus ini atau Tuan memulai jalan cerita yang baru. Lebih baik membuka lembaran baru, Tuan. Nyonya Delisha juga akan lebih bahagia." Tak disangka, Devdas memukulnya hingga jauh terpental dan bergulung-gulung lalu jatuh ke jurang. "Aaakhh!" Akshay mengerang nyaring sakit badannya remuk redam. Devdas bangkit lalu melesat ke tepi jurang. Di situ ia meneriaki Akshay. "Aku tidak akan mendengarkanmu lagi, Akshay! Meskipun kau memberitahuku soal duplikat Delisha, bukan berarti aku memaafkanmu. Kau telah mengkhianati kami sekali. Aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Aku ingin kau pergi dari rumahku dan bawa serta keluargamu. Aku tidak sudi melihatmu berkeliaran di sekitar aku dan anak-anakku!" Akshay tidak menyahut. Di sela bebatuan curam, ia merasakan kesakitan sebagimana ia memang pantas mendapatkannya. Devdas melesat meninggalkan tempat itu. Ia kembali ke India. Ia tiba di kediamannya saat subuh dan langit mulai terang oleh sinar mentari. Rumah itu sunyi senyap karena penghuninya tertidur pulas. Devdas ke ruang kerjanya untuk memeriksa berkas-berkas yang biasa dikulik Delisha. Berharap menemukan petunjuk apa yang harus dilakukannya. Devdas membuka-buka laci meja kerja. Qoy'an dan Qoysan yang kembali dari Kutub Selatan setelah memastikan jasad Delisha aman sesuai janji Erion, muncul dan menyelanya. "Tuan, Anda baru tiba dari mana? Apa yang terjadi?" "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Qoy'an, Qoysan. Jika Akshay datang nanti, awasi dia sampai meninggalkan rumahku. Ia dan keluarganya tidak akan tinggal di sini lagi." "Mengerti, Tuan!" Kedua jin itu lalu menghilang. Devdas menemukan jurnal Delisha dan ia letakkan buku itu di meja dengan tangan gemetaran. Sebelumnya, ia tidak peduli apa yang Delisha kerjakan atau tulis di buku itu. Dianggapnya itu hanya catatan harian seorang istri yang galau. Namun, sekarang melihat tulisan tangan Delisha serta apa yang dipikirkannya, Devdas merasa sangat kehilangan. Buku itu berisi catatan acak mengenai berbagai jenis makhluk halus atau makhluk jejadian yang ditemui Delisha langsung dan yang ditaklukkan olehnya, juga tentang jenis cakra serta tanaman-tanaman berkhasiat, ramuan-ramuan obat, dan sebagainya. Semakin ke dalam, catatan Delisha hanya soal sekolah anak-anak. Paling banyak catatan pesanan baju seragam mereka. Lalu beberapa lembar terakhir adalah soal penelusuran Thoriq Ali Hussain. Delisha menulis rencana mengunjungi makam Thoriq yang berada di pemakaman militer di Guwahati, India Selatan. Dahulu kawasan itu termasuk wilayah penguasaan Kerajaan Rajpur. Karena ia selalu sibuk, Delisha tidak pernah mengungkapkan hal itu. Devdas menghela napas merasakan penyesalan. Seharusnya ia lebih peduli. Seharusnya ia lebih banyak meluangkan waktu berpergian bersama. Devdas buka-buka lagi halaman jurnal itu, kemudian meresah kesal. "Sialan! Kenapa tidak ada satu pun mengenai duplikatmu, sayang?" Devdas tutup buku itu lalu menyimpannya dalam lemari besi bersama dokumen penting lain. Devdas melangkah cepat ke kamar tidur sambil membuka pakaiannya yang sangat kotor. Ia menggerutu, seperti kebiasaanya datang dari misi yang melelahkan. Ia buka pintu kamar sambil memanggil istrinya. "Sayang, aku ...." Lalu mematung di ambang pintu karena tersadar bahwa tidak ada Delisha di kamar itu. Tidak ada istri yang sibuk merapikan seprai lalu menyambutnya untuk mengumpulkan pakaian kotornya. Devdas nyaris meneteskan air mata lagi, akan tetapi ia merasa terenyuh melihat putra putrinya tidur lelap di ranjang itu. Aaryan, Chander, dan Rani tidur berdempetan di balik selimut yang sama. Devdas tersenyum haru. Ia bergerak hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang akan membangunkan ketiga anak itu. Ia silih pakaiannya dengan jubah mandi lalu mandi terlebih dahulu sebelum bergabung bersama anak-anak. Setelah membersihkan badan, Devdas mengenakan jubah tidurnya, perlahan-lahan berbaring di sisi Rani. Baru sekejap ia menjatuhkan kepalanya ke bantal, Rani terbangun dan menyapanya berbisik. "Papa Dev, Papa Raj, ke mana saja? Apa kalian mencari Delisha-ji?" Rani paham betul ayahnya tidak akan bisa hidup tanpa Delisha. Mata Devdas berkaca-kaca jika harus membahas hal itu. Devdas mengangguk saja. "Apa kalian menemukannya?" Devdas tidak ingin memberi harapan palsu pada anak-anaknya dan diri sendiri. Ia menggeleng. Rani mendekapnya berusaha menghiburnya. "Jangan sedih, Pa. Kami akan selalu menemani Papa." Devdas bersuara parau. "Terima kasih, jaan. Papa tahu, karena itu Papa pulang. Sekarang, kalian lah rumah Papa." Ia rangkul ketiga anaknya, lalu berusaha tidur walau sejenak. Mungkin setelah bangun ia akan menemukan jalan terbaik mengenai kehidupan selanjutnya dan mempersiapkan diri hidup tanpa Delisha, cinta sejatinya. *** Sepanjang siang, ayah dan anak-anaknya itu tidur lelap, sebagai bagian proses mereka memulihkan diri, secara fisik dan psikis. Sekolah tidak menjadi prioritas lagi, begitu juga pekerjaan lainnya. Sore hari, barulah mereka bangun tidur. Devdas menyibukkan diri di dapur menyiapkan makan malam untuk anak-anak dengan perasaan bingung. Stok makanan di kulkas sudah terlalu lama. Ia juga tidak tahu harus memasak apa. Aslinya, ia tidak bisa memasak. Ia hanya memanaskan masakan buatan istrinya. Vijay dan Sunil berusaha membantu, juga seorang lagi, Dokter Zaara alias Veer Prataph Singh. Dokter Zaara datang membawa makanan lezat yang dibelinya di restoran, sehingga Vijay dan Sunil tinggal memindahkannya ke piring untuk anak-anak makan. Devdas dan Dokter Zaara pindah ke ruang kerja untuk bicara lebih privat. Mereka duduk berhadapan di meja. "Aku dengar apa yang terjadi dari Vijay," ujar Dokter Zaara. "Aku turut berduka, Dev, tapi aku yakin ini bukan akhir segalanya. Delisha melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan misinya." "Begitulah," jawab Devdas dingin. Ia menyalakan sebatang rokok lalu mengisapnya. "Walaupun aku kira dia tidak akan mati karena ... kau tahu, kau sangat sakti. Aku rasa ada bagusnya kau tidak mengabari ayah mertuamu, karena aku saja akan marah jika suami anakku gagal melindunginya." Sebelum Devdas bicara lagi, pintu diketuk dari luar dan suara Maya terdengar. "Ini aku. Aku tahu kau ingin kami pergi dari sini. Aku hanya ingin berpamitan sebaik-baiknya." Agak segan Devdas menjawabnya. "Masuklah!" Maya membuka pintu dan masuk ke ruangan itu. "Aku tahu bagimu ini tidak penting, tetapi aku benar-benar berterima kasih atas segalanya, terutama pada Delisha. Ini hidup yang aneh, tetapi aku, Akshay, dan Prakash sebenarnya bahagia. Aku harap kau juga berbahagia. Aku berdoa agar kalian menemukan cara bersatu lagi, meskipun aku tidak menyukainya. Entah bagaimana, aku yakin selalu ada cara. Delisha selalu menemukan cara-cara yang tidak masuk akal, yang kita tidak pernah tahu sebelumnya bahwa itu bisa dilakukan. Aku tahu kau takut (kehilangan Delisha lagi) tetapi, menyenangkan melihat kau terpuruk. Sungguh. Kau tahu aku tidak bisa berdusta. Aku memang tidak suka kalian berpasangan. Selamat terpuruk, Devdas. Aku pergi. Selamat tinggal!" Maya lalu pergi tanpa menunggu jawaban Devdas. Devdas juga bergeming walaupun ia mendengar jelas ucapan Maya. Ia sedikit tersinggung, hanya saja ia tidak ingin menunda kepergian Maya sekeluarga, jadi ia biarkan saja. Dokter Zaara malah terperangah. Bukan karena ucapan tidak simpati Maya, melainkan mengenai peluang Delisha dan Devdas bersatu lagi. Delisha sudah mati, sedangkan Devdas manusia abadi. Bagaimana mereka bisa bersatu? Kecuali Devdas punya rencana. Dokter Zaara mencondongkan badan mendesis pada Devdas. "Apa kalian berencana menghidupkan Delisha kembali? Karena itu kalian tidak memakamkan jasadnya? Devdas, Imdad, please, menghidupkan orang yang sudah mati adalah pelanggaran hukum alam yang paling dilaknat. Jangan pernah melakukan itu, apa pun taruhannya!" "Aku tahu," sahut Devdas. "Apa yang dimaksud Maya tidak seperti yang kau pikirkan. Ini soal Delisha yang lain." "Apa? Maksudnya?" Devdas harus menarik napas dan membasahi bibir terlebih dahulu sebelum mengungkapkan rencananya. Ia raih kedua tangan Dokter Zaara dan menggenggamnya seraya berujar penuh harap. "Veer, kau berteman akrab dengan ayah Delisha 'kan? Karena itu aku ingin kau membicarakan sesuatu pada Tuan Richard Lee." Kening Dokter Zaara mengeryit dalam. "Maksudmu?" "Putri Richard Lee, Delisha saat ini ... lamarkan dia untukku." "Apa?!" Dokter Zaara terjengkit dan menarik tangannya. "Kau gila, Imdad. Dia ... dia ... masih ... anak-anak!" Devdas bangkit dari kursinya lalu berjalan mondar-mandir di tengah ruangan. "Aku tahu dan aku juga tidak akan menemuinya. Bahkan aku tidak akan menyentuhnya. Ia bahkan tidak perlu mengenalku. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia tidak menjadi milik orang lain. Dia tidak boleh jatuh cinta pada siapa pun. Dia harus tahu bahwa dia sudah ada yang punya, yaitu aku." Ia lalu diam menatap lekat Dokter Zaara, menunggu jawabannya. "Tapi kau ... tidak akan menemuinya? Maksudmu bagaimana? Menunggu sampai dia dewasa?" "Sampai selamanya." Dokter Zaara semakin terperangah. "Devdas ... Imdad ... kalian ... tolonglah, cari perempuan lain saja." Ia bergegas meninggalkan ruangan. Devdas mengiringinya. "Senior Veer, please .... Bantu aku. Aku tidak mau gadis lain. Harus Delisha!" Dokter Zaara menggerutu, "Kalian membuatku dalam masalah, tahu? Kalian jadikan apa anak gadis orang? Dan Richard Lee bukan orang yang bisa kalian tundukkan, apalagi menyangkut kehidupan putrinya. Kecuali Delisha menjadi biarawati mungkin, tetapi aku ragu demikian adanya. Justru aku khawatir kau yang tidak bisa menahan diri!" "Aarghh!" Devdas menjambak wajahnya sendiri. "Tolonglah, Veer, aku tidak bisa hidup galau seperti ini." Dokter Zaara diambang pintu depan hendak pergi dari rumah itu. Ia berbalik menghadap Devdas lalu menudingnya. "Jika kau tahu cintamu akan membunuhnya, bukankah lebih baik hentikan perasaan itu? Gunakan logikamu. Lambat laun dia akan menua dan mati, lalu apa yang akan kau lakukan sesudahnya? Melakukan hal terekstrim agar ia hidup lagi? Tidak semua manusia ingin hidup abadi, Dev. Aku salah satunya dan aku yakin Delisha juga. Kau tahu, mungkin ini cara Delisha untuk memutuskanmu. Pernah terpikir demikian? Selamat berpikir. Aku pergi. Bye!" Dokter Zaara bergegas ke mobilnya dan pergi secepatnya dari kediaman itu. Devdas mematung dengan hati hampa. Bahkan Veer, mentornya, tidak mendukungnya. Lalu ia harus bagaimana? Di belakang Devdas, hadir Qoy'an dan Qoysan. Mereka melapor, "Tuan, Akhsay dan keluarganya sudah pergi." Devdas bergeming. Qoy'an melanjutkan, "tetapi, Akshay menitipkan pesan untuk Tuanku." Devdas menggerutu. "Pesan apa lagi?" "Fighting, katanya." "Cih!" Orang yang mendukungnya justru orang yang menginginkan kematian Delisha. Devdas merasa betapa hipokritnya dunia ini. Devdas menarik napas dalam-dalam. Anak-anak, batinnya. Ia harus berpikiran waras demi mereka. Ia ke ruang makan di mana ketiga anaknya masih berkumpul di sana menikmati nasi kari. Namun, alangkah terkejutnya Devdas menyaksikan Aaryan, Chander, dan Rani malah menangis sambil makan. "Anak-anak, kalian kenapa?" "Hu hu huuuu. Makanannya tidak selezat buatan Mama. Hu hu huuu, kami mau masakan Mama ...." Devdas jadi kelu, menarik napas dalam-dalam agar ia tidak emosi lalu mengomel. Anak-anak tahu sekarang betapa pentingnya kehadiran ibu mereka. Devdas berusaha menenangkan mereka. Ia usap kepala anak-anak itu. "Sudah, sudah, jangan menangis. Habiskan dulu makanan yang ada, setelahnya kita pikirkan bagaimana sebaiknya kita menghadapi semua itu tanpa ibu kalian." Anak-anak itu pun berusaha menghabiskan nasi mereka yang terasa sangat sukar ditelan. Devdas turut makan demi mendukung anak-anaknya, padahal ia sendiri pun merasakan sakit hati pada setiap kunyahannya. Tidak pernah diduganya, hidup berumah tangga tanpa istri lebih sukar daripada menghadapi siluman di luar sana. *** Bersambung... Follow my instagrm Sisilianovel

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
10.7K
bc

Delivery Love (Indonesia)

read
950.9K
bc

The King's Slave (Indonesia)

read
190.1K
bc

Bercumbu dengan Bayangan

read
22.0K
bc

Selir Ahli Racun

read
9.2K
bc

WANITA UNTUK MANUSIA BUAS

read
7.1K
bc

WHEN CUPID MEET KING OF DEVIL

read
8.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook