Gengsi

1210 Kata
Sekitar sepuluh menit berada di dapur, Sena kembali ke kamar Raden. Walau dirundung ketakutan dan kecemasan, ia tetap berusaha untuk mengembangkan senyum dan memperlihatkan wajah hangat kepada suaminya. Senandung Arimbi benar-benar tidak ingin mempedulikan pendapat pria cerdas itu tentang dirinya, seperti gadis murahan atau pengemis cinta. Sebab hal terpenting baginya adalah mengabdikan diri kepada laki-laki yang berstatus sebagai suaminya. Hal ini juga sudah ia lakukan terhadap keluarganya. Meskipun tak pernah dianggap anak atau saudara, tetapi ia berusaha untuk selalu ada ketika dibutuhkan. Hati wanita ini sungguh kecil, ia juga tak bisa membuatnya bertambah besar dan luas. Namun Tuhan memberikan cobaan yang begitu hebat, hingga ia nyaris kehilangan senyuman disepanjang usianya. Walau begitu, Sena sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa dirinya membenci takdir yang digariskan untuknya. Satu-satunya pertanyaan yang pernah muncul menghentak jiwanya hanyalah untuk siapa dia hidup sehingga Sang Pencipta tidak mengambil nyawanya dan mengakhiri semua penderitaan ini. Bersama sebuah baki berwarna kuning emas, dengan alas kaca yang tampak berkilauan, Senandung Arimbi membawakan segelas teh hangat dan crackers berlapis keju leleh serta topping gula pasir di atasnya. Aroma roti ini sangat memikat, hingga Raden mendongak untuk melihat apa yang istrinya bawa. "Maaf agak lama, Mas!" pinta Sena dengan suara yang lembut dan manis, seperti gula kapas. "Semoga kamu suka," sambungnya seraya menarik bantal kepala dan meletakkannya di atas kedua lutut Raden, kemudian ia meletakkan baki pada bagian teratas. "Aku cuma butuh teh saja!" kata Raden terdengar dingin, tetapi arah pandangnya menuju ke crackers keju yang Sena sajikan. "Letakkan saja di sini kalau tidak mau, Mas. Aku hanya tidak ingin kamu kelaparan," sahut Sena dan ia memutuskan untuk menarik meja sudut, kemudian meletakkan baki di atasnya. "Aku pamit," ucapnya yang ingin Raden bebas menikmati apa saja yang ia suka, tanpa harus gengsi kepada Sena. Dengan langkah penuh harapan, Senandung Arimbi melangkah ke luar kamar Raden Wibowo. Tapi lagi-lagi, ia tak berniat untuk meninggalkan pria yang tidak pernah menganggap dia ada. Berteman bantal kursi, Sena kembali mengambil posisi duduk di sisi tembok kamar suaminya yang berada di samping pintu. Sebab ia tak ingin suaminya merasa terganggu ketika ingin keluar masuk kamar, namun tetap mau menjaganya. Raden yang keras hati, masih memutuskan untuk hanya menyesap teh hangat sesuai dengan permintaannya. Tetapi arah pandang itu selalu tertuju pada roti yang berada di sampingnya. Apalagi aroma mewah dari lelehan keju nan tebal, serta bintik gula pasir yang berkilau setelah bertabrakan dengan cahaya lampu kristal di dalam kamar. Berkali-kali ia harus menelan air liur yang terasa berat, hingga terdengar suara cukup keras dari tenggorokannya. 'Kalau hanya makan satu dua keping, mungkin tidak akan ketahuan sama dia.' Gumam Raden Wibowo tanpa suara. 'Lagipula, ini rumahku dan itu roti milikku. Kenapa aku harus malu?' Raden mencoba untuk menetralisir pikirannya yang berada diantara harus malu dan ingin. Tidak ingin tertangkap basah, Raden memutuskan untuk mengetahui posisi Senandung Arimbi. Ia pun kembali berdiri dan berjalan ke arah pintu. Setelah membuka sedikit bagiannya, ia melihat Sena sudah kembali terlelap. Raden mengintip. 'Gila, cepat banget dia tidurnya? Dasar pemalas, bukannya dari tadi hanya tiduran saja?' Raden masih suka mengumpat Sena dengan kata-kata kasar dan aneh. 'Tapi sudahlah! Bukannya ini juga yang aku harapkan?' Raden kembali menutup pintu kamar dan duduk di atas ranjangnya. Sesaat setelah suara pintu yang ditutup terdengar, Sena membuka kedua matanya. Ia pun tersenyum simpul dan berharap bahwa lelaki angkuh itu akan melakukan apa yang ia inginkan. Makan dan minum sesuai harapan Senandung Arimbi, tak perduli dengan cara maupun gayanya yang terus menolak. Benar saja, setelah yakin Sena tidak akan masuk lagi ke dalam kamar tidurnya, Raden menikmati makanan yang sudah dipersiapkan wanita cantik itu. Rasa gurih dan manis berbaur jadi satu, ditambah lagi dengan sensasi kriuk pada bagian roti cracker yang tengah ia nikmati. 'Bagaimana dia melakukannya? Ini seperti menu sarapan di Hotel berbintang lima di italia.' Raden yang berniat hanya mencicipi roti tersebut beberapa bagian, malah lupa menghitung berapa banyak yang telah ia santap. Hingga kepingan terkahir dan ia kembali memasukkannya ke dalam mulut, lalu ingin mengambil kembali dan ternyata piringnya telah kosong. 'Habis? Kok bisa? Padahal aku baru makan sedikit saja.' Raden melipat dahi, tak percaya dengan apa yang terjadi. 'Nggak-nggak, mana mungkin!' Tolaknya sambil terus berdiskusi pada diri sendiri. "Sekarang, apa yang harus aku katakan kepada perempuan aneh itu?" tanya Raden pada dirinya sendiri. "Rotinya dimakan tikus, seharusnya kamu meletakkannya di dalam toples tadi malam. Dasar pemalas!" Raden mencoba untuk mencari alasan agar Sena tidak berpikir bahwa pria itu suka dengan masakan yang telah disajikan. Selain itu, dia juga mempraktekkan cara memarahi Sena dengan gaya kejam seperti biasanya. Pikiran ini begitu mengganggu Raden Wibowo, sampai-sampai ia tak bisa memejamkan mata untuk beristirahat. Rasanya, memakan makanan buatan Sena adalah kesalahan fatal baginya. Dan semua itu membuat batinnya tersiksa dan tidak bisa terima. 'Ah tidak, aku bawa saja ini semua ke dapur dan dia tidak akan melihat makanannya habis dari piring. Kalau di dapur bisa jadi kan ada tikusnya? Tapi kalau di sini? Mana mungkin.' Raden menguatkan diri membawa gelas dan piring kosong ke dapur dan Sena kembali pura-pura tertidur agar Raden tak malu hati. Pagi harinya, Sena kembali menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia membuat bubur ayam spesial demi menggugah selera makan Raden Wibowo. Setelah itu, meletakkan semua sarapan di meja pojok kamar, lalu memperhatikan pria tampan itu sambil berdiri. Ia berharap, setelah pulang dari kampus nanti, kondisi suaminya sudah lebih dari kata membaik. 'Aku pamit ke kampus ya, Mas!' Ujar Senandung Arimbi tanpa suara. Sena keluar dari dalam kamar, membersihkan diri dan meninggalkan kediamannya. Sesampainya di kampus, ia pun dikejutkan dengan kehadiran Lio yang sudah berada di kursi samping kanan, di mana ia biasa duduk selama ini. Sena melengkung bibirnya, merasa berarti dan didengarkan perkataannya. "Thanks!" Bibir Sena bergerak mengucapkan kata terima kasih, tapi suaranya tidak terdengar. Lio memutar posisi duduk dan menatap Sena dalam-dalam. "Maaf soal kemarin!" pintanya sambil tersenyum manis, seperti biasanya. "Tidak! Akulah yang meminta maaf kepadamu, Lio. Aku sudah menyakitimu, dan aku tidak bisa memperbaikinya." "Bisa kalau kamu mau," kata Lio dan tatapan matanya itu memnag dipenuhi dengan kilauan cinta. "Tidak ada yang tak mungkin, Sena. Kecuali, makan kepala sendiri." Sena terperangah. "Apa?" "Selamat pagi!" ucap dosen wanita pengganti Raden Wibowo, sembari melangkah dengan penuh percaya diri. "Kok Ibu Tias sih yang masuk?" tanya beberapa mahasiswi, berharap Radenlah yang hadir pagi ini. "Harusnya kan, Bapak Raden," gumam yang lainnya terdengar tak suka dengan keadaan. "Oke, kalian harus tahu. Semalam bapak mengirimkan pesan bahwa beliau sakit. Jadi ... untuk sementara waktu, dosen yang lain akan bergiliran membantu kalian semuanya. So, jangan rewel dan fokus!" "Nggak apa-apa, Bu. Ibu Tias aja yang ngajar sampai sore, kan sekalian cuci mata ya teman-teman?" ungkap mahasiswa yang berada di kursi paling depan dan itu disambut dengan yang lainnya. "Kalian ini, pinter banget ya," timpal dosen bertubuh seksi dan suka berpakaian ketat tersebut. "Oke, kita mulai materinya!" tukasnya yang langsung mengambil posisi berdiri dengan gayanya yang menggoda, sembari memegang spidol dan menggigit bagian ujungnya. "Siap, Bu," jawab para mahasiswa dan diantara mereka ada yang bertepuk tangan. "Sut!" Lio menatap Sena. "Kita punya dosen baru?" tanyanya ingin tahu. Sena mengangguk berulang, tetapi tak mampu mengatakan bahwa Radenlah orang itu. Sebab, Lio adalah satu-satunya orang di kampus ini yang mengetahui tentang Raden dan pernikahan Sena. "Fokuslah!" pinta Senandung Arimbi kepada Lio, agar pemuda itu tidak lagi mengajukan pertanyaan kepada dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN