Senandung Arimbi, ia tidak pernah belajar untuk membenci ataupun menyakiti. Baginya, hidup memang tak selalu mulus dan indah, tetapi akan ada masanya pelangi menjadi payung cantik yang mewarnai wajah lembut dan selalu berada di bawahnya.
Seperti mutiara yang masih kehilangan cahaya, akibat terkubur lama di dalam lumpur, orang-orang hanya dapat melihat wanita yang satu ini rendah dan berlumuran noda. Namun, Sena tak pernah suka dengan kata menyerah. Ia terus melaju seperti peluru, lurus, tepat sasaran, dan panas.
Awalnya memang hati lunak miliknya sempat teremas habis karena semua kenyataan hidup yang harus ia terima. Tetapi, setelah ia memompa semangatnya kembali, Senandung Arimbi berhasil menguatkan jiwa agar terus menatap maju tanpa gusar terhadap apa pun. Ia percaya, suatu saat nanti Tuhan akan memberikan sesuatu yang spesial atas jerih payah dan kesabarannya.
Dalam posisi berdiri dan sempat termenung beberapa menit, Sena mendengar suara teriakan kesakitan yang kuat. Asalnya dari bibir laki-laki yang selalu menyepelekan dirinya dan menganggapnya tak ada.
"St, agh!"
Suara pekikan kesakitan terdengar pada rongga telinga Senandung Arimbi. Ia pun tersadar, lalu dengan sigap berlari, menuju ke lantai dasar untuk melihat apa yang terjadi. "Kamu kenapa, Mas?" tanyanya terdengar khawatir, seraya meniti anak tangga dan menghampiri Raden Wibowo.
"Hagh!" gumam pria bertubuh kekar itu, seraya mencengkeram tangan kanan dengan tangan kirinya. "Sttt!" keluhannya tanpa menjawab, tetapi wajah galak itu terlihat merah padam karena menahan kesakitan.
Sena ikut cemas, tapi bingung untuk melakukan apa. Sebab ia tahu persis bahwa Raden tak ingin disentuh olehnya. Jangankan bersentuhan, berjarak 30 cm pun pria tersebut tidak bersedia. Namun karena melihat raut wajah kesakitan yang dalam, Sena memberanikan diri untuk mengambil sikap.
"Sini, Mas!" ucap Sena sambil menggenggam pergelangan tangan Raden, dan mematikan tombol pada kompor gas agar apinya berhenti menyala. "Ya ampun ... ," gumamnya tatkala menyadari apa yang telah terjadi.
Detik itu, Senandung Arimbi melihat telapak tangan Raden terbakar cukup banyak. Sampai-sampai, kulitnya yang berwarna putih menjadi kecoklatan. Raden yang sedang merasakan sakit nan luar biasa, hanya bisa mengeluh tanpa berkata banyak. Ia pun terpaksa menerima bantuan dari wanita yang selama ini tidak diinginkannya.
Tanpa banyak berkata-kata, Sena yang sudah berusaha untuk menciptakan ketenangan di diri Raden, bergegas berdiri untuk mencari tepung yang sempat ia lihat beberapa waktu yang lalu. Awalnya, pria itu tampak bingung dengan pergerakan Sena yang malah menggeledah lemari penyimpanan makanan, bukan menghubungi dokter.
Pada saat yang bersamaan, terlihat Sena menumpahkan semua tepung terigu ke dalam baskom. Setelah itu ia kembali ke sisi Raden dan langsung merendam telapak tangan pria itu demi menenangkan luka bakar di tangannya. Sebenarnya dokter tidak menyarankan melakukan tindakan pertama dengan teknik seperti ini karena khawatir dengan infeksi yang akan terjadi. Tetapi jika setelah penanganan pertama berlangsung, Raden segera mendapatkan tindakan medis, maka semua akan aman dan baik-baik saja.
"Bagaimana?" tanya Sena tampak khawatir. "Apa perihnya sedikit berkurang?"
Raden menatap sepasang bola mata bulat dan besar milik Senandung Arimbi. Tanpa diduga, ia dapat merasakan perasaan dan kelembutan perempuan yang dinikahinya tersebut. Lidahnya pun langsung tertekuk, tak mampu mengeluarkan bisa mematikan seperti biasanya.
"Emh," gumamnya sambil memalingkan wajah.
"Baguslah," kata Sena terdengar lega. "Jangan keluarkan tanganmu dari tepung ini, Mas!"
"Hm?" gumam Raden sekali lagi, dalam tanya.
"Agar tidak menyisakan bekas luka dan perihnya berkurang," sahut Sena terdengar paham arti gumaman dari bibir Raden. "Tenang saja, Mas! Aku biasa melakukan tindakan seperti ini."
"Kenapa kamu peduli kepadaku?" tanya Raden dengan suara rendah, tidak seperti biasanya.
"Aku hanya ingin membantu, itu saja. Jangan khawatir! Aku tidak akan membuat kesalahan hingga kamu marah, Mas." Sena menimpali perkataan Raden, sebelum pria itu membantainya dengan kata-kata tajam.
"Hah," keluh Raden dengan wajah yang berkerut.
"Aku akan menghubungi dokter, tolong tetap tenang!" Senandung Arimbi memberi peringatan sekali lagi.
"Oke." Raden menggigit bibir bawahnya untuk bertahan dari rasa sakit tersebut. "Hah ... I am oke," bisiknya pada diri sendiri.
Sena berlari ke ruang tengah, lalu menelepon nomor penting yang sudah tertera di papan kecil tak jauh dari gagang telepon rumah mereka. Sejak awal, nomor-nomor khusus seperti ini ataupun kantor polisi, memang tersedia demi memudahkan saat mereka membutuhkan pertolongan.
"Dokter!" Sena menjelaskan apa yang terjadi dan ia ketahui, dengan sigap dokter menjawab akan segera ke kediaman mereka untuk membantu. "Thanks, Dok," ujar Sena seraya menutup teleponnya, lalu kembali ke sisi Raden Wibowo.
"Apa kata dokter?" tanya Raden sambil meringis kesakitan.
"Beliau sudah di jalan, Mas. Kamu ingin minum?"
"Tidak!" tolaknya. "Aku tidak membutuhkan apa pun, selain dokter," sambungnya kembali terdengar angkuh.
Senandung Arimbi menundukkan kepala. "Baik, aku mengerti," jawabnya yang langsung menarik kursi untuk menjauh. Namun tatapan penuh kecemasan, masih tampak jelas di raut wajahnya yang indah.
Wanita cantik itu menjaga jarak agar hatinya tidak semakin sakit. Walau demikian, manik matanya tetap saja mengawasi Raden yang merintih dalam menahan rasa sakit. Jika pria bertubuh besar itu terlihat sangat kesakitan, tentunya luka bakar tersebut sangat buruk.
Sedang memperhatikan Raden, Sena berpikir seorang diri. Aneh baginya, kenapa Raden tidak meminta Sena untuk membawanya ke rumah sakit. Mungkinkah suaminya itu benar-benar tertutup dan tidak suka sentuhan dari siapapun, termasuk perawat. Kini Sena semakin memahaminya.
'Dia tidak suka keramaian, atau bersama orang asing?' Tanya Sena tanpa suara. 'Dia memang aneh dan misterius, untung tampan." Senandung Arimbi mengakui kharisma pada garis wajah tegas, milik suaminya.
Selang 45 menit, dokter sudah selesai memeriksa keadaan Raden Wibowo. Ia juga menuliskan resep untuk ditebus dan mengatakan bahwa sebaiknya jika kondisi memburuk, pria tampan ini harus bersedia melakukan perawatan di rumah sakit. Jika tidak, maka Raden harus benar-benar menjaga tangannya dan menjauhi aktivitas yang berhubungan dengan air.
"Terima kasih, Dokter," kata Sena sembari mengantarkan dokter ke muka pintu. "Untung Anda lekas tiba."
"Lain kali, kamu harus merendam luka bakar dengan air dingin yang mengalir!" saran dokter. "Akibatnya cukup fatal jika kamu menggunakan teknik ini."
"Sena mengerti, Dok. Anda khawatir akan infeksi, kan? Tapi hal itu bisa terjadi, jika luka dibiarkan begitu saja tanpa adanya perawatan medis," tukas Sena karena sangat memahami tentang apa yang ia kerjakan.
"Baiklah, saya mengakui pemahaman kamu. Lagi pula, sepertinya teknik ini sangat membantu Raden." Dokter membuka pintu mobilnya. "Jangan lupa untuk menebus resep, malam ini juga!"
"Iya, Dokter. Segera."
Tanpa meminta izin kepada Raden Wibowo, Sena langsung meninggalkan kediaman mereka dan bergerak cepat menuju apotek. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, dan ia juga membelikan makan malam untuk suaminya. Sebenarnya Sena ingin membuat makanan yang enak menurut lidahnya. Tetapi karena cemas akan umpatan yang akan diterima, wanita ini memutuskan jalan lain untuk mengisi perut Raden.
Setelah memesan makanan, Sena bergegas kembali ke kediamannya. Sambil menata mental, wanita itu meletakkan makanan yang sudah ia beli di atas piring saji. Ia berharap, bebek goreng yang terlihat menggiurkan ini bisa menjadi penggugah selera bagi Raden untuk melahap makanannya.
"Mas, makan dulu ya! Biar bisa makan obat," kata Sena yang baru memperlihatkan kepalanya saja, di sisi pintu kamar karena terbuka hanya sedikit bagian.
"Tidak!" tolak Raden yang tampak menyandarkan kepalanya di punggung ranjang. "Letakkan saja di sana!" Raden menunjuk ke arah meja di sudut ruangan.
"Tapi, Mas ... di sini ada obat penahan rasa sakit."
"Cerewet!" tukas Raden, membentak.
Tubuh Sena terperanjat, jantungnya kembali berlari cepat. Ia tidak menyangka bahwa Raden akan kembali marah kepada dirinya. Apalagi nian itu sangat baik dan tulus, lalu di mana letak kesalahannya. Mata Sena berkaca-kaca dan pundaknya menciut.
"Maaf, Mas. Ini ... aku letakkan di sini," ucap Sena yang tidak berani melangkah semakin dalam, apalagi mendekati suaminya. "Kalau kamu membutuhkan apa pun, panggil saja!" Kemudian ia meninggalkan Raden seorang diri di kamar tamu yang kini telah menjadi ruangan pribadinya.
"Heh, sama saja," gumam Raden sambil membuang napas dalam. Lalu ia terbayang beberapa wanita yang berusaha mendekati dirinya, selama ini. Rata-rata mereka akan menyerah dan melakukan hal yang sama dengan Sena.
Sekitar pukul 01.15 WIB, Raden ingin minum teh hangat agar merasa lebih baik. Hingga detik ini, matanya tak dapat terpejam. Bukan hanya karena rasa sakit yang mendera tangannya, tetapi juga kekesalan akan sikap Sena yang langsung menyerah, mundur, lalu pergi meninggalkan dirinya. Padahal jika wanita itu merayu atau bertahan sedikit saja, mungkin Raden akan memberikan seujung keperdulian terhadap Sena.
Tanpa banyak pikir agar tidak semakin marah, Raden membuka pintu kamar dan menariknya. Pada detik yang sama, ia merasakan kepala Sena terjatuh di atas kedua kakinya. Mata Raden terbelalak, tak percaya terhadap apa yang ia lihat. Rupanya, Sena masih di sini dan menjaganya dari balik pintu. Hati pria itu pun sedikit tergugah karena tidak menyangka akan cara dan pemikiran Sena yang unik.
"Mas?" Sena terbangun, berdiri sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Kenapa? Sakit? Atau kamu membutuhkan sesuatu?"
"Hanya teh hangat," jawab Raden dan nada suaranya kembali rendah.
"Aku akan membuatkannya untukmu, tolong tetap duduk saja!" pinta Sena yang berusaha untuk melakukan apa saja, demi membantu Raden Wibowo. "Manis jambu?" tanya Sena agar tak salah langkah.
"Iya," jawab Raden seraya menganggukkan kepala.
"Oke." Sena bergerak cepat menuju dapur, dan Raden kembali ke atas tempat tidurnya.
Sambil memperhatikan langit-langit kamar, Raden bertanya pada diri sendiri. Semua tentang apakah ia perlu bersikap antagonis kepada Sena yang terlihat lugu dan apa adanya. Bagaimana jika ia menganggap Sena sebagai saudarinya saja, tetapi penolakan lagi-lagi muncul dalam dirinya hingga menyiksa batinnya.
'Sebenarnya, aku yang aneh atau dia?' Tanya Raden tanpa suara.