"Maafkan Daddy, Baby," lirih Richard seraya menyeret putrinya ke dalam rumah. Delisha menangis berderai air mata sambil memukul-mukul tangannya.
"Daddy pembohong! Pengkhianat!"
"Ini untuk kebaikanmu!" bentak Richard. Delisha terus melawan sehingga ia bawa anak itu ke dalam kamar dan mengurungnya.
"Dengan melakukan ini Daddy sama dengan membunuh mereka!" teriak Delisha dari balik pintu.
Richard memijat kening mencoba menyabarkan diri. Jika orang tua lain pusing karena kenakalan remaja atau anak mereka marah tidak diizinkan pergi ke pesta atau berpacaran, ia pusing karena putrinya ingin jadi penyelamat umat manusia.
"Terserah apa pendapatmu. Bahkan seorang nabi tidak bisa mencegah kematian mengenaskan anak-anaknya, apalagi kita. Belajarlah mengabaikan semua yang kau lihat, Delisha. Lakukan apa saja untuk menyibukkan dirimu. Entah yoga, mengurus bunga, menggambar, nonton film atau apa pun. Aku tidak akan mengizinkanmu keluar kamar selama kau masih bersikeras dengan keinginanmu!"
Delisha meringkuk di sudut ruangan sambil menangkup kepalanya. "Tapi aku tidak bisa. Aku melihatnya dan aku tidak bisa mengenyahkannya...."
Richard tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tinggalkan kamar Delisha lalu pergi ke ruang kerjanya. Ia berusaha menelepon Devdas. "Sialan! Kenapa kau tidak bisa dihubungi juga, berengsek!" gerutu Richard karena teleponnya tidak menyambung ke nomor Devdas. Ia menghubungi Vijay, dan ajudan itu pun juga tidak bisa menghubungi tuannya.
Seorang diri di kamar, Delisha nekat ingin meninggalkan tubuhnya. Ia berbaring dan memejamkan mata berusaha berpindah ke alam sebelah, akan tetapi setelah beberapa menit, ia membuka mata dan terhenyak dengan keadaan sebenarnya. Ia tidak bisa meninggalkan tubuhnya!
Delisha duduk dan menatap tak percaya kedua tangan serta badannya sendiri. Apa yang aneh pada dirinya sehingga tidak bisa keluar dari tubuhnya? Matanya tertuju pada cincin emas dari Mister D. Cincin itu tidak bisa lepas karena ada suatu kekuatan dimasukkan Mister D di dalamnya. Delisha langsung gusar dan menarik-narik cincin itu meskipun tahu itu sia-sia. Ia merutuk pria itu. "Jadi, kau sudah tahu hal seperti ini akan terjadi sehingga kau melakukan segala cara untuk mengunciku di tubuhku sendiri? Laki-laki berengsek!"
Jika saja Delisha menyadari bahwa itu karena cintanya yang terlalu besar. Devdas masukkan Nigrum Mortem dalam cincin itu. Sama seperti khasiat zat tersebut yang mengikat jiwa Rajputana dalam tubuhnya, ia yakin sedikit zat itu akan berguna mengikat jiwa astral Delisha agar tidak meninggalkan tubuhnya dan ternyata itu berhasil.
Delisha tatap jarinya yang merah meradang dan terpikir memotong jari itu agar cincinnya lepas, akan tetapi terpikir apakah ia segila itu? Pasti ada cara lain. Ia hanya perlu bersabar. Delisha pun mencoba menenangkan diri. Ia berpikir keras sambil meringkuk di balik selimut.
Siberian yang berada di luar kamar turut merasakan kesedihan tuannya, rebahan tak bersemangat. Richard menyapa anjing itu saat mengantarkan makan malam untuk putrinya itu. "Anjing pintar. Kau turut mengawasi nonamu rupanya. Terima kasih, Sibe!"
Richard masuk dan menyapa anaknya, akan tetapi Delisha memalingkan muka dan tidak mau bicara sepatah kata pun. Ia letakkan makanan itu di nakas.
Sampai besok paginya, Delisha tidak menyentuh makanan itu. Gadis itu rebahan memunggunginya sepanjang waktu. Richard biarkan saja dan berharap Delisha melunak dan mulai menerima sarannya. Ia tinggalkan Delisha menyendiri. Richard lalu sibuk mempelajari berkas soal kasus pembunuhan berantai bersama anak buahnya melalui daring.
Tiga hari berlalu, Richard tidak melepaskan Delisha dari pengawasannya. Delisha tidak ke sekolah, di samping mood-nya benar-benar jelek, itu juga untuk menghindarkannya dari orang-orang yang ingin mewawancarainya pasca selamatnya anak-anak dari kecelakaan bus.
Meskipun tidak terlihat emosional, Delisha sangat tertekan. Ia tidak ingin ayahnya curiga, maka ia berusaha bersikap sewajar mungkin. Ayahnya tidak lagi mengunci pintu kamarnya sehingga Delisha bisa leluasa berada di rumah.
Richard bukan pria yang mudah dibodohi, tetapi ia juga tidak ingin Delisha dendam kesumat padanya, sehingga Richard sedikit melonggarkan pengawasan. Lagi pula, Delisha sepertinya tidak tahu harus mulai dari mana untuk mencegah kematian anak-anak itu.
Atau benarkah demikian?
Delisha punya pemikiran sendiri. Sikap ayahnya yang demikian membuat Delisha percaya mereka tidak lagi sejalan dan mengekang kekuatannya, sama dengan membunuhnya perlahan-lahan.
Hari itu, kebetulan petugas polisi yang menangani kasus Delisha datang berkunjung untuk melihat-lihat keadaan gadis itu. Namanya Letnan Brody. Richard yang membukakan pintu untuknya.
"Selamat siang, Pak!" sapa Letnan Brody sembari memberi hormat pada Richard. "Saya datang untuk melihat kondisi putri Anda. Anda tahu, warga sangat antusias menanggapi insiden itu. Saya khawatir Nona Delisha terganggu atau mungkin ada kesulitan lainnya."
Richard tidak ingin membahas soal penglihatan itu padahal, tetapi ia berusaha menjadi warga negara yang baik. "Silakan masuk, Letnan," ujar Richard dan menggiring tamunya ke dalam rumah. Letnan Brody duduk di sofa sementara Richard memanggil Delisha yang berada di dapur sedang memberi makan Siberian.
"Letnan Brody ingin menemuimu," kata ayahnya, membuat Delisha tercenung sesaat. Ia dan ayahnya saling tatap, tetapi masing-masing tidak bicara apa pun. Delisha pun melengos ke ruang tamu. Richard mengiringi dengan harapan Delisha tidak memperkeruh suasana.
"Ya, Opsir, ada yang bisa saya bantu?" sapa Delisha sewajar mungkin.
"Hanya mengecek keadaan Anda, Nona? Bagaimana rasanya setelah dinobatkan sebagai pahlawan kota?" sahut Letnan Brody seraya tersenyum ramah. Pria itu sangat tampan, ditambah setelan gelap yang dikenakannya, membuatnya terlihat berwibawa. Namun, di mata Delisha pria itu berwujud berkepala mesin gergaji listrik, begitu juga kedua tangannya. Mirip seperti tokoh utama di anime Chainsaw Man, karena itu Delisha tidak terkejut ketika melihat Letnan Brody pertama kali saat di kantor polisi. Mungkin Letnan Brody sangat suka film itu.
Delisha tersenyum kikuk atas pernyataan Letnan Brody. Ayahnya mengawasi di belakangnya, membuat Delisha enggan berbicara panjang lebar. "Saya bukan pahlawan, Opsir. Kalianlah pahlawan sebenarnya. Jika kalian tidak menanggapi permintaan saya waktu itu, mungkin anak-anak itu tetap tewas. Entahlah, segala kemungkinan bisa saja terjadi 'kan? Yang terpenting anak-anak itu selamat. Itu saja yang saya pikirkan."
Pantauan Letnan Brody, Delisha tidak keluar rumah, bahkan tidak ke sekolah. Ia khawatir terjadi sesuatu yang dirahasiakan orang tua Delisha, sehingga ia bertanya, "Apakah Anda mendapat penglihatan baru ... atau sesuatu yang mengganggu Anda, Nona? Mungkin ada yang bisa saya bantu."
Delisha ingin sekali bercerita, akan tetapi ia tidak tahu harus bagaimana menjabarkannya. Jika polisi mengumumkan anak-anak itu terancam tewas lagi, bukankah itu akan menimbulkan teror bagi orang tua mereka dan seluruh warga? Orang sekelas ayahnya saja memilih tutup mata. Bagaimana jika di saat-saat terakhir anak-anak itu sedang berbahagia bersama keluarganya, malah tercekam rasa takut gara-gara 'ramalan'-nya?
Delisha pun berpaling sambil bergumam, "Tidak ada apa-apa, Opsir. Saya sedang tidak enak badan. Saya mau ke kamar saja sekarang." Delisha lalu pergi begitu saja ke dalam rumah.
Richard terhenyak oleh sikap putrinya, buru-buru minta maaf pada Letnan Brody. "Maaf putri saya tidak sopan, Letnan. Beginilah remaja sekarang, kadang bersikap semaunya."
Letnan Brody tertawa kecil. "Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah sering menemui yang demikian. Putri Anda masih tergolong sopan." Letnan Brody lalu berdiri seraya merapikan setelan kerjanya. "Baiklah, kalau tidak ada apa-apa lagi, saya permisi. Terima kasih atas waktu Anda, Tuan Lee. Hubungi saya kapan saja jika ada sesuatu yang penting."
"Baik, Letnan. Sama-sama. Terima kasih atas kunjungan Anda."
Richard lalu mengantar petugas polisi itu ke pintu depan. Mobil sedan Letnan Brody pergi dari halamannya, barulah Richard masuk ke dalam rumah. Ia mengutak-atik ponsel sebentar mengecek keberadaan Devdas yang ternyata masih tidak bisa dihubungi, lalu ia naik ke atas menuju kamar Delisha. Ia ingin menghibur putrinya tersebut dan memuji atas kebesaran hatinya tidak mengatakan apa pun soal anak-anak itu pada polisi tadi.
Pintu kamar itu tertutup rapat dan Richard mengetuk terlebih dahulu. "Delisha, kau di dalam? Daddy ingin bicara denganmu, " katanya, tetapi ditunggu beberapa saat, tidak ada sahutan terdengar. Richard mengetuk lagi beberapa kali, sampai akhirnya ia buka pintu itu yang ternyata tidak dikunci. "Delisha?"
Richard tercenung, tidak ada siapa pun di kamar itu. Mungkin dia di dapur, batin Richard, lalu bergegas turun dan mencari Delisha di sana. Lagi-lagi, putrinya tidak ada di situ. Sementara Siberian asyik makan di mangkoknya. Firasat tidak enak langsung menyergap Richard. Ia berlari ke ruang kerjanya sambil menelepon ponsel Delisha. Nomor itu tidak aktif, membuat Richard gugup bukan main. Ia terbiasa menjalankan misi dan jika ada agen yang tidak bisa dihubungi, Richard tidak pernah merasa secemas seperti kehilangan putrinya kali ini. Ia mengecek rekaman CCTV di ruang kerjanya dan menemukan Delisha ternyata kabur dengan masuk ke mobil patroli Letnan Brody secara diam-diam.
"Oh, ya Tuhan...," seloroh Richard seraya menutup mulutnya yang termangap. Buru-buru ia menelepon Letnan Brody. Richard sedikit lega mendengar nada tunggunya, akan tetapi kecemasannya kembali lagi ketika teleponnya tidak juga dijawab. Richard coba menelepon sekali lagi. Namun, telepon yang kedua itu, nomor Letnan Brody tidak bisa dihubungi lagi. Richard berdiri mematung di balik meja kerjanya. Tatapannya kosong tidak bisa berpikir.
Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Setelah Delisha pamit dari hadapan Letnan Brody, ia tidak naik ke kamarnya, melainkan ke dapur dan keluar lewat pintu belakang. Ia sengaja memberi makan Siberian agar tidak mengiringinya. Anjing itu bakal menggagalkan pelariannya jika membuat keributan. Kedatangan Letnan Brody atau yang dipanggilnya opsir melulu, ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia ksatria yang datang menyelamatkannya, terlepas dari penampakannya yang menyeramkan. Beruntung pintu mobilnya tidak dikunci, seakan Letnan Brody mengetahui tugasnya kali ini. Delisha masuk dan bersembunyi di kursi belakang.
Letnan Brody melajukan mobilnya sambil bersiul-siul sebuah lagu. Setelah cukup jauh dari rumahnya, Delisha muncul dan menyapa pria itu. "Opsir!" ucapnya.
"O sh.it!" Letnan Brody nyaris menginjak rem mendadak melihat gadis itu tiba-tiba ada di mobilnya. Ia terus melajukan mobilnya karena berada di jalur satu arah. "Nona Delisha, apa yang kau lakukan di sini?!" cecarnya sambil menyetir dan menoleh ke belakang untuk memastikan itu benar-benar Delisha.
"Tolonglah, Opsir, Anda harus membantu saya," desak Delisha. "Anak-anak itu masih dalam bahaya. Anda harapan saya satu-satunya yang bisa membantu."
"Apa ayahmu tahu soal ini?!"
"Tidak, ia tidak tahu saya kabur. Ayah saya tidak mau membantu saya, karena itu saya harus pergi darinya."
Letnan Brody terperangah, kembali menatap ke depan sambil menelengkan kepala berpikir keras.
"Jangan beritahu ayah saya, Opsir, atau ia akan mengacaukan rencana saya. Anak-anak itu belum lolos dari maut dan hanya saya yang tahu cara mencegahnya. Tolong, Opsir, dengarkan saya kali ini. Saya bersumpah ini yang terakhir kalinya. Jika semua ini sudah usai, Opsir bisa memulangkan saya ke ayah saya."
Letnan Brody merogoh saku mengambil ponselnya yang bergetar. Richard Lee meneleponnya. Ia pandangi sesaat layar ponselnya. Delisha melihat nomor itu dan memelas pada Letnan Brody. "Saya mohon, Opsir, jangan beritahu ayah saya."
Letnan Brody tidak berkata apa pun. Panggilan itu berakhir dan ia simpan kembali ponselnya sekaligus mematikan gawai itu. Ia melirik Delisha melalui kaca pantul. "Apakah kau sudah mematikan ponselmu, Nona Delisha?" tanyanya.
"Tentu saja sudah! Saya tidak ingin ayah saya tahu keberadaan saya dan menyeret saya pulang," gerutu Delisha.
Letnan Brody tersenyum tipis yang perlahan menjadi seringai. Ia berujar pada gadis di belakangnya, "Kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama. Apa rencana Anda selanjutnya, Nona?"
Delisha duduk dengan tenang dan merasa percaya diri lagi. "Saya ingin mengintai salah satu anak dan mengikuti apa saja yang dilakukannya agar saya bisa memantau apa yang bakal menyebabkan kematiannya," katanya.
"Baiklah. Apa kau sudah memilih anak mana yang ingin kau intai?"
"Belum. Mereka ada banyak. Saya belum memutuskan yang mana," jawabnya gamang.
"Bagaimana kalau kita mengecek latar belakang mereka dulu? Aku punya seluruh berkas anak-anak itu dan kau bisa memilih yang mana yang kau inginkan."
Delisha mangut-mangut. "Boleh juga," jawabnya.
"Aku punya tempat spesial di mana biasanya aku mengerjakan pekerjaanku tanpa gangguan siapa pun. Ayahmu dan petugas lain tidak akan bisa menemukan kita. Apa kau ingin ke sana?"
Delisha lekas mengangguk. "Ya, ya, Opsir. Mari kita ke sana," sahutnya penuh semangat. Lega ada seseorang yang benar-benar bisa membantunya.
Sementara di luar mobil Letnan Brody, bergerombol para arwah penasaran mengiringi bak awan hitam berarak di belakang mobil. Mereka berteriak meratap seraya mencakar wajah, "Tidaaaak ...."
***
Richard seorang agen rahasia yang sudah lama malang melintang di dunia spionase, mendapati putrinya kabur dan polisi yang bersamanya malah tidak bisa dihubungi, membuatnya geram bukan kepalang. Segera ia kerahkan kemampuannya melacak pergerakan mereka. Ia pantau sekian banyak CCTV di penjuru kota mencari penampakan mobil Letnan Brody. Ia menemukannya dan rute yang diambil mobil itu malah membawa putrinya semakin jauh dari rumah. Ia tahu Delisha pasti membujuk pria itu, tetapi polisi yang baik tidak akan mengikuti arahan gadis labil, di bawah umur, dan kabur dari rumah. Polisi yang baik akan mengembalikan putrinya dan merembukkan masalah bersama-sama.
Mata Richard terpicing tajam pada layar komputer sambil menyiapkan pistol dan rompi antipeluru. Ia tidak berprasangka macam-macam pada Letnan Brody, kecuali pria itu seorang laki-laki kurang ajar dan meremehkan kemampuan taktikalnya. "Anda berurusan dengan ayah yang salah, Letnan Brody," gumamnya sambil mengunci peluru pistol lalu menyematkan senjata itu di halter.
Ia memasang earpiece dan menyambung komunikasi dengan beberapa anak buahnya. Sambil berjalan ke mobil, ia bicara pada mereka. "Pantau mobil itu dan selidiki petugas polisi bernama Brody. Aku ingin semua detailnya."
"Baik, Pak!"
Siberian berlari penuh semangat dan menyalak-nyalak mengiringi tuannya. Richard membuka pintu mobil dan mempersilakan anjing itu masuk untuk pergi bersamanya. Mereka meninggalkan flat itu lebih cepat dari petugas gawat darurat mana pun.
Saat menyetir dengan kecepatan tinggi, agennya bertanya dengan nada suara ragu-ragu, "Memangnya apa yang dilakukan Letnan Brody pada Anda, Pak?"
"Ia membawa kabur putriku. Kenapa? Memangnya ada apa? Apa yang kalian temukan soal pria itu? Apa ia seorang pencabul anak di bawah umur?"
"Ini ... lebih buruk dari itu, Pak."
"Apa maksudmu lebih buruk?"
"Kami masih tidak menemukan soal keterlibatannya pada kasus anak di bawah umur, tetapi ... soal kasus orang hilang dan mutilasi yang Bapak suruh telusuri tempo hari ... kami menemukan sedikit koneksi."
Kata sedikit bisa berarti sesuatu yang sangat krusial bagi seorang agen rahasia. Richard bersuara membentak pada anak buahnya. "Sedikit bagaimana? Cepat jelaskan!"
"FBI telah membuat profil mengenai pelaku pembunuhan berantai itu. Kata mereka, pria itu berusia 30-35 tahun, berpenampilan menarik, populer, dan mudah disukai orang-orang. Sangat mungkin seseorang yang menguasai bidang tertentu seperti medis atau praktik lainnya yang memberinya wewenang mengendalikan serta memanipulasi korbannya. Dan suatu kebetulan ... Letnan Brody menjadi responden pertama dari beberapa kasus. Saya tahu itu mungkin karena ia petugas polisi, tetapi setelah saya selidiki mobilnya terlihat di beberapa lokasi sekitar rumah beberapa korban. Itu terlalu mencurigakan sebagai suatu kebetulan, karena semua wilayah itu bukan tempatnya bertugas. Tampaknya, ia memantau korban sebelum melancarkan aksinya."
"Maksudmu?!" cecar Richard lagi, sudah di ambang batas kesabarannya.
"Pembunuh berantai yang dicari selama ini ... kemungkinan besar adalah ... Letnan Brody ...."
"Sh.it!" desis Richard, kemudian menancap gas sehingga mobilnya semakin laju.
***
Bersambung....