Kata orang, semakin dalam perasaan kita terhadap seseorang, maka orang tersebut akan semakin merasakan kehadiran kita. Tidak peduli seberapa jauh jarak atau seberapa sering bertemu dan berbicara. Kadang kala, wujudnya tak ada, tetapi kehadirannya sangat dekat terasa. Begitulah. Terutama pada orang yang sedang bucin.
Delisha menolak mengatakan dirinya bucin, karena ia tidak merasa cinta atau punya rasa pada pria itu. Hanya saja sepanjang malam ia merasa gundah, terbayang pernah menikah kemudian pria itu hadir kembali sebagai tunangannya. Itu seperti kisah rekayasa dari seorang pria yang punya obsesi berlebihan padanya sejak lama.
Bukankah pria-pria seperti itu punya fetish terpendam? Mister D pria kaya raya, punya kekuatan super, memanipulasi pikiran, dan sebagainya. Dengan sekali jentikan jari, pria itu bisa mewujudkan apa pun keinginannya. Jangan-jangan ayahnya selama ini diracuni pikirannya oleh Mister D, karena itu ngotot menunangkannya dengan Mister D. Jika ia mengadukan perbuatan Mister D sebagai pelecehan pun hasilnya percuma. Cincin pertunangan tidak bisa dilepaskan dari jarinya meskipun ia mencoba dengan beragam cara, padahal cincinnya tidak kekecilan atau jarinya menjadi jempol semua. Cincin itu seolah memiliki kekuatan seperti pemiliknya. Persisten.
Delisha jadi berpikir jangan-jangan cincin itu penyebab ia tidak bisa melupakan sentuhan bahkan suara Mister D. Hiii, ilmu pelet yang mengerikan.
Hal itu membuat Delisha jadi pendiam semenjak bagun tidur pagi. Ia pergi ke rumah kaca mengurus tanaman di situ seperti kegiatan biasa, akan tetapi, kali ini ia memandang tanaman hadiah Mister D —tanaman hias hoya— dengan cara pandang yang berbeda. Tanaman itu sudah beranak pinak menjadi beberapa pot dan bunganya juga sangat indah serta terjadi perbedaan warna antar anakan satu dan yang lainnya karena hasil persilangan spesies. Tapi bukan spesies itu yang akan kita bahas, melainkan Delisha jadi terpikir Mister D menghadiahinya tanaman itu karena kesukaan mendiang istrinya.
Mungkin sejak lama sebenarnya hatinya menerima Mister D, hanya saja karena masih terlalu muda sehingga menganggap pernikahan adalah hal yang tidak masuk akal. Jika lamaran itu terjadi di saat ia sudah berumur, mungkin 30-an atau lebih dan takut jadi perawan tua, mungkin ia akan sangat senang mendapat lamaran dari pria kaya raya, duda, dan berumur tua.
Ah, Mister D, Anda mengajukan lamaran di saat yang tidak tepat. Aku masih ingin pacaran, Anda tahu? Aku ingin memiliki KTP dan menunjukkannya ke penjaga pintu masuk klab atau bartender. Aku ingin ke diskotik dan berpesta. Aku ingin mabuk dan merokok. Merayakan sweet seventeen bersama teman-temanku, memiliki SIM, dan mengikuti Pemilu, mengemudi mobil pertamaku, menjadi ratu di prom night, fotoku terpajang di buku tahunan dan melampirkan beberapa prestasi yang kuraih. Aku tidak mau masa SMA-ku diisi hamil dan menyusui bayi.
Suara menyalak Siberian membuyarkan konsentrasi Delisha. Anjing itu sepertinya kelaparan karena belum diberi makan juga, sementara Delisha keasyikan mengurus tanamannya. "Tunggu sebentar, Sibe. Aku akan selesai semenit lagi." Delisha membereskan sisa tanah humus ke dalam pot bunga yang baru diisinya.
Usai bercocok tanam, Delisha merapikan peralatan berkebunnya, melepas sarung tangan lalu mencuci tangannya sebelum meninggalkan rumah kaca. Ia ke flat dan langsung menuju dapur untuk mengambilkan makan Siberian. Di ruang makan, ayahnya duduk membaca berita di ponsel sambil menyeruput secangkir kopi hitam.
Delisha agak sungkan mendapati ayahnya ada di rumah dalam suasana sesantai itu. Setelah sekian lama perang dingin, Delisha jadi merasa bersalah pada ayahnya, apalagi dilihatnya pria itu semakin tua. Ayahnya bertahan sebagai bujangan karena ingin membesarkannya dengan sungguh-sungguh, tidak ingin terbagi perhatian dengan perempuan lain atau anak yang akan dihasilkan dari pernikahan itu. Sepeduli itu ayahnya padanya, tetapi semakin dewasa, ia malah semakin tidak tahu diri. Mungkin, yang dipikirkan ayahnya adalah sosok Mister D mapan, sakti, dan tahu betul bagaimana dirinya sehingga ia percaya pada pria itu. Ayahnya memikirkan yang terbaik untuknya.
{Jika Sisil tidak salah hitung ya, ini tahun 2027, umur Richard sekitar 43-45 tahun, Delisha 16 tahun. 2034 adalah tahun Delisha ke masa lalu, yaitu pada saat usianya 23/24 tahun. Kalau gak percaya kalian hitung sendiri yah, wkkwkw. Atau baca lagi Play In Darkness 1 dari awal juga gak papa. hehehe}
Sebentar lagi ia akan berusia 17 tahun. Delisha jadi semakin memaknai hidupnya. Jatuh cinta dan putus cinta sudah ia rasakan. Dikucilkan dan mengalami depresi sudah jadi bagian hidup. Itu memberinya pelajaran berharga bahwa yang akan senantiasa mendampinginya hingga akhir adalah keluarga. Dan kebetulan, satu-satunya kerabat bertalian darah dengannya hanyalah ayahnya.
Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayah mereka. Mungkin itu benar adanya, karena jika ia ingin punya suami kelak, ia ingin pria itu seperti ayahnya, cara menyayangi dan memberi perhatian. Melihat ayahnya, jadi membuat Delisha terbayang sosok Mister D bisa jadi kurang lebih seperti ayahnya. Tuanya. Mulai keriput, terlihat lelah, tetapi juga terlihat memesona karena ia pria yang cukup atletis dan berkarakter.
Selesai menuangkan makanan untuk Siberian, Delisha mengambil kopi dari teko pemanas untuk dirinya sendiri. Ia duduk berseberangan dengan Richard, menyesap kopinya pelan-pelan, sembari mencuri pandang pada sang ayah, menunggu reaksi dari pria itu untuk memulai percakapan.
Richard Lee tidak perlu menatap langsung untuk mengetahui gelagat tidak biasa putrinya. Jika tidak, jangan sebut ia pengintai pionir. "Bicaralah. Daddy tahu kau sudah menunggu-nunggu," gumamnya.
Delisha tersipu-sipu. Ayahnya yang bijaksana, selama ini bisa saja bersikap keras padanya, tetapi masih memiliki kesabaran menghadapi kelakuan labilnya. "Dad, selama ini Daddy menutupi identitas Mister D, bukan? Karena itu aku tidak bisa menemukan hasil pencarian apa pun tentang dirinya."
Richard meletakkan cangkirnya lalu menghela napas dan mulai menatap putrinya. "Benar," pengakuannya. "Daddy harus melakukannya karena ia memang orang berpengaruh dan penting bagi Xin Corp, ia juga punya kehidupan sebagai non-human, itu kehidupan yang sama yang kau miliki saat hidup bersamanya. Dirimu yang dari masa depan dikirim untuk mengerjakan sebuah misi berkenaan dengan global warming. Misi itu selesai, maka kami menghapus data dirinya sekaligus menghapus juga data dirimu yang lain. Selain itu, kami memutuskan melakukan itu agar kau tidak mendapatkan informasi yang berlebihan dari internet."
Information Overload atau Informasi yang berlebihan (juga dikenal sebagai infobesitas, intoksikasi, kecemasan informasi, dan ledakan informasi) adalah kesulitan dalam memahami suatu masalah ketika seseorang memiliki terlalu banyak informasi (Too Much Information (TMI)) tentang masalah tersebut, sehingga jadi bingung sendiri, akibatnya reaksiespons/keputusan yang diambil sangat buruk. Hal ini banyak terjadi di masa sekarang di mana jumlah informasi harian yang berlebihan serta sumber yang tidak jelas dan dikemas dengan kata-kata ambigu yang menggiring opini atau memprovokasi.
"Selain itu, kami berusaha agar kau tidak menjadi Delisha yang 'itu'. Kami membuat keputusan ini bukan karena satu kejadian saja, tetapi ini telah melalui rantai kehidupan yang panjang. Aku tidak bisa menjelaskannya karena aku bukan pihak first person. Mister D yang mengalaminya langsung, karena itu aku percaya semua keputusannya menyangkut dirimu. Aku bisa saja bersikap skeptis, tetapi ada kalanya aku harus pasrah dan menghadapi ini selogis mungkin. Aku telah mempelajari bahwa kehidupan alam lain itu ada, dan aku menghormatinya. Tiap orang punya jalan hidup berbeda, tetapi juga kehidupan itu saling bersinggungan. Aku skeptis, tetapi putriku ternyata hidup berurusan dengan hal-hal gaib. Aku rasa itulah keseimbangan yang dibuat alam semesta."
"Jadi ... benar bahwa aku pernah menikah dengannya? Mister D?"
"Uhm." Richard mengangguk.
Delisha menarik napas dalam-dalam. Rasanya terlalu luar biasa. Jika orang bertanya-tanya di mana jodohku, apakah orang ini jodohku, apakah aku punya jodoh atau tidak, ia sudah ditunjukkan siapa jodohnya. Delisha segan-segan bertanya lagi pada ayahnya. "Bisakah aku tahu nama aslinya, Dad?" Dia tersenyum kikuk, tidak yakin akan mendapatkan jawabannya dan ternyata benar.
"Tidak," jawab Richard tegas. Karena jika dicari di gooogel nama Devdas, yang muncul wajah artis top Bollywood itu, yang sudah tua, 50 tahunan lebih, tapi masih main film bareng aktris-aktris muda. Nanti Delisha salah kaprah.
Delisha langsung merengek. "Ooh, Daddy ... Please, Daddy, please ...."
"Tidak. Pokoknya tidak." Richard memutar badannya menghindari tatapan Delisha.
"Tapi kenapa?" desak gadis itu.
"Sama seperti kau tidak boleh melihat wajahnya."
Delisha merengut. "Uuhh, Daddy.... Itu alasan yang sangat konyol!"
Richard angkat bahu. "Jangan paksa Daddy, sayang. Aku bahkan tidak bisa menalar bagaimana kerja penglihatanmu sehingga bisa melihat makhluk tak kasat mata. Kau terlihat lebih konyol lagi karena berbicara dengan makhluk yang tak terlihat."
Delisha mencengkeram kepalanya sendiri. "Aaahh, Daddy mengingatkanku! Orang-orang akan menuduh aku gila jika punya kekasih tak berwujud."
"Sudahlah Delly, jangan terlalu dipikirkan hal itu. Kau tahu, semakin tahun ke tahun, manusia semakin berkelakuan aneh. Mereka akan melakukan hal-hal yang lebih gila lagi agar mendapatkan perhatian dunia. Kau akan aman-aman saja asalkan tidak mengekspose kehidupan pribadimu."
Delisha jadi manyun. "Perkataan Daddy benar juga, tapi ... Jadi aku tidak bisa pamer kalau aku punya tunangan? Betapa menyiksanya hal itu."
"Eh? Aku kira kau bakalan malu jika punya tunangan tua bangka. Jika aku tidak salah, usia Mister D mencapai 250 tahun, mungkin lebih."
"Whoaaat???" Delisha langsung puyeng. "Oh my god, Dad! Apakah itu artinya aku akan menikahi fosil? Atau apa? Benda pusaka? Relik?"
Richard juga pusing bagaimana menjelaskannya. Mengatakan Devdas terlihat masih muda dan sangat tampan akan membuat putrinya sang€, jadi ia diam saja. Sebagai pria, Richard merasa terintimidasi jika harus menyatakan bahwa ia mengakui ketampanan Devdas.
Delisha berusaha menata semua potongan kisah yang diperolehnya. Pelipisnya mengernyit dalam. "Jadi, Dad ... jika aku dikirim karena melaksanakan misi, kenapa aku tidak ditarik kembali ke masa depan?"
Di situ Richard mulai merasa berat hati. "Karena kau hamil," katanya dingin. Itu mengubah segalanya tatanan hidup Delisha.
"Aku hamil?" ucap Delisha lirih. Imajinasinya jadi liar. Jadi ... Aku benar-benar hamil? Jadi, aku dan Mister D melakukan ... itu? Wow. Begituan dengan pria yang punya sayap, itu, dan segalanya? WOW!
Richard melihat putrinya sedang berangan-angan itu, ia mengetuk-ngetuk dahinya sendiri. Ah, beginilah rupanya kerepotan seorang ayah dengan putri yang beranjak dewasa. Bagaimana cara mengedukasi seksualitas mereka? Amit-amit jadi ayah yang mencabuli putri sendiri.
"Jangan mengkhayal terlalu jauh, Delly. Aku tahu kau pasti penasaran, kau pasti ingin tahu dan mencobanya, tetapi perlu kau ingat, Daddy tidak ingin kau melakukannya sebelum kau berusia minimal 18 tahun, dan kau harus mengerti konsekuensinya seperti kehamilan, risiko penyakit menular, serta kau memahami penggunaan alat kontrasepsi. Aku tidak paham soal ini secara mendalam, tetapi jika kau butuh penjelasan mengenai reproduksi, Daddy akan mengajakmu ke spesialis obgyn. Aku kenal seseorang ...."
Richard tercenung karena teringat Dokter Zaara alias Veer Prataph Singh, rekannya. Dalam benaknya merutuk, Aduh, bagaimana mungkin aku menyuruh temanku sendiri mengamati alat kelamin anak perempuanku? Aaaahhh, sialan!
Sedetik kemudian Richard teringat dokter kepercayaan Kimberly dan Xander, yaitu dokter yang juga memeriksa Delisha pertama kali ketika Kimberly menemukannya. Dokter Anna.
"Dokter Anna. Ia bisa diajak berkonsultasi jika kau ingin," lanjut Richard.
Setelah kejadian semalam, Delisha merasa perlu membicarakannya dengan seseorang. Saran ayahnya terdengar sangat tepat. "Ya, Dad. Aku ingin bicara dengannya."
"Bagus. Akan aku telepon dia untuk janji temu denganmu. Konsultasilah dengan dia sepuas-puasnya. Itu akan jadi rahasia antara dokter dan pasiennya. Aku tidak akan ikut campur, aku janji."
Delisha bergegas memeluk ayahnya dengan perasaan lega. "Thanks, Dad! Aku senang sekali aku punya ayah sehebat kau, Dad. Ini sebuah berkah. Maafkan aku selama ini sangat keras kepala, Dad."
"It's okay, Baby. Aku juga minta maaf. Aku bukan orang tua yang sempurna, tetapi aku berusaha yang terbaik menjadi ayahmu, temanmu, segala yang kau butuhkan."
Delisha menangis tersedu-sedu. "Kenapa aku pernah berucap sangat membencimu? Dad ... aku benar-benar ... maafkan aku ...."
Mata Richard bekaca-kaca, tetapi ia tidak ingin menangis karena ia kebanggan sang putri. Ia menghela napas dalam dan memberikan usapan hangat di punggung Delisha. "Tidak apa-apa, sayang. Tidak apa-apa... Kita punya hubungan yang panjang, pastinya akan ada pasang surut. Daddy lega kita bisa melaluinya sampai tahap ini dan Daddy harap bisa terus menerus seperti ini, melihatmu dewasa, menikah, dan berbahagia. Aku rasa impian terhebat seorang pria adalah mengantarkan putrinya meraih semua kebahagian yang dicita-citakannya."
"Aaah, Daddy ... jangan buat aku makin menangis .... Aku juga ingin Daddy bahagia bersama seseorang dalam hidup Daddy. Sedih rasanya melihat Daddy sendirian ...."
Richard melepaskan pelukannya dan bergegas mengusap air mata Delisha agar ia segera berhenti menangis. "Hussh, hussh. Sudah, jangan menangis, Baby. Inilah rumitnya dirimu, kau selalu memikirkan orang lain lebih dari dirimu sendiri." Richard rapikan rambut Delisha sehingga ia bisa menatap saksama wajah putrinya. Ia membatin, mungkin itulah sebabnya orang baik mati muda. Dunia terlalu kejam, sehingga surga lebih baik untuk mereka.
Delisha terisak sambil mengusap sudut-sudut matanya dengan punggung tangan. "Kenapa, Dad? Kenapa melihatku seperti itu?"
Richard tersentak lalu lekas tersenyum. "Tidak ada apa-apa, hanya tersadar rupanya gadis Daddy tambah dewasa dan semakin manis. Pantas saja Mister D bersikeras menaurimu sejak kau kecil. Aku tidak akan melepas putriku pada sembarang orang, itu janjiku pada diriku sendiri. Ini kolot, aku menjodohkanmu seperti orang tua di zaman dulu, tetapi aku benar-benar berharap, 100 persen yakin, ini yang terbaik."
"Sungguh, Dad? Tadinya aku berharap Daddy ragu sedikit saja pada Mister D. Ia sangat me.sum, Dad," kata Delisha agak berbisik.
Muka Richard merah padam, tetapi ia berusaha mendinginkan emosinya. Ia tarik napas lagi dalam-dalam. "Ingat kata Daddy, sebelum 18 tahun, tidak boleh ada inter.course. Mister D tahu itu dan ia tidak boleh melanggar janji yang telah dibuatnya."
"Oh ya?" Delisha sangat senang mendengarnya. Mister D rupanya super serius dengannya meskipun ia masih anak tanggung begini. Aah, pantas saja dia dilempar keluar kamar kemarin itu. Delisha mangut-mangut. Mungkin dengan begitu ia bisa mengolok-olok Mister D. Hmm, biar pria itu tahu rasa!
Delisha kemudian berujar penuh semangat. "Dad, mumpung libur dan Daddy juga tidak ada kesibukan, bagaimana kalau kita pergi main skating? Sudah lama kita tidak jalan bareng."
"Sepertinya ide bagus. Oke, ayo kita pergi!"
Ayah dan anak itu pun lalu bepergian berduaan bermain skating di wahana es.
Di lain tempat, Devdas juga sedang bersenang-senang bersama anak-anaknya. Bukan hanya ia yang melepas rindu pada Delisha, sesekali Rani, Aaryan, dan Chander dibawa berkunjung ke istana Erion untuk berinteraksi dengan ibu mereka. Devdas tentu saja tidak memberitahu mereka apa yang dilakukannya dengan replika-replika Delisha. Jika ada anak-anak, ia tidak akan bermain dengan para replika itu. Ia akan berperan sebagai ayah yang baik. Di belakang anak-anak, Erion mencibir Devdas atas kemunafikan pria itu.
Devdas merangkul Erion dan membisikinya, "Hei, please yaar, ini rahasia kita sesama pria, kau tahu? Bro-code. Ada hal-hal yang memang tidak boleh diketahui anak-anak karena batasan usia mereka. Kau paham?"
"Huh!" Erion membuang muka.
"Bro-code itu apa, Pa?" celetuk Aaryan yang tiba-tiba ada di belakang kedua pria itu.
Devdas buru-buru berkilah salah tingkah. "Aah, itu hal-hal yang biasa dibicarakan para bapak-bapak, Nak. Seperti main catur sambil minum kopi, atau janji main sepakbola, cricket, atau badminton ..."
"Ooh, olah raga?"
"Ya, ya, olah raga, betul sekali, Aaryan."
Devdas bisa bernapas lega, akan tetapi tidak lama karena Chander menatapnya menyelidik. "Buat apa, raja jin Erion main catur, minum kopi, main sepakbola, cricket, dan badminton?"
Devdas termangap. Erion menyikutnya seraya menyengir dan alisnya terangkat-angkat. Anakmu tuh!
Untungnya, Delisha mengalihkan perhatian anak-anak itu. "Aaryan, Chander, kemari!"
Kedua bocah itu bergegas mendatangi sosok ibu mereka. Delisha mengajak mereka duduk di tepi kolam, bersama Rani juga. "Lihat apa yang bisa Mama buat," katanya. Delisha menyatukan kedua telapak tangannya, kemudian ia membukanya dan beberapa ekor kupu-kupu bercahaya kekuningan terbang melayang.
Ketiga anak itu berseru takjub. "Wuaaah, Mama membuatnya dari cakra Mama?"
Delisha mengangguk dan tersenyum manis. Dia lalu mengajarkan teknik-teknik penggunaan cakra yang diketahuinya, seperti untuk untuk mengobati, clairvoyant, maupun berpindah dimensi.
Di sudut lain, Devdas dan Erion memandangi mereka dari jauh. Devdas terpana karena takjub pada kesempurnaan wujud Delisha tersebut hingga ia berpikir jangan-jangan Erion mengibulinya soal Delisha sudah mati dan ikut bersama Nigrum Mortem hanya pengalihan. Ia bergumam, "Katakan padaku, kenapa dia bisa begitu hidup? Bukankah ia benar -benar sudah mati?"
"Karena kau bertanya, maka aku akan menjelaskannya padamu. Dia meninggalkan satu titik cakra dalam tubuhnya yang terletak di jantung. Aku tidak mengerti kenapa itu bisa ada, tetapi cakra itulah yang membuat AI Delisha sangat interaktif, seolah ia menyimpan seluruh memorinya di sana dan berpikir sendiri. Seluruh udara dalam istana ini memberikan cakra. Ia bisa memiliki cakra tanpa batas, meskipun bukan cakranya yang sempurna. Aku hanya memberi power up pada cakra itu. Lain hal jika dia keluar dari istana ini, maka aku harus menyalurkan energi penuh padanya."
"Oh, begitu," sahut Devdas singkat. Ia berpikir dalam, kemungkinan cakra itu berasal emblem The Lady yang diincar Gea. Tidak mengherankan Nyonya Kimberly menyerahkan emblem itu pada Delisha. Usaha wanita itu melindungi Delisha rupanya tidak main-main.
"Sangat menyenangkan memiliki istrimu di sini. Aku punya banyak bahan untuk dipelajari," lanjut Erion lalu ia terkekeh sehingga Devdas melirik tajam padanya.
Mengingat Erion perjaka ratusan tahun dan masih ingin menyempurnakan ilmunya, Devdas tidak jadi menuduhnya main serong dengan jasad istrinya.
Setelah cukup lama anak-anak bersama ibu mereka, Erion mengajak ketiganya tour keliling istananya serta mengamati jarak dekat bulan yang menjadi tempat menetap kristal Nigrum Mortem. Sementara itu, Devdas berbicara berduaan dengan Delisha.
Ia bersandar di kaki Delisha yang duduk di tepian kolam. Kepalanya nyaman di pangkuan Delisha dan merasakan belaian lembutnya. "Katakan padaku, jaan, kenapa kau memilih meninggalkanku?" tanya Devdas sendu.
Delisha mendesah. "Kalian masih memikirkan itu? Ya ampun.... Dev, Raj, kalian sudah bertemu Delisha kecil, bukan?"
"Iya."
"Nah, dengan dia kumohon, jangan sampai ingatan masa lalunya terbuka. Kematian Imdad sangat menghancurkan jiwaku, aku tidak ingin ia mengalami hal itu."
"Jadi, kematian kali ini adalah penebusan rasa bersalahmu pada Imdad?"
"Itu sebenarnya rasa terima kasih. Balas budiku pada Nigrum Mortem. Ia telah memberimu kekuatan, ia juga menjaga jiwa kalian tetap hidup, ia ... melakukan banyak hal. Ia meneruskan kekuatannya pada Aaryan dan Chander. Kau tahu pepatah 'there's no thing such a free lunch'. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Akan selalu ada timbal balik atas apa yang kita dapatkan. Kau akan tahu setelah kau tahu."
Devdas mendesah panjang lalu menggerutu, "Tidak bisakah aku tahu segalanya lebih dulu? Seperti kapan kamu mati dan bagaimana caranya, supaya aku bisa mengatasinya lebih dulu sebelum kejadian?"
Delisha tertawa kecil. "Seolah aku bisa tahu apa yang akan terjadi pada Imdad?"
Devdas terdiam membisu. Delisha bicara lagi. "Mereka bilang, kau pintar, Kami lebih pintar. Kau pikir kau tahu, Kami lebih tahu daripada apa-apa yang kau ketahui. Apakah kita bertanding, ataukah kita hanya menjalani hal yang sudah ditentukan, kita tidak pernah tahu. Kita hanya bisa berdoa dan berusaha, hasil akhirnya tergantung yang di atas."
"Maksudmu Zourdan?"
"Bahkan di atas Zourdan masih ada kewenangan yang lebih tinggi. Mari kita berpikir yang terbaik, berprasangka baik, dan melakukan yang terbaik. Zourdan bukan seseorang yang harus ditakuti, aku rasa, tetapi dia harus dirayu."
Devdas langsung memble. Merayu si paling PALING itu? Beh, amit-amit!
***
Bersambung...