Cahaya menyilaukan tersebut ternyata berasal dari gigi putih cemerlang Tuan Takur. Muka Devdas mengeras melihat jin berkulit hitam dan kepala plontos itu berdiri di puncak pohon beringin keramat di tengah hutan bekas reruntuhan Istana Rajpur. Tuan Takur tersenyum lebar penuh makna. Devdas merutuknya. "Tampaknya kau menantikan kedatanganku, ha. Apa kabar, Tuan Takur?"
"Baik, baik, Yang Mulia Tuanku Rajputana dan Tuan Devdas ...," sengir Tuan Takur. "Ya, saya memang mengharapkan kedatangan Tuanku, meski hanya untuk membanggakan bahwa prediksi saya benar. Saya sudah mengingatkan Anda 'kan waktu itu. Kalian memiliki elemen yang berlawanan. Kalian bagus sebagai tim kerja, tetapi sebagai pecinta, jalan yang kalian tempuh sangat berat."
"Berat berarti bukan tidak mungkin, 'kan?" tuding Devdas.
"Itu semua tergantung," sahut Tuan Takur. "Jalan mana yang Anda pilih dan sekeras apa Anda mau berusaha."
Jawaban yang sangat diplomatis. Devdas berdecih. "Bagaimana Anda bisa tahu apa yang telah terjadi pada aku dan Delisha?"
"Saya bicara pada burung, rerumputan, pepohonan, bunga, angin, awan, air, hujan, mimpi ... bahkan cahaya bulan."
"Aku pikir kalau begitu Anda salah satu antek Erion pastinya," tuding Devdas.
"Saya selalu berusaha bersikap netral, Tuan, saya tidak akan menjebak seseorang, jika itu yang Anda yang takutkan."
Devdas memijakkan kakinya di tanah dan bersedekap. "Heh, aku rasa aku tidak boleh mempercayai orang 100% apa pun perkataan yang mereka ucapkan," simpulnya.
"Lebih bijak seperti itu, Tuanku."
Devdas mengitarkan pandangannya ke sekeliling hutan itu. Setelah kematian Imdad, kamp pengungsi ditutup, sehingga tidak ada aktivitas militer lagi di sekitar tempat itu. Arus pengungsi juga sudah berhenti. Hutannya menjadi semakin rimbun dan sangat redup menjelang matahari terbenam. Banyak kenangan di tempat itu. Selain tragedi.
"Jadi, aku sudah di sini. Aku tidak ingin kedatanganku sia-sia sekadar nostalgia belaka," ketus Devdas.
"Saya tidak akan berceloteh membocorkan segala rahasia yang saya ketahui, Tuanku. Apa yang ingin Anda ketahui, saya akan menjawabnya. Selanjutnya Anda bisa menafsirkan sendiri."
Devdas diam sejenak, berpikir dalam. Ia mengusap-usap dagu dan sebelah tangan memainkan koin perunggu. Kemudian ia melirik Tuan Takur. "Jika kekuatan Delisha tidak terbuka, apakah peluang hidupnya berumur panjang semakin besar?" tanyanya.
"Secara garis besar demikian. Itu akan menjauhkannya dari bahaya besar. Lebih baik dia hidup secara normal, bisa melindungi diri dengan kemampuan biasa daripada bermain-main dengan alam sebelah dan makhluk astral."
"Jadi, intinya bukan karena aku, tetapi hanya karena cakranya terbuka seluruhnya, begitu 'kan?"
Tuan Takur mangut-mangut. "Bisa dikatakan demikian."
"Kalau begitu, mengamankan Delisha adalah dengan mencegahnya bermetamorfosis 'kan? Bagaimana caraku melakukannya? Bagaimana caranya mencegah ia menjadi ... monster cakra?"
Tuan Takur memejamkan mata sebentar menelusuri kumpulan memorinya. Ia pernah memasuki pikiran Delisha/Chandni sehingga bisa melihat hal-hal yang bahkan gadis itu tidak ingat atau tidak tahu tentang dirinya sendiri. Tuan Takur membuka matanya, lalu menatap sendu Devdas. "Pintu kekuatannya adalah di matanya. Jika Anda ingin menghentikan perkembangan cakranya, Anda harus mengeluarkan matanya, dengan kata lain, buat dia jadi buta total."
Devdas terperangah. Ia tidak akan tega menyakiti Delisha apalagi membuatnya cacat dengan membuatnya buta. "Apakah ada cara lain?"
Tuan Takur angkat bahu. "Itu jalan satu-satunya, suka atau tidak. Toh selama hidupnya apa yang dilihatnya sangat mengganggunya. Lagi pula, ini bukan hak Anda yang memutuskan, Tuanku. Siapa Anda? Dia punya orang tua dan wewenang atas dirinya sendiri."
Devdas mendesis, "Kau tidak suka aku dekat dengannya, ha?"
"Saya ingin yang terbaik untuk Chandni juga Anda dan anak-anak Anda, Tuan. Apa Anda siap dengan konsekuensi kehilangannya lagi? Apa anak-anak sanggup kehilangan ibu mereka lagi? Apa Chandni siap hidup dengan tekanan konstan pertempuran Anda?"
"Pertempuranku?" Devdas gamang. Dalam benaknya memutar memori lagi, memang benar bahwa marabahaya, pertempuran, musuh, dan tipu muslihat semua berawal dari pihaknya. Chandni hadir untuk membantunya. Maharana Udai Singh sejak dulu bahkan menawarkan agar Chandni pergi dari istana, tetapi dengan alasan pengabdian pada negeri, ia membuat Chandni tinggal di istana. Juga di zaman ini. Jika tidak karena mengandung anak-anaknya, Delisha tidak akan tinggal bersamanya.
Devdas melirik tajam Tuan Takur. Jin itu berusaha netral, makanya omongannya akan terdengar seambigu mungkin. Ia akan menelaahnya nanti setelah ia selesai mengumpulkan informasi dari Tuan Takur.
"Apa kau ingat perempuan misterius yang membawa pergi bayi dalam perut Chandni?"
"Aah, gadis itu. Ya, tentu aku ingat. Dia sangat berani melakukan itu, tidak mempedulikan hidupnya sendiri."
"Dia bakal istri Richard Lee, ayah Delisha. Apa konsekuensinya dia melakukan perjalanan waktu dan membawa manusia lain bersamanya?"
"Tentunya menambah umurnya atau mengurangi masa hidupnya dengan cepat. Tetapi ada yang salah dengan gadis itu. Dia penjelajah waktu yang hidupnya telah berhenti."
Kening Devdas menukik tajam. "Maksudnya?"
"Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Saya rasa dia melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kekuatannya sehingga ia terperangkap dalam zona waktu. Yang dilakukan duplikatnya adalah melanglang buana ke masa lalu dengan usia terakhirnya."
Sepasang mata Devdas terpicing membayangkan sosok Xandreena Aurora Xin yang masih muda dan prima. "Hanya ke masa lalu?"
"Ya, karena hidupnya tidak lebih dari 20 tahun. Sekilas dalam pikirannya saya melihat gambaran dia berada dalam pesawat terbang yang membawa ratusan penumpang. Hanya itu yang bisa saya katakan." Tuan Takur lalu menoleh ke arah lain dengan kentara.
Devdas tahu jin itu tidak ingin bicara lebih banyak mengenai hal itu. Namun, Devdas sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tersenyum menyeringai seraya berujar pada Tuan Takur. "Aku rasa aku sudah cukup mendapat petunjuk hari ini. Aku akan kembali ke rumah bersama anak-anakku. Apakah ada yang kau ingin aku lakukan untukmu, Tuan Takur? Sebagai rasa terima kasihku."
"Lindungilah Delisha, meskipun ia tidak berdaya. Ia merawat tanaman dan binatang dengan sangat baik. Mereka sangat menyukai Delisha dan ingin aku membantunya berbahagia."
Devdas mengulum senyum. Tanpa diminta pun, ia akan melakukan itu karena ia sangat mencintai Delisha lebih dari nyawanya sendiri. Devdas membungkuk bersalut pada Tuan Takur. "Dengan segala hormat, aku akan melakukannya, Tuan. Jangan khawatir."
"Khuda hafiz," ucap Tuan Takur seraya menghilang perlahan.
"Khuda hafiz," sahut Devdas lalu ia undur diri dan melesat pergi dari hutan itu.
Devdas kembali ke makam dengan perasaan jauh lebih ringan dari sebelumnya. Matahari terbenam sehingga gelap mulai menyelimuti pemakaman. "Anak-anak, kalian sudah selesai? Siap untuk pulang?" tanyanya pada si kembar.
"Siap, Pa!" ujar mereka. Aaryan dan Chander lalu berpamitan pada Thoriq. "Kita main lagi nanti, Bhai!"
"Iya. Sampai jumpa lagi, Aaryan, Chander," kata Thoriq.
Devdas berlutut pada anak itu dan memeluknya. "Terima kasih, Nak, sudah membantu Baba dan Amma."
Thoriq terkekeh. "Toru tidak melakukan apa pun, Baba. Baba punya hati yang kuat, itu yang membuat Baba tahu apa yang harus dilakukan. Semoga berjumpa Amma lagi, Baba, dan tidak membuatnya bersusah hati lagi. Amma sudah berbuat banyak untuk kita. Sekarang giliran kita melindungi Amma."
"Kau benar sekali, Toru."
Mereka berpelukan terakhir kali lalu mengucapkan selamat tinggal. Devdas, Aaryan, dan Chander terbang melintasi langit malam menuju rumah mereka.
Di perjalanan itu, Devdas bertanya pada si kembar. "Anak-anak, bagaimana menurut kalian kalau kalian satu sekolah dengan ibu kalian?"
Aaryan dan Chander menoleh ayah mereka dengan kening mengernyit. "Maksud Papa?"
"Mari kita sampai di rumah dulu. Akan Papa ceritakan sekaligus bersama Rani."
Tiba di rumah mereka sangat bersemangat, sampai-sampai Rani yang ingin marah ditinggal sendirian jadi keheranan.
"Ada apa? Kalian habis dari mana?"
"Sini, jaan. Ayo kita berkumpul dulu untuk membahas misi kita," ajak Devdas, mengubit anak-anaknya ke ruang kerja. Ia dudukkan mereka mengelilingi meja kerjanya selayaknya agen-agen dibekali informasi dan SOP.
"Perlu kalian tahu, ibu kalian berasal dari masa depan. Dia yang sebenarnya berada di belahan dunia yang lain, sedang bersekolah seperti kalian karena dia masih anak-anak."
Mata ketiga bocah itu membesar. "Sungguh? Papa serius?"
"Iya, Papa sangat sangat serius. Karena itu misi ini sangat penting."
Mereka berembuk antusias, mendekatkan kepala masing-masing agar pembicaraan mereka lebih intens. "Kalian masuk ke sekolah yang sama dengan ibu kalian dan berperan sebagai temannya. Jangan sampai dia tahu siapa Papa dan kalian yang sebenarnya. Kita akan memberitahunya jika ia sudah siap dan cukup umur. Selama itu, ia tidak boleh mengenal dan melihat Papa, jadi karena itu kita harus merahasiakan hal ini darinya. Nah, sampai di sini kalian mengerti?"
"Mengerti, Pa!"
"Lalu, Mama kelas berapa, Pa?" tanya Rani yang sangat penasaran dengan 'calon' ibu barunya.
"Umurnya 14 tahun. Kau akan sekelas dengannya, Rani."
"Sungguh? Horeee!" Rani sampai meloncat-loncat saking gembiranya.
"Lalu, kami, Pa? Bagaimana dengan kami?" desak Aaryan dan Chander tak sabaran.
"Dia membantu sambilan di dapur sekolah dan juga penitipan anak. Jadi kalian akan menjadi salah satu anak titipan di sana dan sekolah di TK-nya."
"Wuaaahh, hore, horeeee, bertemu Mama lagi! Horeee!" sorak Aaryan dan Chander tak kalah riangnya.
Ketiga anak itu lalu mengerubuti ayah mereka. "Jadi, kapan kita pindah, Pa? Ke mana kita pindah, Pa?"
"Secepatnya. Kita akan pindah ke USA. Namun, sebelum itu, Papa harus memastikan satu hal dulu," ujar Devdas dan tampangnya menjadi dingin kejam.
"Apa itu, Pa?"
"Restu dari ayahnya ibu kalian."
Devdas menitipkan anak-anaknya dalam pengawasan Vijay. Malam itu juga ia pergi ke USA melalui jalur udara instan. Ia menemui Richard Lee di ruang kerja flatnya yang berada tidak jauh dari sekolah yang dikelolanya.
Richard Lee mematung saat sedang menandatangani berkas. Kertas-kertas kerjanya berhamburan akibat embusan keras udara kedatangan seseorang yang bukan manusia biasa itu. Namun, Richard tidak gentar sama sekali. Ia menutup menapak keras map berkasnya lalu mengangkat kepala menatap tamu tak diundang yang berwujud pria rupawan setingkat malaikat itu. Devdas Star Tailes.
"Aku rasa maksudku sudah jelas, Tuan Star Tailes, bahwa aku tidak ingin ada hubungan apa pun lagi denganmu. Jika ada urusan bisnis, aku akan menyerahkan urusannya pada orang lain. Aku tidak akan memberikanmu peluang kontak dengan putriku dengan cara apa pun!" cecar Richard.
"Dengarkan aku sekali ini saja," pinta Devdas dengan suara dingin yang dipertahankannya sekuat tenaga, atau ia bakalan merengek-rengek di kaki pria itu. "Delisha adalah hidupku, kegembiraanku, segalanya bagiku dan aku tidak akan berpisah darinya, tidak di masa lalu, di masa kini, maupun di masa yang akan datang."
"Tapi kau akan membuatnya terbunuh!"
"Tidak karena aku tahu cara mencegahnya. Aku tahu bagaimana menghentikan kutukannya dan akan kubuktikan itu asalkan kau beri aku kesempatan. Izinkan aku memilikinya dan mengelola situasi ini sesuai aturanku."
Richard menggeleng berkali-kali. "Kau masih belum belajar juga rupanya. Kau sangat egois dan tidak berperasaan. Kau mempertaruhkan nyawa anakku satu-satunya demi kepuasan lahir batinmu. Kau sudah pernah memilikinya. Kehilangannya adalah konsekuensi. Aku tidak bisa mentoleransi hal ini berlangsung untuk yang kedua kali."
"Sudah kubilang aku tahu cara mencegahnya!" ucap Devdas membentak sehingga memicu Richard berdiri dan menghardiknya. "Kau kurang ajar! Aku menjaga putriku tetap aman, kau malah datang untuk merusaknya!"
"Aku tahu, aku pun akan melakukan hal yang sama karena aku juga punya anak, 3 malah. Kau pikir aku tidak peduli sebagai seorang ayah? Aku peduli dan aku mengerti, tapi coba rasakan pada dirimu sendiri jika kau terancam kehilangan pasangan seperti istrimu? Jika kau ingin bersamanya, bukankah kau akan melakukan segala cara? Jika kau tahu cara memilikinya, bukankah kau akan meraihnya dengan cara apa pun? Jika kau tahu cara menyelamatkannya, bukankah kau akan melakukannya meskipun harus mempertaruhkan segalanya?"
Muka Richard langsung meringis penuh kebencian. "Apa kau mengancamku dengan menggunakan Xandreena?"
Rahang kedua pria itu sama-sama terkatup erat. Mereka bicara seakan mereka musuh besar dan penuh dendam.
"Aku tidak mengancam, tetapi aku mengajukan penawaran. Kita bisa barter. Serahkan Delisha padaku, maka akan kuselamatkan hidup Xandreena Aurora Xin. Kau tahu aku sangat sakti ... Ayah."
"Apa maksudmu sebenarnya Devdas? Xandreena bukan orang yang bisa kau ancam. Dia punya ibunya."
"Huahhaha," tawa jahat Devdas lalu ia menyeringai pada Richard. "Aku ragu Nyonya Kim tahu kenakalan apa yang dilakukan putrinya. Kau tahu betul bagaimana Xandreena-mu."
Richard menyipitkan mata menyelidik raut muka Devdas. "Kau tahu sesuatu?"
"Aku tidak tahu, tetapi kau bisa tanyakan padanya kenapa ia tidak pernah menemuimu dalam usia yang lebih tua dari 20 tahun. Dan kapan itu ya?" Ia mengingat-ingat cerita Delisha tentang Xandreena. Devdas berlagak bertanya-tanya, lalu meledek Richard. "Ah, ya, itu tepat di hari pernikahanmu di tahun 2034."
Richard Lee melotot karena sangat marah. Ia cengkeram kerah Devdas. "Kau ...!" Kemudian ia tidak tahu harus menghardik apa. Devdas membalasnya dengan tatapan mencemooh.
"Para penjelajah waktu pun kadang membuat kecerobohan. Tanyakan saja padanya apa yang telah dilakukannya. Jika saat itu tiba, kau tahu satu-satunya yang bisa kau harapkan mengatasi hal itu hanya aku."
Richard merasa kaku sekujur tubuhnya. Ia mundur perlahan-lahan menjauhi Devdas. Pikirannya kalut seketika. Sejak pertama kali kenal Xandreena, ia pun bertanya-tanya kenapa Xandreena tidak pernah muncul dalam wujud yang lebih tua. Xandreena akan menghindar jika ditanyakan soal masa depan. Alasannya selalu saja ia malas membahas karena tidak senang imbas hubungannya yang tidak rukun dengan Kimberly. Bukankah ia bisa memberikan nasihat agar ibu dan anak itu rukun? Tentu saja Xandreena tidak menanggapi itu karena sebenarnya ia tidak bisa bertemu ibunya lagi di masa depan. Karena Xandreena tidak ada di masa depan.
Richard lemas sehingga berdiri berpegangan ke meja kerjanya. Devdas menyindirnya. "Sekarang kau tahu apa yang kurasakan, bukan, ... Ayah?"
Richard hanya bisa bergumam pendek. "Kau ...."
Devdas menengadahkan kedua tangannya dan memperlihatkan perpaduan cakra dan Nigrum Mortem yang dikuasainya. Bola kekuatan itu bercahaya, membias di wajah Devdas laksana siluet tokoh jahat di film penyihir. "Aku adalah raja jin dan manusia abadi tersakti yang ada di muka bumi. Kerajaan Langit kekuasaan jin udara telah beraliansi denganku. Xelios bahkan bergantung padaku. Aku tidak terkalahkan dan aku ... akan menjadi tempatmu menggantungkan hidup wanita yang kau cintai."
Wajah Richard pucat pasi. Devdas menatap nyalang padanya seraya mendesis. "Jadi, bagaimana? Are we deal or no deal?"
Jawabannya ada dii .... NEXT EPISODE!
***
Bersambung...