Tatapan Pertama

1301 Kata
Untuk pertama kali di dalam hidupnya, Sena memutuskan untuk bolos dan memilih pergi merayu Lio agar dapat kembali ke kampus. Menurutnya, jika sikap Lio tersebut memang karena dirinya, seharusnya pemuda itu akan menuruti permintaannya. Setelah memikirkan banyak hal, Sena pun bergegas menyusul pemuda yang telah jatuh cinta kepada dirinya. Meskipun jarak perjalanan mereka cukup jauh, tetapi Sena tahu kemana Lio melangkah. Bukan hanya sekedar menebak, selama ini tanpa sengaja ia sering melihat pemuda itu dari kejauhan, walau tanpa disengaja. Wanita cantik itu memiliki niat yang baik, ia tidak ingin masa depan seseorang hancur hanya karena jalan hidupnya. Setibanya di seberang jalan tak jauh dari lokasi pencarian, ia mendapati Lio dengan segala keputusasaannya. Disebuah cafe favorit pemuda tampan dan modis itu, Sena menjumpai Lio dan mengajaknya berbicara. Suara ramah dari bibir bervolume dan tampak ranum alami, berhasil mengalihkan dunia Lio yang tadinya hanya berwarna suram. Ada rasa bangga tatkala menyadari bahwa gadisnya menyusul hanya untuk mengatakan sesuatu. Harapan Lio membumbung tinggi, ia mengira Sena akan menjelaskan tentang pernikahannya dan memohon untuk sebuah hubungan terlarang. Namun sayang, Lio salah. Sena memang datang untuk merayu, namun bukan membentuk hubungan yang dia pikirkan. Baginya dirinya dan Raden adalah suami istri, terlepas dari semua penolakan dan situasinya. Langkah Sena berayun dan kian dekat. Sesampainya di meja pemuda yang dicari, ia berdiri tegak di hadapan Lio dan menatapnya tajam. "Aku ingin kamu kembali ke kampus!" pinta Sena dengan suara tenang dan datar. Lio mendongak, menatap harap penuh rayuan. Tanpa sadar, rahangnya menegang dan tubuhnya berdiri, seolah menyambut kehadiran wanita kegemarannya. "Kamu bisa, kan?" tanya Sena, sangat hati-hati. "Kita akan melupakan semua ini dan berjalan sebagai teman. Mengobrol, melaksanakan tugas bersama, berdiskusi, dan melakukan banyak petualangan akademik lainnya." "Terdengar seru untukmu," pangkas Lio memotong perkataan Senandung Arimbi. Sena terkejut, tak menyangka akan jawaban Lio. "Kenapa?" tanya Lio dengan wajah memerah. "Selama ini aku tidak pernah mencela perkataanmu, bukan?" tanyanya yang terus saja memperlihatkan bagaimana ia selama ini bersikap baik, di hadapan Senandung Arimbi. Sena menundukkan kepalanya sejenak, lalu menghela napas yang menyesakkan dadanya. "Aku datang ke sini, bukan untuk bertengkar," katanya yang tidak ingin terprovokasi sekali lagi, sebab tujuannya adalah ingin mengembalikan Lio ke kampus di mana mereka bisa belajar bersama. "Kamu bisa berkata seperti itu karena telah sukses mempermainkan perasaanku." Lio mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa sesak. "Apa aku salah?" Manik mata Senandung Arimbi berkaca-kaca. "Semua tidak seperti yang kamu perkiraan," jawabnya, seraya menundukkan kepala. "Aku juga tidak ingin berada di dalam situasi ini. Tapi, aku bisa apa? Seandainya hidupku adalah milikku, seperti kamu dan yang lainnya, pasti aku bisa berdiri tegak dan menghalau semuanya. Aku ingin sekali berteriak dan membentak, paham?" Sena meninggikan nada suaranya dan tubuh muda itu tampak bergetar hebat. "Apa?" gumam Lio yang menyadari tentang kondisi yang Senandung Arimbi hadapi. Air mata runtuh, rintih kesakitan dari bibirnya menyala. Tak ingin memperlihatkan penderita kepada siapa pun, Senandung Arimbi memilih pergi sejauh mungkin. 'Bodoh! Apa yang aku pikirkan? Memangnya dia peduli dengan apa yang aku katakan? Sena, kamu bukan siapa-siapa!' Tukasnya pada diri sendiri, dan berlari semakin kencang nan jauh. "Sena, sebentar!" Lio mengejar dengan langkah cepat setengah berlari. "Taksi!" pekik Sena sambil melambai. Sopir taksi membuka pintu belakang. "Silakan ...." "Jalan Adipati!" "Baik, Mbak." Di dalam kendaraan berwarna kuning, Senandung Arimbi menyeka bulir-bulir air matanya. Ia seperti kehilangan jati diri dan tidak merasa baik-baik saja. 'Tuhan ... cukupkanlah penderitaanku, kumohon.' Mohon Sena sambil memegang dadanya yang terasa sesak. Setelah membelah jalanan kurang lebih 35 menit, Sena pun tiba di kediaman Raden. Dengan tangan yang masih bergerak cepat dan tidak teratur, ia memberi upah atas jasa taksi yang membawanya pulang dengan selamat. Pria yang berada di belakang kemudi pun masih memperhatikan penumpangnya, seolah ingin bertanya tapi khawatir akan salah sangka. "Semoga harimu menyenangkan, Mbak!" kata si sopir taksi sambil meraih lembaran berharga dari tangan Sena dan tersenyum tulus. "Makasih ya, Pak. Sampai jumpa lagi," jawab Sena yang berusaha mengimbangi senyum pria baya itu karena berupaya ramah di hadapannya. Sena berbalik. 'Emh, senyum itu cukup membantu.' Kata Senandung Arimbi di dalam hati, seraya melangkah menuju teras rumah yang bertingkat. "Hah ...." Wanita cantik ini menghela napas panjang, bersamaan dengan gerakan jari jemarinya yang lentik ketika memasukkan kunci ke lubang pintu. "Selamat datang di rumah yang bukan rumahmu, Sena," ejeknya pada diri sendiri, lalu kembali menutup serta mengunci pintu kayu yang terbuat dari kayu jati tersebut. Tidak berselera untuk melakukan apa pun, Sena memilih beristirahat di dalam kamarnya. Tetapi karena merasa lebih nyaman berbaur dengan alam, ia memutuskan untuk berbaring di kursi panjang yang tergeletak di balkon tanpa mengganti pakaiannya. "Angin, aku harap kamu bisa membantuku untuk tidur! Sebentar ... saja. Di alam bawah sadar, setidaknya otakku bisa rehat sejenak. Aku lelah," kata Senandung Arimbi sambil melepas dan menarik bandana yang menghiasi kepalanya, sejak pagi. Senandung Arimbi ingin hidup seperti kata-kata sang penyair. Kalimat yang bagus agar ia bisa tetap ikhlas dan sabar. 'Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya terjatuh begitu saja. Tak melawan, dan terus mengikhlaskan segalanya.' Tapi, apakah bisa? Sebab ia memiliki jiwa, tak sama seperti dedaunan. Dalam usahanya untuk terlelap, Sena dapat merasakan belaian angin surgawi yang menyentuh anak rambutnya nan ramai. Terkadang, suara berisik mengganggu ketika angin membuat atap rumah atau mungkin asbes, saling berbenturan. Ia pun menyadari, tak ada satu pun yang benar-benar tenang di atas dunia ini. Waktu berlalu, tanpa sadar Raden sudah berada di kediamannya. Lelah dan ingin menikmati hidupnya, pria itu berdiri di balkon berbeda yang terletak di sebelah kamar Senandung Arimbi. Tanpa sengaja, ia melihat wanita cantik itu terlelap dengan arah wajah menghadap ke arahnya. Angin membantu Sena terlihat anggun dan menawan detik ini, bersama lambaian rambutnya yang hitam dan pekat. Tanpa sadar, Raden pun terdiam seolah tengah menikmati gambaran kecantikan istrinya yang sempurna. Sekali lagi, ia menatap wajah perempuan cantik itu secara seksama. Mulai dari alis mata Sena yang bertaut, jembatan hidung yang tinggi, serta bentuk bibir yang penuh dan berwarna merah muda. Tanpa sengaja, dalam tatapan tanpa kedipan yang Raden lakukan, kedua kelopak mata Sena malah terangkat kecil secara tiba-tiba. Rupanya, wanita cantik itu terbangun dan berhasil menangkap basah suaminya tengah menatap hangat ke arahnya. Ragu dengan apa yang ia saksikan, Sena mengucek mata demi meyakinkan pandangannya. Malu hati, Raden yang sempat terbuai sejenak, langsung menepis momen manis nan indah itu. Ia pun segera mengerutkan dahi, sebagai tanda tidak suka, dan kemudian memperlihatkan wajah sangar miliknya, seperti biasanya. "Dasar pemalas." Suara bariton mengejutkan Senandung Arimbi yang masih berada diantara sadar dan tidak. "Sampai kapan kamu akan tidur dan bermalas-malasan seperti itu?" ejek Raden dalam tanya, sembari melipat kedua tangan dan memeluk diri sendiri. Serta merta, Senandung Arimbi benar-benar membuka kelopak matanya yang terasa amat berat. Spontan, matanya yang indah menatap ke segala arah dan di setiap arahnya memandang, ia dapat melihat lampu-lampu menyala, termasuk lampu taman. 'Ternyata sudah malam, ya ampun ... sudah berapa lama aku tidur?' Tanya Sena tanpa suara. Pandangan wanita cantik itu kini teralihkan kepada suara berdeham yang sepertinya sengaja dilakukan oleh pemiliknya. Senandung Arimbi pun melirik dengan kecemasannya. Benar saja, di sebelah sana ada Raden Wibowo yang berdiri dan mengamati dirinya. Pria itu tampak santai berdiri di pinggir balkon yang lainnya, dengan mengenakan celana jeans pendek dan kemeja longgar berwarna biru langit. Ia terlihat sangat tampan dan istimewa malam ini, dengan rambut yang stylish namun memperlihatkan efek natural setelah bergoyang-goyang dan sedikit acak-acakan akibat ditiup angin. "Aku harap, siapa pun suamimu kelak, dia akan menerimamu apa adanya," ucap Raden yang cukup banyak bicara kali ini, namun tetap saja tujuannya ingin menyakiti perasaan Sena. "Dasar pemalas!" omelnya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana yang dikenakan. Sena menegakkan kepalanya. "Aku ...," niatnya ingin memberi penjelasan. Namun sayangnya, si kepala batu memutuskan untuk mengabaikan wanita itu sekali lagi dan meninggalkan posisi berdirinya tadi. "Maaf ... aku tertidur." Sena melanjutkan perkataannya dengan suara miris, walaupun sadar tidak ada yang mendengarkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN