DP 17. Gadis Belia

3220 Kata
Orang-orang di sekolah akan mengira ia gila atau kesurupan jika ia berusaha berontak dari kekangan pria yang tak terlihat. Hidupnya memang ditakdirkan berurusan dengan hal yang tak masuk akal, bahkan dalam soal percintaan. Bagaimana bisa ia mencintai pria tak terlihat dan terlebih lagi punya obsesi me.sum padanya? Mengerikan! Mister D menuntunnya ke mobil di parkiran. Pintu sedan mewah itu terbuka otomatis. Sopir Vijay yang ada di dalam tak terusik dengan kedatangan Delisha yang terkesan gerasak-gerusuk mendekap tas dan buku-bukunya. Delisha didorong masuk ke dalam mobil, kemudian Mister D duduk di sampingnya. Pintu tertutup rapat, maka mobil pun melaju meninggalkan SMA tersebut. Delisha merasakan Mister D tidak lagi memeganginya sehingga ia lempar buku-bukunya ke samping di mana seharusnya pria itu duduk. Buku-buku itu berjatuhan tanpa ada sesuatu pun menghalangi. Suara Mister D terkekeh mengejeknya. "Oh ya, silakan saja serang aku, pukul atau tendang aku, tidak akan ada pengaruhnya bagiku. Yang ada kau akan membuang-buang tenagamu." Delisha tetap melakukannya meskipun ia tahu ucapan Mister D benar. Ia lempar-lempar bukunya seraya memaki, "Aku membencimu, Mister D! Aku membencimu! Kau pria tua me.sum, otoriter, manipulatif, dan penuh kebohongan!" Devdas mencibir saja. Ia ingin sekali berbuat me.sum pada Delisha, tetapi cincin penghilang mencegahnya, yang mana itu adalah hal yang bagus. Jikalau tidak, tak terhitung sudah berapa kali ia akan mencabuli gadis itu. Delisha semakin menarik setiap harinya dan tingkah berontaknya sangat menggairahkan. "Aku sedang menjemput tunanganku pulang sekolah agar ia merasa diperhatikan dan mengalami pengalaman seperti gadis-gadis biasa yang pulang dijemput pacar mereka. Jadi, apakah para lelaki itu juga akan kau anggap me.sum atau cuma aku? Aku melakukan yang aku bisa sebagai tunangan. Di mananya aku berbuat me.sum?" "Kau pembohong! Lalu bagaimana dengan kau menciumku di saat aku tidak sadar?" "Itu pertolongan pertama, bukan karena aku ingin. Kau yang memulai, maka aku hanya menata agar segala sesuatu berada di tempat yang seharusnya." "Huh!" Delisha sebal, Mister D mengakui perbuatannya tanpa penyesalan sedikit pun. Dan ternyata ciuman pertamanya dilakukan bersama pria itu, Delisha merasa dipecundangi, tetapi tidak tahu mesti memaki apa lagi. Ia ingat cincin di jari manisnya. Ingin ia copot cincin itu, tetapi tangannya malah tak dapat bergerak, ditahan oleh tangan Mister D. Pria itu bersuara tegas. "Jika kau melepasnya, maka aku akan melakukan tindakan lebih ekstrim padamu. Kau akan disekolahkan di rumah. Jangankan bertemu anak laki-laki, anak perempuan pun tidak akan bisa kau temui. Bukankah kau ingin fokus sekolah agar cepat selesai dan menjadi dokter hewan? Aku mencoba menjadi tunangan yang baik dengan mendukung pendidikanmu, jadi, jangan membuat kesan seolah aku pria yang jahat!" Delisha mengial-kial tangannya meskipun sia-sia. "Kau membuat hidupku suram. Kau menjauhkan para laki-laki dariku. Di mana kesenangannya jika aku tidak bisa berteman dengan laki-laki?" "Aku laki-laki, kurang apa lagi?!" suara Devdas lebih lantang. "Jika ada yang ingin kau lakukan bersama laki-laki, lakukan saja bersamaku dan aku jamin kau tidak akan kecewa karena aku sudah berpengalaman." "Kau penipu! Bagaimana bisa bersenang-senang kalau kau tidak terlihat? Kekasih macam apa yang bahkan tidak bisa mengungkap wajah aslinya pada gadis yang katanya cinta dalam hidupnya?" Devdas tercenung sesaat mendengar Delisha mengucapkan kekasih. Apakah secara tidak sadar Delisha sudah mengakui bahwa ada hubungan khusus di antara mereka? Delisha menghela napas dalam sedikit lega merasa sudah berhasil membungkam Mister D. Rahangnya terkatup rapat lalu membenahi posisi duduknya lebih santai. Ia melihat ke sekeliling dalam mobil kemudian melihat wajah Tuan Vijay melalui cermin. Pria itu mengulum senyum. Delisha tahu pertengkaran mereka pasti terdengar sangat konyol. Delisha melempar pandangannya keluar jendela, mengamati jalanan sore menuju senja. Ia sering menghabiskan waktu di sekolah sampai sore dengan beragam aktivitas agar jarang bertemu ayahnya di rumah. Biasanya ia pulang naik bus. Entah kenapa tiba-tiba hari ini Mister D menjemputnya dengan gaya yang mengerikan. Pria macam apa yang menggerayangi anak gadis perawan di perpustakaan? Delisha tersentak karena Mister D bicara lagi dengan nada yang lebih pelan. "Ada rahasia kenapa aku tidak boleh memperlihatkan wajahku padamu, tetapi bukan berarti kita tidak bisa bersenang-senang. Ini malam minggu. Aku akan membawamu ke tempat-tempat yang kau inginkan untuk berkencan. Katakanlah, aku ingin kita punya kenangan seperti pasangan normal selama masa pacaran sebelum melangkah ke pelaminan." Delisha mendelik. "Pelaminan? Sangat kuno. Lagi pula, apakah ini bisa disebut normal? Lebih tepatnya aku berhalusinasi!" "Oh, kau mau yang lebih nyata?" "Tentu saja! Seseorang yang bisa aku raba dan aku pandangi. Bukan makhluk tak terlihat seperti ini." "Sudah kuberitahu bahwa kau tidak boleh melihat wajahku, tetapi itu tidak akan menghentikan kita bersenang-senang, Delisha-ji," kata Devdas dengan suara mulai parau. Ia sudah sangat geregetan pada Delisha dan ingin membalas setiap ucapannya dengan hukuman di bibir. "Apa alasannya? Kau tidak bisa mengatakannya, bukan? Kau hanya mempermainkanku." "Itu akan membuka cakra tertinggi milikmu dan setelah itu kau tinggal hitung mundur umurmu menuju kematian." "Itu saja? Lalu apa jika aku mati? Bukankah setiap manusia pasti mati?" "Tidak bagiku. Aku tidak akan membiarkan wanita yang kucintai mati begitu saja. Aku akan menghentikannya. Aku akan mencegahnya!" Delisha mendengkus mencemooh. "Huh, lalu bagaimana dengan mendiang istrimu? Dia sudah mati, bukan? Kenapa kau tidak mencegahnya? Apa kau tidak mencintainya?" Devdas terhenyak. Ada teriakan tertahan dalam dadanya. Istriku itu adalah kamu! Tidak bisakah kau melihat benang merahnya? Di wajah anak-anak kita. Dari cara mereka memandangmu. Dari darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Dari nama yang kusebut setiap malam di saat aku menutup mata. Bisakah kau menghadapi kebenaran itu jika terungkap dan tidak memilih mengorbankan nyawa lagi demi keselamatan banyak orang? Delisha terlihat tersenyum pongah. Devdas bersuara lirih yang meruntuhkan senyuman itu. "Bagaimana jika kukatakan bahwa istriku adalah kau dari masa depan?" Seketika Delisha tergamam. Jika ia tidak tahu kemampuan Xandreena serta Nyonya Kimberly, ia tidak akan mempercayai sepetik pun ucapan Mister D. Namun, ucapan itu terdengar masuk akal, hanya saja membingungkan kenapa bisa sampai seperti itu. Apa sejarah antara ia, Mister D, dan mendiang istrinya? Mobil membawa mereka ke mansion Mister D. Sampai di sana, Vijay membimbingnya menuju ke lantai 3 di mana sebelumnya itu adalah kamar yang rusak bekas Miss Gea. Kamar itu rupanya direhab menjadi ruangan yang sangat luas dan penuh ornamen serta perabot bergaya mediterania. Karpet empuk dan tebal, bantal-bantal aneka ukuran, kasur yang besar dilengkapi kelambu, sekeliling ruangan berdinding tirai satin berwarna hitam pekat. Delisha masuk ke kamar itu, kemudian pintu ditutup dari luar oleh Vijay. Delisha terperanjat akan tetapi segera menyadari bahwa ia tidak sendirian di kamar itu. Satu sisi tirai terbuka dan tampaklah lukisan seorang perempuan bergaun lehengga warna merah tua, mengenakan kerudung dupatta dan sebelah tangan berhias ukiran mehndi serta gelang-gelang emas, memegangi kerudungnya. Wanita itu sangat cantik, beralis tebal dan ada titik-titik merah di keningnya. Bibir merah meranum, mata cokelat besar dan tersenyum tipis yang membuat kedua pipinya berlekuk dalam. Mister D bersuara penuh kekaguman. "Ini adalah gambar istriku, yang tak lain tak bukan adalah dirimu." Delisha menelan ludah dengan susah payah. Ia tidak merasa wanita dalam lukisan itu adalah dirinya. Meskipun ia melihat sedikit kemiripan, tetapi wanita itu terlihat lebih dewasa dan dandanannya menor. Ia juga tidak pernah mengenakan gaun semewah itu dan lagi, berpose untuk lukisan tersebut. "Tidak mungkin. Kau mengada-ada," tampik Delisha dengan suara gemetaran. "Kau bisa saja membuat lukisan itu dengan membuatku terlihat lebih tua." "Baiklah, tapi bagaimana dengan video pernikahan kita? Aku memilikinya di sini." Devdas merogoh kantong jasnya mencari ponsel, akan tetapi rupanya ponselnya itu pun berada dalam fase tak terlihat sama seperti dirinya. "Ah, sialan!" desisnya. Delisha melangkah mundur gelagapan. Mister D membawanya ke kamar privat seperti itu saja sudah membuatnya sangat curiga. "Itu bisa saja trik yang kau siapkan. Ada banyak aplikasi pengganti wajah sekarang, aku tidak akan bisa mengatakan itu asli atau rekayasa. Jadi, jangan coba membodohiku dengan semua omong kosong ini!" "Tapi kau benar-benar istriku! Jika tidak, kau pikir kenapa aku mengejar-ngejarmu? Ini bahkan sudah jalan 2 tahun. Kau pikir pria biasa akan rela menunggu-nunggu sebegitu lamanya?" "Lalu kenapa dia mati, hah? Katamu kau mencintainya dan tidak akan membiarkannya mati. Lalu kenapa dia mati?" "Tanya pada dirimu sendiri, kenapa kau memilih mati." Delisha terhenyak. Bibirnya kelu untuk sesaat, kemudian ia berujar tergagap. "Aku yakin ...karena ... ia tidak mau lagi hidup ... bersamamu." Perkataan itu menyakiti Devdas bagai sembilu menusuk jantungnya. "Itu tidak benar!" geram Devdas yang sejurus kemudian berteriak, "Katakan itu tidak benar!" Delisha balas berteriak. "Kau bertanya apa jawabanku. Itulah jawabannya! Kau dan obsesimu, tidak ada wanita yang tahan dengan semua ini. Kau pria sakit!" Mendadak dalam ruangan tercipta getaran kuat. Barang-barang bergetar, termasuk dinding dan lampu-lampu. Angin yang sangat keras bertiup dalam kamar. Delisha merasakan lonjakan energi luar biasa yang berasal dari Mister D. Delisha melindungi wajahnya dari embusan angin, yang menjalar menjadi ledakan-ledakan kecil dari bola lampu dalam kamar itu. Delisha terpekik ketakutan. Lampu bercahaya kelap kelip, lalu semuanya mati sehingga kamar gelap gulita. Bukan gelap remang-remang, tetapi benar-benar gelap total. Delisha terpekik karena kegelapan itu membuatnya kesulitan bernapas. Delisha tergagap meraba-raba sekitarnya mencari pintu keluar, tetapi kegelapan itu malah menyesatkannya. "Aku tidak bisa bernapas. Tolong aku, aku tidak bisa bernapas!" Ia teraba tubuh kekar dan merasakan jantungnya berdetak serta tangan kokoh merengkuhnya ke dalam pelukan. Delisha terdiam. Ia tidak bisa melihat apa pun, bahkan cahaya aura atau penampakan. {Note that dalam wujud Devdas tidak ada aura atau penampakan apa pun bisa dilihat mata ketiga Delisha kecuali secara fisik dan sayapnya jika dikeluarkan. Karena itu juga aura Imdad tersembunyi. Saat ini, di dalam kamar itu, Devdas melepas cincinnya. Ya dia melepasnya.} Suara dalam berat pria itu berucap lirih. "Katakan itu tidak benar, Delisha-ji. Kau sangat mencintaiku, tetapi alam semesta selalu berusaha memisahkan kita. Karena itu cakramu tidak boleh berkembang. Kita bisa hidup bahagia dalam surga kita sendiri, Delisha-ji. Selamat datang di surga kegelapan." Lalu Devdas dekap erat gadis itu dan mencium bibirnya dengan lumatan kuat memeras desahan dari relung napas Delisha. Mister D .... Nama itu terngiang dalam kepalanya. Tadinya napasnya sesak, kemudian mulutnya dibungkam, akan tetapi ia malah bisa bernapas lega. Ciuman pria itu mengembuskan udara ke dalam jiwanya. Jika ia pernah berciuman yang terasa mendebarkan bersama pacar-pacarnya, ciuman kali ini sangat menguasai dan tidak segan meleburnya hingga seluruh tulang belulangnya melunak. Delisha tidak merasakan lagi tubuhnya terhenyak di asuhan Devdas. Devdas cium bibir mungil kikuk itu seraya tangannya menyusuri lekukan tubuh Delisha dan menyingkap roknya guna membelai pahanya yang terasa hangat. Devdas membuka mulut dengan lidah mengusap langit-langit mulut Delisha. "Delisha-ji... Chandni-ku ...," ucapnya serak, kemudian kembali terkatup mengemut-emut bibir Delisha. Perawan itu rasanya sangat manis, bahkan bibirnya. Apalagi kulitnya, bahkan pasti bulir mungil buah daranya yang baru tumbuh. Dari paha, tangannya melesat mencengkeram memeras-meras buah yang masih muda milik sang perawan. Devdas mengerang menggila. "Delisha ...." Delisha terlalu takjub oleh ga.irah yang pertama kali dirasakannya sehingga tidak bisa menata pikiran. Aroma Mister D sangat memabukkan. Rasanya sangat pria dan mendominasi. Tangan Delisha meraba tak karuan. Ia merasakan rambut, kain, bahu, lalu ia menarik kerah baju jas yang dikenakan Mister D. Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya, membuat pria itu semakin gencar menciumnya. Tangan Mister D masuk ke dalam bajunya, tahu-tahu Delisha terkesiap puncak mungilnya ditarik, seperti diisap kuat dan kepala Mister D ada di dadanya. "Mi-mister ... D ...," lirih Delisha. Kemudian ia mendongak mencari udara dalam kegelapan. Rongga dadanya terasa sangat sesak, tetapi ia menyukainya. Engahan napas pria itu terdengar nyaring dan kuat mengembus di permukaan kulitnya. Tidak ada seorang pun pernah melakukan itu padanya. Membuka pakaiannya lalu mengisap-isap sesuatu di tubuhnya seperti ia buah sumber kehidupan. Apakah ini ilegal? Seseorang, katakan padaku ini ilegal! Buat aku berhenti! pinta Devdas dalam benaknya. Delisha terlalu murni. Kepolosannya menjadikan ia mudah dikendalikan. Ia seharusnya tidak melakukan ini. Gadis ini belum siap dan hanya akan terasa menyakitkan jika ia terpaksa menerimanya. Devdas berusaha keras menghentikan perbuatannya pada Delisha. Tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Jiwanya yang kelaparan harus kembali menahan diri setelah sempat menyesap manisnya keluguan. Rasanya lebih menyiksa daripada puasa berbulan-bulan. Devdas tak bisa mengontrol kekuatannya sehingga Delisha terpekik kesakitan. "Aaah, Mister D!" Devdas mengangkat kepala dari lekukan dadanya. Delisha buru-buru menyedekap tubuhnya yang entah bagaimana posisi pakaiannya saat itu, yang dirasakannya bulir-bulir mungilnya berdenyut nyeri dan pinggulnya sakit. Mister D kemudian bersuara lantang. "Keluar dari sini!" Delisha terkesiap. Ia terdorong keluar kamar. Pintu kamar terbuka dan Delisha tersungkur di selasar dalam keadaan pakaian tersingkap, buru-buru dibenahinya. Sekelebat pintu kamar itu tertutup mengempas bersuara berdebam keras. Disusul seruan Mister D. "Vijay, antar Nona Delisha pulang sekarang juga!" Bergegas Vijay datang ke selasar itu dan menyahut, "Baik, Tuan!" Ia lihat Delisha kebingungan dengan muka merah padam, tetapi tidak marah. Lebih karena merasa bersalah. Vijay membungkuk mengulurkan tangan. "Mari, Nona, saya bantu berdiri," katanya. Delisha menerima uluran tangannya lalu berdiri seraya menggerutu dengan tatapan tajam ke arah pintu. "Pria macam apa yang memperlakukan tunangannya seperti ini?" Ia merasa dicampakkan dengan sangat kasar. Padahal Mister D bisa saja meminta maaf atau apalah dengan kata-kata sopan karena telah khilaf. Siapa juga yang pertama kali mengundangnya ke kamar itu dan kenapa ia bisa begitu bodoh mengikutinya? Vijay tidak berkata apa pun, karena itu bukan hal yang perlu dijawab. Hanya akan menambah malu nona dan tuannya saja. Ia pandu Delisha turun ke lantai dasar. Di bawah tangga, mereka berhadapan dengan Rani yang baru kembali dari les balet. Agak mengejutkan bagi Rani mendapati Delisha turun dari lantai atas, apalagi mereka lama tidak bertemu. "Delisha-ji?" sapanya. "Oh, hai, Rani," balas Delisha yang enggan menatap Rani karena ia baru saja bersama ayah gadis itu dan mereka ... bermesraan. "Apa yang kau lakukan di rumahku?" tanya Rani, tidak bermaksud kasar, tetapi hanya itu yang terpikirkan olehnya. Delisha mendengkus. "Tanya ayahmu," katanya lalu melengos melewati Rani. "Permisi, Nona," ucap Vijay, menyusul Delisha. Terdengar mereka memasuki mobil lalu mobil itu pergi. Rani mendelik ke lantai atas, tiba-tiba merasa gembira. Munculnya Delisha di rumah itu karena sesuatu yang dilakukan ayahnya. Ia sangat berharap itu berarti kemajuan hubungan mereka. Rani berlari kecil ke lantai atas sambil memanggil-manggil ayahnya. "Papa! Papa!" Devdas keluar kamar gelap dengan kepala tertunduk dan mendesah putus asa. Berahinya sudah mereda, tetapi ia kalut memikirkan tanggapan Delisha atas perbuatannya tadi. Akhirnya gadis itu akan berasumsi ia benar-benar seorang lelaki tua me.sum. Delisha pasti akan jijik padanya. "Papa, apa yang baru saja terjadi? Kenapa Delisha bisa datang ke rumah kita? Apa Papa menjemputnya?" cecar Rani tanpa memperhatikan keresahan ayahnya. "Ya, tadinya Papa ingin mengajaknya jalan-jalan." Devdas menjawab sambil menggaruk-garuk kepala, masih merasakan sensasi jemari Delisha merayap di sela rambutnya. Kepalanya terasa ringan, benar-benar tangan yang berkhasiat, akan tetapi bagian bawahnya menjadi berat luar biasa. "Tapi Delisha menanyakan soal mendiang ibumu, jadi aku mengatakan apa adanya dan membawanya ke sini untuk memperlihatkan seperti apa penampilannya saat menjadi pengantin." "Lalu apa katanya? Apa tanggapannya?" "Ia tidak percaya, seperti kalian tahu dia pandai, tetapi kadang bisa sangat keras kepala dengan apa yang diyakininya." Rani melihat ayahnya kehilangan semangat. Segera ia peluk Devdas dan menepuk-nepuk punggungnya. "Sabarlah, Pa. Dari yang kulihat tadi, ia kagok. Aku pun akan terkejut dan sukar memahami kejadian ini. Tapi setidaknya ia tidak menolak Papa mentah-mentah lagi, bukan?" Devdas tidak tahu apakah Rani mencurigai hal yang mereka lakukan berdua di kamar, tetapi mengingat kejadian tadi, Delisha tidak menolaknya, mungkin karena tidak sanggup karena ia terlalu memesona. Ya, dia benar-benar tidak menolak. Malahan, ia yang memutus percumbuan itu. Devdas semringah yang segera ditahannya. "Semoga saja. Rasanya semakin tak tertahankan ibu kalian itu." Kening Rani mengernyit. "Mama ataukah Papa yang sudah tidak tahan?" Muka Devdas bersemu dipeloncoi putrinya sendiri. Rani tersenyum kecil dan menyikut ayahnya. "Bantu Mama lulus sekolah dulu, Pa. Ia pasti akan lebih menghargai Papa." Devdas membolak balik bola matanya. "Iya, iya, ini sudah Papa bantu," rengutnya. Dengan menyingkirkan para lelaki yang hanya akan mengganggu Delisha belajar. Rani gandeng Devdas agar turun bersamanya ke dapur untuk makan malam. "Jadi, apa saja yang Papa bicarakan dengannya tadi? Apa Papa memberitahu bahwa ia adalah wanita yang melahirkan anak-anak Papa?" "Tidak, tapi kurasa ia bisa mengetahuinya sendiri setelah ia menerima kenyataan bahwa dialah istriku." Aaryan dan Chander yang datang belakangan setelah latihan sepakbola menimbrung percakapan mereka. "Apa yang kalian bicarakan? Mama tadi ke sini? Sungguh? Papa sudah ada kemajuan yang sangat penting berarti. Ayo, Pa, semangat, usaha terus, jangan mau kalah sama ABG-ABG itu!" Rani yang berceletuk menepis ucapan bocah-bocah itu. 'Isshh, anak-anak itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Papa kita. Kenapa kalian menyandingkannya sebagai lawan Papa? Benar-benar tidak level!" Devdas senyum-senyum saja. Ia menyeruput teh masala, kemudian tersedak. Rani dan si kembar sampai khawatir melihatnya. "Papa kenapa?" "Ehmm! Ehm! Tidak ada apa-apa," sahut Devdas dengan muka merah padam dan harus mendeham beberapa kali. Ia bergegas beranjak dari kursi. "Papa ke atas sebentar. Ada sesuatu yang harus Papa lakukan," katanya. Begitu berbelok di tangga, Devdas melesat ke kamarnya dan di sana ia tersandar di balik pintu lalu mendesah seolah sesuatu yang berat membebaninya. "Oh, Delisha-ji ...," desah Devdas seraya menyentuh diri, karena melalui mata Siberian, ia melihat Delisha melepas seluruh pakaiannya. Gadis itu sampai di rumahnya dan ingin mandi, tetapi masih merasakan gelenyar-gelenyar gelisah. Ia berdiri di depan cermin di kamarnya dan tidak segan-segan memelorotkan seluruh pakaian yang dikenakannya sehingga ia bisa memandangi tubuhnya tanpa ada sejengkal pun tertutupi. Delisha mengusap lehernya. Ada bekas merah jejak ciuman Mister D di sana, lalu ia melirik ke pinggulnya yang terasa pegal karena di sana ada bekas telapak tangan Mister D saat mencengkeramnya seolah ia hendak diremukkan. Ia seharusnya mengadukannya hal itu kepada ayahnya, tetapi apakah ayahnya akan berbuat sesuatu? Mister D adalah tunangannya, seperti yang diklaim pria itu, ia adalah miliknya. Jadi, apakah salah Mister D menyentuhnya semesra tadi? Delisha lalu menyedekap kedua buah daranya yang berdenyut panas. Bagian tubuh itu baru mengembang, Mister D sangat keterlaluan tidak mengira-ngira meremasnya. Delisha memegang buahnya sebagaimana tangan pria itu ada di sana, lalu ibu jarinya menyentil-nyentil pucuk mungil yang merah merona, bekas dikenyot pria itu. Delisha mendesah dan terpejam. Di lain tempat, Devdas juga mendesah. "Ya, sayang. Sentuh dirimu seperti itu. Apakah rasanya nyaman?" Delisha menggeleng kuat berusaha mengenyahkan imajinasinya, tetapi daya tarik kenikmatan itu begitu kuat. Delisha merapatkan kedua tungkai kakinya, dan sebelah tangan dijepitnya, membelai bulu-bulu halus di sana. Ia tertunduk dalam dan terisak. Kenapa rasanya sangat enak ketika disentuh? Apa yang telah terjadi pada tubuhku? Katanya aku istrinya. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah aku dulu mencintainya? Apakah aku dulu menyukainya? Tetapi jika aku tidak menyukainya, bagaimana bisa kami memiliki anak? Ada Rani, Aaryan, dan Chander. Apakah wajah mereka gabungan wajahku dan wajah Mister D? Mereka anak-anak yang rupawan dan memiliki kekuatan turunan ayah dan ibu mereka. Apakah dulunya aku sangat hebat sehingga bisa menjadi pendamping pria sehebat Mister D? Devdas melihat wajah gundahnya melalui pantulan di cermin. Jika Delisha masih berdiri mengagumi tubuhnya, Devdas sudah nyaris merangkak di lantai bak seekor anjing, lidahnya terjulur kehausan dan tak segan-segan ia jilati milik Delisha jika gadis itu ada di hadapannya. Devdas menghela napas susah payah berusaha mengumpulkan kewarasannya. Ia bisa saja mendobrak flat Richard Lee dan menemui gadis itu, tetapi apakah itu tindakan yang pantas? Devdas tutup penglihatan Siberian. "Hentikan sekarang juga atau semua rencanamu akan kacau!" Devdas geram pada diri sendiri. Ia segera meninggalkan kediamannya. Devdas pergi ke istana Erion. Sudah sering ke sana sehingga perjalanan itu terasa singkat. Raja jin udara itu sudah tahu apa yang diinginkan Devdas hanya dengan melihat mukanya. Erion menelengkan kepala. "Masuk ke kamar!" ujarnya agak menggerutu. Devdas masuk ke kamar yang dimaksud Erion tanpa basa-basi. Di dalam sana, bermunculan replika-replika Delisha yang siap melayaninya tanpa lelah. "Tuanku ...," panggil mereka dengan suara mesra lalu berebutan memeluk Devdas. Devdas telanjangi mereka sehingga ia bisa menjilati kegadisan mereka seolah ia melakukannya pada gadis belia nun jauh di sana. *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN