DP 04. Bertemu Anthony Xin

2330 Kata
Di saat sedang beradu pandang dengan Richard, Devdas merasakan hawa seseorang mendekat. Sontak ia menoleh ke arah pintu, begitu juga Richard. "Daddy, kau ada di dalam?" ucap suara itu yang berasal dari Delisha kecil, putri Richard. "Ya, aku ada di sini," sahut Richard terdengar setenang mungkin. Ketika ia menoleh lagi, Devdas Star Tailes sudah menghilang dari ruangannya, bertepatan pintu dibuka oleh Delisha. Remaja berpipi chubby dan berambut cokelat model bob itu tersenyum lega melihat sang ayah. "Aku mendengar suara-suara. Aku pikir ada sesuatu terjadi." Lalu ia tercenung melihat kertas-kertas yang berserakan di lantai. "Tidak ada apa-apa, sayang. Tadi ada angin kencang dari jendela." Richard sibuk memunguti kertas tersebut. Delisha bergegas membantu ayahnya. Ia membungkuk memunguti kertas sambil mengitarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Daddy yakin? Aku merasa ada orang lain di sini, Dad." Delisha mengkedikkan bahu merasa gelisah sesuatu mengawasinya. Di langit-langit ruangan, Devdas menahan napas seraya membekap mulut, menahan kegembiraan yang meluap-luap dalam hatinya. Bagaimana tidak? Gadis belia di bawah sana adalah jodohnya dan ia berkesempatan melihat proses tumbuh kembangnya. "Oh, ya? Aku tidak merasakan atau melihat apa pun. Apa kau sudah menyiapkan makan malam, Delly Baby?" gumam Richard seraya menaruh kertas-kertas ke meja. "Sudah, Dad. Mau makan sekarang? Aku akan panggil Xandy untuk bergabung bersama kita." "Boleh. Cepatlah panggil dia." "Baik, Dad." Delisha bergegas keluar ruangan untuk memanggil teman mainnya. Richard mendongak menatap pria yang menempel di langit-langit sana. Ia melayangkan sorot tajam, mengiringi Devdas mendarat pelan ke lantai. "Aku juga harus makan bersama anak-anakku," kata Devdas. "Aku tidak akan mengganggu Anda lagi, Tuan Richard, tetapi jika kau berubah pikiran, kau hanya perlu meneleponku. Selamat tinggal." Devdas lalu pergi melalui jalan ia masuk tadi. Richard Lee menutup rapat-rapat jendela lalu meninggalkan ruangannya untuk ke ruang makan. Di meja sudah duduk anak perempuan berusia 10 tahun yang merupakan Xandreena Aurora Xin. Sementara Delisha sibuk membagi piring dan steak. Richard tatap Xandreena yang asyik menimang boneka Barbie. Jika sedang ada urusan, Kimberly memang kerap menitipkan Xandreena di Chicago untuk tinggal bersamanya. Gadis kecil itu sudah seperti putrinya sendiri, tetapi dewasanya kelak menjadi istrinya. Jadi, bagaimana mungkin ia membiarkan Xandreena terluka atau sesuatu yang buruk menimpanya? Gadis kecil berambut panjang keemasan itu merasa dipandangi. Ia menatap Richard penuh tanda tanya dengan netra abu-abunya. "Ada apa, Uncle?" tanyanya. "Apa ada sesuatu di wajahku?" Richard tersentak. "Tidak ada apa-apa, Baby. Kau makanlah dulu. Taruh bonekamu. Nanti kotor kalau terkena saos." Xandreena terdiam dengan mata menyorot kosong untuk sesaat. Richard tahu gadis itu sedang menggunakan kekuatan visionernya. Xandreena sedang melihat ke menit berikutnya untuk tahu apakah larangan Richard ada benarnya. Ia sedang sayang-sayangnya pada bonekanya dan tidak ingin boneka itu rusak. Kemudian Xandreena semringah pada Richard dan bergegas menaruh bonekanya di nakas. "Okay, Uncle benar," katanya lalu kembali duduk di kursi bersiap makan. Delisha menyerahkan piring ayahnya sambil bergumam, "Daddy terlihat aneh kali ini. Memang ada sesuatu 'kan?" "Apa Uncle memikirkan perempuan itu?" tuding Xandreena gusar. "Perempuan jel.ek yang datang dan pergi sesuka hatinya. Dia tidak layak Uncle pikirkan. Aku yakin di suatu tempat ia sedang bersenang-senang dengan pria lain." Delisha tertawa saja sementara Richard mengembus napas lelah tidak tahu mesti berkata apa karena Xandreena sebenarnya sedang menghujat dirinya sendiri. Ya, gadis itu cemburu pada Richard karena berkencan dengan wanita muda yang berpenampilan mirip ibunya. "Aku rasa Daddy memikirkanmu, Xandy, karena kau selalu membuat masalah," timpal Delisha yang membuat Xandreena tersipu-sipu. Gadis itu lalu melirik Richard dengan kerlingan memelas. "Aku tidak nakal. Aku gadis yang baik, Uncle." Richard mengembus napas lagi, lebih pasrah tepatnya. Ia usap rambut Xandreena sambil mengujarinya, "Aku tahu. Sekarang kita makan dulu, oke?" "Oke, Uncle!" Mereka menyantap makan malam lebih awal itu bersama-sama sambil berbincang hal-hal seputar pelajaran dan sekolah. Larut malamnya, ketika rumah sepi dan anak-anak tertidur, Xandreena dewasa mendatangi Richard untuk berkencan dan tidur bersamanya. Xandreena mengeluh betapa melelahkan pekerjaan mengelola manajerial perusahaan orang tuanya. Ia benci pekerjaan itu dan mempersilakan Anthony mewarisi semua harta kekayaan Keluarga Xin. Richard menanggapi dengan sabar dan menenangkannya. Ia tidak menanyakan pertanyaan yang seharusnya ditanyakannya. Ia takut dengan jawabannya. Ia takut jika itu membuka Pandora Box dan Xandreena tidak akan datang lagi di kehidupannya saat ini. Mereka tidak akan bisa bertemu lagi. Setelah Xandreena terlelap di ranjangnya, Richard pergi keluar kamar. Ia ke ruang kerjanya dan menelepon Devdas Star Tailes. "Aku menyetujui apa pun permintaanmu." Dan balasan dari pria itu terdengar ramah. "Terima kasih, Ayah." *** Anda bisa bayangkan betapa bahagianya Devdas sekeluarga. Hari-hari seakan langit berpelangi. Tidak ada lagi tangis sendu atau melamun kesepian. Mereka sibuk bukan main. Well, sebenarnya segala urusan administrasi dan akomodasi, Vijay yang ekstra sibuk. Anak-anak hanya memikirkan bawaan mereka dalam pesawat nanti serta mempersiapkan hati dan jantung mereka supaya bisa tenang ketika melihat Mama 'kecil' mereka. Devdas? Apa yang dilakukannya? Ia membeli sebuah mansion di kawasan asri Chicago, tepatnya kawasan North Side of Lincoln Park. Mansion tersebut memiliki nilai USD60 juta, setara kurang lebih 800 miliar rupiah. Rumah mewah itu terletak di kawasan tepian Danau Michigan. Sehingga jika melihat ke jendela depannya, akan dimanjakan oleh pemandangan danau tersebut. Kediaman seluas 25.000 kaki persegi mencakup lebih dari delapan lahan. Terpenting lagi, rumah itu memiliki banyak sudut-sudut privasi untuk sang pemilik. Beberapa perlengkapan rumah mewah ini terbilang masih sangat terawat dengan baik. Mulai dari beberapa air mancur, kolam cermin, dan paviliun taman antik yang alami. Bagian dalam rumahnya, fasilitas terdiri dari tujuh kamar tidur utama, tujuh kamar mandi dan lima toilet, serta empat buah perapian. Ada belasan kamar untuk pelayan dan staff lainnya. Garasi luas bisa menampung 4-6 mobil. Sebuah helipad untuk helikopter pribadi. Kemudian, rumah tersebut juga memiliki tangga mewah ke 4 lantai, bar berdesain lapisan kayu, sebuah gudang anggur, dan rincian indah hiasan lainnya bertema zaman viktoria. Devdas bisa saja membawa semua orang terbang langsung, tetapi ia perlu membawa staf-nya seperti Vijay dan Sunil, serta masuk ke negara tersebut secara legal, maka mereka harus melalui jalur imigrasi dan sebagainya. Singkat cerita, seminggu kemudian, Devdas dan anak-anaknya sudah menempati rumah baru mereka. Keesokan harinya, anak-anak sudah masuk ke sekolah mereka, yaitu Sekolah Terpadu Yayasan Eveready. Richard Lee adalah pemilik dan direktur sekolah tersebut. Jadi, Delisha bisa menghabiskan waktu luangnya di sana karena ia tidak bisa bergaul disebabkan penglihatannya yang menyeleneh. Atau benarkah demikian? Devdas menemui Erion dan meminta bantuan jin itu. "Aku ingin bisa tidak terlihat di mata lawanku," ujar Devdas. "Tentu. Kenakan ini." Erion membuka telapak tangannya dan sebuah cincin emas mengambang di sana. Devdas meringis. "Cincin lagi? Apa kau mencoba menjebakku?" "Tidak, Dev, Raj. Ini cincin yang berbeda. Khasiatnya juga berbeda." Devdas menerima cincin itu sambil menggerutu. "Aku mulai merasa kau itu tukang jual perhiasan di pinggir jalan. Mereka akan mengatakan perhiasan yang mereka jual punya berbagai macam khasiat." "Eh? Aku tidak tahu itu," seloroh Erion. "Pokoknya kenakan saja cincin itu. Kau tidak punya kesaktian seperti milikku. Cincin itu penggantinya." Devdas hendak memasang cincin itu di jari kelingkingnya, tetapi mendelik Erion dulu dan menyelidik. "Apa konsekuensinya jika aku memakai cincin ini?" "Kau tidak akan bisa mengacung. Kau tahu, itu ... terangsang. Jadi, pengguna cincin ini tidak akan menyalah gunakannya untuk mencabuli orang dan sejenisnya." "Ya ampun!" Devdas hendak melempar cincin itu kembali pada Erion, tetapi ia ragu-ragu. "Apakah itu permanen? Aku tidak mau memakainya kalau begitu." "Tidak, tidak. Hanya selama kau memakai cincin itu." "Kau serius?" "Aku tidak bohong. Aku bersumpah." Devdas manyun-manyun saja, tetapi akhirnya memasang cincin tersebut. Sebelum anak-anak mulai sekolah, Devdas sering mencuri-curi mengintip keseharian Delisha di sekolah dan juga rumahnya yang berdekatan dengan sekolah tersebut. Terhadap anak-anak, Delisha bisa berinteraksi wajar. Tetapi jika sudah remaja akil baligh dan orang dewasa, ia menjadi menjaga jarak sehingga kesannya ia menutup diri. Namun, ketika satu pemuda datang berkunjung ke sekolah itu, Devdas menyaksikan interaksi yang berbeda. Delisha semringah menyambut pemuda berbadan tinggi serta berwajah tirus dan berambut hitam pekat, keluar dari limosin. "Senang bertemu denganmu lagi, Anthony!" sapa Delisha seraya merangkul dan pemuda itu membalas rangkulannya. "Aku juga senang, Del!" Pemuda itu adalah Xaverius Anthony Xin, kakak Xandreena. Dalam penglihatan Delisha, aura Anthony sama seperti ayahnya, yaitu serigala. Itu menandakan Anthony adalah seseorang yang bisa dipercaya, setia, dan tidak akan segan melakukan apa pun untuk melindunginya. Sambil berjalan ke dalam halaman sekolah, mereka mengobrol. "Ibuku bilang aku harus melakukan sesi latihan bersamamu. Kau bisa melihat saraf dan otot-ototku untuk mencari tahu di mana saja yang bermasalah dan menjadi titik kelemahanku. Kita bisa sparring taekwondo, tetapi aku tidak akan bertanding serius denganmu. Kita pemanasan saja." "Tentu. Aku senang sekali." Devdas yang memantau tanpa terdeteksi mencibir pemuda itu. "Huu, meremehkan Delisha-ku. Lihat saja. Kau tidak akan sempat membuat satu langkah pun jika bertanding dengannya." Kedua anak itu pergi ke sasana olah raga dan mengganti baju mereka dengan dobok. Dobok adalah baju wajib yang dikenakan saat berlatih taekwondo. Baju ini terinspirasi dari baju tradisional Korea han dobok atau hanbok yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan fleksibilitas. Harapan Devdas adalah Delisha memukul telak lawannya. Namun, tidak terjadi demikian. Yang ada Delisha beberapa kali dijatuhkan Anthony. Delisha dipepet lalu ditindih di matras dan dibuat terpekik-pekik. Devdas geram bukan main. Tangan terkepal dan ingin sekali melesat menghajar pemuda itu. Namun, tidak jadi karena Delisha menyerah dan pemuda itu melepaskannya. Keduanya tertawa-tawa lalu duduk-duduk di matras. Secara fisik Anthony jauh lebih tinggi dan besar daripada dirinya, Delisha selalu kalah tangkas dan kalah kuat. Devdas menggerutu, "Jangan-jangan Delisha sengaja kalah karena ia naksir pemuda itu! Nih, ini nih yang membuat aku harus selalu mengawasinya. Huh! Awas ya, Delisha-ji!" "Kau seharusnya berlatih lebih giat. Kau bisa saja mengalahkanku," pungkas Anthony. "Ya, aku akan melakukannya, setelah lewat masa-masa ini." Delisha menumpu dagunya ke lutut seraya menyurai rambut bob-nya. "Masa-masa apa?" "Aku sudah mendapat menstruasiku dan penglihatanku semakin menggila. Semakin bervariasi dan detail, dan yang berusaha mendekatiku juga semakin banyak. Tidak manusia, tidak makhluk halus. Semuanya sama." "Karena kau semakin manis," ucap Anthony, tanpa segan ia menyentuh dagu Delisha ketika gadis itu tiba-tiba menoleh. Delisha terdiam Anthony meneliti keseluruhan wajahnya. "Kau punya lesung pipit yang merupakan keunikan yang jarang dimiliki perempuan lain. Rasio wajahmu menggambarkan kepolosan dan banyak pria menyukai wajah tipe natural seperti ini. Statistik membuktikan." Delisha menepis jemari Anthony. "Ah, kamu! Itu tidak membuktikan apa pun. Aku tetap tidak akan berkencan dengan siapa pun." "Kau bisa berkencan denganku. Aku tidak keberatan membawamu jalan-jalan, makan di luar, menonton, dan sebagainya." Delisha semringah, pipi berlesungnya merona merah. "Sungguh, Anthony?" Brak, brak brak!! Palang-palang latihan senam ritmik di sudut ruangan berjatuhan, membuat Delisha dan Anthony tersentak lalu menoleh ke situ. "Apa itu tadi?" gumam Anthony. "Mm-mungkin angin," jawab Delisha gelagapan. Karena ia tidak melihat apa pun, Delisha tidak ingin berasumsi berlebihan ada makhluk tak kasat mata. Padahal memang ada. Devdas mencak-mencak tanpa suara di sana. "Untungnya tidak ada orang. Seseorang bisa cedera jika kejatuhan palang itu." "Uhm, yeah, akan kusampaikan pada Daddy supaya memperbaiki fasilitas di sini." Delisha lalu menepuk pundak Anthony. "Nah, mari kita lihat hasil observasiku mengenai tubuhmu." "Oh iya." Anthony beringsut agar duduknya menghadap Delisha. "Buka bajumu," suruh Delisha. Anthony membuka atasan doboknya sehingga telihat badan atasnya yang tertempa olah raga serta latihan bela diri yang intens. Bagi Delisha itu tidak lebih dari serabut otot, saraf, dan pipa-pipa pembuluh darah yang tersusun rapi. Jemari Delisha menyusuri lengan, pundak, hingga da.da Anthony. "Semuanya bagus, kecuali kau punya masalah di sini." Delisha menyentuh lekukan leher sebelah kanan Anthony. Anthony sedikit meringis. "Ah, ya, itu bekas cedera lama. Kau tahu ayahku. Ia tidak main-main jika menghajar anaknya." Delisha tertawa kecil. "Ini hanya cedera kecil. Aku bisa membantu memperbaikinya untukmu." "Benarkah? Kalau begitu, silakan!" Anthony mengatur posisi bersila. Delisha berdiri di belakangnya, lalu menumpu sebelah lutut ke pundak Anthony dan ia pijat-pijat sekeliling tengkuk Anthony lalu ditariknya hingga berbunyi kretek. "Huaah!" Anthony berseru lega. Delisha menarik diri darinya kemudian berujar, "Satu lagi di pinggangmu, Anthony. Itu yang membuat pergelangan kakimu sakit. Tengkurap!" "Oke, baiklah." Anthony patuh saja dipreteli Delisha. Gantian ia yang terpekik hingga serak. "Wadauww! Ugh, Delisha, kau benar-benar bisa meremukkan seluruh tubuhku. Jadi, kau tadi benar-benar kalah atau pura-pura saja?" Delisha tertawa saja. Ia melanjutkan menggeprek tubuh Anthony selama beberapa menit. Ketika Anthony duduk melemaskan badannya, baru Delisha bicara. "Aku tahu cara mengalahkanmu, tetapi secara teknik kau memang lebih hebat, jadi aku benar-benar kalah. Itu tadi akan memperlancar aliran darah dan metabolismemu." "Kau berbakat alami soal ini, Delisha. Apa kau akan mendalami ilmu metafisika, akupunktur, esoterisme astral seperti suruhan ayahmu?" ucap Anthony seraya mengenakan atasan doboknya. "Mungkin, tetapi aku sebenarnya lebih tertarik menjadi dokter hewan. Bagiku lebih baik berinteraksi dengan hewan daripada manusia yang bentuknya seperti hewan atau lebih buruk." Delisha menggeleng kecil. "Mereka sangat menakutkan." "Dokter hewan?" gumam Devdas dengan pikiran dalam. Bukankah itu bidang yang lebih baik daripada pelatihan dan pendidikan yang menjurus ke arah penguasaan cakra? Devdas mangut-mangut. Ia lanjut memperhatikan Delisha dan temannya. Anthony berdiri tegak dan menggerakkan sendi-sendi badannya. "Wuaah, benar sekali. Jauh terasa lebih ringan dan nyaman." Delisha tersenyum turut senang. Anthony merangkulnya sambil berjalan meninggalkan arena taekwondo. "Ayo kita pergi keluar, aku traktir kamu dan kita bisa anggap ini sebagai kencan. Jadi, kau bisa terlihat bersenang-senang seperti gadis normal." "Terdengar keren. Aku akan minta izin ayahku dulu." "Oke!" Setelah itu, apakah Devdas tetap mengikuti mereka? Tentu saja. Ia tidak ingin lengah, misalnya Delisha memberikan ciuman pertamanya pada anak muda itu. Apeslah dia. Devdas ingin ciuman pertama Delisha hanya untuknya. Entah kapan dan bagaimana caranya. Cincin yang dikenakannya tidak bisa membantu. Erion kurang ajar! Syukurnya, kedua remaja itu benar-benar berteman akrab layaknya saudara saja. Setelah kencan makan-makan di restoran fastfood, mereka pulang dan berpisah tanpa berciuman bibir. Hanya dekapan dan sentuhan sekilas di pipi. Devdas memandangi Delisha sampai tiba di kamar tidur dan gadis itu bersiap-siap tidur. Saat hendak menyilih baju, Delisha diam sejenak merasakan hawa-hawa di sekelilingnya. Saat seorang diri, indera keenamnya menjadi lebih tajam dan karena ia kerap diganggu makhluk halus, ia terlatih menjadi waspada setiap saat. Delisha merasakan hawa tak dikenalnya belakangan ini, akan tetapi ke mana pun ia memandang, tidak ada wujud atau orang dilihatnya. Devdas menyadari kecurigaan Delisha sehingga ia pun menjauh perlahan-lahan, tak rela berhenti memandangi gadisnya. Ia berucap lirih, "Selamat malam, selamat tidur ... rembulanku." *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN