Jika kalian pernah melihat film Final Destination, di mana ada salah satu penumpang bus atau pesawat tiba-tiba berteriak, "kalian semua akan mati! Kalian semua akan mati!" Itulah yang persis dilakukan Delisha. Ia berdiri di tengah bus, di bawah tatapan keheranan, takjub, serta mencemooh dari orang-orang. Sebagian lagi sibuk merekam kejadian itu.
Tidak ada seorang pun mendukungnya, tetapi Delisha bersikukuh dan berusaha mengajak anak-anak. "Ayo, cepat kita keluar dari bus ini!"
"Tidak! Kami mau pergi ke sekolah," rengek beberapa anak sehingga menyulut kemarahan orang-orang pada Delisha.
"Hei, jangan memaksa anak-anak kami! Kau hanya mengganggu semua orang. Bus berikutnya akan segera tiba. Cepat keluar dan biarkan anak-anak melanjutkan berangkat ke sekolah mereka."
"Iya. Keluar! Pergi dari sini!"
Sopir bus menarik tangan Delisha. "Kau dengar itu, gadis muda? Sebaiknya kau keluar sebelum ini menjadi masalah serius."
Wanita itu menyeretnya, akan tetapi Delisha berpegangan ke lengannya. "Tapi aku tidak bohong! Kalian akan mengalami kecelakaan yang sangat parah dan banyak anak-anak tewas, termasuk Anda, Bu! Aduh!" Delisha terempas ke trotoar. Tidak ada seorang pun membantunya berdiri, membuat Delisha merasa terpuruk. Ia menahan tangisnya sekuat tenaga.
Ada satu atau dua anak yang tidak jadi naik bus dan dibawa pulang orang tuanya karena mereka ketakutan. Namun, anak-anak lain tetap di dalam bus. Sopir bergegas menutup pintu bus sambil menyuarai Delisha. "Jika kau tidak ingin ke sekolahmu, tidak apa-apa, tapi jangan menghambat orang lain!"
Semua mata tertuju pada Delisha dan menudingnya.
"Dasar bocah kurang kerjaan!"
"Gadis aneh."
"Gila."
"Stress."
"Pecandu."
"Cari sensasi."
"Berhalusinasi."
"Kasihan, gadis yang malang. Dia pasti kurang kasih sayang. Apa dia mabuk sesuatu?"
Kecaman orang-orang dan bayangan anak- anak yang tewas sedang menontonnya, membuat Delisha merasa dikepung. Ia menutup telinga, akan tetapi suara-suara itu malah menggema dalam kepalanya. Mereka tidak bisa melihat apa yang dilihatnya. Bagaimana ia bisa menjelaskannya?
Delisha tidak menyerah begitu saja, meskipun ia berjuang seorang diri. Ketika bus sekolah itu mulai bergerak, ia berlari ke depan bus dan merentangkan tangan.
Ckiiiit!
Bus direm mendadak. "Astaga, masih saja!" gerutu sopir. Ia membunyikan klakson berkali-kali, tetapi gadis itu tidak juga menjauh. Mobil-mobil di belakang bus tidak bisa bergerak sehingga timbul kemacetan.
"Wah, ini parah. Polisi harus turun tangan," gumam orang-orang.
Delisha berteriak sambil berderai air mata. "Kalian tidak mengerti. Aku tahu apa yang kulihat. Kalian akan segera mati, karena itu kalian tidak boleh ke mana-mana!"
"Hei, kami tidak bisa kau takut-takuti, gadis gila! Pulang sana! Jangan sok jadi cenayang atau orang-orang akan menuntutmu karena mengancam ketentraman publik!" sahut orang di pinggir jalan.
"Aku tidak peduli! Pokoknya bus ini harus tetap di tempat!" sahut Delisha lantang kemudian melekap ke muka bus. Delisha akan bertahan sampai kapan pun di bus itu, akan tetapi dua petugas polisi datang dan menariknya ke tepi jalan.
"Cukup sensasinya, Nak!"
"Tidak! Tidaaaak!" Delisha berteriak histeris.
Salah satu polisi mengarahkan bus melanjutkan perjalan. Alur lalu lintas pun lancar kembali. Sementara petugas yang satunya memborgol Delisha. "Kau telah menganggu ketertiban publik, gadis muda. Kami akan membawamu ke kantor polisi dan menginformasikan pada orang tuamu."
"Mampus!" Orang-orang menghardik Delisha sambil lalu.
Bus itu menjauh, bersamaan Delisha kehilangan harapannya.
Apakah aku gagal? batinnya. Delisha tidak mengkhawatirkan soal urusan kepolisian dan orang tuanya. Ia justru memikirkan kondisi anak-anak itu. Mereka sudah pergi, akan tetapi hawa kematian masih terasa seperti hawa dingin membelai tengkuknya. Sambil digiring ke mobil patroli, Delisha memelas pada petugas. "Tolong bantu aku, Opsir. Aku punya penglihatan ini. Aku tahu bagaimana mereka mati. Kita harus mencegahnya!"
Opsir itu berusaha menenangkan Delisha. "Kami akan memantaunya, Nak. Jangan khawatir." Delisha dimasukkan ke kabin penumpang, sementara kedua opsir duduk di kursi depan. Salah satunya menjalankan mobil dan yang satunya berbicara di radio. "Semua unit, ada bus sekolah Uvalley, dikatakan akan mengalami kecelakaan. Tolong dipantau!"
"Roger that!" sahut unit patroli lain.
Opsir itu lalu menoleh pada Delisha. "Nah, unit lain sudah menanganinya. Kami pastikan tidak akan ada hal buruk apa pun menimpa bus itu. Sekarang, kau tetap harus menjelaskan kepada kami kenapa kau bertingkah seperti tadi."
Delisha tidak punya pilihan lain kecuali mempercayakan pada orang dewasa mengurus hal itu. Ia digiring ke kantor polisi lalu didudukkan di hadapan opsir lain yang menginterogasinya.
Namun, berada di sana, bukannya tenang, Delisha malah bertambah tertekan. Banyak arwah penasaran bergerombol mengelilinginya. Mereka arwah wanita muda dengan wujud layaknya mayat yang membusuk, tanpa busana, dan bagian tubuh berbekas terpotong-potong sangat rapi. Sentuhan mereka membuat Delisha merasa nyeri dan dingin sekujur tubuh. Mereka bersuara lirih, "Tolong kami... kami tahu kau bisa melihat kami .... Kami mohon .... tolong kami ...."
Kenapa harus di saat seperti ini? Delisha tidak bisa fokus. Ia tidak sudi berinteraksi dengan mereka atau para polisi akan semakin yakin ia gila atau sedang sakau.
"Bisa kau ceritakan kenapa kau menghalangi bus tadi?" tanya opsir.
Delisha meringkuk terisak-isak. Ia menjawab pertanyaan opsir itu dengan satu kalimat. "Aku hanya akan bicara setelah ayahku tiba di sini."
Ayah Delisha dihubungi dan para polisi terkejut mengetahui siapa pria itu. Richard Lee, seorang pengacara terkenal, pimpinan yayasan milik Xin Corp dan juga diketahui punya latar belakang militer yang mumpuni.
Sekitar 1 jam kemudian, Richard Lee datang sebagai ayah sekaligus pengacara putrinya. Delisha berada di ruangan interogasi terlihat depresi, sementara polisi bicara pada Richard. Mereka mengumpulkan beberapa informasi mengenai Delisha dan ternyata perilaku gadis itu memang dikeluhkan beberapa orang. Suka aneh-aneh dan hal-hal berbau mistis.
"Putri Anda membuat kekacauan ini, Tuan Lee. Kami mengenal Anda dan merasa sungkan mengurus ini, tapi ulah putri Anda sedikit tidak biasa. Kami berharap Anda bisa memberikan penjelasan."
"Putriku memang memilliki intuisi yang tajam, terutama kepada anak-anak, Opsir. Kekhawatirannya kadang berlebihan, tetapi saya jamin bahwa putri saya tidak ada niat membahayakan siapa pun."
"Kami mengerti, Tuan Lee, tapi emosinya sedikit labil. Apakah ia mengalami masalah di rumah atau di sekolah?"
"Anak mana yang tidak bermasalah di zaman sekarang? Putri saya memang rutin konsultasi ke psikolog," pungkas Richard. Dia memperlihatkan surat keterangan dari psikolog Xin Corp agar membungkam opsir itu. "Dia dibesarkan tanpa kehadiran ibu, sedangkan saya tidak bisa selalu ada di sisinya. Sedikit banyak itu mempengaruhi pertumbuhannya. Apalagi di usia sekarang. Anda tahu 'kan, anak gadis sangat dipengaruhi hormon mereka, membuat emosi mereka naik turun tak terkendali."
Bukan maksud Richard merendahkan putrinya, akan tetapi dari pengamatannya, semakin bertambah umur Delisha, serta perubahan biologisnya, indera keenamnya turut berkembang dan semakin sensitif.
"Oke, baiklah. Karena putri Anda tidak pernah terlibat pelanggaran hukum ataupun bermasalah sebelumnya, maka kami bisa mempersilakan dia pulang. Maaf sudah menyita waktu Anda, Tuan Lee."
"Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menghubungi saya secepatnya. Akan saya nasihati dia supaya tidak membuat kegaduhan lagi. Maaf sudah merepotkan Anda semua."
"Sama-sama, Tuan Lee. Mari, saya antar Anda menemui putri Anda."
Urusan itu selesai tanpa bertele-tele. Richard membawa pulang putrinya dan ia tidak menasihati Delisha seperti yang dikatakannya tadi, karena ia mempercayai Delisha walaupun tidak tahu harus melakukan apa. Di mobil, Richard belum berkata apa pun, Delisha mendekapnya dan menangis tersedu-sedu. "Aku tidak mengada-ada, Dad. Anak-anak itu akan segera mati. Aku harus mencegahnya."
Richard menghela napas dalam, kemudian mengusap lembut kepala Delisha. "Daddy tahu, sayang. Kau sudah melakukan yang terbaik, sekarang kita biarkan alam semesta yang memutuskan. Sering kali, kita harus merelakan apa yang terjadi."
"Jadi, Daddy akan membiarkan mereka mati begitu saja?" sahutnya gusar sambil menatap tajam sang ayah.
Richard Lee menghindar bertatapan dengan netra cokelat putrinya. "Ada hal yang di luar kekuasaan kita, Delly dan tidak bisa kita hentikan."
Delisha menelan ludah yang terasa sangat menyakiti tenggorokannya. Seolah perlawanannya sia-sia. Bahkan orang berpengaruh seperti ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang bisa menghentikan malaikat maut menunaikan tugasnya?
Sementara Delisha dan ayahnya dalam perjalanan, polisi patroli kembali ke kantor mereka dan memberitahu rekan-rekan mereka apa yang terjadi di jalanan.
"Kalian tahu bus yang sempat dihentikan gadis tadi? Ada kecelakaan terjadi di jalur bus itu sehingga bus anak-anak itu kami pindahkan ke jalur lain. Sebuah mobil menabrak tiang listrik karena pengemudinya mabuk. Kalau dipikir-pikir, jika bus itu tidak tertunda oleh ulah gadis itu, bisa jadi mobil tersebut menabrak bus dan kita mendapatkan akhir yang sangat buruk."
Opsir lain berceletuk, "Jadi, gadis itu benar? Anak-anak itu bakal tewas karena kecelakaan?"
"Bisa jadi."
"Wow, luar biasa! Gadis itu mungkin benar-benar berbakat jadi cenayang."
Namun, ada juga yang berkomentar skeptis. "Ayolah, kawan-kawan! Kalian percaya hal gaib seperti itu? Yang benar saja?!"
"Mungkin saja, tetapi kejadian seperti ini aku rasa bukan hal ajaib. Ibarat sebuah kebetulan yang berfaedah, sama halnya ketika ada orang yang memenangkan lotere. Tebak-tebakan iseng berhadiah. Kita jangan terpengaruh keajaiban ini. Apa kata dunia? Kinerja kita nantinya akan dibanding-bandingkan dengan hal supranatural. Itu akan mempermalukan institusi kita."
"Benar juga," gumam orang- orang sambil mengangguk-angguk.
Satu opsir tampak manut seperti yang lainnya, akan tetapi matanya nyalang melirik berkas berisi identitas dan foto gadis tadi.
"Delisha Lee Andrews," bisik pria itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Desir darah dalam tubuhnya menggelora seolah menemukan tantangan baru. Dalam hati, ia berujar bergai.rah, jadi kau punya kemampuan itu, gadis manis? Daddy jadi menyukaimu. Tunggu Daddy akan datang padamu.
Tanpa bisa dilihat seorang pun, arwah para wanita yang mati disiksa dan dimutilasi mengerubungi pria itu. Mereka mengecamnya dengan suara yang tak didengar siapa pun, bagaikan suara rakyat jela.ta. "Pembunuh! Kau telah merenggut kehidupan kami. Kembalikan hidup kami, ba.jingan! Kembalikan hidup kami ....!"
***
Berita itu menyebar dengan cepat dan menjadi topik hangat diperbincangkan orang-orang. Apalagi banyak video beredar dan saksi mata yang membeberkan kejadian di tempat. Banyak orang tua berterima kasih pada sosok gadis tak dikenal itu dan memuji keberaniannya.
Namun, Delisha belum lagi mengetahui hal itu. Sesampainya di rumah, ia berlari ke kamar, mengempas diri di ranjangnya dan memeluk Siberian. Bersama anjing itu, ia bisa sedikit mendapat ketenangan, meskipun tidak mengenyahkan seluruh firasat buruknya.
Richard Lee berdiri di ambang pintu, merasa prihatin pada anak gadisnya. "Kau mau Daddy ambilkan sesuatu? Mungkin cokelat panas atau pizza?"
"Tidak usah, Dad. Tinggalkan saja aku sendirian." Delisha membenam wajahnya di bantal.
"Baiklah," ucap Richard pasrah, lalu menutupkan pintu.
Delisha menampakkan wajahnya yang sembap. Ia sangat berharap ada teman bicara yang sefrekuensi dan bisa mengecek keberadaan anak-anak itu untuk memastikan keselamatan mereka. Ia berpikir untuk meninggalkan tubuhnya agar urusan menjadi lebih gampang.
Delisha lekas menghapus sisa air mata dan bangkit dari kasur. Ia mulai membuat persiapan dengan mengunci pintu, lalu ke nakas mencari jimat-jimat yang menurutnya bisa melindunginya.
Siberian keheranan melihat nona kecilnya sibuk sendiri. Delisha mengumpulkan aneka talisman dan menaruhnya di ranjang, kemudian dia menuju jendela untuk memeriksa keadaan di luar apakah aman dari makhluk halus. Delisha tercenung ketika melihat para arwah penasaran di kantor polisi tadi berjejer mengelilingi halaman rumahnya. Tanpa sadar ia berucap lirih, "Apa-apaan ini?" Mereka mengikutiku?
Siberian menyusul ke sisi Delisha, berdiri dengan kedua kaki depan bertumpu ke kusen jendela. Ia juga melihat para arwah itu dan merasakan hawa berbahaya sehingga Siberian menyalak keras ke arah luar.
Para arwah itu jelas-jelas menatapnya sehingga Delisha ketakutan. Ia segera menutup jendela. Richard mendengar salakan tak ramah Siberian segera datang mengecek. "Delisha, ada apa?" tanya Richard dari luar kamar. Ia tersentak ketika mendapati pintu kamar terkunci dari dalam. "Delisha, ada apa ini? Cepat buka pintunya!" desak Richard sambil menggedor-gedor.
Delisha mendesah pasrah rencana berpindah dimensinya gagal. Ia segera membukakan pintu dengan enggan menatap ayahnya.
"Apa yang hendak kau lakukan?" cecar Richard dan ia terhenyak melihat persiapan di ranjang putrinya. "Kau berencana meninggalkan tubuhmu? Setelah kau tahu bahayanya melakukan itu? Apa kau sadar apa yang bisa terjadi jika seseorang mengambil alih tubuhmu?"
Delisha berpaling dengan perasaan bersalah dan membiarkan ayahnya masuk. "Aku tidak jadi melakukannya, Dad. Tolong jangan marah." Ia merapikan aneka jimat dan menyimpannya kembali ke laci.
"Karena aku menangkap basah ulahmu. Jika aku tidak mendengar suara Siberian, entah sudah ke mana kau melanglang buana."
Siberian masih menyalak ke arah jendela yang tertutup rapat beserta tirainya padahal hari masih siang, sehingga Richard jadi bertanya, "Kenapa dengan Sibe? Apa ada sesuatu di luar?" Richard bergegas mendekati jendela ingin menyibak tirai itu, akan tetapi Delisha mencegahnya.
"Jangan dibuka, Dad. Memang ada sesuatu di luar sana dan aku tidak ingin mereka melihatku. Keberadaan mereka saja sudah membuatku gelisah."
Kening Richard mengernyit. "Aneh sekali. Hal seperti ini sudah lama tidak terjadi. Apakah ada makhluk lain yang mencoba menerobos rumah kita?"
Delisha mengintip dari sela tirai untuk memastikan keberadaan makhluk tak kasat mata itu. Mereka masih ada sehingga Delisha memutuskan mengungkapkannya, walaupun dengan menghayati energi para arwah itu sama dengan menerapkan derita yang sama pada tubuhnya. "Mereka berasal dari kantor polisi tadi, Dad. Sungguh, aku sama sekali tidak menduga ini. Mereka para wanita muda yang tewas dengan cara sangat tidak manusiawi. Aku rasa mereka dibius terlebih dahulu, kemudian dipotong dalam keadaan masih hidup karena dengan begitu, pembunuhnya merasakan darah mereka masih panas dan memuncrat saat dipotong." Delisha tidak bisa melanjutkan lagi karena tubuhnya lemas dan mau muntah.
Richard melihat putrinya pucat pasi dan limbung segera memapahnya ke ranjang. "Duduk dulu, sayang," katanya. Jika ia tidak tahu bakat alami Delisha, Richard akan menganggap Delisha berhalusinasi atau mengarang cerita. Namun, mengetahui kondisi sebenarnya, membuat Richard mempertanyakan satu hal. Di mana Devdas di saat-saat genting seperti ini?
Richard mengambilkan minum untuk putrinya. Setelahnya, Delisha merasa lebih baik dan melanjutkan memberitahunya. "Pelakunya hanya satu orang, Dad."
"Maksudmu, semua perempuan itu dibunuh oleh orang yang sama? Mereka korban pembunuh berantai?"
"Itukah sebutannya? Aku tidak tahu, Dad. Tampaknya mereka datang ke kantor polisi itu berharap polisi menangkap pelakunya, tapi sepertinya tidak berhasil."
"Jadi, mereka melihatmu ... dan meminta bantuanmu?"
"Lebih tepatnya memaksaku, Dad. Aku tidak tahan berdekatan dengan mereka. Kehadiran mereka saja sudah membuatku tertekan."
"Kau ingin Daddy mengusir mereka? Katakan bagaimana caranya? Apakah Siberian bisa melakukan itu? Aku akan bawa Siberian ke halaman biar menakuti mereka."
Delisha malah panik lalu mondar-mandir sambil memijat keningnya. "Mereka terlalu banyak, Dad. Sibe tidak akan sanggup mengatasi mereka."
Richard diam sejenak, kemudian berkata agak segan, "Apakah kita mesti minta bantuan Mister D?"
Delisha ingin berkata, tapi Mister D sedang tidak ada di kota, Dad. Bahkan anak-anaknya juga tidak ada. Namun, ia terlalu malu ayahnya bakal tahu bahwa belakangan ini ia mengecek keberadaan Mister D sekeluarga. "Apa yang Daddy katakan? Daddy orang yang sangat mampu mengatasi hal-hal demikian. Kenapa kita mesti melibatkan orang luar?" kilah Delisha.
Bola mata Richard berputar. "Orang luar?" gumamnya, tetapi Delisha mengabaikannya.
"Ayolah, Dad! Gunakan koneksi Daddy dan orang-orang terbaik Daddy," desak Delisha.
"Baiklah," sahut Richard ragu, tetapi ia ingin menenangkan Delisha. Richard mengeluarkan ponselnya lalu bicara dengan seseorang. "Tolong selidiki kasus pembunuhan dan orang hilang selama 1 dekade ini. Ciri-cirinya, korban perempuan berusia 20-35 tahun dan dimutilasi, baik yang ditangani FBI maupun kepolisian setempat. Ya, kabari aku hasilnya secepatnya."
Richard selesai menelepon dan sedikit terhibur melihat putrinya tampak lebih lega. "Oke. Selanjutnya, apa lagi yang kita lakukan?" tanya Richard.
Delisha semringah, menggenggam tangan ayahnya penuh harap. "Temani aku mengecek keberadaan anak-anak sekolah itu, Dad. Please, Dad, aku harus memastikan mereka benar-benar baik-baik saja!"
Richard tahu putrinya tidak akan tinggal diam. Daripada Delisha berpindah ke wujud astral dan berpotensi membuka cakra-cakranya, lebih baik masalah ini diselesaikan secara manual. Ia pun segera menyetujui ajakan Delisha. Mereka ke bermobil dan mengajak serta Siberian sebagai pengamanan dari arwah penasaran.
Sebelum mereka tahu menuju ke mana, Richard mengecek informasi soal anak-anak SD Uvalley itu dan muncul terlebih dahulu berita bus mereka terhindar dari kecelakaan pagi tadi.
"Hei, lihat ini! Delly, kau benar-benar menyelamatkan mereka!" seru Richard seraya memperlihatkan layar ponselnya.
"Benarkah, Dad? Jadi aku benar. Mereka selamat?"
"Ya, itu yang dikatakan di berita."
Delisha mengambil ponsel itu dan membaca sendiri artikel tersebut. Antara percaya dan tidak, Delisha masih bertanya-tanya dalam hati kenapa ia masih saja tidak tenang? "Aku masih belum yakin, Dad," katanya sambil mengembalikan ponsel Richard.
"Apa lagi yang membuatmu cemas?"
"Aku tidak yakin Kematian melepaskan mereka begitu saja."
Richard terperangah. "Delly, aku rasa kita sudah membahas ini tadi. Kau sudah melaksanakan kewajibanmu. Kau mencegah mereka mengalami kecelakaan. Sudah. Cukup. Selesai sampai di situ."
Delisha menggeleng kuat. "Tidak, Dad. Please, Dad. Kita harus mengusut ini sampai tuntas. Aku tidak akan bisa tenang seumur hidupku jika tidak melakukan ini. Aku harus berusaha dengan seluruh kemampuanku. Aku harus melihat mereka sekali lagi untuk memastikan. Please, Dad! Sekali ini saja. Jika semuanya baik-baik saja, kita pulang dan aku tidak akan membahas hal ini lagi. Aku berjanji!"
Richard kelu untuk beberapa saat. Untuk melakukan itu, ia butuh seluruh daftar anak yang naik bus tersebut dan alamat rumah mereka. Tidak susah baginya mendapatkan informasi itu, akan tetapi mengunjungi rumah mereka satu per satu akan jadi pekerjaan yang merepotkan.
"Dad, please ...." Delisha memelas dibarengi gonggongan dan tatapan mengiba Siberian. Richard tidak bisa mengatakan tidak pada dua makhluk itu.
"Baiklah," desah Richard sambil menjalankan mobilnya. "Kita bakal melakukan ini sepanjang hari. Jadi, jangan mengeluh!" nasihat Richard.
"Yeaay! Daddy memang ayah terbaik!" sorak Delisha gembira. Kemudian dia duduk dan tersenyum penuh semangat sambil menatap jalanan serta mendekap Siberian.
Richard melakukan yang terbaik untuk menyenangkan putrinya, akan tetapi ia sadar kemampuannya tidak akan bisa menyaingi kemampuan Devdas. Diam-diam ia mengirim pesan ke Devdas. [Kau di mana? Cepatlah nongol, i.diot!]
***
Kekhawatiran Delisha terbukti benar. Hari masih sore saat mereka mengunjungi rumah pertama dalam daftar. Mereka bertemu anak yang merupakan siswa SD Uvalley. Delisha masih melihat penampakan yang sama pada anak itu.
"Ada apa? Ada yang bisa saya bantu?" tanya ibu anak itu, muncul di ambang pintu bersama putri kecilnya yang berusia 7 tahun.
Delisha menyembunyikan mukanya dengan bersandar di belakang ayahnya, berusaha menahan tangis.
"Kami kebetulan lewat dan melihat rumah ini sangat unik dan strategis. Apakah rumah kalian dijual?" tanya Richard.
"Hmm? Tidak," jawab wanita itu.
"Oh, baiklah, kalau begitu kami permisi. Senang bertemu Anda, Nyonya," ujar Richard lagi lalu pergi dari rumah itu sambil menggandeng putrinya.
Tingkah mereka sangat canggung, tetapi Richard tidak punya pilihan lain demi menuruti keinginan putri semata wayangnya. Di dalam mobil, Delisha langsung merengek-rengek, "Dia masih sama, Dad. Anak itu belum lolos dari maut. Ia masih berlumuran darah dan penuh luka-luka."
"Mungkin memang demikian cara mereka tewas, Delly, tapi entah kapan. Mungkin nanti saat mereka dewasa dan entah kecelakaan apa. Kita tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya," pendapat Richard.
"Tidak, Dad. Aku melihat sumbu hidup mereka. Jika umurnya masih lama, sumbu mereka masih panjang, tapi ini ... sangat pendek dan hawanya sangat mencekam."
Mereka melihat anak berikutnya sedang bermain sepeda di halaman rumah, sehingga mereka mengawasinya dari dalam mobil saja kemudian berlalu. Terhadap anak itu, Delisha melihat penampakan yang sama. Ia makin gelisah dan mencak-mencak tak karuan.
"Apa yang harus kulakukan? Ya Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berpikir," desahnya putus asa.
Richard yakin Devdas tahu jawabannya, tetapi masalahnya pria itu tidak jua menghubunginya. Richard mengulur-ngulur waktu saja bersama putrinya. "Bisakah kau menjelaskan secara spesifik bagaimana mereka mati? Seperti lokasinya, penyebabnya, jam yang pastinya."
Delisha menggeleng sembari memijat kening. "Tidak bisa, Dad, kecuali setelah mereka mati, baru aku bisa mencari tahu. Selama mereka masih hidup, aku tidak tahu."
"Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana cara penglihatanmu bekerja, Delly. Coba padaku. Katakan apa yang kau lihat soal kematianku."
"Daddy baik-baik saja," jawab Delisha enggan, bahkan tidak mau menatap ayahnya.
"Yang benar saja, Delly. Kau melihat sesuatu pada anak itu, tapi kau tidak bisa menerawangku. Bisa saja penglihatanmu menipumu," tuding Richard.
"Jika makhluk astral, bisa saja melakukan itu, Dad, tapi manusia biasa tidak."
"Oh ya? Kalau begitu jabarkan bagaimana kematianku. Aku tidak akan takut. Kau tahu aku sering baku tembak dan turun ke medan berbahaya demi misi. Aku yakin suatu saat kematianku karena tembakan atau ledakan."
"Tidak, Dad, kau punya umur yang panjang dan baik-baik saja sampai hari tuamu. Kau akan mati karena sebab alami," pungkas Delisha dengan gamblangnya.
Tiba-tiba Richard gamang. "Kau sendiri ... Bagaimana? Apa kau bisa melihat berapa sisa umurmu dan bagaimana kau mati?"
"Nah, di situlah tipu dayanya. Sama seperti aku melihat penampakan binatang atau aura pada orang lain, aku tidak bisa melihat itu pada diriku sendiri. Jadi, aku tidak bisa melihat sisa umurku atau bagaimana aku mati."
"Oh," Richard berseloroh pendek. Kemudian ia bertanya hal sepele, "Kau melihat Daddy sebagai binatang apa? Daddy lupa."
"Serigala, Dad. Aku tidak percaya Daddy lupa. Daddy hanya ingin mengalihkan perhatianku, 'kan?" gerutu Delisha.
Richard terkekeh. "Aku berusaha membuatmu lebih tenang dan nyaman, sayang. Siapa tahu kau akan berpikir lebih jernih dan bisa mengambil keputusan terbaik."
"Daddy ingin aku mundur? Tidak, Dad. Selama aku masih hidup, aku akan berusaha mengatasi hal ini. Aku yakin aku pasti bisa," tekad Delisha.
Richard pun membisu. Devdas sudah menjelaskan kekeraskepalaan Delisha yang terbentuk sejak zaman kolonialisasi di India. Sekarang ia melihat sendiri buktinya. Richard memutar arah mobil tiba-tiba, membuat Delisha tersentak. "Daddy, apa yang Daddy lakukan? Kita mau ke mana?" cecar Delisha.
"Kita pulang, sayang," jawab Richard tenang, bersiap dengan amukan sang putri.
"Pulang? Tidak, Dad! Tidak! Daddy sudah berjanji akan membantuku sampai akhir. Kita bahkan belum separuh jalan. Kenapa Daddy tiba-tiba berubah pikiran? Ini tidak adil! Daddy ingkar janji!"
"Ini demi kebaikanmu, Delisha!" tegas Richard. "Anak-anak itu akan bernasib sesuai takdir mereka. Itu sudah bukan kewenangan kita lagi."
Delisha memukuli pundak ayahnya. "Kau tidak bisa melakukan ini, Dad! Kau mengkhianatiku! Kenapa Daddy menyerah? Daddy pengecut!"
"Aku tidak menyerah, Delly, tapi aku memutuskan jalan keluar terbaik mengatasi ini, yaitu menyuruh Mister D menyelesaikannya."
"Aku ragu ia bisa mengatasinya. Ia bahkan tidak bisa menyelamatkan istrinya. Bagaimana ia bisa menyelamatkan 18 nyawa sekaligus?"
"Lalu kau sendiri bagaimana? Apa kau punya solusi, hah?!" sahut Richard membentak karena habis kesabarannya.
"Aku tidak tahu, tapi aku yakin aku bisa melihat malaikat maut. Aku akan bicara dan menawarkan nyawaku sebagai gantinya!"
Richard terperangah dan tidak bisa lagi membantah perkataan Delisha. Semakin ditentang, Delisha justru mengulang sejarah reinkarnasinya semakin cepat. Rahang Richard terkatup rapat sembari menambah kecepatan mobilnya. Ia tetap membawa putrinya pulang, meskipun Delisha bakal menangis darah. Gadis itu terus memukulinya, "Daddy tega! Daddy kejam!"
Richard hanya bisa membatin, Maafkan aku, Delly. Ini demi kebaikanmu sendiri. Berhenti mencampuri kehidupan orang lain!
****
Bersambung....