Setelah mengetahui Mister D berjanji tidak akan menyanggamainya kecuali setelah ia berumur 18 tahun, Delisha punya niat menjahili pria itu. Karena ia tidak tahu kapan dan bagaimana Mister D muncul, Delisha bertingkah random saja. Ia akan menerima ajakan jalan anak lelaki yang mendekatinya. Satu orang yang mudah dimanfaatkannya adalah Keanu. Mereka pergi kencan makan es krim, nonton film, jalan-jalan di taman dan mall sambil berpegangan tangan, bahkan sambil menggunjingkan Mister D.
"Jadi, ia tidak keberatan dengan semua ini?" tanya Keanu yang keheranan karena selama beberapa hari bersama Delisha, mereka tidak mengalami gangguan apa pun.
Delisha angkat bahu. "Sepertinya. Ia pria berumur dan super sibuk, bahkan waktu untuk anak-anaknya saja jarang, apalagi menguntit aku. Iya 'kan? Aku rasa ia mulai bosan karena tahu betapa kekanak-kanakannya aku."
"Hmm, entahlah, Delisha. Pria tetaplah pria. Mereka akan selalu tertarik pada gadis muda. Justru sifat kekanak-kanakan itu yang membuat mereka tertarik."
Delisha jadi mengernyitkan keningnya. "Begitukah? Kelakuanku lebih sembrono daripada putrinya. Kau pikir ia masih akan tertarik padaku?"
Keanu punya ide untuk menjawab pertanyaan Delisha. "Bagaimana kalau kita berciuman? Jika Mister D benar-benar mengawasimu dan ia sangat mencintaimu, ia pasti melakukan sesuatu jika ada pria lain menyentuh gadisnya."
"Benarkah?" Wajah Delisha langsung berbinar. Usul itu terdengar sangat menantang dan patut dicoba.
Jadi, kedua remaja itu duduk di bangku taman. Di bawah teduhan pohon dan angin semilir, mereka pun berciuman. Delisha semakin ahli berciuman sehingga ia tidak kikuk sama sekali saat melakukannya. Setelah beberapa menit saling mengecup, ciuman itu terhenti karena Delisha merasa ada sesuatu yang hilang.
"Aneh sekali. Tidak ada apa pun yang terjadi," gumamnya sambil melihat ke sekeliling taman, kalau-kalau ada penampakan Mister D atau aromanya atau salah satu anak buahnya, akan tetapi benar-benar tidak ada apa pun yang menandakan kehadiran Mister D. Itu benar-benar mengecewakan bagi Delisha.
Sementara Keanu tertunduk di pundak Delisha, berusaha meredam berahinya. "Delly, ini benar-benar berat untukku," katanya seraya mengangkat wajah dan menatap lekat gadis itu. "Semakin kita melakukan ini, perasaanku padamu bertambah kuat. Yang aku khawatirkan, Mister D mungkin melihat ini dan memutuskan membiarkannya agar ia punya alasan kemarahan yang lebih besar lalu ia akan membatasi seluruh kegiatanmu, bahkan mungkin menjadikanmu home schooling."
Delisha tercenung. Ia ingat Mister D pernah berucap demikian dan bisa jadi sedang menyusun rencana melakukan itu. Ia pria berpengalaman, tentu tahu taktik menghadapi orang, apalagi bocah ingusan seperti dirinya. Delisha buru-buru berdiri terperanjat. "Astaga! Kau benar sekali, Keanu! Aku rasa ia memang memasang jebakan untukku. Apa yang harus kita lakukan?"
"Bukan kita, tetapi kamu. Ini semua tergantung padamu. Sebaiknya kau pulang dan coba cari tahu keberadaan Mister D. Kau bisa menelepon Rani atau adik-adiknya dan berlagak mengobrol biasa saja."
"Oh ya?"
"Kalau semuanya baik-baik saja, berarti kau aman."
Delisha merengut. "Huh, setelah kukira semuanya berjalan sesuai rencanaku, sekarang malah tambah repot. Aku merasa tidak enak bicara pada Rani."
"Hm? Kenapa? Aku kira kalian teman akrab."
Teman akrab macam apa yang bercum.bu dengan ayah mereka? "Oh, aku ... lama tidak bicara dengannya. Kami jarang bertemu," jawab Delisha sekenanya.
Mereka lalu pulang dan berpisah jalan. Delisha kembali ke rumahnya lalu rebahan di kamar sambil memegangi ponsel untuk beberapa saat. Ia bingung harus berkata apa pada Rani. Siberian bersungut di sisinya, turut merasakan keraguan tuannya. Akhirnya, ia nekat menelepon nomor Rani, akan tetapi ditunggu beberapa kali nada dering, tidak ada jawaban, begitu pula nomor si kembar. Delisha lalu menutup ponselnya. Ia bingung, akan tetapi merasa lega. Mister D sekeluarga mungkin sedang bepergian. Setidaknya ia sudah mencoba menghubungi, walaupun momennya tidak tepat.
Devdas dan anak-anaknya sedang berada di istana Erion. Dari pembicaraan dengan Delisha, ia diharapkan bertemu dengan Zourdan, akan tetapi, bagaimana caranya menghubungi malaikat itu? Xelios saja tidak tahu caranya, karena itu ia mengincar Delisha. Devdas lalu bertanya pada Delisha yang ada di sisinya. "Lalu, bagaimana caranya bertemu Zourdan, jaan? Jika ia memantau kita, aku yakin sudah sejak dulu Zourdan menghampirimu."
Delisha menggeleng tak bersemangat. "Hamba juga tidak tahu, Tuanku."
Devdas agak heran dengan cara bicara Delisha. "Tampaknya terlalu lama tinggal di sini, mengubah sifatmu sedikit demi sedikit. Kau cenderung mirip Chandni sekarang."
Wajah Delisha tersipu. "Benarkah?" gumamnya sambil menangkup pipi. "Ah, mungkin karena itu aku semakin lupa apa yang terjadi di masa kehidupanku ini."
Devdas tersentak. "Apa maksudmu? Kau kehilangan ingatanmu?"
Wanita itu tetap tenang dan tersenyum lembut. "Apakah ini kehilangan ingatan? Semakin ke sini, ingatan masa kanak-kanakku justru semakin jelas. Sama sekali tidak ada yang menyenangkan, kecuali bermain bersama Siberian. Oh! Dan semenjak aku bertemu Imdad. Ia cinta pertamaku. Ia memberi warna dalam hidupku."
Devdas merasakan ada yang tidak beres pada Delisha. Tanpa berkata apa pun, ia meninggalkan wanita itu dan ke ruangan-ruangan lain sambil memanggil-manggil pengendali hidup Delisha. "Erion! Erion! Di mana kau?"
"Aku di sini. Tidak usah teriak-teriak!" sahut Erion yang duduk di singgasananya di aula utama, sedang bertumpu siku memijat keningnya.
Devdas mendatanginya dengan gusar. "Jelaskan padaku apa yang terjadi pada Delisha? Apa ini karena sesuatu yang kau lakukan? Jika dia kenapa-napa, aku bersumpah aku akan—"
"Bisakah kau biarkan aku berpikir sebentar?!" sahut Erion meninggikan suaranya. "Aku juga tidak tahu kenapa ini terjadi. Ini pertama kalinya bagiku melakukan animatronik dalam jangka waktu yang lama," pungkas Erion menyela Devdas.
Devdas ingin menyela lagi, tetapi Avram mendahulinya. "Beri Yang Mulia waktu membaca laporan para ahli kami, Tuan Devdas," ujar Avram menyabarkan Devdas.
Devdas pun menahan diri. Erion membaca beberapa lembar perkamen berwujud hologram dengan wajah sangat serius. Devdas nyaris tidak sabaran karena Erion tidak berkata apa pun. Ketiga anaknya muncul dan menghampiri.
"Ada apa, Pa? Kenapa Papa marah-marah?" tanya Rani.
"Papa sedang menunggu penjelasan Erion, sayang. Sesuatu terjadi pada ibu kalian."
Ketiga anak itu terperangah. "Hah? Ibu? Ibu yang mana?"
Devdas jadi serba salah, tetapi ia katakan apa adanya. "Ibu kalian yang di sini. Yang dirawat Erion."
Anak-anak pun diam memandangi Erion, menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
Erion selesai membaca, tetapi masih saja tidak berkata apa-apa. Ia mengusap-usap dagu. Bola matanya mendelik ke sana kemari, karena memikirkan tata bahasa yang bagus untuk mengungkapkan temuan anak buahnya.
"Cepat katakan sesuatu, Erion!" desak Devdas.
"Iya, iya, akan kukatakan, tetapi kalian harus berjanji tidak akan marah atau membenciku, karena secara teknik ini bukan salahku. Ini karena hukum alam."
"Katakan saja, jangan bertele-tele! Kami di sini sudah beberapa hari. Entah berapa lama waktu di daratan telah berlalu."
"Tidak bisa. Kalian harus berjanji dulu!" balas Erion.
Anak-anak memelas pada Devdas. "Ayolah, Pa, penuhi permintaan Paman Erion."
Devdas tidak berkelit lagi. "Baiklah, aku berjanji aku tidak akan marah padamu. Soal benci, sejak awal aku memang tidak pernah suka denganmu!"
Anak-anak Devdas menyahut lebih singkat, "Kami janji, Paman Erion."
"Baik, sekarang dengarkan aku baik-baik. Aku juga tidak menyadari hal ini sampai para ahliku menemukan kejanggalan perilaku Delisha yang semakin persis Chandni. Awalnya mereka penasaran mengenai cakra di jantungnya, kemudian mereka menemukan bahwa ternyata ada dua kehidupan Delisha di dunia ini. Dengan demikian, semakin bertambah umur Delisha yang satu, semakin banyak ia tahu tentang 'kembarannya', maka eksistensi Delisha yang ini akan semakin mundur. Secara fisiknya tidak berpengaruh, akan tetapi secara memori, ingatannya akan terus berkurang dan berkurang. Sampai sejauh mana, aku tidak yakin, tetapi kemungkinan terburuknya, tubuh yang ini akan menjadi jasad hampa."
Devdas pun turut berpikir keras. "Tapi ... dia menjadi seperti Chandni. Chandni adalah kehidupannya sebelum Delisha."
"Berarti, ingatannya berlaku lintas zaman. Kita lihat saja, semakin mundur ingatannya, ia akan tiba di fase tidak mengenal kalian sama sekali."
"Tidaak!" Rani, Aaryan, dan Chander menangis bersamaan mengetahui perlahan-lahan ibu mereka akan melupakan mereka.
Namun, Devdas mencoba menyangkal hal itu. "Tidak. Ia tidak akan melupakan aku, karena kami bersamanya di setiap zaman. Bahkan Imdad dan Rajputana bersamanya semenjak mereka belum dilahirkan ke dunia."
Erion yang terperangah kebingungan. "Jadi, kalian tahu kehidupan kalian masing-masing sejak sebelum lahir?"
"Kau pikir kenapa kami bisa bertemu lagi di sini? Pakai otakmu, Erion. Bukankah kau menguasai banyak pengetahuan?" ucap Devdas ingin merendahkan Erion.
Erion memicingkan matanya. "Jadi, aku benar soal ada dua Delisha di dunia ini?"
Devdas membisu karena tersadar rahasianya terbongkar.
Erion tidak senang dikibuli. "Oh, jadi memang ada dua Delisha, tapi dia masih anak-anak karena itu kau menyalurkan nafsumu di sini?"
Devdas tidak berkutik. Rani yang menyahuti Erion, "Dia tetaplah ibu kami meskipun saat ini ia tidak tahu apa-apa."
Erion menarik diri, kembali bersandar dan berpikir. Pantas saja ia tidak melihat cahaya itu karena cakranya belum terbuka. Namun, ia ragu apakah Delisha kecil akan sehebat Delisha yang ada, karena yang satu ini sudah tertempa maksimal.
"Aku tidak akan membiarkan kau mendekatinya," ancam Devdas. "Ia hanya seorang anak kecil!"
"Ya, ya, aku paham, Devdas, tidak perlu kau perjelas. Ia tidak punya kekuatan apa pun, bukan? Tenang, aku tidak tertarik pada makhluk seperti itu," kilah Erion. Kemudian ia menyeringai. "Justru kalian harus mewaspadai orang yang sebenarnya menginginkan kematiannya. Yang jelas bukan aku."
Devdas berdecih mengetahui maksud terselubung Erion. Delisha kecil ibarat bola panas antara Devdas dan Zourdan. Erion tinggal menunggu saatnya ia bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Mengetahui waktu bersama Delisha merupakan hitungan mundur, Devdas dan anak-anak semakin berat meninggalkan tempat itu. Mereka duduk bersama Delisha di tepi kolam. Devdas genggam tangan wanita itu dan menyapu untaian rambutnya. "Jaan, apa kau tahu ini akan terjadi? Apa kau mengerti apa yang akan terjadi pada kita? Aku kira kau bisa abadi di sini. Kenapa kita mesti terancam berpisah lagi?"
Sementara netra abu-abu Devdas berkaca-kaca, Delisha tersenyum hangat dan balas membelai rambut pelipis pria itu. "Aku rasa kita memang tidak boleh serakah."
Air mata Devdas berlinang dan ia menunduk ke pangkuan Delisha. "Aku hanya ingin hidup mencintaimu, Delisha-ji. Kenapa begitu sulit?"
Delisha tidak berkata apa pun. Dijelaskan bagaimanapun rasanya juga percuma. Ini sudah takdir dan tidak ada seorang pun dapat mengurangi takarannya atau menunda-nunda sebuah ketetapan dari alam semesta.
Ketiga anaknya berlutut dan memeluknya bersama sang ayah. "Mama ... Apakah kau benar-benar akan melupakan kami?"
Delisha usap kepala mereka semua. Ia tersenyum haru. "Jangan bersedih soal itu, anak-anak. Yang terpenting, kalian ingat bahwa Mama sangat menyayangi kalian. Saatnya kalian mulai belajar melanjutkan hidup. Mama rasa Mama sudah cukup membekali kalian dengan semua pengetahuan Mama."
Rani meraung-raung dan air matanya membasahi pangkuan Delisha. "Tapi Mama belum melihat apa yang bisa kulakukan. Aku ingin sehebat Mama."
"Sabarlah, Rani. Akan ada waktunya untukmu bersinar. Mama yakin kau akan menggunakan kekuatanmu untuk menolong sesama dan melindungi keluargamu."
Aaryan dan Chander turut merengek, "izinkan kami menggunakan kekuatan kami pada Mama. Kita bisa mencobanya. Siapa tahu berhasil."
Delisha menggeleng pelan. "Mama bukan manusia yang dulu lagi, Aaryan, Chander. Mama hidup berkat bantuan kekuatan Raja Erion. Tidak semudah itu mencoba-coba cakra kalian pada Mama. Ayah kalian kurang apa soal kekuatan? Ia pun tidak berdaya soal ini."
Devdas menatap Delisha dan anak-anaknya saat berbicara. Pemandangan seperti itu mungkin tidak akan bisa ditemuinya lagi. Atau setidaknya Delisha akan menatap anak-anak dengan cara yang berbeda jika sudah tidak mengenali mereka. Mungkin akan sama seperti ketika Delisha kecil bertemu mereka pertama kali. Ya, mungkin ini saatnya fokus pada satu Delisha yang masih dalam proses tumbuh kembang.
Devdas usap pipi Delisha sehingga wanita itu menatapnya dan menyunggingkan senyuman yang membuat pipinya berlekuk dalam. Suaranya lembut mengejek, "Apa kau akan cengeng seperti anak-anak juga, Dev? Kita telah melalui banyak hal. Kejadian seperti ini aku rasa bukan masalah besar lagi bagi kita."
Devdas membalas senyumnya dengan senyuman pula. "Kau benar, sayang. Meskipun berat, aku berusaha meyakini bahwa ini yang terbaik dan percaya bahwa akan ada jalan untuk kita bersama."
"Kau dan kekeraskepalaanmu," ungkap Delisha pasrah. "Terima kasih sudah mengurus anak-anak dengan sangat baik, Dev. Aku bangga padamu dan aku tahu aku mencintai pria yang tepat. Sepanjang hidup yang kujalani bersamamu sangat bermakna dan tidak ada sedetik pun tersia-sia."
"Jadi, inikah ucapan selamat tinggalmu?" Devdas mendesah berat hati.
Delisha tertawa kecil. "Hanya berjaga-jaga jika aku benar-benar tidak ingat lagi. Tidak ada yang tahu sampai kapan dan sejauh mana prosesnya dan kalian juga tidak bisa tinggal di sini terus menerus. Ada kehidupan nyata yang harus kalian jalani."
Rani dan si kembar menatap ayah mereka. "Jadi, kita benar-benar harus kembali ke rumah, Pa? Kami masih ingin di sini. Kami tidak mau pisah dari Mama."
Devdas menarik napas dahulu, kemudian menjawab mereka. "Papa juga masih ingin di sini, tapi ibu kalian benar. Kita tidak bisa lama-lama di sini. Kalian harus sekolah, Papa harus bekerja ... dan mengawasi 'ibu kecil' kalian."
Rani dan si kembar malah merengut. "Kami tidak menyukainya, Pa. Ia tidak sungguh-sungguh menyayangi kami."
Devdas mendesah serba salah, sedangkan Delisha malah tertawa. "Maklumi dia, anak-anak. Ia masih remaja dan merasa diri paling mandiri, paling pintar, dan sebagainya."
Devdas menyengir dengan pipi merona. "Ya, dia persis seperti ketika Papa bertemu dengannya pertama kali. Sok cantik, bahkan menolak berjabat tangan denganku. Kemudian menjadi yang paling bernafsu menciumku."
Delisha ternganga, kemudian menampik, "Aku tidak begitu! Kau yang mulai. Kau menggodaku dengan sengiran nakal itu. Ya ampun! Itu pertama kalinya aku bertemu dengan pria yang percaya dirinya berlebihan."
"Eh, aku memang tampan dan itu terbukti dengan banyaknya wanita yang kutaklukkan. Kau sendiri bagaimana? Kau lari terbirit-b***t melihat lelaki yang mendekatimu. Berciuman pun tak bisa, apalagi bermain di ranjang. Siapa yang akhirnya mengajarimu soal itu, ha?"
Delisha pukul pundak Devdas dan wajahnya tersipu-sipu. "Hei, jaga ucapanmu, Dev. Anak-anak mendengarnya."
Anak-anak justru menikmati percakapan itu. Orang tua mereka tampak mesra sekali. Devdas tak segan mengecup pipi Delisha di hadapan anak-anak. Ia kembali mendesah, "Sangat berat berpisah denganmu, jaan. Belum lagi pergi, aku sudah merindukanmu."
Delisha memeluk erat pria itu. "Aku akan baik-baik saja, sayang. Sekarang, fokuslah pada calon istrimu yang baru. Dia butuh banyak bimbingan dan bantuan. Jangan lupa, kekuatannya tidak boleh berkembang, tetapi bukan berarti bahaya tidak mengincarnya. Aku tidak akan menganggap diriku terkutuk jika tidak mengalami banyak kejadian buruk."
Pelukannya terbuka perlahan dan Devdas menarik diri dengan enggan. Ia pun tak sanggup menatap Delisha. "Aku pergi dulu, jaan. Sampai jumpa lagi."
Delisha mengangguk. Devdas beranjak. Anak-anak memeluk erat ibu mereka dahulu sebelum mengiringi ayah mereka. "Mama, kami akan merindukanmu. Tolong jangan lupakan kami kalau kami kembali ke sini nanti."
"Mama akan berusaha, sayang. Mama juga rindu kalian, anak-anakku." Delisha kecup kening mereka satu per satu.
Anak- anak bergandengan tangan dengan ayah mereka dan berjalan tanpa melepaskan tatapan mereka pada sang ibu.
Delisha mengantar kepergian mereka sampai di teras istana bersama Erion dan Avram. Setelah Devdas dan anak-anak itu pergi, Erion mengantar Delisha ke pembaringannya. Wanita itu berjalan di depannya, Erion usap sepanjang rambut Delisha seperti mengusap surai piaraannya. "Sangat menyenangkan memilikimu. Aku pun tidak rela jika kau harus kehilangan ingatanmu. Aku tidak akan punya kawan berdebat lagi."
Delisha berhenti berjalan tiba-tiba dan melirik sekelilingnya. Kemudian ia berbalik menghadap Erion dan menatap pria itu penuh kesungguhan. "Yang Mulia menyimpan persenjataan buatan para malaikat bukan?" tanyanya.
Mata Erion terpicing menyelidik Delisha. Meskipun ia curiga Delisha punya rencana, tetapi ia tetap bertanya, "Untuk apa kau meminta barang itu, Sang Rembulan?"
Dia berlagak sungkan. "Hanya untuk berjaga-jaga, Yang Mulia."
Telapak tangan Erion mengeluarkan satu mata panah bekas panah malaikat sewaktu perang melawan kaumnya. "Kau tahu benda sekecil ini memiliki kekuatan sangat dahsyat. Kau tidak boleh menggunakannya sembarangan."
"Saya tahu, Yang Mulia."
Delisha ingin mengambil benda perak tersebut, akan tetapi Erion tiba-tiba mengesampingkannya. "Tunggu dulu," katanya. "Aku merasakan energi yang sama dengan benda yang ada di jantungmu."
"Iya, karena emblem itu buatan malaikat juga."
"Ooo, baiklah. Aku mengerti sekarang." Lalu Erion meletakkan mata panah di telapak tangan Delisha. "Gunakan dengan bijak," katanya lagi.
Delisha mengenggam benda itu lalu memasukkannya ke d**a seperti melebur ke dalam tubuhnya. "Pasti. Terima kasih, Yang Mulia," kata Delisha, kemudian Erion menidurkannya dalam peti kaca.
Erion diam sejenak untuk memandangi wajah tenang wanita itu. Ia bergumam, "Haruskah aku menemui duplikatmu? Aku penasaran."
***
Sudah berhari-hari Delisha mencoba menelepon Rani dan si kembar, akan tetapi tidak ada jawaban. Ia lewat beberapa kali di depan mansion mereka dan tidak terlihat ada tanda-tanda penghuninya, sehingga Delisha benar-benar yakin Mister D sekeluarga tidak berada di tempat. Delisha pun berusaha meredam gelisah yang belakangan dirasakannya.
Perasaan tersebut biasanya muncul karena akan ada hal buruk yang terjadi atau ada gangguan makhluk halus yang sangat kuat. Sudah lama perasaan itu tidak mengganggunya, sekarang mulai lagi. Delisha jadi berpikir, agaknya ia tidak bisa jauh-jauh dari orang-orang sakti seperti Mister D dan keluarganya. Sejurus kemudian, ia menampik pikiran itu. Tidak, aku tidak boleh tergantung pada mereka. Aku harus bisa mengatasinya sendiri.
Delisha berangkat sekolah seperti biasa. Ia berjalan kaki ke halte bus sambil memanggul ransel dan mendekap buku tebal yang akan dibacanya di perjalanan nanti. Saat mencapai halte, sebuah bus sekolah khusus SD negeri setempat berhenti. Beberapa ibu-ibu menuntun putra putri mereka naik ke bis dan anak-anak di dalam bus itu riuh, berdiri ke jendela menyambut teman mereka.
Delisha tidak terlalu memperhatikan karena hal itu pemandangan biasa setiap musim sekolah. Namun, ketika ada anak menyenggolnya, spontan Delisha menoleh dan mata ketiganya segera menangkap kejanggalan yang luar biasa menakutkan. Anak itu berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka, begitu juga anak-anak di dalam bus.
Mata Delisha terbuka lebar. Di antara sekian penampakan aneh aura manusia, penampakan anak-anak yang seragam bukan sesuatu yang bisa diabaikannya. Sumbu hidup mereka sangat pendek meskipun menyala terang. Itu adalah gambaran bahwa hidup anak-anak tersebut akan segera berakhir dan keadaan mereka akan sangat mengenaskan. Bahkan sebelum mereka mati, Delisha sudah melihat bagaimana mereka mati, membuat sekujur tubuhnya dingin dan gemetaran.
Aku ... Aku... harus melakukan sesuatu. Aku bisa menangani ini. Tuhan, tolong aku!
Tanpa sadar Delisha menyalip seorang ibu-ibu dan menyeruak di ambang pintu bus. Sopir bus seorang wanita kulit hi.tam bertubuh tambun, menatapnya penuh tanda tanya.
"Apa kau akan naik bus ini, Nak? Kau Sepertinya salah jurusan. Kenapa berdiri di situ? Ayolah menepi. Kau menghalangi yang lainnya," tegur sopir bus itu.
Delisha berkata lantang tanpa pikir panjang. "Tidak! Kalian semua yang harus turun dari bus ini sekarang juga. Cepat turun!"
Orang-orang yang mendengarnya keheranan. Si sopir bus bahkan menghardiknya, "Apa?? Apa kau sudah gila, Nak? Kau mengonsumsi obat atau apa? Minggir, minggir!" Ia dorong gadis belia itu hingga mundur dari bus.
Delisha terperangah dan tak berkutik.
Beberapa anak lanjut naik ke dalam bus, walaupun orang yang mengantar mereka melirik Delisha dengan sikap mencemooh. Ulah anak remaja sekarang haus perhatian. Mungkin sedang melakukan tantangan t****k dan ingin viral, pikir mereka.
Delisha tidak ragu dengan apa yang dilihatnya. Maka ia menerobos lagi ke dalam bus dan berteriak senyaring-nyaringnya. "Keluar dari bus ini, atau kalian semua akan mati! Cepat keluar!"
***
Bersambung ....